BAB V
Aku tergugu. Membeku oleh sosok dengan senyum semanis madu. Dirimu.
🍃🍃🍃
"Ada angin apa nih? Pagi-pagi seorang Galung sudah menciptakan senyum di bibirnya?" Andro menyambut kedatangan Galung dengan penuh semangat. Terlebih hari ini sahabatnya itu datang dengan wajah berseri-seri, berbeda dari biasanya yang selalu kelihatan suntuk dan jengkel.
"Yang pasti hal yang menyenangkan,” jawab Galung.
"Baguslah, setidaknya kamu pernah tersenyum di pagi hari. Karena itu akan membuat para gadis semakin terpesona denganmu.” Andro mengomentari para gadis yang kebetulan mereka lewati saat menuju kelas. Tak sedikit dari gadis-gadis itu yang seolah nyawanya melayang sejenak melihat Galung tersenyum, karena senyuman pemuda itu adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didapatkan. Sifat temperamen Galung terhadap para gadis mungkin adalah kekurangan terbesarnya, tetqpi ia tetaplah seorang pemuda berwajah pangeran yang menjadi pasangan impian bagi banyak gadis.
"Masa bodoh dengan mereka,” jawab Galung tak acuh.
Begitu tiba di depan kelasnya yang berada di lantai dua, Galung tidak segera masuk. Ia berdiri di balkon dan menebarkan pandangannya ke penjuru sekolah yang memang bisa terlihat jelas dari tempatnya berada. Galung mencari sosok yang hari ini belum terlihat sama sekali.
"Cari siapa?" tanya Andro yang mengikuti tindakan Galung tanpa tahu apa atau siapa yang sedang dicari sahabatnya itu.
"Ada deh," jawab Galung. Sebuah senyuman seketika terbentuk ketika akhirnya ia melihat pujaan hatinya.
Diandra, sedang duduk dibangkunya, di kelasnya yang secara kebetulan ternyata berseberangan dengan kelas Galung. Gadis itu sedang bercanda bersama teman-temannya tanpa tahu kalau Galung tengah memperhatikannya.
"Kalau gitu masuk, yuk, aku belum ngerjain tugas dari Pak Wardi nih,” ajak Andro.
"Masuk aja duluan. Aku udah ngerjain kok,” jawab Galung, masih tak melepaskan pandangannya dari sosok Diandra yang berada jauh di seberang tempatnya berada.
"Ya udah kalau gitu, aku pinjam tugas kamu sekarang,” pinta Andro.
Tanpa melihat, Galung memberikan tasnya pada Andro dan membiarkan sahabatnya itu masuk ke kelas tanpa dirinya.
Galung memandang sosok Diandra lekat. Meski jarak mereka terpisah jauh, ia bisa melihat dengan jelas gurat-gurat senyuman di wajah gadis itu.
Cantik, seperti peri.
Itulah yang Galung bayangkan saat matanya tak henti-henti mengikuti semua gerak-gerik Diandra. Namun, gadis itu tak pernah menyadarinya, mungkin orang lain juga.
Biarlah begitu. Galung ingin menjadi egois dengan berharap hanya dirinya yang bisa melihat kecantikan Diandra.
Bunyi bel masuk sekolah membuyarkan semua lamunan Galung. Untuk pertama kalinya, ia benci mendengar bunyi itu. Karena mengharuskannya berhenti mengagumi sosok indah di seberang kelasnya.
***
Ada yang berbeda saat Galung tiba di bukit belakang sekolahnya. Pohon Flamboyan favoritnya tak lagi kosong. Diandra berada di sana, tengah menggambar dengan dipayungi dahan-dahan hijau yang mulai memunculkan kuncup-kuncup merah.
"Hei, bukannya itu tempatku?" tanya Galung. Ia tidak marah, hanya heran kenapa gadis itu berpindah tempat.
"Kamu bilang kemarin kamu tidak bisa tidur karena di sini terlalu silau. Jadi kamu bisa pakai pohon yang biasa kutempati sekarang. Di sana lebih teduh," jawab Diandra.
"Sebenarnya itu nggak perlu,” ujar Galung. Ia merasa sedikit menyesal karena apa yang ia ucapkan kemarin hanya sebuah alasan yang sengaja ia buat. ”Justru kamu nggak bisa menggambar dengan tenang karena silau."
Diandra menggeleng yakin sembari tersenyum untuk meyakinkan Galung bahwa ia tidak merasa mengalami kesulitan apa pun.
"Oh iya. Kamu membawa bukunya?" tanyanya kemudian, mengingatkan Galung pada usahanya mencari buku-buku tersebut diantara koleksi buku-buku lamanya. Galung menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, merasa tidak nyaman karena tidak bisa memenuhi janji.
“Sebenarnya ..., aku belum menemukannya," jawab Galung.
"Begitu, ya. Ya udah, nggak apa-apa, kok."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya. Tapi kamu janji mau tetap mencarikannya, kan?"
Galung mengangguk mantap. Ia pasti akan mencari lagi buku itu sampai ketemu. Itu seperti sebuah janji yang belum pernah ia ucapkan untuk orang lain.
"Terima kasih,” ujar Diandra, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya menggambar.
Galung sendiri lalu menempati pohon yang sebelumnya menjadi tempat Diandra. Ia duduk dan berusaha untuk tidur, seperti yang selama ini sering ia lakukan. Namun, kali ini matanya menolak untuk bekerjasama. Tak bisa terpejam dengan tenang.
Galung lalu terpaksa menoleh ke arah Diandra. Gadis itu masih sibuk dengan buku dan sketsanya.
"Ngomong-ngomong, kamu suka membaca? Aku punya banyak koleksi buku jika kamu berminat.” Galung akhirnya berinisiatif mengajak Diandra ngobrol. Sekedar membunuh waktu yang kali ini tak bisa ia lewati dengan memejamkan mata.
"Sebenarnya nggak juga. Aku lebih suka menggambar."
"Tapi sepertinya kamu sangat tertarik dengan buku yang kamu baca kemarin."
"Ya, itu buku favoritku. Sayangnya aku tidak memiliki buku selanjutnya, sehingga hanya bisa menerka-nerka lanjutan kisahnya. Apa kamu tahu?"
"Jujur, aku sendiri belum selesai membacanya."
"Oh, begitu. Lalu, buku apa yang kamu suka?"
"Biografi atau sejarah."
"Menarik."
Tanpa terasa percakapan Diandra dan Galung berkembang dengan cepat. Setelah kebersamaan yang sepi di antara mereka, kini seolah keduanya telah saling lama mengenal. Tiba-tiba ada begitu banyak hal yang ingin ditanyakan, ingin diceritakan. Hingga mereka sedikit melupakan waktu.
"Eh, sudah jam berapa sekarang?" Diandra bertanya dengan panik begitu menyadari ia sudah terlalu lama mengobrol. Ia melihat jam tangannya lalu bangkit dengan bergegas. "Ah, untung saja belum terlambat. Kita harus segera kembali. Ayo!" ajaknya pada Galung.
Galung mengangguk dan mengikuti langkah gadis itu meninggalkan bukit. Lalu mereka akan berpisah ketika mencapai pintu samping sekolah, tanpa bertukar kata selamat tinggal atau sampai jumpa. Seperti itulah rutinitas mereka saat bersama. Namun, kali ini sedikit berbeda.
"Diandra!" panggil Galung ketika mereka telah tiba di pintu samping sekolah.
"Ya?"
"Boleh aku minta nomor ponselmu? Mungkin aku butuh bantuanmu untuk mencari buku itu lagi."
Diandra diam sejenak, tampak mempertimbangkan permintaan Galung. Tapi kemudian ia tersenyum.
"Boleh. Kamu catat ya, karena aku nggak membawanya sekarang."
Galung ikut tersenyum. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik tiap angka yang Diandra sebutkan dengan perasaan gembira. Dan ketika ia menekan tombol save, ia merasa telah berhasil menggenggam sebuah harapan yang indah.
***
Ponsel mungil Diandra berkelap-kelip dan mengeluarkan bunyi denting bel, menandakan sebuah pesan masuk. Ia yang baru saja selesai menyiapkan buku-buku untuk esok hari segera mengambil dan melihatnya.
Sebuah nomor baru. Hati Diandra tiba-tiba berdebar-debar melihat deretan angka tanpa nama tersebut. Berharap pesan itu berasal dari orang yang memang ia tunggu.
Q pasti ganggu ya? Tp apa u bs beritahu q judul dr buku ke 3 itu? Q bnr2 lupa.
Galung.
Senyuman sontak menghiasi wajah Diandra. Rasanya ia baru saja mendapatkan pesan singkat dari Ratu Elizabeth II, bahwa ia ternyata adalah salah satu anggota keluarga kerajaan Inggris.
Konyol, tetapi perasaan gembiranya memang begitu besar hingga sulit untuk dijabarkan dengan perumpamaan yang wajar. Dengan cepat diketiknya balasan untuk pesan tersebut. Hanya sebuah jawaban yang singkat.
A Farmer Boy
Sedetik kemudian ia merasa perlu mengirimkan sebuah pesan lagi. Lalu ia mulai mengetik dan segera mengirimnya.
Kalo g salah
Diandra mengetuk-getukkan jarinya pada layar ponsel, tidak sabar menunggu balasan. Lalu kembali terdengar bunyi denting bel.
Thanks. Akan segera q temukan bukunya
Tak tahu harus membalas apa, Diandra terdiam sembari meletakkan dagunya di pangkuan tangan. Memorinya melayang kembali ke bukit belakang sekolah. Mengingat darimana asal perasaan asing yang tengah menyerbu hatinya sekarang.
Sepasang pohon Flamboyan yang belum berbunga, yang menjadi tempat bernaung mereka berdua. Ia dan Galung. Mereka melewati menit demi menit di sana tanpa bertegur sapa. Ia duduk di salah satu pohon dan menggambar tanpa menoleh, membiarkan kepalanya hanya tertuju pada buku sketsa. Sementara Galung tertidur di bawah pohon Flamboyan yang lain. Memeluk mimpinya.
Angin menyapa rerumputan di sekitar, mengajak dahan-dahan yang menaungi Diandra menari. Suaranya yang saling bersentuhan menggelitik telinga. Sejenak ia berhenti menggambar, lalu memalingkan wajahnya pada Galung yang masih terpejam. Dan, tanpa sadar ia tersenyum.
Diandra terpaku. Ia tak mengenal rasa yang tengah menyeruak pelan di hatinya kala itu. Ia hanya tahu jika memandangi Galung begitu menyenangkan. Tentu saja, dia pemuda yang tampan. Banyak gadis yang tergila-gila padanya. Namun, Diandra tidak yakin apakah memandangi Galung diam-diam seperti itu juga termasuk menggilainya.
Tidak. Diandra tidak menggilainya. Mungkin ia hanya ... menyukainya.
"Diandra!" Anjani menyerbu masuk ke kamar Diandra dengan wajah cemberut, mengejutkannya dari lamunan. "Aku memanggilmu dari tadi, kenapa nggak dijawab sih?" tanyanya.
"Eh, benarkah? Maaf, aku nggak dengar,” jawab Diandra. "Ada apa?"
"Waktunya makan malam. Udah ditunggu, tuh, sama yang lain. Lagi sibuk apa, sih? Sampai nggak dengar. Padahal suaraku udah kencang banget tadi."
"Nggak ngapa-ngapain, kok.” Diandra menjawab sembari memandangi ponsel di hadapannya. Tindakannya menimbulkan kecurigaan bagi Anjani yang dengan cepat merebut ponsel tersebut.
"Aku tahu ada yang nggak beres. Pasti ini penyebabnya," ujar Anjani seraya mulai membuka kotak pesan di ponsel Diandra. Ia membaca pesan yang terakhir masuk, lalu terlihat bingung.
Bukan pesan yang aneh atau mencurigakan. Hanya membicarakan buku. Dari pengirim tanpa nama.
"Nggak ada yang nggak beres, Njan. Dan tolong balikin ponselku,” pinta Diandra.
"Ah, nggak. Kalau memang nggak ada, kenapa kamu kelihatan cemas?" Anjani mempertahankan ponsel itu di tangannya. Ia berlari keluar dari kamar, memaksa Diandra mengikutinya.
"Njan, tolong balikin,” pinta Diandra sembari berlarian di tangga, berusaha mendapatkan Anjani dan ponselnya kembali. Akan tetapi sepupunya itu tidak menggubris, sehingga mereka jadi kejar-kejaran hingga meja makan.
"Hei, ada apa dengan kalian? Berhenti main-main dan segera makan," tegur Dimas, papa Anjani dan Miko.
Diandra berhenti dan segera mengadu pada papanya. "Anjani menyita ponselku, Pa."
"Nggak, Pa. Aku cuma ingin tahu cowoknya Diandra, kok. Barusan mereka SMS-an."
Diandra melotot ke arah Anjani. Sepupunya itu benar-benar mengacau. Beruntung mamanya masih ada di dapur dan tidak mendengar. Sementara papanya akhirnya hanya tersenyum dan membiarkan Anjani.
"Balikin, nggak?" Miko yang baru keluar dari kamarnya tiba-tiba memeluk Anjani dari belakang. Hal yang paling adiknya itu benci.
"Aah, iya, iya, aku balikin. Tapi lepasin aku. Aku nggak suka diginiin," protes Anjani. Tindakan Miko memaksanya mengembalikan ponsel Diandra sebelum ia berhasil menemukan sesuatu. "Kenapa sih Kak Miko selalu belain Diandra? Emang nggak mau tahu siapa cowoknya?"
Diandra tersenyum menerima ponselnya kembali. Miko memang selalu bisa diandalkan. Itulah kenapa ia sangat menyayanginya.
Tidak, ia menyayangi mereka semua.
"Ada apa, sih? Kalian terdengar ribut sekali?" Olla, mama ketiga remaja tersebut akhirnya kembali dari dapur sambil membawa semangkok besar sup ayam. Miko yang tak sempat menjawab pertanyaan adiknya langsung duduk dan bersikap tak acuh. Begitupun Diandra. Semua seolah sepakat jika kedatangan mamanya adalah tanda untuk diam.
"Diandra punya cowok, Ma. Mereka tadi SMS-an," lapor Anjani yang tidak tahan untuk tidak bicara. Entah kenapa hari ini ia tidak kompak dengan saudara-saudaranya.
Mamanya sontak melihat ke arah Diandra. Pandangannya dingin dan tidak senang. Namun, beliau tidak berkata apa pun.
"Bukan, Ma. Itu hanya teman yang menanyakan buku.” Diandra berusaha memberi penjelasan, tanpa berani memandang wajah mamanya.
"Mama harap itu benar," ujar Olla datar.
Diandra semakin menundukkan kepala. Ia merasa sedih. Pandangan itu bukan pandangan tidak suka seorang ibu karena anaknya melakukan kesalahan. Itu adalah pandangan yang selalu ia dapatkan dari mamanya sejak ia kecil. Menyiratkan kebencian, tanpa kasih sayang. Ia sedih, karena tak tahu kenapa orang yang disayanginya selalu melihatnya dengan cara itu.
Mendadak, makan malam itu menjadi hening dan dingin.
***
Holla! Jangan lupa tinggalkan jejak, ya.
Salam Baca 😉
SukiGaHana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top