08 : Mencoba
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Ling (zero) - Alan Kuo (instrumen piano ver)
Sedikit info, karena ngebaca terjemahan lirik lagu inilah aku menulis Angelic Devil dulu. Ini ost drama taiwan lawas yang judulnya Mars.
.
.
Angelic Devil
08 : Mencoba
Hinata centric / NHL
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Tubuh kecil itu bersembunyi dibalik dinginya dinding putih, menatap penuh iri kearah ayah dan anak yang kini tengah berbincang hangat di ruang keluarga kediaman Hyuuga. Tiap canda tawa mereka sungguh berbanding terbalik dengan suasana hati Hinata sekarang. Dalam amethyst itu tersirat kepedihan yang tidak diketahui siapapun, bahkan oleh si pemilik manik sendiri.
Hinata mungkin tak acuh pada keberadaan Sakura yang telah menggantikan posisinya sebagai pewaris Hyuuga selama ini, tapi diam-diam hatinya masih mendambakan kasih sayang dari Hiashi- sang ayah kandung. Ya, gadis itu hanya menginginka cinta. Bukan posisi, harta, maupun nama besar seperti Hyuuga.
Hinata selalu berangan-angan, suatu saat ia bisa tersenyum bersama orangtua yang menghujaninya dengan cinta, seperti yang selalu Sakura dapatkan dari Hiashi dan mendiang Hikari. Andaikan saja Kizashi bisa menerimanya, andaikan saja Mebuki tidak pernah meninggalkannya demi keegoisan, mungkinkah dia bisa tersenyum secerah Sakura sekarang? Bila sejak awal dia dan Sakura tak pernah tertukar, bisakah Hinata merasakan sedikit saja kasih sayang dari Hiashi?
Namun sayang, angan tetaplah angan, takdir seolah tak sudi berbaik hati pada Hinata. Tuhan mungkin lupa menuliskan kata 'dicintai' dalam nasibnya.
"Bodoh... Kenapa aku tetap bertahan disini?"
Kelopak mata itu terpejam singkat, teringat kehangatan Hiashi yang merawatnya ketika sakit. Hinata tidak yakin apakah orang itu benar Hiashi atau bukan, mungkin saja dia hanya berdelusi karena terlalu menginginkan kasih sayang. Karena nyatanya kini, saat Hinata kembali membuka mata, yang ia lihat adalah Hiashi yang tertawa lepas bersama Sakura- hal yang tak pernah dia lakukan bersama sang ayah. Dalam diam Hinata hanya menunduk, apa lagi yang bisa ia harapkan? Mereka telah menjadi keluarga selama bertahun-tahun, membentuk dunia yang sampai kapanpun tidak akan bisa Hinata masuki. Posisi Sakura di hati Hiashi tak akan pernah bisa digantikan oleh Hinata atau siapapun. Seperti kata orang-orang, dia hanyalah gadis jahat yang kehadirannya telah merusak kedamaian keluarga Hyuuga.
Lebih baik dia pergi.
Jemari itu semakin mantap menggenggam gagang koper usang yang telah ia persiapkan dari jauh-jauh hari. Bersama koper hitam itulah dia melangkah masuk ke rumah Hiashi, dan cukup bersama koper itu pula dia akan pergi. Kakinya sudah pulih, dia bisa pergi sendiri tanpa harus menunggu Naruto menjemputnya besok. Dia tidak sudi menjadi seorang tuan putri yang hanya bisa menunggu pertolongan pangeran, Hinata akan menjadi seorang kesatria yang mampu menentukan nasibnya sendiri.
Tanpa membuat suara, kaki-kaki itu melangkah memutar arah. Hinata memilih untuk pergi lewat pintu belakang, tidak ingin Hiashi yang tengah berada di ruang keluarga menyadari kepergiannya. Meski selama beberapa hari ini mereka terus menjaga jarak, tapi Hinata yakin Hiashi tidak akan membiarkannya pergi dengan mudah- semua salah darah Hyuuga yang mengalir dalam tubuhnya.
.
.
.
.
.
.
Sungguh sial bagi Hinata, mendapati pintu belakang ternyata dikunci. Mau tidak mau dia harus berusaha mengambil kunci yang tergantung di tembok sambil berjinjit. Gadis itu sesekali melompat demi meraih kunci yang posisinya terlalu tinggi bagi tubuh pendeknya. Mengabaikan kedutan nyeri di kaki.
"Dapat! Haaah..siapa orang bodoh yang menggantung kunci setinggi itu?!" Begitu mendapatkan kunci, Hinata bergegas membuka pintu. Dia sudah membuang terlalu banyak waktu hanya untuk meraih kunci tadi.
"Hinata?" Si pemilik nama membatu, kunci ditangannya seketika terjatuh saat menyadari keberadaan Hiashi yang entah sejak kapan berada di belakangnya. "Sedang apa kau disini dengan koper besar itu?"
Tadinya Hiashi ingin ke dapur untuk mengambil segelas air, namun rasa hausnya langsung menghilang saat melihat Hinata berusaha keluar membawa sebuah koper. Dari situasi yang ia lihat sekarang, Hiashi sudah dapat menerka apa tujuan Hinata. Dia hanya tidak ingin mempercayai dugaannya sendiri, dan masih setia menunggu jawaban dari sang putri. Meskipun kini, rasa was-was sudah memenuhi benaknya.
Hinata berusaha mengatur napas, dia tidak melakukan kesalahan apapun, tidak ada yang perlu dia takutkan sekarang. Tapi melihat manik Hiashi yang menatapnya, keraguan dan berbagai macam perasaan lain kembali menggoyahkannya. Perlu sedikit waktu sampai Hinata mampu menggerakan bibir. "Tolong... Biarkan aku pergi dari sini, tuan Hiashi."
"Apa? Tidak bisa, aku ti-"
"Kenapa?!" Nada bicara Hinata seketika meninggi, memotong ucapan Hiashi. Perasaan muak mulai menggerogoti hatinya sampai terasa sakit. Hinata sudah lelah dengan semua drama keluarga Hyuuga yang selalu menyeretnya dalam masalah, dan sekarang Hiashi malah menahannya seperti seorang tawanan. "Apa karena aku memiliki darah Hyuuga dalam diriku? Padahal kalian sudah memiliki Sakura sebagai penerus, sebagai putri, lalu apa pentingnya hubungan darah? Lagi pula masih ada Neji yang bisa meneruskan garis keturunan kalian, kan? Apa gunanya anda masih menahanku disini?"
"Karena kau adalah putriku!! Darah dagingku dan Hikari... Bagaimana mungkin aku bisa melepasmu, nak?"
Mulut Hinata terkunci, maniknya nanar menatap tubuh tegap Hiashi yang tampak bergetar. Tetes demi tetes air mata meluncur bebas dari dua manik lembut yang serupa dengan miliknya itu, membuat semua amarah Hinata lenyap entah kemana.
"Kau pasti sangat marah padaku, aku memang ayah yang buruk... Tapi kumohon, jangan menghukumku dengan pergi dari sini. Kalau kau pergi, apa yang harus kukatakan pada Hikari saat menyusulnya nanti?" Akhirnya hari ini Hiashi bisa mendengar sendiri bagaimana perasaan putrinya. Kata-kata Hinata seolah menampar wajahnya, menyadarkan Hiashi betapa buruknya ia sebagai seorang ayah. Sampai-sampai putri kandungnya sendiri merasa tidak dibutuhkan dan enggan tinggal bersamanya. Selama beberapa hari terakhir, Hiashi terus mencari waktu untuk bisa bicara dengan Hinata walau selalu berakhir gagal. Tapi sekarang, saat mereka punya kesempatan, Hiashi sudah terlanjur hilang muka. Tak mampu berkata untuk meyakinkan Hinata agar tetap tinggal, karena itu ia hanya bisa berlutut memohon.
Hinata sontak melangkah mundur saat Hiashi tiba-tiba berlutut di dekat kakinya. Sekeras apapun hati gadis itu, dia tetap tidak tahan melihat orang yang lebih tua sampai berlutut.
"Kenapa?!" Wajah manis itu masih terlihat jengkel, namun tatapannya mulai melembut. Hinata langsung melepas koper ditangannya. Memaksa Hiashi kembali berdiri, sambil terus memikirkan apa gerangan yang membuat Hiashi repot-repot menahan kepergiannya. Bukankah putri Hiashi adalah Sakura? Lalu kenapa Hiashi terus memberi kasih sayang semu yang membuat hatinya terluka? "Kenapa anda seperti ini? Sebenarnya apa yang anda inginkan dariku?"
"Menjadi ayahmu, hanya itu keinginan terbesarku... Beri aku kesempatan untuk mengenal putriku lebih jauh." Hinata hanya bisa menurut saat lengan kokoh Hiashi perlahan menariknya dalam rengkuhan yang begitu hangat. Dia sudah tidak bisa berpikir, perasaannya kacau begitu sang ayah membelai lembut rambutnya. Hangat, menyesakkan, Hinata ingin lari, namun tubuhnya justru tak mau bergerak.
"Percuma saja, aku akan tetap pergi... Meski anda menghentikanku sekarang, aku akan pergi dilain waktu." Hinata berucap lirih, masih membiarkan Hiashi memeluknya.
"Aku tahu, aku tidak berhak meminta apapun darimu. Selama ini aku sudah menjadi ayah yang buruk dan membiarkanmu melewati hari-hari sulit sendirian. Kau tidak membenciku saja, aku sudah sangat bersyukur." Hati Hiashi seolah terisir-iris setiap kali melihat sosok Hinata yang berhati begitu keras. Dia tidak saggup membayangkan hidup sekejam apa yang telah dialami putrinya. Seandaikan saja waktu bisa diputar, seandaikan saja ia bisa mengobati luka hati Hinata, namun sayangnya Hiashi tak berdaya dihadapan takdir. Jangankan menyembuhkan luka Hinata, dia malah menambah luka baru saat berusaha menorobos dinding hati Hinata. "Maafkanlah keegoisanku, nak. Meski kau sangat ingin pergi, meski aku pernah berjanji akan mengabulkan semua permintaanmu, aku tidak bisa mengabulkan yang satu itu sekarang. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi untuk membuatmu merasa bahagia sebagai bagian dari Hyuuga. Tetaplah disini, setidaknya sampai aku bisa melepasmu tanpa rasa khawatir."
"Baiklah." Pada akhirnya Hinata kalah oleh kata-kata Hiashi. Mungkin suatu saat dia akan menyesali keputusannya untuk tetap bertahan, tapi Hinata tidak bisa mengabaikan permintaan Hiashi. Karena bagaimanapun, berkat Hiashi lah dia bisa terbebas dari Kizashi. "Aku akan mencoba bersabar dan menunggu lebih lama sampai hatimu puas."
"Terimakasih.." Hiashi melepas pelukannya, memegang erat kedua pundak Hinata, memaksa gadis itu menatap lurus kematanya. Merasakan tiap ikatan rasa yang tersembunyi dalam hati masing-masing. "Kau boleh memberiku hukuman apapun atas kesalahan yang ku lakukan, bila suatu saat kau meminta nyawaku sekalipun, aku berjanji tidak akan menolak. Tapi...bolehkah aku meminta satu hal lagi padamu? Satu kali saja...bisakah kau memanggilku ayah?"
Deg.
Hinata memegang dadanya yang berdebar begitu kuat. Kata 'ayah' selalu membawanya pada kenangan menakutkan bernama Kizashi. Sanggupkah dia mengucapkannya? Sedangkan mendengar kata itu saja sudah membuat hatinya tak karuan.
"Ah... Tidak perlu memaksakan dirimu." Memahami raut wajah Hinata, Hiashi mengurungkan permintaannya. Meski ia sudah sangat merindukan kata 'ayah' keluar dari mulut Hinata, Hiashi sadar masih perlu banyak waktu untuk menghapus gambaran buruk seorang ayah dari hati Hinata. "Pasti masih canggung 'kan? Kau bisa mencobanya lain kali... Pelan-pelan saja. Kau tetap berada disini saja, ayahmu ini sudah sangat senang."
Ini pertamakalinya ia melihat Hiashi tersenyum kikuk. Hinata tahu bahwa Hiashi tengah berusaha menjaga perasaannya, dan perlakuan sederhana itu telah membangunkan satu perasaan yang telah lama Hinata lupakan. Rindu, tidak bisa dipungkiri dia merindukan sosok ayah. Ayah yang selalu menghawatirkannya, ayah yang selalu menyayanginya, sosok ayah yang bisa membuatnya merasa aman, bukan takut. Mungkinkah Hiashi adalah jawaban dari segala rasa rindunya?
"Saat kau merasa tidak ada seorangpun yang menyayangimu, percalah bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Mungkin saja kau hanya belum menyadari ketulusan mereka karena terlalu sibuk merasakan sakit dihati."
Tiba-tiba saja Hinata teringat kata-kata Naruto saat pria itu mengantarnya pulang dari rumah sakit beberapa hari lalu. Saat itu Hinata tidak terlalu mendengarnya, dia bahkan tidak menganggap serius omongan Naruto. Tapi hari ini, Hinata ingin mempercayai kata-kata ajaib penyihir itu sekali lagi.
"A.." Hinata berbisik lirih, mencoba mengalahkan segala keraguan. "Ay-"
"Ayah!"
Semua orang menoleh, kata 'ayah' itu tidak keluar dari mulut Hinata, melainkan Sakura. Merasa heran Hiashi tak kunjung kembali, Sakura memutuskan untuk menyusul. "Eh? Ada apa ini? Kenapa Hinata membawa koper? Apa dia akan pergi?"
"Hinata tidak akan pergi kemanapun, tenanglah." Hiashi menjawab cepat pertanyaan Sakura, agar gadis itu tidak menanyakan lebih banyak hal dan menjadi khawatir soal Hinata.
Kekecewaan terlukis singkat pada emerald Sakura. Jelas dia mengharapkan kepergiaan Hinata, tapi sekarang yang lebih penting baginya adalah mengambil hati Hiashi. Dia harus merebut kembali ayahnya dari si licik itu. "Ini semua salahku ayah... Pasti Hinata tidak nyaman karena keberadaanku. Selama beberapa hari ini dia juga tidak mau tidur di kamarku. Kumohon kembalilah, maafkan aku oke?"
"Tidak usah dibahas lagi. Aku hanya merasa nyaman tidur sendiri di kamar tamu, tidak ada hubungannya denganmu."
"Tapi-"
"Sudahlah Sakura." Paham suasana hati Hinata tidak begitu baik, Hiashi langsung memotong ucapan Sakura. "Yang terpenting Hinata merasa nyaman."
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Suasana di meja makan keluarga Namikaze pagi ini mendadak tegang, setelah Naruto memberanikan diri mengatakan keinginannya mengakhiri hubungan dengan Sakura. Naruto sama sekali tidak berniat merusak acara sarapannya bersama sang ibu, tapi jika terus ditunda, masalah akan semakin rumit.
"Kau bicara apa, anak bodoh?! Apa kau tidak sadar keputusan sembronomu itu bisa mengecewakan banyak orang?" Kushina memijat pelipisnya pelan, keputusan Naruto sukses membuatnya pusing. Beruntung Minato sedang berada di luar kota, kalau tidak pasti sudah terjadi keributan. Perjodohan itu bukan hanya soal Naruto dan Sakura, namun menyangkut hubungan baik dua keluarga. "Kenapa tiba-tiba kau membatalkan perjodohan dengan Sakura? Ibu harap bukan karena alasan yang sepele!"
"Soal hubungan baik dengan Hyuuga, ibu tidak perlu khawatir. Aku sudah meyakinkan paman Hiashi, dan akan meyakinkan ayah setelah dia pulang. Lagi pula kalian sudah berjanji bahwa semua tergantung padaku dan Sakura." Naruto menjelaskan tanpa menatap mata Kushina, ia menyibukan diri dengan menuangkan susu pada mangkuk sereal. Sebisa mungkin Naruto ingin menghindari pertanyaan Kushina tentang alasannya memutuskan hubungan.
"Ada masalah apa? Kau belum menjawab pertanyaan ibu." Merasakan sentuhan Kushina pada pundaknya membuat ketegangan Naruto menjadi-jadi sampai ia menumpahkan sedikit susu ke atas meja. Gerak-gerik Naruto tentu membuat Kushina semakin curiga. Dia tahu putra sulungnya bukanlah orang yang mudah menyerah pada suatu hubungan. Pasti ada hal serius yang mendasarinya, dan Naruto berusaha menyembunyikan itu. "Masalah apa yang berusaha kau tangani sendiri kali ini?"
"Tidak ada ibu, sungguh. Semua baik-baik saja." Naruto menggenggam tangan Kushina, berusaha meyakinkan ibunya agar tidak khawatir. Dia tidak mungkin menceritakan soal Sasuke, dan menjelekan citra Sakura. "Aku hanya merasa, bahwa aku tidak cukup baik untuk membahagiakan Saki. Maka aku harus melepasnya, supaya dia bisa meraih kebahagiaan bersama pria pilihannya. Aku tidak ingin perjodohan kami menjadi penghalang kebahagiaannya."
Tatapan Kushina melembut. Para orangtua mungkin bisa merencanakan masa depan anak-anaknya, tapi semua keputusan tetap kembali pada anak itu sendiri. Dia yakin, bahwa putranya tidak akan membuat keputusan yang bisa melukai orang lain, terutama Sakura. Naruto yang selalu mengutamakan kebahagiaan Sakura diatas segalanya, tidak mungkin tega meninggalkan gadis itu, kecuali jika Sakura sudah tidak membutuhkan Naruto disisinya.
"Apa kau benar-benar yakin? Kau mencintai Sakura 'kan?" Kushina memang tidak bisa menebak apa isi hati seseorang dengan pasti, meski itu putranya sendiri. Tapi melihat perhatian Naruto pada Sakura selama ini, wajar bila dia menyimpulkan bahwa Sakura memiliki tempat di hati sang putra. "Apa hatimu tidak sakit?"
"Aku sudah sangat yakin Ibu, aku baik-baik saja. Malahan sekarang, aku ragu apa aku benar-benar mencintai Saki atau hanya sekedar peduli?" Naruto memang sempat kecewa, tapi anehnya, dia tidak merasa sakit. Dia bahkan masih bisa tersenyum seperti biasa walau tanpa Sakura. Mungkin karena sejak awal dia menyadari kepada siapa mata Sakura tertuju. Atau, mungkin saja selama ini dia telah salah mengartikan perasaannya sebagai cinta. Entahlah, Naruto masih terus mencari jawaban. "Selama ini aku selalu bersama Saki, aku tidak sempat memikirkan gadis lain. Yang ku tahu, aku harus selalu mendukung Saki setelah bibik meninggal. Apa itu cinta? Memang bagaimana rasanya jatuh cinta? Bagaimana cara ibu bisa yakin bahwa ibu mencintai ayah dulu?"
Kushina terdiam sejenak mendengar ungkapan hati Naruto. Terlukis jelas diwajahnya, bahwa pemuda itu tengah bimbang dengan perasaannya sendiri. Masalah hati memang terlalu abstrak hingga sulit diatasi, bahkan oleh orang yang sudah berpengalaman seperti Kushina.
"Entahlah... Ibu juga tidak tahu pasti, saat melihat ayahmu rasanya ada rasa tertarik yang sulit dijelaskan. Sampai-sampai mata ini selalu mencari keberadaannya tanpa sadar. Saat dia bersedih, ibulah yang menangis. Begitupun saat dia tersenyum, ibu sangat bahagia sampai melupakan semua masalah. Ibu rela melakukan hal nekad demi ayahmu. Jika seorang gadis membuatmu merasa seperti itu, artinya kau jatuh hati padanya." Pipi Kushina langsung merona samar setelah mengatakan semua itu. Rasa marah dan khawatirnya tiba-tiba berubah menjadi rasa malu sampai ia salah tingkah. "Kenapa jadi membahas ini? Ce-cepat lanjutkan sarapanmu! Soal perjodohan, akan ibu bicaraka dengan ayahmu nanti."
"Iya-iya, aku mengerti.." Naruto menyantap kembali serealnya. Safir biru itu berkedip takjub kala mendapati sekeping sereal berwarna ungu dalam mangkuk. Padahal tidak ada yang istimewa dari sereal itu, Naruto juga tidak pernah mempermasalahkan warna sereal yang ia santap selama ini. Tapi entah kenapa, seulas senyum mengembang begitu ia teringat si gadis Hyuuga penyuka warna ungu. "Kenapa aku jadi memikirkannya?"
"Kau bilang apa? Memikirkan apa?"
"Bukan apa-apa bu, ayo makan." Nyonya dan tuan muda Namikaze itu melanjutkan kegiatan sarapan mereka yang sempat tertunda. "Besok pagi ibu sarapan duluan saja, tidak perlu menungguku. Aku akan ke kediaman Hyuuga untuk berlatih judo bersama paman, Neji, dan Gaara."
"Baik, pergilah." Kushina tersenyum singkat. Meski dia harus rela sarapan sendiri karena sang suami sedang di luar kota, sedangkan si bungsu memilih tinggal di asrama. Setidaknya dia senang mengetahui bahwa hubungan Naruto dengan keluarga Hyuuga masih baik-baik saja. "Oh iya, ngomong-ngomong ibu belum sempat berbicara banyak dengan putri kandung Hikari, kapan-kapan ajaklah dia kemari!"
"Apa?" Sendok ditangan Naruto seketika jatuh. Tiba-tiba dia merasa gugup. "Eh..ah.. Akan kucoba."
"Kau ini kenapa? Apa kau tidak akrab dengannya? Itu... Siapa namanya?"
"Hinata! Namanya Hinata...." Meski samar, Kushina menyadari rona merah dipipi tan putranya saat nama itu terucap.
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Tak banyak yang berubah dalam keluarga Hyuuga setelah Hiashi berhasil menghentikan niat Hinata untuk pergi. Semua orang kembali melakukan rutinitasnya, seolah tidak pernah terjadi apapun kemarin. Bahkan hari ini, Hinata sudah berniat mengikuti latihan judo seandainya Hiashi tidak melarang dengan alasan kondisi kakinya yang belum pulih betul. Baik Hinata maupun Hiashi enggan membahas hal yang sudah berlalu, dan memperkeruh suasana. Bersikap sewajarnya terkadang menjadi solusi terbaik saat hati masih bimbang harus bagaimana.
Pagi ini Hinata duduk manis di teras ruang judo. Bukan untuk ikut latihan, sesuai perjanjian dia hanya akan melihat sampai kakinya benar-benar sehat. Bosan menunggu orang-orang yang tak kunjung datang, Hinata menyibukan diri dengan memperhatikan deretan bunga yang tertanam rapi di dekatnnya. Jemari lentik itu mulai menyentuh pelan kelopak bunga yang basah oleh embun. Bersamaan dengan jatuhnya air dari kelopak bunga, ia kembali merenungi keputusannya untuk bertahan di Hyuuga sampai detik ini. Meskipun Hiashi sendiri sudah menjanjikan banyak hal manis pada Hinata, tidak ada jaminan bahwa dia akan menepati janjinya.
"Pergi..." Setetes embun jatuh kerena sentuhan Hinata. "Tidak pergi.." Tetes berikutnya kembali jatuh, dan gadis itu terus menghitung sampai tidak ada lagi butir embun yang tersisa. "Pergi.." Sorot mata Hinata meredup, sampai ia menemukan setetes air yang terperangkap pada gugusan kelopak bunga matahari. "Tidak pergi.."
Amethys itu enggan beranjak, terus menatap si bunga matahari tanpa sadar. Ia tenggelam pada warna kuning cerah yang mengingatkannya pada seseorang. Sadar pikirannya sudah kemana-mana, Hinata mencoba mengalihkan perhatian dengan mendongak keatas. Namun birunya langit yang diterangi cahaya mentari malah semakin membuat dadanya berdenyut nyeri. Hal-hal sekecil itu saja sudah membuatnya memikirkan seorang Namikaze Naruto.
"Pagi, Hinata!" Amethys Hinata membulat singkat kala wajah Naruto muncul didepannya menghalangi langit. Sia-sia sudah usaha Hinata menghapus pemuda itu dari pikirannya. "Apa yang kau pikirkan sampai melamun begitu?"
"Bukan urusanmu, pergi sana!"
Yang diusir justru terkekeh pelan. Lama memperhatikan Hinata membuat Naruto mulai terbiasa dengan segala kata pedas gadis itu. Malahan dia akan lebih resah bila Hinata tidak bicara padanya. "Kenapa mengusirku? Kau tega sekali, padahal aku cuma datang untuk latihan judo."
"Siapa yang mengusir? Maksudku tunggu saja di dalam sampai yang lain datang, jangan menggangguku."
"Yang lain belum datang? Baguslah... Aku memang datang lebih awal agar bisa bicara berdua denganmu." Bukannya pergi, Naruto malah mengambil posisi duduk di sebelah Hinata. Tanpa aba-aba, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Hinata dan berbisik agar tak seorangpun mendengar percakapan mereka. "Aku datang menjemputmu sesuai janji. Apa kau yakin ingin kabur? Sudah kau pikirkan baik-baik?"
Terkejut oleh tidakan Naruto yang mendekat kearahnya membuat Hinata refleks mendorong pemuda itu hingga keduanya nyaris jatuh. Untunglah Naruto bergerak tanggap memegang tubuh Hinata, dan menggunakan sebelah tangannya sebagai tumpuan. "Hati-hati! Kalau terluka bagaimana?"
"Kau yang membuatku terkejut!" Hinata segera melepas sebelah tangan Naruto yang masih menempel di pinggangnya, dan kembali menata posisi duduk. "Lupakan saja. Aku akan mencoba bertahan. Karena sudah terlanjur masuk dalam Hyuuga, setidaknya aku harus mendapatkan sesuatu sebelum pergi."
"Benarkah? Syukurlah!" Safir itu tampak berbinar senang. Sejak sampai di kediaman Hyuuga tadi, sebenarnya Naruto terus berusaha menutupi rasa cemasnya. Ia takut kalau-kalau Hinata tetap memilih pergi, apalagi Naruto sudah terlanjur berjanji akan mendukung Hinata apapun keputusannya. Sungguh sebuah keajaiban mendengar jawaban Hinata yang berbeda dari dugaannya. "Aku senang sekali Hinata! Kalau begitu, ini awal yang baru untukmu. Aku berdo'a supaya mulai saat ini, kau hanya akan merasakan kebahagiaan sampai kau melupakan semua rasa sakit yang selalu menahanmu.."
"Kau senang karena tidak perlu repot-repot membawaku kabur ya?"
"Hei! Tentu saja tidak. Sudah kubilang 'kan? Apapun keputusanmu, aku akan menerimanya. Dan aku akan berpihak padamu." Sebuah senyum simpul terbentuk pada bibir Naruto, manik lembutnya mulai menatap amethys yang akhir-akhir ini selalu menyita perhatian, juga memenuhi pikirannya. "Tapi kalau boleh jujur, aku senang kau mau mempertimbangkan saranku dan tetap bertahan. Itu artinya, kau juga mulai menerima keberadaanku."
Senyum dibibir Naruto berhasil memonopoli perhatian Hinata. Naruto memang sering tersenyum padanya, tapi kali ini berbeda. Ia memegang dadanya resah, merasakan pertahanan dihatinya yang perlahan luluh. Hinata selalu bertekat untuk tidak mempercayai siapapun kecuali dirinya sendiri, enggan merasa sakit karena dikecewakan orang lain. Tapi sekarang, mengapa ia begitu ingin mempercayai Naruto yang belum lama dikenalnya? Bahkan kemarin ia mendengarkan permintaan Hiashi karena teringat kata-kata Naruto.
Keberadaan Naruto membuatnya ingin percaya, bahwa masih ada orang yang peduli padanya. Dalam waktu singkat, ketulusan pemuda itu telah mengubah pandangan Hinata soal hubungan.
"Hinata, kenapa hanya diam dan melihatku terus? Apa karena wajahku begitu tampan?" Naruto berniat menggoda Hinata, tapi malah jantungnya yang berdetak tak karuan karena melihat semburat merah dipipi Hinata.
"Kau sangat jelek." Hinata langsung mengalihkan pandangan. Kini amethysnya jatuh menatap tangan tan Naruto. Sontak ia terkejut mendapati goresan yang cukup dalam di punggung tangan Naruto. "Ada apa dengan tanganmu?"
Naruto mengikuti arah pandangan Hinata, agak malu karena dia sendiri tidak menyadari bahwa tangannya terluka. Namun rasa malunya langsung hilang ketika melihat raut khawatir di wajah cantik Hinata. "Sepertinya tergores ranting saat aku buru-buru kemari."
"Dasar ceroboh, kenapa kau mudah sekali terluka?" Hinata buru-buru merogoh kantungnya, beruntung dia membawa beberapa plaster untuk berjaga-jaga bila ada yang terluka saat latihan. Dengan hati-hati dia meraih tangan Naruto, meniupnya beberapa kali, lantas memasangkan plaster seperti yang pernah pemuda itu lakukan untuknya saat mereka pertama bertemu. "Ini balasan untuk yang waktu itu."
Napas Naruto terhenti sesaat, dia masih kesulitan mencerna keadaan. Sentuhan halus Hinata membuat hatinya tak karuan, baru kali ini dia merasa kehabisan kata-kata sampai harus menundukkan wajah. "Kau masih ingat? Kukira hanya aku yang mengingatnya.."
Tak ada jawaban yang terdengar. Kini Hinata justru berdiri di depan Naruto, membuat pemuda itu mendongak- menatap penuh tanya.
"Terimakasih untuk yang waktu itu, dan untuk semua." Hinata berucap singkat. Kalau di ingat-ingat lagi, Naruto selalu ada menawarkan bantuan padanya meski ia terus menolak. Naruto adalah satu-satunya orang yang tidak menyerah meski Hinata terus bersikap dingin. Walau sampai sekarang Hinata masih belum yakin apa maksud dari semua kebaikan itu, dia ingin berterimakasih. "Apa kau masih mau menjadi temanku, Naruto-kun?"
"Apa kau bilang?" Seketika Naruto berdiri, merasa ada yang salah dengan telinganya. "Coba katakan sekali lagi, namaku!"
Tanpa sadar Hinata terkekeh pelan. Apa ada yang aneh bila dia memanggil nama Naruto? "Naruto-kun. Namikaze Naruto-kun."
Naruto nyaris menjerit kegirangan. Sial! Hinata yang tertawa terlihat sangat manis, apalagi dia tertawa saat menyebut namanya. Bisa-bisa Naruto mati berdiri saking senangnya. Detik itu juga, ia menyadari sesuatu. Alasannya tak merasa sakit meski dikhianati oleh Sakura, adalah Hinata. Karena senyum gadis itu selalu membuat Naruto merasakan kebahagiaan yang sulit dijelaskan, hingga semua rasa sakitnya lenyap tak berbekas.
Yang selama ini dia rasakan, bukan sekedar simpatik. Sadar atau tidak, Hinata telah membuatnya tertarik. Bahkan sekarang, perasaaannya sudah lebih jauh dari sekedar tertarik. Mungkin kali ini, seorang Namikaze Naruto benar-benar telah menjatuhkan hati.
Hinata mulai merasa canggung karena Naruto hanya diam mematung. "Lupakan saja! Yang tadi itu, aku hanya ingin berterimakasih atas kebaikanmu. Kau selalu tulus membantuku, rasanya kurang ajar sekali kalau aku tidak mengatakan terimakasih barang sekali."
"Aku tidak sebaik dan setulus yang kau pikirkan tahu..." Naruto memalingkan wajah, menutupi pipi yang terasa panas. Kenyataannya Naruto melakukan semua itu karena tanpa sadar dia menyukai Hinata. "Hinata... Kalau aku bilang aku menyukaimu, bagaimana?"
Sebuah pukulan mendarat di punggung Naruto. "Jangan bercanda!"
"Hei, sakit tahu?!" Rasa gugup Naruto langsung hilang. Dalam hati dia mengutuk mulut sialnya yang asal bicara. Wajar saja Hinata tidak akan percaya jika dia mengatakannya dengan terburu-buru seperti itu. Apalagi Naruto dan Sakuta baru putus hubungan. Lagi pula yang terpenting sekarang, dia bisa berada di sisi Hinata. "Dasar gadis jahat! Mau bagaimana lagi, karena tidak ada orang lain yang berani, aku akan menjadi temanmu. Teman paling istimewa."
Ragu-ragu Hinata menyambut uluran tangan Naruto hingga jemari mereka saling bertautan. "Teman."
"Karena sekarang aku temanmu, kau bisa membagi semua kisahmu denganku. Mengerti?"
Memiliki seorang teman adalah hal baru bagi Hinata. Seperti kebanyakan orang, ada rasa ingin menceritakan beberapa hal yang selama ini dia simpan sendiri. "Em ngomong-ngomong soal itu.... Apa kau tahu website BLUE? Rancangan bajuku menangkan event disana, kurasa sebentar lagi aku bisa jadi orang kaya."
"Benarkah? Itu berita bagus! Kau sangat hebat, Hinata!" Hinata agak terkejut melihat reaksi Naruto yang terlihat sangat senang. Selama ini Hinata hidup tanpa memiliki seorang pun yang akan memuji keberhasilannya. Reaksi dan pujian Naruto bahkan membuatnya lebih senang ketimbang kemenangannya. "Hari ini sungguh hari yang baik, kita harus merayakannya!"
"Apa yang ingin kau rayakan, Naruto?"
"Kak Neji!" Masih dengan mata yang berbinar, Naruto menghampiri Neji dan Hiashi yang baru saja datang. "Dengar, rancangan baju Hinata memenangkan event di website BLUE, bukankah itu hebat?"
Baik Neji maupun Hiashi tampak terkejut, dan langsung tersenyum sedetik kemudian. "Benarkah itu? Kenapa kau tidak menceritakan pada ayah?"
"Itu bukan hal istimewa..."
"Tentu saja itu istimewa!" Neji langsung menyela kalimat Hinata. Beberapa hari terakhir dia sudah memperhatikan jalannya kompetisi di website BLUE, demi meneliti selera pasar. Sejak awal perhatian Neji sudah jatuh pada gaun rancangan 'lavender' , siapa sangka bahwa sang adik sepupu adalah sosok dibalik rancangan indah itu. "Tahun ini peserta kompetisi di BLUE bukan hanya designer amatir, kau juga berhasil mengalahkan para pro."
"Neji dan aku sudah mengamati rancangan gaun ungu itu sejak lama. Kami berniat menghubungi designernya lalu menawarkan kontrak produksi. Apa kau bersedia?"
"Terserah saja asal aku dibayar."
Tiga pria itu langsung tertawa keras mendengar jawaban Hinata. Terutama Hiashi, wajahnya terlihat amat berseri. Putri yang telah lama ia cari-cari kini bisa berkumpul lagi dengannya, putri itu bahkan membuat Hiashi sangat bangga meski ia belum memberikan yang terbaik sebagai seorang ayah.
"Tentu saja.. Tidak hanya bayaran, ayah juga akan memberimu hadiah." Tangan Hiashi bergerak membelai puncak kepala sang putri dengan lembut. "Kau sangat hebat nak. Terimakasih sudah memilihku dan Hikari sebagai orangtuamu. Hari ini kau membuat kami sangat bangga."
Apa begini rasanya memiliki keluarga dan orang-orang yang menyayanginya?
Hinata tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata, dia masih terlalu bingung bagaimana caranya mengungkapkan perasaan. Yang jelas, secerca cahaya seolah menembus hatinya. Memberikan rasa hangat yang membuatnya takut kembali hidup sendirian.
Dia takut, setelah merasakan semua kebahagiaan ini, sanggupkah ia bila harus jatuh dalam kesedihan lagi?
.
.
.
.
.
.
.
"Aku penasaran sampai kapan kau bisa merasa senang, Hinata." Emerald yang agak sembab itu menatap penuh kebencian dari jauh. "Setelah semua yang kau lakukan padaku, jangan harap aku akan diam saja membiarkan kelicikanmu."
Jemari Sakura terkepal kuat. Harusnya dialah yang berada disana, mendapat pujian, serta cinta dari orang-orang yang dia sayangi. Sakura tidak akan pernah bisa memaafkan Hinata, setelah gadis itu tega merebut Naruto dan ayahnya. Apa belum cukup bagi Hinata mengambil posisinya sebagai satu-satunya putri dalam keluarga Hyuuga? Kenapa dia begitu serakah hingga ingin menyaingi Sakura di bidang yang sama? Bahkan Hinata mendapat dukungan dari Neji yang tak pernah akur dengannya.
"Semua sudah diambil dariku... Aku sudah tidak tahan lagi."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak kembali saja pada keluarga kandungmu?" Tubuh Sakura menegang saat mengetahui ada orang lain yang mendengar kata-katanya barusan. Dia sama sekali tidak menyadari kalau Gaara berdiri di belakangnya. "Hinata adalah purti dirumah ini, dia lebih berhak atas segala hal dibanding dirimu. Kalau tidak terima, lebih baik pergilah pada Haruno dan tuntut hakmu disana."
Kata-kata sarkas, dan tatapan menusuk jade Gaara membuat Sakura bungkam. Keringat dingin mengucur dari dahinya saat ia berusaha mengalihkan topik. "K-kak Gaara..kapan datang? Sudah lama tidak melihatmu ikut latihan judo."
Pernah mempelajari bidang psikologi membuat Gaara tak gampang dibohongi, mudah baginya membaca gelagat Sakura. Apalagi dia sudah memperhatikannya sejak baru datang. "Tidak perlu takut, aku mengatakan itu bukan untuk menekanmu. Aku hanya tidak ingin ada yang terluka nanti. Lebih baik belajar menerima keadaan mulai dari sekarang."
"Aku tidak mengeri maksudmu.. Maaf kak aku harus pergi, ada janji dengan temanku."
Gaara hanya diam melihat Sakura yang berlalu pergi. Jika tidak mengingat jasa Hyuuga pada Sabaku, sebenarnya Gaara enggan terlibat dengan hal-hal merepotkan. Pekerjaannya sebagai dokter sudah cukup menyita banyak waktu, memikirkan masalah di rumah Hyuuga bukanlah tanggung jawabnya. Namun perkataan Sakura sedikit mengganggu pikiran Gaara, karena menyangkut soal Hinata- pasien yang menjadi tanggung jawabnya. Mungkin kata-kata Sakura tadi hanya didasari emosi sesaat, mustahil gadis selembut itu akan melakukan hal-hal diluar batas. Meski demikian, firasatnya mengatakan hal buruk akan terjadi bila kedua keluarga tidak segera mengambil keputusan tegas soal putri-putri mereka.
Kadang hati yang kecewa bisa membuat manusia bertindak lebih mengerikan dari iblis. Entah siapa yang akan kecewa dan terluka karena keadaan ini nantinya.
❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Akhirnya bisa come back 😭. Makasih yang setia nunggu, kalian penyemangatku buat lanjut nulis di tengah padatnya rutinitas.
Ini masa-masa tenang sebelum badai, jadi beberapa part kedepan gaada sedihnya sama sekali mungkin.
Btw, pembaca Angelic Devil ada yang baca Venus juga? Kalau iya, kalian lebih suka karakter naruhina disini apa disana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top