09 : Let Me Be With You
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Can You Hear Me - Kei
.
.
Angelic Devil
09 : Let Me Be With You
Hinata centric / NHL
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Hari Rabu, selalu menjadi hari yang melelahkan bagi Hinata. Di hari itu, dia harus mengikuti kelas bisnis tambahan yang sudah seperti penderitaan baru baginya. Hinata tidak tertarik pada bisnis yang penuh dengan perhitungan, dia benci buku-buku tebal yang harus ia bawa setiap kali mengikuti kelas bisnis, dan yang lebih menyebalkan, dia akan bertemu dengan orang-orang merepotkan.
Tapi Rabu kali ini berbeda. Alih-alih merasa kesal, gadis itu justru melangkah santai menuju ruang kelas sembari menenteng beberapa buku tebal di tangan.
"Hinata!" Seulas senyum cerah langsung menyambutnya begitu memasuki ruang kelas. Si pemilik senyum itu melambaikan tangan tan-nya kearah Hinata sambil menata kursi. "Kemarilah, duduk di dekatku."
Dialah yang membuat hari Rabu Hinata tak terasa melelahkan lagi. Meski semua orang yang ada di sana menolak kehadiran Hinata, setidaknya masih ada seorang teman yang menunggunya dengan senyuman- Namikaze Naruto. Menerima pria itu sebagai temannya telah mengubah banyak hal dalam hidup Hinata. Meski begitu, rasa ragu masih terus menghantui Hinata. Dia tidak mau terlalu berharap pada Naruto yang bisa meninggalkannya kapan saja.
"Kenapa harus duduk di dekatmu? Kau berisik, aku tidak bisa konsen."
"Ck, teman harus selalu bersama!" Sedikit menggunakan paksaan Naruto merebut buku-buku ditangan Hinata, membuat gadis itu mau tak mau harus duduk didekatnya. "Kita jarang bisa sekelas, jadi harus duduk berdekatan. Lagi pula siapa yang akan mengajarimu nanti? Kau 'kan payah soal bisnis."
Sebuah sentilan keras mendarat bebas di bibir Naruto. "Cerewet."
"Akh...hei! Tidak adakah cara yang lebih lembut untuk membuatku diam?" Melihat Hinata yang memasang wajah datar setelah memukulnya, Naruto refleks mengacak-acak surai indigo gadis itu. Dia justru tertawa keras saat Hinata berusaha melawan dengan mencubitinya. "HAHAHA.. Gadis jahat ini benar-benar.."
Cantik..
Naruto sontak menjauhkan tangannya dari Hinata. Bukan hanya saat tersenyum, bahkan wajah Hinata yang sedang marah juga terlihat cantik di matanya. Tidak ada satupun hal yang tidak Naruto sukai dari Hinata. Tapi, bolehkah dia merasa seperti ini? Bagaimanapun Naruto baru berpisah dengan Sakura, perasaannya pada Hinata mungkin akan memperburuk hubungan dua saudari itu. Dia tidak ingin membebani Hinata, dan melukai Sakura.
Mengapa takdir mempertemukan mereka di situasi yang serumit ini?
"Ada apa?" Hinata heran pada Naruto yang tiba-tiba diam sambil terus menatapnya. Padahal baru saja pria itu tertawa keras saat mengganggunya.
"Tidak ada.." Pertanyaan Hinata makin menggoyahkan Naruto. Satu sisi dia ingin bertindak egois, menyatakan perasaan yang mulai menyiksa hati. Namun disisi lain, banyak hal yang membuat Naruto ragu. "Aku.. Aku hanya ingin mengajakmu pulang bersama nanti. Ibuku ingin bertemu denganmu, mampirlah sebentar ke rumahku, ya?"
"Lalu mobilku bagaimana?" Akhir-akhir ini Hinata tidak lagi pergi ke kampus menaiki bus. Dari hasil menjual desain bajunya pada HY Fashion, Hinata memiliki cukup tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Termasuk membeli mobil mini yang sangat membantunya membawa barang ketika ada paktik di kampus.
"Tenang saja, aku akan suruh orang mengantarnya dengan selamat ke rumahmu."
"Anu..." Ragu-ragu Tenten datang menyela perbincangan Naruto dan Hinata. Di belakangnya tampak Ino yang diam mengekor. "Boleh kami mengganggu sebentar?"
"Ada apa?" Naruto menjawab cepat. Dia takut kejadian yang sudah-sudah akan terulang bila mereka bicara dengan Hinata. Bukannya mau berprasangka buruk, Naruto tengah berusaha menjaga suasana hati Hinata.
Ino menatap malas Naruto, padahal dia dan Tenten sudah berjanji akan memperbaiki hubungan dengan Hinata, tapi Naruto masih saja terlihat was-was. Entah apa yang membuatnya begitu peduli pada Hinata. Padahal selama ini Ino berpikir bahwa Naruto hanyalah pria bodoh yang menyia-nyiakan waktu untuk menunggu Sakura, meski Ino sudah pernah memberitahunya pada siapa perasaan Sakura tertuju. Naruto memang orang yang terlalu baik, sampai rela mengabaikan segala fakta demi menjaga perasaan orang-orang disekitarnya. Tapi sekarang, Ino menyadari satu hal. Cara Naruto menatap Hinata, bahkan lebih dalam ketimbang tatapannya pada Sakura dulu. Temannya yang naif itu mulai berubah. "Kami ingin bicara dengan Hinata, bukan denganmu Naruto."
Mengabaikan Naruto yang menggerutu pada Ino, Tenten menarik sebuah kursi, lantas duduk disebelah Hinata. Ia menyerahkan bungkusan berisi kotak bento sambil tersenyum. "Untukmu, sebagai ucapan terimakasih dariku dan Lee."
Ragu-ragu Hinata membuka kotak itu. Aroma harum langsung menguar dari tumpukan dimsum dalam kotak yang terlihat kenyal.
"Keluarga Tenten mengelola restoran dimsum sejak lama. Dimsum mereka sangat enak, cobalah." Ino ikut duduk bergabung duduk bersama Hinata dan Tenten. Sejak awal, sebenarnya dia tidak ingin mencari gara-gara dengan siapapun. Apalagi Hinata adalah saudara Sakura, dia hanya kesal pada sikap Hinata yang dingin, dan angkuh. Tapi, setelah apa yang Hinata lakukan untuk Lee, pandangan Ino mulai berubah. "Ah tapi.. Karena Tenten sendiri yang membuat dimsum kepiting itu, mungkin rasanya tidak akan seenak resep aslinya."
"Hei!"
"Maaf..." Tiga orang di dekatnya langsung menoleh. Kini mereka bingung nelihat wajah Hinata yang tampak menyesal. Terutama Naruto, dia tahu seorang Hinata tidak akan menolak makanan, apa dia masih enggan membuka diri pada orang lain?
"Kau tidak suka dimsum, ya?"
Hinata sontak merasa bersalah melihat reaksi sedih di wajah Tenten. Padahal belum lama ini, dia terlihat sangat menyebalkan di mata Hinata. Tapi sekarang, dia tampak seperti gadis biasa, lembut, dan mudah kecewa. "Bukan begitu.... Aku sangat ingin mencobanya. Tapi aku tidak bisa makan kepiting. Waktu kecil aku hampir mati kehabisan napas karena memakannya."
"Heh?" Tenten, Ino, Naruto, memasang wajah terkejut yang sama anehnya. Gadis 'seperti' Hinata bahkan hampir mati? Gila. "HINATA, JANGAN DIMAKAN!!!"
Mereka berteriak kompak, langsung mengambil kotak dimsum Tenten dan cepat-cepat menghabiskannya sebelum Hinata tergoda untuk mencoba.
"Kalian ini, lain kali tanya dulu. Hampir saja Hinata memakan racun." Meski mulutnya penuh oleh dimsum, Naruto masih sempat mengomeli teman-temannya. Dia baru berhenti mengomel saat menyadari dirinya juga sama-sama salah. Padahal Naruto tahu Hikari alergi kepiting, kenapa tidak terpikirkan jika Hinata juga punya alergi yang sama.
"Maaf Hinata.. Aku tidak tahu kau alergi kepiting. Karena kak Neji suka kepiting, kupikir kau juga akan suka..."
Ino menghadiahkan sebuah jitakan diantara dua cepol rambut tenten. "Karena kau menyukai si Neji itu, jangan samakan semua orang dengannya!"
Hinata terdiam melihat tingkah aneh mereka bertiga. Rasanya menyenangkan saat banyak orang mengelilinginya. Mungkin Naruto benar, mereka tidak seburuk yang Hinata kira. Bahkan Ino yang awalnya dia pikir sangat culas dan kekanak-kanakan, terlihat berbeda hari ini. Kalau di pikir-pikir, semua hal menyebalkan yang pernah mereka perbuat, mereka lakukan demi membela Sakura sebagai teman. Tidak ada yang salah waktu itu, hanya Hinata yang tidak beruntung karena belum memiliki teman.
Menyadari seulas senyum mengembang dibibir Hinata, Naruto sontak mencondongkan badannya kearah Hinata, berusaha menutupi senyum itu dari Tenten dan Ino dengan punggung besarnya. Naruto terdiam kikuk, dia tidak tahu apa yang dipikirkannya sampai melakukan hal seperti ini. Yang jelas, ia ingin menjadi satu-satunya orang yang bisa melihat senyuman Hinata.
.
.
.
.
.
.
.
Sakura yang baru datang menghentikan langkahnya diambang pintu. Apa yang ia lihat sekarang membuatnya ingin segera menjauh dari tempat itu. Tempat dimana Sakura biasa tertawa bersama teman-temannya dan Naruto. Hinata telah merebut semua tanpa menyisakan satu tempat pun untuknya. Bahkan sekarang si jahat itu menggantikan posisi Sakura di hati teman-temannya.
Sakura sangat mengharapkan pembelaan dari Tenten dan Ino mengenai hubungannya dengan Naruto. Tapi karena perjodohan mereka bahkan belum diresmikan, tak banyak yang tahu soal hubungan itu. Apalagi sekarang, mereka malah dekat dengan Hinata.
"Tidak masuk?"
Sakura tersekiap sesaat, langsung mengalihkan emeraldnya yang sempat terkunci pada onyx Sasuke. "Aku lelah, aku mau pulang saja."
"Biar ku antar." Sasuke menarik tangan Sakura pelan, namun gadis itu melepas paksa tangannya.
"Sasu.. Kita hentikan saja." Air mata bercucuran deras membasahi emerald Sakura. Setelah apa yang terjadi belakangan ini, dia akhirnya bisa membuat keputusan. Kali ini dia akan memilih tanpa rasa ragu. "Seperti katamu, aku mencintaimu, sangat. Tapi setelah Naru memutuskan untuk meninggalkanku, aku sadar sepenuhnya bahwa aku membutuhkan Naru untuk terus bertahan hidup. Aku tidak bisa terus bermain-main seperti ini."
Selama ini Naruto terus berada disisi Sakura tanpa ia minta. Naruto akan melakukan apapun demi kebahagiaannya. Dan dia baru menyadari itu saat Naruto telah berpaling. Hatinya hancur berkeping-keping. Perjodohannya dengan Namikaze Naruto adalah salah satu bukti bahwa Sakura adalah bagian dari Hyuuga, kehilangan Naruto sama saja dengan menyerah sebagai Hyuuga.
"Apa setelah kau melepasku dia akan kembali padamu?"
"Aku akan minta maaf dan mengatakan semua hanya salah paham. Naru pasti akan mengerti, lalu kembali padaku." Sakura meyakinkan diri, semua pasti baik-baik saja. Naruto tetaplah Naruto, dia mungkin marah pada Sakura sekarang, tapi setelah semua masalah selesai, Naru-nya akan kembali seperti dulu.
"Kau yakin cuma itu masalahnya? Mungkin saja hubungan kita hanya alasan yang digunakan Naruto untuk menolakmu." Sasuke berkata tenang, dia tahu betul apa yang bisa membuat hati Sakura kembali goyah. "Bisa saja, Naruto enggan menerima dirimu yang seorang Haruno, bukannya pewaris sah Hyuuga seperti Hinata."
Sakura terdiam, perkataan Sasuke tidak sepenuhnya salah. Bagi seorang tuan muda dari keluarga sekaya Namikaze, mustahil Naruto sudi melirik gadis dari keluarga yang tak jelas sepertinya. Naruto memang begitu baik pada Hyuuga Sakura, tapi apa dia juga akan menerima Haruno Sakura?
"Saat ini, hanya aku satu-satunya orang yang secara tulus memihakmu. Jangan lupakan itu, Sakura." Sasuke kembali menggenggam tangan Sakura, kini tidak ada perlawanan lagi dari gadis itu. "Aku tidak akan melepaskanmu semudah itu, percayalah."
Pria raven itu tersenyum penuh arti. Sakura adalah pion yang telah lama ia persiapkan demi mengembalikan kejayaan Uchiha. Dengan menjadikan Sakura sebagai pewaris Hyuuga, serta menjauhkannya dari Namikaze Naruto, tujuan Sasuke akan terwujud.
Namikaze dan Hyuuga, Sasuke bersumpah akan menghukum para pembunuh ayahnya itu dengan cara yang paling keji. Tinggal menunggu waktu sampai mereka hancur dalam genggaman Uchiha.
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Sesuai rencana, Naruto mengajak Hinata mengunjungi rumahnya setelah jam kuliah mereka selesai. Sama seperti Hyuuga, Namikaze juga punya kediaman yang sangat luas dan megah. Bedanya, gaya arsitektur kediaman Namikaze terlihat lebih modern dan sedikit mengikuti style eropa.
Sambil terus mengikuti tarikan tangan Naruto, sesekali Hinata merapikan sweater merah marun yang ia kenakan. Mendadak dia merasa gugup. Ini kali pertama Hinata berkunjung ke rumah temannya. Dia takut membuat kesan yang buruk di depan keluarga Naruto. Namun begitu seorang wanita bersurai kemerahan membukakan pintu dengan ramah dan tersenyum menyambutnya, seluruh rasa gugup itu hilang.
"Ibu, aku berhasil mengajak Hinata seperti yang kau minta."
Kushina mengabaikan anak laki-lakinya, lebih tertarik pada sosok gadis mungil yang mengingatkannya pada mendiang sang sahabat. "Selamat datang, Hinata."
"Terimakasih bibik, maaf merepotkan." Hinata menatap takjup wajah yang terlihat sangat cantik meski tak lagi muda itu, jadi dari sanalah wajah malaikat Naruto menurun.
"Kau sungguh manis." Tangan Kushina bergerak pelan mengusap pipi halus Hinata. Mendadak hati Kushina terenyuh, dia benar-benar mirip Hikari. Kalau saja Hikari masih hidup dan bisa melihat putri kandungnya sekarang, dia pasti akan sangat senang memiliki putri secantik Hinata. "Masuklah, bibik sudah siapkan makan siang untuk kalian."
Naruto pernah bercerita pada Hinata tentang seberapa galak ibunya. Tapi setelah melihat sendiri, Kushina tidak semenyeramkan yang Naruto katakan. Dia seorang ibu yang memiliki sentuhan lembut, dan senyuman hangat. Sosok ibu seperti itu sudah lebih dari sempurna bagi Hinata.
"Ibu, Hinata, boleh aku ganti baju sebentar?" Naruto memang mudah risih bila sudah berkeringat, dia tidak akan bisa menahan diri untuk berganti baju. Tapi kali ini dia sedikit berbohong. Sebenarnya, Naruto hanya ingin meninggalkan Hinata berdua dengan ibunya.
Hinata tumbuh tanpa merasakan kasih sayang seorang ibu, dan sekeras apapun Naruto berusaha, dia tidak akan pernah bisa menutupi kerinduan gadis itu akan sosok ibu. Sebagai gantinya, hari ini Naruto ingin Hinata merasakan kasih sayang dari Kushina.
"Pergilah, ibu yang akan menemani Hinata." Naruto melangkah pergi menuju kamarnya sambil melirik Kushina- memberi kode. "Hinata.. Selagi menunggu Naruto, mau ikut bibik? Ada yang ingin bibik tunjukan padamu."
"Baiklah."
.
.
.
.
.
.
Hinata melangkah ragu saat Kushina mengajaknya memasuki sebuah kamar. Dari penataan kamar yang tampak rapi dan elegan, Hinata menduga bahwa ini kamar Kushina. Selain itu ada foto Kushina yang terlihat sangat cantik mengenakan gaun pengantin bersama seorang pria bersurai kuning- mirip Naruto, yang membuat Hinata semakin yakin.
Bukan cuma foto pernikahan Kushina, dinding kamar itu di penuhi foto-foto lain yang menarik perhatian Hinata. Salah satunya foto bayi gembul dengan tanda lahir serupa kumis kucing, yang ia yakini sebagai Naruto. Ada juga foto Naruto kecil yang berusaha menggendong seorang bayi bersurai hitam.
"Putra-putraku sangat manis waktu kecil 'kan? Sayang sekarang mereka sudah tumbuh menjadi pemuda yang sulit diatur seperti ayahnya!" Hinata sedikit menahan tawa mendengarkan keluhan Kushina. Dia benar, salah satu putranya- Naruto memang sulit diatur. "Kau tahu ini Naruto, sedangkan yang dia gendong itu putra bungsuku Namikaze Menma."
"Naruto...dan Menma.." Hinata berpikir sejenak merenungkan nama-nama itu. "Toping pada mi ramen?"
"Ahahahaha.. Tepat sekali! Aku sangat suka mi ramen, jadi mereka ku beri nama seperti itu." Kushina tertawa geli, dia tidak menyangka Hinata akan menanyakan soal nama putra-putranya secara blak-blakan. Padahal biasanya orang akan merasa sungkan dan memilih diam. Dia sejujur Hikari, dan selugu Hiashi saat masih muda. "Aku berharap, sama seperti toping ramen yang selalu berada dalam satu mangkuk, putra-putraku akan selalu bersama dan saling mendukung."
"Bibik memberikan nama yang bagus." Hinata tersenyum tulus melihat Kushina. Dia adalah ibu hebat yang mampu membesarkan pemuda sebaik Naruto. "Mereka beruntung memilikimu sebagai ibu."
Lagi-lagi ekspresi Hinata menyentuh hati Kushina. Meski dia tidak berkata apapun, Kushina bisa melihat dengan jelas kekosongan dan rasa rindu yang mendalam dari kedua amethyst itu. "Kemarilah nak, bibik ingin kau melihat sesuatu."
Kushina mengarahkan Hinata untuk duduk diatas kasur, lantas menyerahkan sebuah album lama yang dia ambil dari lemari.
Hinata membuka album bersampul coklat itu, membalik satu persatu lembaran foto yang memperlihatkan Kushina sewaktu muda. Kushina tak sendiri dalam foto-foto itu, disana ada sosok wanita bersurai indigo yang tak asing bagi Hinata- Hikari. Hinata menatap Kushina meminta penjelasan, tak mengerti kenapa foto-foto itu diperlihatkan padanya.
"Aku dan Hikari saling mengenal karena kami menikahi dua pria yang saling bersahabat. Berbeda dariku, dia sangat lembut serta keibuan." Meski hanya melalui foto-foto lama, Kushina ingin Hinata lebih mengenal ibunya. Dia mengambil sebuah sisir diatas meja, duduk di sebelah Hinata dan mulai menyisir surai indigo gadis itu. "Kami selalu menginginkan seorang anak perempuan yang bisa di dandani, dan ditata rambutnya seperti ini."
Jemari Hinata berhenti membalik album foto, dia tenggelam merasakan kehangatan tangan Kushina yang mengusap lembut kepalanya. Sudah sangat lama sejak terakhir kali Mebuki menyisir rambutnya seperti ini, Hinata sampai lupa bagaimana rasanya dulu. Sebenarnya, dia tidak yakin Mebuki pernah meluangkan waktu untuk menyisir rambutnya. Bahkan saat Hinata merengek, Mebuki hanya mengikat rambut Hinata ala kadarnya. Jangankan lembut, karena terlalu kasar justru terasa sakit.
"Saat Hikari mengetahui yang dikandungnya adalah anak perempuan, dia sangat bahagia dan terus pamer padaku. Aku sampai kesal karena Naruto terlahir laki-laki, padahal aku yang hamil duluan, kenapa Hikari yang mendapat anak perempuan?" Dengan penuh kasih sayang Kushina merapikan anak rambut serta poni datar Hinata. "Tapi tidak papa, aku masih bisa menganggapmu sebagai putriku 'kan, Hinata?"
"I-iya.." Manik Kushina membola sesaat, menyadari amethyst Hinata yang entah sejak kapan basah seperti terguyur hujan. Hinata tidak tahu kenapa tiap kata-kata dan sentuhan Kushina membuat perasaannya sangat kacau. Dadanya terasa hangat, namun sesak di waktu bersamaan. "Ma-maaf bik, aku tidak tahu kenapa...hiks..hiks.."
Isakan Hinata semakin mengeras saat Kushina memeluknya dengan erat. Dia tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Suara detak jantung Kushina, sentuhan lembutnya, aroma tubuhnya, serta kehangatannya, membuat Hinata makin tenggelam dalam perasaan menyesakan bernama rindu.
"Kau rindu ibumu, hm?" Kushina makin mengeratkan pelukannya. Air matanya ikut jatuh merasakan kepedihan Hinata. Anak itu pasti sudah susah payah menahan rasa rindunya, dan berjuang sendirian. Kenapa takdir begitu kejam, sampai tega memisahkan ibu dan anak, tanpa mempertemukan mereka barang sekali? "Mulai sekarang bibik yang akan menjadi ibumu. Kau tidak perlu berjuang sendirian lagi, mengerti? Datanglah kapanpun saat kau membutuhkan dukungan. Kau putriku. Hinata, putri cantikku."
Jemari Hinata bergerak pelan membalas pelukan Kushina. Tepukan pelan pada pundaknya mendorong Hinata untuk melepas seluruh topengnya. Gadis keras hati itu, kini tak jauh berbeda dari seorang anak kecil yang merindukan ibunya. Membuat Naruto tersenyum menahan air mata dibalik pintu.
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Selesai menghabiskan makan siang yang disiapkan Kushina, Naruto mengantar Hinata pulang sebelum hari semakin larut. Naruto memilih untuk berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi tadi, enggan membuat Hinata merasa malu atau tak nyaman.
Sebelum sampai ke rumah utama Hyuuga, mereka menyempatkan diri datang ke danau dalam hutan- tempat kesukaan Hikari. Perbincangannya dengan Kushina tadi membuat Hinata merindukan tempat itu. Dengan berada di sana, seolah-olah Hinata bisa melewati waktu bersama Hikari.
"Haaaah... Udara segar memang yang terbaik saat perut kenyang." Naruto memecah keheningan, mencoba mengajak bicara Hinata yang dari tadi duduk di tepi danau memandangi langit senja. "Sudah lama sekali rasanya aku tidak kemari. Aku suka tempat ini, rasanya selalu rindu."
"Bukankah kau selalu kesini tiap selesai latihan judo? Dasar aneh."
"Hei, aku latihan judo hanya tiap akhir pekan." Safir Naruto melirik Hinata diam-diam. Sebenarnya bukan hanya tempat ini yang dia rindukan, dia rindu kemari bersama Hinata.
"Indah...seperti biasa." Tidak terlalu mendengarkan Naruto, Hinata sibuk melihatat berbagai bunga yang tertanam rapi di sekitar danau. Bunga-bunga itu adala harta berharga baginya- peninggalan Hikari.
"Hm.. Bagaimana dengan bunga yang ini?" Naruto merogoh saku blazer hitamnnya, mengambil sesuatu dari sana. Perlahan ia membuka telapak tangannya yang mengatup, memperlihatkan sebuah jepitan rambut berhiaskan permata biru keunguan berbentuk bunga. "Saat melihatnya, aku teringat padamu jadi kubeli." Lebih tepatnya Naruto selalu mengingat Hinata apapun yang dia lihat. Meski Naruto tak bisa mengatakan itu.
Hina tersenyum tipis melihat jepitan kecil yang cantik itu. Dia tahu hari ini diam-diam Naruto terus berusaha membuatnya senang. "Apa itu bentuk perhatianmu sebagai teman?"
Naruto terdiam, merenungi pertanyaan Hinata. Dia sangat senang saat Hinata mau memanggilnya sebagai teman. Tapi sekarang, bukannya senang malah terasa sesak. "Hinata.... Kurasa, aku tidak bisa terus menjadi temanmu."
"Eh?"
"Dengar baik-baik.. jantungku rasanya seperti akan hancur, jadi mungkin aku tidak bisa mengatakannya dengan benar." Naruto berusaha mengatur napas, tatapan penuh tanya Hinata makin membuat debar jantungnya menggila. Dia takut Hinata akan merasa terbebani karena perasaannya, dia takut hubungan mereka akan merenggang. Tapi jika terus menutupinya, Naruto mungkin tidak akan punya nyali untuk terus berada di dekat Hinata. "Aku...menyukaimu, Hinata. Bukan sebagai teman, tapi sebagai seorang gadis."
Perasaan menggelitik yang asing memenuhi rongga dada Hinata, seakan-akan ada sesuatu yang menari dalam perutnya. Amethyst-nya menatap lekat safir Naruto, mencoba mencari kebenaran disana. Hinata ragu pada kata-kata Naruto, dia masih takut berharap pada hal yang belum pasti. Bagaimanapun Naruto baru saja mengakhiri hubungan dengan Sakura, apa istimewanya Hinata sampai Naruto bisa mengalihkan perasaan semudah itu?
"Apa kau tertarik padaku karena aku seorang Hyuuga?" Itulah satu-satunya alasan masuk akal yang bisa Hinata pikirkan.
"Aku tidak peduli soal itu.." Naruto sudah menduga bahwa Hinata akan berpikir bahwa dirinya tengah mencari pengganti Sakura demi keuntungan dua keluarga. Sekalipun dia bersumpah dan menjelaskan kebenarannya, Hinata tak akan mudah percaya. Yang bisa Naruto lakukan hanyalah menarik Hinata dalam pelukannya, menempelkan telinga gadis itu ke dada bidangnya. Semua tahu, debaran jantung tak bisa berbohong. "Kau dengar? Hanya seorang Hinata yang mampu membuat dadaku bergemuruh begitu hebat, karena itulah aku jatuh padamu. Tidak peduli dari keluarga mana kau berasal, siapapun namamu, dan seperti apa keadaannya, aku pasti akan menemukanmu lalu jatuh cinta."
Rasanya Naruto hampir pingsan, kualahan menangani debar jantungnya sendiri. Dia bahkan tak pernah berdebar saat bersama Sakura, meski Naruto sempat berpikir bahwa Sakura adalah cinta pertamanya. Merasa cukup, Naruto segera menjauhkan Hinata dari tubuhnya. Keadaan gadis itu sekarang sama buruknya dengan Naruto.
Semua ini masih terasa asing bagi Hinata. Jantungnya serasa akan hancur, namun menyenangkan rasanya saat Naruto menatapnya begitu dekat. Hinata tidak pernah menyukai dirinya sendiri, karena kebencian Kizashi dan Mebuki, ia pun mulai terbiasa membenci dirinya. Manik amethyst, surai indigo, seandaikan saja dia tak memiliki semua itu, mungkin hidupnya akan lebih baik. Tapi hari ini, Hinata sungguh menyukai sosoknya yang terpantul dalam safir Naruto.
"Untuk seorang gadis tangguh yang bahkan tidak menangis saat kakinya berdarah, mungkin aku masih terlalu lemah dan tak bisa diandalkan. Meski begitu, aku tetap ingin menjadi kekuatanmu. Maukah kau menerimaku?" Naruto menyibakkan helai rambut Hinata. Perlahan memasangkan jepitan pada surai indigo Hinata. "Kuhitung sampai tiga. Kalau kau tidak melepasnya, kuanggap itu sebagai jawaban ya."
Naruto tidak akan menunggu lama, bagi gadis setegas Hinata, menolak seseorang yang tidak disukainya bukanlah perkara sulit.
"Satu..." Naruto mulai menghitung diantara suara debaran yang makin terdengar jelas. "Dua..." Hinata tidak bisa berpikir saat Naruto makin memperpendek jarak diantara mereka.
Tidak ada yang bersuara, Naruto dan Hinata bisa merasakan deru napas masing-masing di wajah mereka yang hanya berjarak lima centi.
"Tiga."
Hinata tidak sadar apa yang Naruto katakan barusan, sampai dia merasakan tubuhnya tersentak kebelakang kala bibir hangat naruto menyentuh bibirnya. Tangan pemuda itu memegang pelan tengkuk Hinata, menjaganya agar tidak terjatuh. Lumatan-lumatan hangat yang terasa manis membuat kelopak mata Hinata terpejam perlahan.
Mulai kehabisan napas, Naruto seketika menyadari apa yang telah dia perbuat. Sontak pemuda itu menyudahi ciumannya pada Hinata yang masih menutup mata. Tak berselang lama kelopak mata itu terbuka, memperlihatkan amethyst yang berkilau lembut. Mereka saling berbagi pandang, memasang ekspresi yang tidak bisa diartikan. Naruto refleks menutup matanya, bersiap menerima pukulan dari Hinata saat gadis itu mengangkat sebelah tangan.
Namun bukannya pululan, Naruto justru merasakan jemari kecil menempel pada bibir bawahnya. "Mengapa bibir yang selembut ini bisa membuat sekujur tubuhku sakit?"
Naruto langsung membuka matanya begitu mendengar suara Hinata. Mendapati amethyst Hinata yang berkaca-kaca karena ulahnya. "Hinata maaf, aku pasti mengejutkanmu ya? Apa bibirmu sakit? Pukul saja aku tapi jangan menangis."
"Aku tidak mengerti... Rasanya seperti ada yang hilang, sakit, tapi kenapa aku malah senang?"
"Begitu ya... Sepertinya itu salahku." Naruto mengusap pelan mata hinata. Kata-kata polos Hinata barusan membuat senyumnya mengembang. "Maaf karena aku sangat menyukaimu."
Hinata selalu merasa hidupnya tidak berguna. Entah sudah berapa kali dia berusaha untuk mengakhiri hidup selama ini. Saat Kizashi mulai memukulinya sampai berdarah, saat kesuciannya nyaris dijual pada pria hidung belang, juga saat dia masuk kedalam Hyuuga. Hidupnya tak lebih dari kepalsuan, tanpa tujuan, bahkan Hinata tidak tahu harus menyebut dirinya sebagai anak haram dalam Haruno, atau putri yang tidak dibutuhkan oleh Hyuuga? Tapi Naruto, dengan tatapan tulus pemuda itu terus mendekatinya. Berkata bahwa dia menyukai Hinata tidak peduli siapapun dirinya, bahkan mengenalkan berbagai perasaan baru pada Hinata.
"Naruto-kun...sejujurnya sulit bagiku mempercayai kata-kata seseorang. Semua ini terasa asing bagiku. Aku tidak tahu apakah menerimamu adalah pilihan yang benar? Tapi..." Hinata genggam tangan Naruto, menenggelamkan wajahnya yang memanas dalam dada Naruto. "Semua perkataanmu, aku ingin mempercayainya."
Jawaban Hinata membuat Naruto kehabisan kata-kata. Dia terlalu senang sampai bingung harus bagaimana. Dipeluknnya Hinata begitu erat. "Terimakasih sudah mau mempercayaiku, Hinata."
Hinata menyukai suara debaran jantung naruto, yang membuatnya merasa tenang untuk meruntuhkan segala pertahanannya. Meski masih dihantui rasa takut, ia akan mencoba mengizinkan seseorang menempati hatinya.
Mulai sekarang, bolehkah dia bahagia?
❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Halo! Di author note kali ini aku mau bahas soal label 17+ di Angelic Devil. Mungkin diantara kalian ada yang nunggu adegan mesra dewasa? (*/ω\*). Sebenernya aku kasih label 17+ itu bukan karena bakal banyak adegan gitu, jujur aku kurang bisa nulis yang begitu. 17+ disini lebih ditujukan pada konfliknya, bukan romansanya.
Maaf kalau kalian kecewa ⊙▽⊙. Dan terimakasih buat yang tetep mau support karyaku yang masih jauh dari kata sempurna ini. Kritik membangun akan kuterima dengan senang hati untuk perbaikan.
Pssst... Mulai eps 10 keatas, udah mulai masuk hurt.
OTANOME NARUTO 🎉🎉🎉🎉
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top