BAB VI

Perasaan bak tanah yang dipenuhi dedaunan kering yang lapuk. Dalam diam, ia pelan-pelan menumbuhkan harapan.

🍃🍃🍃

Sembilan buah buku ditumpuk di atas meja di hadapan Galung. Ia tersenyum lega. Akhirnya ia menemukan buku yang dicarinya. Tidak hanya satu, tapi semuanya. Dengan tidak sabar ia mengirimkan sebuah pesan singkat kepada Diandra.

Sdh ketemu. Semuanya

Beberapa detik kemudian terdengar bunyi pesan masuk. Pesan balasan dari Diandra.

Benarkah? Senang mendengarnya. Jd, kpn bs u bawakan?

Tentu saja secepatnya. Galung tidak akan menundanya jika itu bisa membuat gadis itu tersenyum.

Besok

Ya, besok. Besok ia akan melihat lagi gadis itu tersenyum. Kembali menghangatkan hatinya.

Baiklah. Sampai jumpa besok

Galung tersenyum. Mengenal Diandra membuatnya lebih mudah tersenyum. Akan tetapi, ia tidak puas. Ia ingin mengenal lebih jauh gadis itu.

Diliriknya tumpukan buku di hadapannya. Otak Galung seketika terang benderang. Buku-buku itu pasti akan membawanya lebih dekat pada Diandra. Dulu ia tidak begitu peduli ketika ibunya berusaha menceritakan kisah dalam buku itu. Sekarang ia bahkan ingin melahapnya habis dan dengan bangga berbagi cerita itu bersama Diandra.

BTW, u sdh mau tidur?

Iya

Have you prayed?

Iya

Boleh aku berbagi doa denganmu?

Tiba-tiba saja jari-jari Galung begitu lincah menulis kalimat itu dan mengirimkannya sedetik kemudian.

Boleh. Say your wish

Aku harap aku mendapatkan gadis sebaik dirimu sebagai pasanganku

Galung menunggu dengan tidak sabar. Ia merasa terlalu awal untuk berkata-kata sok romantis seperti itu. Namun, pesan itu sudah terlanjut terkirim. Hatinya berdebar tak teratur memikirkan segala kemungkinan jawaban.

Bagaimana jika Diandra tidak menyukainya?

Suara pesan baru masuk terdengar kemudian. Secepat kilat ia meraih ponsel dan membaca isinya. Lalu sebuah senyuman muncul di bibir Galung.

I'll do it. Tapi, aku yakin kamu akan mendapatkan yang lebih baik.

Galung tersenyum membaca balasan dari Diandra. Gadis itu tidak tahu jika Galung tidak mengharapkan yang lebih baik. Ia ingin Diandra, benar-benar hanya gadis itu seorang.

***

"Jadi, sudah berapa buku yang selesai kamu baca?" Galung bertanya pada Diandra.

Mereka tengah berada di bawah pohon Flamboyan di bukit belakang sekolah. Seperti biasanya. Namun, kali ini bunga-bunga merah itu telah merekah lebih lebar, lebih indah. Mengalahkan daun-daunnya.

"Tinggal buku terakhir," jawab Diandra.

Sudah beberapa minggu sejak Galung meminjaminya buku-buku seri Little House karangan Laura Ingalls. Dan, ternyata banyak yang bisa mereka bicarakan setelah itu. Lebih banyak dari ungkapan perasaan yang belum bisa mereka katakan.

"Cepat juga. Tapi kamu juga tetap menggambar setiap ke sini." Galung berbicara sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon Flamboyan tempatnya bernaung. Pohon miliknya berbunga lebih lebat dari milik Diandra, sehingga duduk di sana membuatnya seperti ternaungi sebuah payung merah besar.

"Karena menggambar memang hobiku."

"Apa aku boleh melihatnya? Gambar-gambarmu."

Diandra terdiam. Selama ini ia memang tidak pernah menunjukkan sketsanya pada siapa pun. Ia menatap buku sketsanya lalu berpaling pada Galung yang tengah mencoba melirik benda di tangan Diandra tersebut.

"Boleh, tapi jangan menertawakannya, ya. Gambarku jelek."

"Aku tidak yakin soal itu," ujar Galung. Ia lalu bangkit dan berpindah tempat di samping Diandra. Gadis itu menyerahkan buku sketsanya dan membiarkannya melihat-lihat.

Halaman pertama buku sketsa itu berisi gambar sebuah jalan setapak yang dipagari pohon-pohon rindang. Ada daun-daun yang berguguran menghiasi jalannya.

"Bagus," komentar Galung, lalu membuka halaman selanjutnya.
Kali ini gambar sebuah bench di tengah taman bunga. Ada sebuah buku dan setangkai mawar di atas bangku itu.

Romantis.

"Yang ini juga bagus."

Diandra hanya diam. Ia tidak membalas komentar Galung, menunggu pemuda itu membuka halaman berikutnya. Sebuah rumah kecil berpagar kayu, terletak di atas bukit dengan rerumputan yang menghijau. Gambar terakhir itu mengingatkan Galung pada sesuatu..

"Rumah kecil di atas bukit?"

Diandra tersenyum. "Rumah kecil di padang rumput," koreksinya.

"Ah, kamu begitu terobsesi dengan buku itu rupanya."

"Tapi bukankah itu memang terdengar manis? Sebuah rumah kecil di padang rumput. Dan aku langsung membayangkan jika rumah itu ada di sini, di bukit ini."

"Ya, meski tidak luas aku tahu kalau tempat ini cukup pantas disebut padang rumput. Tapi kamu benar-benar ingin membangun rumah di sini?"

Diandra menggeleng mantap.

"Sulit membayangkan tak lagi berada di sini, menikmati pemandangan ini, suasana ini. Karena setelah lulus aku tidak mungkin bisa ke sini dalam waktu yang lama."

Gadis itu benar. Galung tersadar bahwa ia akan mengalami kesulitan yang sama dengannya di masa depan. Setelah lulus ia tidak akan bisa datang ke bukit, merasakan semilir angin, memandangi tarian rerumputan, serta menikmati senyuman Diandra. Dan, hal terakhir itulah yang paling membuatnya takut.

"Kalau begitu aku akan membeli bukit ini untukmu," celetuk Galung, tanpa sepenuhnya sadar darimana datangnya kalimat itu.

Diandra tertawa mendengarnya. Itu benar-benar kalimat yang menghibur.

"Kamu benar-benar tahu jika gaji seorang animator tidak banyak," timpalnya.

"Maksudmu, kamu ingin jadi seorang animator?"

"Sangat mudah ditebak, bukan? Itu salah satu impianku."

"Dan impianmu yang lain?" Galung bersemangat. Sepertinya ia punya kesempatan memasuki cerita kehidupan Diandra lebih dalam.

"Kenapa tidak kamu katakan dulu impianmu?"

"Aku sangat tertarik dengan film. Tak peduli menjadi bagiannya sebagai apa, tapi berkutat di dalamnya terasa begitu menyenangkan." Galung menjawab tanpa keberatan sedikit pun. "Sayang, ayahku tidak mendukung."

"Kenapa?"

"Karena ayahku ingin aku meneruskan perusahaannya."

"Lalu ibumu?"

"Beliau sudah meninggal, saat aku masih SMP."

Diandra terdiam, merasa tidak nyaman telah menanyakan hal tersebut. Akan tetapi, Galung tidak terlihat mempermasalahkannya.

"Setidaknya kamu masih memiliki ayah. Kamu patut mensyukurinya."

"Benarkah? Tapi kami selalu bertengkar, berbeda pendapat. Jujur, terkadang aku membenci ayahku."

"Jangan lakukan itu, sebelum kamu menyesalinya."

"Tapi kamu tidak tahu rasanya selalu bersitegang dengan ayahmu."

"Tentu saja aku tidak tahu." Raut wajah Diandra berubah sedih. Ia menunduk, melihat ke arah rerumputan tempat kakinya berpijak. "Ayah dan ibuku meninggal sejak aku berusia satu tahun. Aku bahkan tidak pernah bertemu mereka."

Giliran Galung yang merasa bersalah karena mengungkit kesedihan Diandra. Ia merasa bodoh karena sibuk mencari cara untuk membuat gadis itu tertarik padanya dan tidak tahu hal terpenting yang baru saja terungkap. Diandra lebih kesepian dari dirinya.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ..,"

"Tidak apa-apa," potong Diandra cepat. Ia kembali tersenyum. "Itulah sebabnya aku suka buku-buku Laura Ingalls. Aku suka membayangkan keluarga Ingalls yang selalu bersama melewati segalanya, sebuah keluarga impianku. Tapi, aku juga mensyukuri keluarga yang aku miliki sekarang. Mereka segalanya bagiku."

Galung memandang Diandra yang tengah menatap lurus ke arah rerumputan di depan mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, tetapi bibirnya menyunggingkan seulas senyum. Ada aura kuat yang menyelimuti mereka saat itu. Aura dari tubuh Diandra yang dipenuhi dengan harapan. Bahkan, harapan itu seolah ikut merasuk ke dalam diri Galung.

Sebuah janji terucap di hati Galung. Ia akan mewujudkan harapan Diandra. Memberi kebahagiaan yang lebih banyak untuk gadis itu. Ia mendekatkan tangannya, berniat menyentuh tangan Diandra, memberinya kekuatan dan harapan yang lebih besar. Namun, urung bersamaan dengan Diandra menoleh ke arahnya.

"Kamu mau berjanji satu hal padaku?" tanya Diandra kemudian.

Galung mengangguk dengan cepat meski tak tahu apa yang akan ia dengar.

"Berjanjilah untuk mencoba menyayangi dan menjaga ayahmu. Karena kamu masih memiliki kesempatan untuk melakukannya."

***
Holla! Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.

Salam Baca 😉
SukiGaHana

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top