07 : Pilihan

Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Hope is a dream that doesn't sleep - Kyuhyun
.
.
Angelic Devil
07 : Pilihan

Write for Hinata centric / NHL

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

"Tidak mau! Pergi kalian semua! Hiks..hiks.. Aku tidak mau makan, aku mau ibu!"

Seisi kediaman Hyuuga dibuat heboh oleh rengekan Sakura. Setelah kematian Hikari, anak ceria itu menjadi lebih sensitif dan sulit ditangani. Hal-hal sepele bisa membuatnya menangis seharian. Yang lebih mengkhawatirkan, seringkali dia menolak makan.

"Nona Sakura.. Kalau tidak makan kau bisa sakit, makan sedikit saja ya?" Kepala pelayan yang sudah mengabdi pada keluarga Hyuuga sejak masih belia itu berusaha membujuk dengan berbagai cara, namun usahanya justru di hadiahi lemparan boneka oleh Sakura.

Bukannya marah, wanita yang baru dilempari boneka itu justru merasa khawatir. Rui berusaha maklum. Pasti berat bagi anak seusia Sakura, kehilangan sosok ibu yang begitu dia cintai. Disaat seperti ini hanya sang tuan besar- Hyuuga Hiashi yang bisa membujuk Sakura. Sayangnya Hiashi sedang tidak berada di rumah karena tuntutan pekerjaan.

"Dia kenapa lagi?"

"Ah..tuan muda.." Menyadari kehadiran Neji, Rui membungkukkan badan singkat sebagai tanda hormat. "Nona tidak mau makan... Kelihatannya dia sangat merindukan nyonya."

Bocah laki-laki yang masih duduk di bangku sekolah dasar itu mendekat kearah Sakura yang menangis. Kendati ia juga merasa amat sangat terpukul setelah kematian sang bibik yang sudah seperti ibu kedua baginya, Neji berusaha menahan diri dan bersikap lebih dewasa. Sebisa mungkin dia tidak mau kesedihannya sampai merepotkan orang lain. "Aku tahu kau sedih, tapi itu bukan alasan untuk bersikap manja atau menyusahkan oranglain, Sakura!"

"Kenapa Neji-nii malah memarahiku?" Bukannya diam, tangisan Sakura malah semakin menjadi-jadi hingga Rui kebingungan. "Kau memang tidak pernah menyukaiku hiks, pergi saja sana!"

"Aku juga tidak ingin berlama-lama disini." Ketimbang pergi ke kediaman utama, Neji memang lebih suka menghabiskan waktu belajar di perpustakaan, atau beristirahar di kamarnya. Meski Sakura adalah adik sepupunya, entah kenapa Neji merasa kesulitan untuk mengakrabkan diri dengan gadis itu. "Aku kesini karena si Naruto yang memaksa."

Surai kekuningan tampak menyembul dari balik pintu. Merasa rencananya membuat Neji dan Sakura akrab telah gagal, Naruto melangkah masuk sembari menyunggingkan cengiran khasnya.

"Naru..."

Jemari tan Naruto memungut boneka beruang milik Sakura yang tergeletak di lantai, mengangkat boneka besar itu kedepan hingga menutupi seluruh tubuh kecilnya. "Tuan putri Sakura.. Kenapa kau menangis?"

"Naru, aku rindu ibu.. Hiks..hiks.. Aku ingin ibu selalu disisiku, membuatku tertawa, dan menghapus air mataku saat sedih seperti biasanya."

"Jangan sedih begitu.. Saki." Naruto langsung meletakan boneka di tanggannya, buru-buru mengusap air mata Sakura meski kini dia juga sedang berusaha menahan tangis teringat sosok lembut Hikari. "Mulai sekarang, aku yang akan menggantikan bibik dan melakukan semua itu untukmu, jadi jangan menangis lagi, atau paman Hiashi akan ikut sedih nanti."

"Benarkah?"

"Hm..tentu saja!"

.

.

.

.

.

.

.

Setelah mengunci diri dalam kamar, emosi Sakura meluap tak terbendung. Tangannya refleks melempar barang-barang yang ada di dekatnya hingga suasana kamar menjadi sangat berantakan.

"Bohong.. Naru pembohong!" Bukanya menghibur atau menyeka air mata Sakura seperti yang pernah dia janjikan dulu, hari ini Naruto malah menjadi alasan dari kesedihannya. "Ini semua salah Hinata! Karena gadis licik itu semua jadi menjauh dariku!"

Air mata meleleh deras dari manik emerald Sakura ketika dia ingat bagaimana sang ayah memukul kakinya karena kesalahan Hinata. Bukan hanya baret di kaki, pukulan Hiashi juga telah melukai hatinya. Sakura tidak menyangka Hiashi akan berprilaku tidak adil, dengan menyudahi hukuman Hinata meski gadis itu tidak mau mengakui kesalahannya. Sedangkan Sakura, dia harus merendahkan harga diri dan meminta maaf terlebih dulu. Tidak ada yang peduli seberapa hancur hatinya tadi. Bahkan seorang Naruto yang seharusnya berada disisi Sakura, malah lebih mementingkan keadaan Hinata dan pergi entah kemana bersama gadis tidak tahu malu itu.

Di luar kamar, dua orang pelayan wanita menatap cemas pintu kamar Sakura. Jelas mereka mengkhawatirkan kondisi Sakura yang menangis kencang di dalam sana, tapi tak ada satupun yang berani mengetuk pintu. Takut membuat sang nona semakin marah.

"Bagaimana ini Fuka?" Seorang pelayan bersurai coklat kemerahan tampak menempelkan telinganya ke pintu kamar Sakura yang tertutup rapat. Dia adalah salah satu pelayan yang cukup dekat dengan Sakura karena usia mereka tak terpaut jauh. "Kasihan sekali nona Sakura, ini semua salah gadis kejam itu. Setelah dia datang kesini, nona kita harus melewati hari-hari yang sulit."

"Tayuya! Aku setuju denganmu, tapi jangan mengatakannya secara terang-terangan atau kita bisa terkena masalah!" Fuka mengecilkan suaranya, meski dia juga merasa kesal atas apa yang terjadi pada sang nona, sebagai pelayan mereka tidak bisa melakukan apapun. Bahkan Sakura yang begitu disayangi oleh Hiashi saja sampai mendapat masalah karena Hinata. Jika kata-kata Tayuya barusan sampai di dengar oleh nenek sihir itu, tamat sudah riwayat mereka.

"Kalian sudah bosan bekerja disini?" Neji yang baru pulang dan berniat menyerahkan laporan kerja pada Hiashi, langsung naik pitam saat tak sengaja mendengar pembicaraan Fuka dan Tayuya. Sepertinya dia sudah terlalu lunak dalam mengawasi pelayan di kediaman Hyuuga, sampai-sampai mereka berani menjelekkan salah satu tuannya sendiri. Meskipun Hinata baru saja menjadi seorang Hyuuga, bukan berarti mereka berhak memandang rendah adik sepupunya. "Sampah tidak diperlukan dalam Hyuuga. Jaga mulut kotor kalian, atau aku akan menendang kalian keluar kapan saja."

Suara bariton, juga tatapan mata Neji yang terasa dingin membuat Tayuya dan Fuka tak kuasa mengangkat muka. Meski tidak panjang, kalimat Neji sanggup membuat bulu kudu mereka berdiri. Rasanya seperti dipaksa berdiri di ujung jurang oleh malaikat maut. "T-tolong maafkan kami tuan muda!"

Neji bukan tipe orang yang mau menghabiskan waktu untuk obrolan tidak penting, terlebih lagi dengan orang-orang yang membuatnya kesal. Seandainya dia tidak mendengar suara gaduh dari dalam kamar Sakura, Neji pasti sudah beranjak pergi sejak tadi. "Si manja itu, kali ini apa lagi yang dia ributkan?"

"A-ada sedikit masalah tadi pagi.." Takut-takut Tayuya menjawab pertanyaan Neji yang masih memasang tampang seram. "Tuan besar sangat marah karena nona Sakura berkelahi dengan nona Hinata, jadi mereka dihukum sesuai tradisi."

Begitu mendengar semua itu, tanpa banyak bicara Neji bergegas menuju ruang kerja sang paman. Dia berharap tebakannya salah, dan Hinata baik-baik saja sekarang. Peduli setan soal tradisi 'cara mendisiplinkan' yang kolot dari klan Hyuuga, apapun kesalahan yang telah diperbuat Hinata, gadis itu tidak boleh menerima rasa sakit lagi. Dua puluh tahun hidup bersama lelaki gila seperti Kizashi sudah cukup menciptakan ratusan retakan dalam diri Hinata, sedikit kesalahan bisa menghancurkan anak malang itu. Harusnya Hiashi lebih memahaminya dari pada Neji.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Dalam diam Naruto sibuk memandangi gadis yang menyantap sepiring omurice dengan begitu lahap didepannya. Dia tidak menyangka, Hinata yang terkesan dewasa akan memesan hidangan yang lebih cocok untuk dimakan anak-anak. Terlebih lagi, dia sangat menikmati olahan nasi goreng berbalut telur dadar itu.

Syukurlah, meski beberapa jam lalu masalah besar menimpanya, Hinata terlihat baik-baik saja dan tidak kehilangan selera makan seperti yang Naruto khawatirkan. Malahan, gadis itu cukup antusias saat Naruto mengajaknya ke restoran kecil yang tak jauh dari rumah sakit Gaara.

Justru Naruto yang sedikit murung sekarang. Dia tidak habis pikir, mengapa hatinya begitu sedih melihat keadaan Hinata. Bahkan di rumah sakit tadi, air matanya mengalir begitu saja tanpa di perintah. Ini bukan yang pertama Naruto menaruh simpati berlebih pada Hinata, sejak pertama mereka bertemu di hotel pun dia tidak bisa mengabaikan gadis itu. Apa karena kasihan? Padahal dia tahu betul Hinata adalah sosok yang kuat, dan tidak memerlukan simpati dari siapapun.

"Makan pelan-pelan saja." Jemari sewarna madu Naruto refleks menyibakkan anak rambut Hinata yang nyaris jatuh mengenai saus tomat pada permukaan omurice. Paras lembut itu terlihat begitu jelas dari dekat, hidung kecil, bibir peach berisi, juga mata bulat yang cantik. Tanpa sadar Naruto merona samar. Buru-buru dia menjauhkan jemarinya dari surai indigo Hinata, mengalihkan perhatian dengan meneguk segelas ice latte. Mengapa menyentuh helaian indigo itu membuat sekujur tubuhnya panas? Apa dia malu? Mana mungkin seorang Namikaze Naruto dibuat malu oleh gadis yang bahkan lebih tertarik pada makanan ketimbang dirinya.

Kalau bukan malu, lalu apa?

Lagi-lagi detak jantungnya memburu sampai terasa sakit... Tapi anehnya, rasa sakit itu juga membuatnya senang diwaktu yang sama. Naruto menelan ludah susah payah, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Apa dia jadi gila setelah putus hubungan dengan Sakura?

"Maaf menunggu lama, ini pesanan anda." Manik amethyst Hinata berbinar-binar melihat pelayan membawa dua porsi besar es krim yang sudah dia nantikan sejak tadi.

"Makanlah, kau ingin es krim cokelat 'kan?" Naruto menyodorkan es krim cokelat kepada Hinata, dan mengambil es krim vanila miliknya. Dia sengaja memesan porsi jumbo berbentuk karakter beruang lucu yang sedang tenar dikalangan anak perempuan, demi membuat Hinata senang.

Bukannya mulai makan, Hinata justru terpesona pada bentuk es krimnya. Naruto sampai tersenyum sendiri mendapati ekspresi tidak tega di wajah Hinata, siapa sangka dia juga punya sisi lugu? Dan entah sejak kapan, menemukan sisi lain seorang Hinata sudah menjadi kebiasaan menyenangkan bagi Naruto. Anehkah bila ia ingin mengenal Hinata lebih dari orang lain? "Kalau tidak di makan, wajah beruangnya akan meleleh. Bukankah lebih kasihan?"

Hinata tersentak, membayangkan ucapan Naruto. Dalam hitungan detik tangannya mengambil sendok, lantas memasukan sesuap es krim dalam mulut. Hinata sudah lupa, kapan terakhir kali dia makan es krim, saat makanan manis itu meleleh dalam mulut, rasanya jauh lebih enak dari dugaannya.

Senyum manis itu merekah tanpa disadari si pemilik bibir. Naruto yang lebih dulu menyadarinya dibuat tertegun hingga napasnya terhenti sesaat, ini momen langka! Untunglah tidak terlalu banyak pelanggan di restoran ini, jadi hanya Naruto yang bisa melihat senyum langka Hinata. Tentu saja sulung Namikaze itu tidak membuang-buang kesempatan. Selagi Hinata sibuk makan, dia segera mengambil ponsel dan diam-diam memfoto.

"Hei!" Ponsel Naruto nyaris terlempar ke mangkuk es saking paniknya, takut ketahuan. "Es krimmu mencair, cepat makan!"

"A-aku sedang tidak ingin. Ini makan punyaku sekalian! Makan yang banyak!"

Naruto membuang muka. Sial! Dia malah gugup sendiri.

Tidak peduli pada gelagat aneh Naruto, Hinata langsung saja mengambil es krim yang disodorkan pria itu tanpa pikir panjang. Toh Naruto memang sudah aneh sejak dulu. "Orang aneh."

"Siapa yang kau panggil aneh? Dasar!" Hinata tetaplah Hinata, si jahat yang cara bicaranya sama sekali tidak manis. Tapi kenapa, kata-kata yang terdengar kasar itu malah membuat Naruto senang? Apa karena, itu artinya Hinata baik-baik saja, dan tak berbeda dari biasanya. Atau karena hal lain?

Sejak awal mereka tidak di takdirkan untuk bersama, akan lebih mudah bila Naruto menjaga jarak dengan Hinata. Namun mengapa, mengucap selamat tinggal pada gadis itu terasa mustahil?

Hati kecil pria itu terus terombang-ambing dalam bimbang. Sebenarnya, apa arti seorang Hinata dalam hidupnya? Naruto belum jua tahu apa jawaban yang benar, dan dia tidak ingin tahu. Satu hal yang sudah pasti, orang yang ingin Naruto lindungi dengan seluruh nyawanya bukan lagi Sakura.

Tapi Hinata. Si jahat yang cantik, Hyuuga Hinata.

Diam-diam Naruto kembali memperhatikan Hinata. Anehnya, meski semua orang hanya bisa melihat sisi kejam Hinata yang seperti iblis, Netra safir Naruto malah merefleksikan sosok malaikat dalam diri gadis itu. Fallen angel yang begitu tangguh melawan dunia sampai rela mematahkan sayap sendiri. Dan Naruto, ingin menjadi cukup kuat untuk menggantikan sayap itu.

.

.

.

.

.

.

"Es krimnya sudah habis? Sudah kenyang 'kan? Ayo kuantar pulang, paman pasti sangat khawatir."

Hinata menggeleng tegas sebagai jawaban. Dia tidak mau kembali, kediaman Hyuuga adalah neraka berkedok istana, hanya penderitaan yang akan menyambutnya disana. "Tepati janjimu sekarang."

"Apa?" Naruto kembali bertanya, tidak begitu yakin apa arti kata-kata ambigu Hinata.

Mendadak suasana berubah serius. Naruto salah telah berpikir semua akan baik-baik saja setelah apa yang dilakukan Hiashi pada Hinata. Nyatanya gadis itu sudah mencapai titik habis kesabaran.

"Kau bilang akan membantuku kabur 'kan? Lakukan sekarang." Jemari pucat itu meremas ujung kemeja putih polos yang ia kenakan. Hinata benci bergantung pada orang lain, tapi dia tidak punya pilihan. "Aku ingin menghilang hingga tidak ada yang bisa menemukanku. Tabunganku masih belum cukup untuk pergi jauh, jadi pinjami aku uang."

"Tidak mau."

Hinata mengernyit, jawaban singkat Naruto tentu membuatnya kesal. Pria itu bahkan tidak mempertimbangkan permintaannya terlebih dulu. "Kenapa? Janjimu waktu itu hanya omong kosong?!"

Kepala Naruto tertunduk, seorang Namikaze selalu memegang janjinya. Hanya saja, permintaan Hinata terlalu berat untuk dia penuhi. Bukan masalah uang, Naruto takut jika Hinata juga akan menghilang dari hidupnya. Tapi disisi lain, dia tidak punya hak, juga alasan yang tepat untuk melarangnya pergi. "A-aku tidak bisa meminjamimu uang."

"Baiklah, aku akan mencari cara sendiri."

"Kau sudah tidak ingin melanjutkan kuliah di Konoha, dan menjadi designer terkenal?" Naruto tahu iming-iming seperti harta atau kasih sayang keluarga tidak akan mempan pada Hinata. Setelah melewati hidup sesulit itu, wajar bila ia sudah tidak percaya lagi pada apapun selain keyakinannya sendiri. Tapi, Naruto tetap ingin menghentikan Hinata, paling tidak sampai gadis itu mencapai mimpi kecil yang tertidur dalam hatinya. "Setelah semua usaha yang sudah kau lakukan, apa kau akan menyerah semudah itu?"

Hinata termenung cukup lama. Rentetan pertanyaan dari Naruto sedikit membuatnya goyah. Mustahil baginya bisa kuliah di tempat sebagus Konoha setelah keluar dari Hyuuga. Hinata mungkin tidak peduli soal keluarga atau kekayaan, tapi dia jelas butuh ilmu dan ketrampilan lebih demi bertahan hidup. Tinggal sendiri memerlukan banyak uang, dia tidak bisa terus-terusan kerja serabutan dengan hasil tak menentu. Belum lagi, jika Hinata mencari beasiswa di kampus lain, pasti Hyuuga akan menemukannya dengan mudah.

"Tiga hari." Lamunan Hinata buyar, fokusnya seketika beralih pada Naruto yang menatapnya serius. "Setidaknya sampai kakimu sembuh, pikirkan dulu baik-baik apa kau akan pergi tanpa mendapat apapun, atau bertahan sampai memperoleh sesuatu."

"Kalau aku tetap ingin pergi?" Jika dipikir secara logika, Hinata tahu setidaknya dia harus tetap menjadi Hyuuga, paling tidak sampai dia bisa menghasilkan uang sendiri. Tapi hatinya berkata lain, dia lelah.

Naruto menarik napas panjang, memberanikan diri mengutarakan solusi terakhir yang ia punya. Mengabaikan semua resiko yang bisa ditimbulkan oleh solusi tersebut. "Kalau kau ingin tetap pergi, aku sendiri yang akan membawamu kabur. Kemanapun itu, kita akan pergi bersama." Dengan begitu, dia akan tetap bisa menemukan Hinata dan membantunya.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

"Ini laporan keuangan bulan ini." Amethyst tajam Neji masih menatap intens kearah sang paman yang mulai sibuk memeriksa berkas. Ia masih terus berusaha mencari celah untuk bertanya soal masalah yang diceritakan para pelayan tadi.

"Kalau sudah tidak ada urusan, pergilah dan istirahat." Hiashi menutup map berisi laporan itu, meletakannya ke meja tak tertarik. Setelah apa yang dia lakukan pads putri-putrinya tadi pagi, hati Hiashi dipenuhi rasa sesal hingga ia tidak bisa fokus pada hal lain.

Menyadari raut penyesalan di wajah Hiashi, Neji langsung bisa menyimpulkan bahwa dugaannya benar. Sang paman bukanlah tipe orangtua yang bisa melukai anaknya sendiri. Dia hanya keras dalam mendidik, karena memang seperti itulah cara yang diajarkan dalam Hyuuga. Namun, saat Hiashi menghukum keluarganya, Neji tahu betul bahwa batin pria itu ikut tersiksa. "Paman, apa kau memukul Hinata? Aku mendengar semua dari pelayan, ada masalah tadi pagi."

Pria paruh baya itu terkesiap sesaat. Pertanyaan Neji kembali membuatnya teringat kejadian tadi pagi. Dia membuat kedua putrinya terluka, terutama Hinata- entah bagaimana kondisi anak itu sekarang. "Mereka berkelahi karena Naruto membatalkan perjodohannya, dan Sakura berpikir itu salah Hinata. Aku tidak tahu siapa yang benar, dimataku mereka sama-sama salah karena sudah membuat keributan, jadi aku terpaksa memberi hukuman."

"Bagaimana keadaan Hinata?" Neji tidak peduli soal Sakura, gadis itu sudah terbiasa dengan tradisi Hyuuga dan tahu cara untuk menyelamatkan diri dari hukuman. Tapi Hinata, dia bisa salah mengartikan hukuman itu sebagai bentuk kebencian dari Hiashi. "Sekarang dia dimana?"

"Naruto membawanya pergi untuk di obati." Amethyst Hiashi tampak meredup kehilangan sinarnya. "Hatinya begitu keras....dia hanya diam saat aku menghukumnya. Hingga tanpa sadar, aku terus memukulnya."

"Aku tahu hukuman seperti itu sudah biasa dalam keluarga kita, tapi adikku yang satu itu berbeda paman! Dia dibesarkan dengan cara berbeda." Baru kali ini seorang Neji memandang Hiashi dengan rasa kesal, bukannya hormat. Padahal sang paman tahu sendiri bagaimana kondisi Hinata dalam keluarga Haruno, kenapa dia tidak mengerti juga? "Pukulan tidak akan membuatnya jera, yang ada dia hanya akan makin jatuh dalam keterpurukan. Hinata sudah terbiasa dengan siksaan paman, yang dia butuhkan adalah cinta dan pengertian."

"Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menghadapi anak itu!"

Tidak mungkin Hiashi lupa akan semua kesulitan yang dialami putrinya– Hinata dalam keluarga Haruno. Meski hanya mendengar kondisi Hinata dari cerita Neji, Hiashi sangat menyesal tidak bisa menemukan Hinata lebih cepat. Dia sampai membenci dirinya sendiri karena tidak bisa melakukan apapun, atau menebus semua hal buruk yang Hinata alami. Karena itu, sebisa mungkin dia memberikan yang terbaik untuk gadis itu, menyanggupi apapun yang dia minta– termasuk melunasi hutang si brengsek Kizashi.

Namun, semua itu tidak cukup membuat Hiashi mengenal Hinata lebih jauh. Gadis itu lebih banyak diam saat bersamanya, tidak pernah mengutarakan isi hati. Meskipun mereka adalah anak dan ayah kandung, tetap saja sulit untuk dekat bila tidak terjadi komunikasi dua arah. Apalagi sebelumnya, mereka sebatas orang asing yang tak pernah saling mengenal. Hiashi tidak tahu bagaimana cara yang tepat dalam menghadapi Hinata. Karena itulah, dia hanya bisa berusaha adil– mendidik Hinata dengan cara yang sama seperti dia mendidik Sakura selama ini. Tanpa tahu bahwa hal itu malah semakin menjauhkannya dengan Hinata karena karakter tiap anak berbeda.

"Aku ayah yang buruk, aku tidak bisa dekat dengan putri kandungku sendiri. Seandainya Hikari masih hidup, dia pasti lebih bisa mengatasi masalah ini."

"Bukan itu masalahnya paman. Keberadaan Sakura lah yang menciptakan tembok antara paman dan Hinata." Entah Hiashi sadar atau tidak, kasih sayangnya pada Sakura lah yang membuat ia sulit dekat dengan Hinata. Di satu sisi Hiashi ingin menjaga perasaan Sakura, agar gadis itu tidak merasa dibuang dari Hyuuga. Dan disisi lain, Hinata diam-diam merasa tidak dibutuhkan karena keberadaan Sakura. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Bahkan keegoisan Hiashi untuk mempertahankan Sakura dalam Hyuuga masih bisa Neji maklumi– walau bagaimanapun pria itu telah merawat Sakura dengan tangannya sendiri selama bertahun-tahun, wajar bila ia sangat menyayangi Sakura. Tapi, Hinata juga membutuhkan kasih sayang yang sama, dan selama ada Sakura, semua itu tidak akan terwujud. "Maaf kalau kata-kataku menyinggungmu, tapi membiarkan dua gadis itu tinggal satu atap bukanlah hal baik. Suatu saat, paman tetap harus memilih salah satu diantara mereka."

"Mana mungkin aku bisa?" Sakura sudah seperti separuh nyawa bagi Hiashi dan Hikari. Dia masih ingat betul sebesar apa kasih sayang Hikari pada Sakura. Meski mereka sudah curiga bahwa Sakura bukanlah seorang Hyuuga sejak usianya tiga tahun, tetap saja mereka masih menyayanginya. Sakura adalah malaikat kecil yang dikirim tuhan untuk melengkapi kebahagiaan pernikahan mereka. Picik rasanya bila Hiashi harus mengabaikan anak itu setelah berhasil menemukan putri kandungnya, padahal Sakura selalu menemaninya saat suka maupun duka. Tapi disisi lain, nalurinya sebagai ayah juga tidak bisa mengabaikan keadaan Hinata. Bagaimanapun, anak itulah yang selalu dia belai dalam kandungan Hikari, Hinata lah putri yang selalu dia nanti kelahirannya, dan menjadikan Hiashi seorang ayah.

"Aku mengerti perasaanmu paman.. Tapi selain kasih sayang dari Hyuuga, Sakura masih punya Haruno. Sedangkan Hinata, dia tidak punya siapapun selain kita. Haruno sama sekali tidak memperlakukan adikku dengan baik hanya karena fisiknya berbeda." Neji tahu Haruno bukan keluarga yang baik, Sakura pasti akan kesulitan menerima ayah kandungnya yang seorang narapidana. Tapi setelah Neji mendengar alasan Kizashi menyiksa Hinata, dia berpikir mungkin saja keadaan akan berbeda jika Sakura yang mereka rawat. "Cepat atau lambat, semua harus kembali pada tempatnya."

"Aku mengerti...." Neji benar, cepat atau lambat Sakura harus tetap mengenal Haruno. Mungkin dia masih belum bisa menjelaskan soal Kizashi yang di tahan, tapi Hiashi masih bisa mempertemukan Sakura dengan sosok ibu yang begitu dia rindukan. "Neji, cari tahu soal Haruno Mebuki. Aku ingin kau menemukannya untukku."

"Baik, paman."

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄


Hinata langsung merebahkan diri ke atas kasur begitu sampai. Hari ini dia terpaksa menempati kamar tamu karena Sakura mengunci kamar mereka dari dalam. Tidak masalah bagi Hinata tidur di manapun, toh kamar tamu dalam rumah Hyuuga sekelas dengan kamar hotel. Apalagi dia tidak harus bertatap muka dengan Sakura- si tuan putri gila.

Manik amethyst itu menerawang jauh keatas langit-langit kamar, pikirannya mulai berkelana mempertimbangkan langkah apa yang harus dia ambil setelah ini. Tapi perih di kaki membuat Hinata sulit berpikir. Tidak disangka rasa nyerinya akan bertahan lama, dan makin terasa saat dia bergerak. Untunglah tadi banyak pelayan yang membantunya sampai ke kamar. Kalau tidak dia pasti harus merayap di tembok karena sudah menolak bantuan Naruto. Dia tidak mau Hiashi atau Sakura melihat mereka masuk bersama- enggan membuat keributan lagi. Untunglah kediaman Hyuuga cukup luas, sehingga mereka tak sampai berpapasan.

Benar juga, dia harus menjauhi Naruto demi ketentraman hidupnya. Tapi kenapa disaat seperti ini malah cuma pria itu yang memenuhi otaknya? Dan yang lebih membuat Hinata kesal, dia terus saja mendengarkan semua kata-kata si kuning berisik itu.

Getaran pelan ponsel mengagetkan Hinata, sedikit malas ia memeriksa android pemberian Hiashi itu. Matanya seketika melotot, saat membuka notifikasi dari web BLUE yang menyatakan bahwa, rancangan baju yang diunggah oleh user @lavender12 mendapat posisi empat di sepuluh besar trending. Rancangan baju Hinata punya kesempatan untuk menang. Tapi bukannya senang, Hinata malah semakin bimbang. Haruskah dia pergi, atau tetap bertahan di Hyuuga sampai tujuannya terwujud?

Suara knop pintu yang di putar menyadarkan Hinata. Malas bertemu dengan siapapun, Hinata langsung memejamkan mata– berpura-pura tidur agar tidak diganggu.

Tak berselang lama, Hinata merasakan hangatnya selimut membalut tubuhnya. Sebuah tangan besar menyentuh pelan dahinya yang terasa agak panas. Kata Gaara, wajar bila Hinata terkena demam, itu adalah reaksi alami tubuh saat terluka.

Sebuah benda yang terasa basah dan dingin mendarat di kening Hinata. Untunglah dia tidak sampai terlonjak kaget. Hinata tidak tahu siapa yang masuk ke kamarnya malam-malam tanpa mengetuk, yang jelas orang itu datang untuk mengompresnya. Ini pertama kalinya, ada orang yang peduli dan mau merawatnya saat sakit. Padahal bisa saja orang itu hanya seorang pelayan yang menjalankan tugas, tapi tetap saja, Hinata tak bisa memungkiri rasa senang dihatinya.

"Maaf...." Suara pria itu terdengar lembut walau sedikit bergetar, sepertinya dia sedang menangis sekarang. Berbagai perasaan membingungkan muncul dalam benak Hinata, padahal dia tidak tahu siapa pria yang tengah mengusap pelan kakinya kini, tapi anehnya dia merasa nyaman. "Maafkan aku Hikari... Aku sudah gagal menjadi ayah yang baik untuk putri kita."

Tuan Hiashi?

Batin Hinata berteriak, benarkah Hiashi datang menemuinya? Ia sontak membuka mata, namun sudah tidak ada siapapun di dekatnya. Apa yang tadi itu hanya ilusi? Hinata menyentuh kompresan yang masih menempel di keningnya, semua itu nyata!

Mengapa ia sangat berharap bahwa itu Hiashi? Hinata mengutuk dirinya sendiri dalam hati. Jemarinya mengepal, memukul-mukul pelan dada yang terasa sesak karena resah. Apa diam-diam hatinya masih mengharapkan kasih sayang dari sang ayah kandung? Dasar bodoh! Padahal Hinata tahu, dia akan terluka bila terus berharap pada sesuatu yang tak pasti.

Tapi tetap saja, meskipun dia terus menyangkal, kenyataannta setitik rasa senang terbesit dalam hatinya.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Entahlah part ini cukup memuaskan apa gak 😭. Aku mencoba lebih memperlihatkan sisi pandang karakter lain, walau gak sebanyak Hinata.

Belum sempat revisi kata-katanya, jadi aku khawatir narasiku part ini gak enak.

Pssst.. Sebenernya cerita ini masih belum masuk konflik utama, genre 'hurt'-nya belum muncul.

Seeya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top