06 : Luka
Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Tears are falling - Wax
.
.
Angelic Devil
06 : Luka
Hinata centric / NHL
Warning : Sebelumnya, aku mau minta maaf sama fans sasusaku. Di fic ini, mereka menjadi tokoh antagonis, jadi Aku rasa fic ini gak cocok buat kalian. Daripada nanti kalian tersinggung sama imajinasi aku, lebih baik cukup baca sampai sini :").
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Emerald Sakura terus fokus menatap ke layar ponsel, menunggu balasan pesan dari seseorang. Sudah satu jam lebih dia berbaring di kasur sembari bolak-balik memeriksa roomchat-nya dengan Naruto. Namun belum jua ada balasan masuk, meski pemuda itu telah membaca pesannya sejak beberapa menit lalu.
"Dia mengabaikanku, lagi." Sakura melempar ponsel ditangannya sembarangan, napasnya sampai memburu karena kesal. Sudah satu minggu lebih Naruto tidak pernah membalas pesan darinya, telfon pun tak diangkat. Ini bukan hal sepele, normalnya pewaris keluarga Namikaze itu akan uring-uringan jika seorang Sakura tidak memberi kabar satu hari saja. Tapi sekarang, malah Sakura yang tersiksa menunggu kabar.
"Kenapa Naru tega sekali? Apa aku berbuat salah?" Cat warna merah pada kuku-kuku lentik itu sedikit mengelupas, lantaran kebiasaan buruk Sakura yang tak bisa berhenti menggigit jari tangan ketika merasa terusik.
Bukan cuma masalah pesan yang membuat Sakura meradang. Akhir-akhir ini, Naruto juga jarang berinteraksi dengannya. Saat bertemu di kampus pun Naruto selalu menghindar dengan berbagai macam alasan. Padahal hubungan mereka selalu baik-baik saja, kenapa tiba-tiba semua berubah? Tidak mungkin 'kan, Naruto tergoda oleh tipu daya Hinata seperti kata Sasuke? Bahkan saat Hinata memelintirnya, Naruto sampai membentak si kurang ajar itu demi Sakura. Mustahil Naruto berpaling darinya demi gadis semacam Hinata.
Lantas apa yang salah?
Sakura melirik jam tangan mahalnya sekilas, pukul sembilan pagi, hari minggu. Harusnya sekarang jadwal Naruto untuk latihan judo bersama sang ayah. Sakura akan menemuinya sebelum latihan di mulai. Dia akan membuat Naruto-nya kembali seperti dulu.
"Aku tahu kau tidak bisa hidup tanpa diriku. Kali ini aku yang mengalah dan menemuimu duluan, Naru."
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Di ruang judo, Naruto melakukan pemanasan ringan bersama Hiashi sebelum latihan dimulai. Latihan judo hari ini tampak lebih sepi dari biasanya, lantaran Neji sedang sibuk mengurus sebuah project. Sedangkan Hinata, gadis itu sama sekali belum terlihat sejak Naruto datang.
"Anu..paman, Hinata mana?"
Hiashi melirik Naruto sekilas, baru kali ini dia mendengar Naruto menanyakan orang selain Sakura. "Dia masih belajar di ruang buku. Katanya ada beberapa mata pelajaran yang membuatnya kesulitan."
Aneh, padahal sebelum berangkat untuk latihan judo tadi semangat Naruto seolah berkobar. Namun sekarang, dia malah ingin segera menyelasaikan latihan, dan pergi ke tempat lain. Naruto berdiri dari posisi sit-upnya. "Ayo langsung kita mulai paman."
"Sebentar, duduklah dulu. Ada yang ingin kutanyakan mumpung kita berdua." Hiashi menarik tangan lelaki yang sudah seperti putranya sendiri itu, meminta agar Naruto duduk disebelahnya. "Kapan kau akan menjaga Sakura untukku? Bocah nakal, apa kau lupa janjimu?"
"Apa? Mana mungkin aku lupa!" Pantang bagi seorang Namikaze melanggar janji, mustahil Naruto lupa. Saat masih kanak-kanak dulu, Naruto pernah merengek agar Hiashi memberikan Sakura padanya. Dia ingin membawa pulang Sakura yang menurutnya secantik boneka. Untunglah Hiashi tidak marah, dia malah membuat Naruto berjanji untuk menjadi pria kuat, dan melindungi Sakura sampai kapanpun. "Aku sudah berusaha melindungi Saki, selalu."
"Paman tahu, karena itu aku merasa kau sudah cukup pantas untuk membawanya pulang." Sebuah senyum hangat menghias wajah Hiashi, menurutnya sekarang adalah saat yang tepat untuk meresmikan hubungan Naruto dan Sakura. Mereka sudah dua puluh tahun, usia yang cukup untuk melangkah ke jenjang pertunangan.
Mengerti arah pembicaraan Hiashi, raut muka Naruto berubah bimbang. Ini adalah hari yang Naruto tunggu-tunggu, akhirnya Hiashi mempercayakan Sakura kepadanya. Tapi dia sama sekali tidak senang, justru hatinya sakit kembali teringat kejadian tidak mengenakan di perpustakaan kampus. "Maafkan aku paman... Aku tidak bisa menjalin hubunga lebih jauh dengan Sakura."
Hiashi dibuat terkejut oleh reaksi Naruto yang jauh berbeda dari ekspektasi. Memang, perjodohan itu dilandasi oleh hubungan baik Hiashi dan Minato, tapi dia yakin jika anak-anak mereka saling menyukai sejak kecil. "Kenapa? Apa kalian sedang bertengkar? Naruto, kau tahu seberapa penting hubungan kalian, jangan membuat keputusan tanpa pikir panjang."
"Justru karena aku sudah memikirkannya berulang kali, aku semakin yakin paman. Hubungan kami, tidak bisa lebih dari sebatas teman." Dulu, Naruto masih terlalu egois dan tidak ingin melepaskan Sakura pada siapapun. Tapi dia sadar, jika dia terus memaksakan hubungan tanpa dasar cinta, baik dirinya maupun Sakura tidak akan merasa bahagia. Naruto tidak ingin merana hanya karena menuruti obsesinya di masa kecil. "Sakura tidak akan bahagia bila bersamaku, tidak ada cinta diantara kami. Maafkan aku."
Hiashi berusaha meredam emosi kala melihat Naruto yang menundukkan kepala dihadapannya. Dia memang kecewa karena perjodohan yang harusnya mempersatukan dua keluarga itu dibatalkan secara sepihak oleh Naruto. Tapi, dia dan Minato pernah sepakat untuk tidak memaksakan kehendak jika Naruto atau Sakura menolak. Toh hubungan mereka akan tetap baik sebagai rekan bisnis. Hanya satu yang dikhawatirkan Hiashi, apakah putrinya Sakura juga bisa menerima keputusan Naruto? "Pulanglah. Bicarakan penolakanmu ini dengan keluargamu. Aku akan terima jika mereka setuju membatalkan perjodohannya."
.
.
.
.
.
Di balik pintu ruangan Judo, air mata Sakura mengalir deras. Dia berusaha menutup mulut agar suara isaknya tidak pecah. Sakura melangkah lunglai, menjauh dari ruang judo. Dia tidak kuat mendengar lebih jauh pembicaraan Naruto dan Hiashi. Itukah alasan mengapa Naruto diam-diam menjauh darinya?
Jahat! Setelah seenaknya dia mengukir tempat di hati Sakura, mengapa Naruto malah pergi tanpa seizinnya? Melepaskan Sakura seperti membuang barang yang sudah tidak di butuhkan.
'Sakura tidak akan bahagia bila bersamaku'
Omong kosong. Sekarang dia hancur karena Naruto tidak ada bersamanya.
"Aku pasti salah dengar..... Ya, pasti hanya salah paham." Tak pernah sekalipun Sakura membayangkan Naruto akan mencampakannya. Dia jatuh terduduk sembari menyembunyikan wajah, tidak bisa menahan isakannya.
"Kau baik-baik saja?" Sakura mendongak, menatap amethyst Hinata yang mengulurkam tangan padanya.
Hinata berniat ikut latihan judo setelah selesai belajar. Awalnya dia ingin mengabaikan Sakura yang entah kenapa berjongkok sendirian tak jauh dari pintu. Namun, begitu menyadari Sakura sedang menangis, tanpa sadar Hinata malah menghampirinya.
"Kau.... Semua salahmu!" Sakura langsung berdiri, mengusap kasar bekas air mata di pipi. Naruto tidak mungkin memutuskan hubungan dengannya tanpa alasan. Dia sadar, selama menjauh darinya Naruto justru terlihat dekat dengan Hinata. Gadis iblis itu pasti sudah menggoda Naruto. Sakura masih ingat betul, bagaimana Hinata memintanya menyerahkan semua miliknya. Kenapa Sakura tidak terpikir bahwa Naruto juga menjadi incaran keserakahan Hinata? "Pencuri..enyah dari pandanganku."
Manik Hinata membulat sesaat. Bukan kata-kata kasar Sakura yang membuatnya terkejut, telinganya sudah terbiasa dengan hinaan. Hinata lebih terkejut karena seorang Sakura yang biasa menunjukan sikap manis, menatapnya dengan cara yang sama seperti Kizashi- tatapan penuh kebencian, seakan-akan dia ingin membunuh Hinata.
Plak!
Belum sempat Hinata bereaksi, sebuah tamparan telah mendarat dipipi kanannya. Tidak berpikir panjang, Hinata langsung mengangkat tangannya dan balik menampar Sakura dengan tenaga yang lebih besar.
Plak!
"Beraninya kau menamparku!!" Sakura berteriak kesal melihat darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Sudah gila ya?!" Hinata meninggikan suaranya, padahal dia hanya ingin pergi latihan judo tapi lagi-lagi Sakura mencari masalah. Dia bahkan memukul Hinata tanpa alasan yang jelas. Memuakkan. Sakura benar-benar mirip Kizashi, suka melampiaskan amarah pada orang lain. "Harusnya kau berterimakasih padaku, aku menamparmu agar kau segera sadar."
Emosi Sakura sontak meletup-letup berkat tanggapan Hinata. Dibayangan Sakura sekarang, Hinata seakan menertawakan kekalahannya. Apa karena dia bukan putri kandung Hyuuga, Hinata selalu bersikap buruk padanya? Meskipun Sakura tidak sedarah dengan Hiashi, dan tidak pula memiliki manik rembulan khas klan Hyuuga, selama ini dia sudah berusaha keras menjadi gadis sempurna yang pantas disebut 'putri kelurga Hyuuga'. Siapalah Hinata? Gadis bodoh, liar, tak tahu tata krama, meski dia memiliki darah Hyuuga, Hinata tidak pantas berada disini. Sakura adalah pewaris Hyuuga yang sah, harusnya Hinata sadar akan hal itu dan segera pergi. Sakura sudah berbaik hati mencoba menerima benalu seperti Hinata, tapi gadis tidak tahu diri itu malah semakin memperkuat eksistensi dan berusaha mencuri milik Sakura.
Tangan yang 'terkenal' tidak pernah berbuat kasar itu menjambak surai indigo Hinata dengan brutal. Hinata yang berusaha membela diri, ikut menjabak mahkota merah jambu Sakura. Seperti kucing yang sedang mempertahankan wilayahnya, mereka mencakar satu sama lain. Saling tampar sampai keduanya terguling di tanah. Membuat tubuh mereka berantakan dan kotor, benar-benar kacau.
"Pencuri kurang ajar! Jalang! Keparat! Pergi dari rumahku sekarang juga."
"Mau apa kau kalau aku tidak pergi?! Kau lupa ya, sekarang ini juga rumahku? Dasar sinting!"
Teriakan-teriakan wanita juga suara gaduh diluar sampai ketelinga Hiashi dan Naruto. Mereka segera keluar dari ruang judo, dan dikejutkan oleh dua gadis yang saling menyerang dengan brutal.
"HENTIKAN!" Amarah jelas terlihat di wajah tegas Hiashi. Bagaimana tidak? Nama baik keluarga Hyuuga bisa tercoreng karena kelakuan putri-putrinya yang sudah seperti preman.
Naruto yang sudah tahu semenyeramkan apa Hiashi saat sedang marah segera berlari kearah Sakura dan Hinata. Dia menarik tubuh kecil Hinata yang menindih Sakura, berusaha melerai mereka. Namun Hinata terus berontak, hingga Naruto terpaksa memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Sakura yang melihatnya dibuat makin terbakar emosi, dia melepas sepatunya, berusaha memukul Hinata yang tidak bisa bergerak dalam pelukan Naruto. Beruntung Naruto sempat berputar, melindungi tubuh Hinata dengan punggung besarnya.
"Jahat! Wanita jahat!" Tangisan Sakura menggema semakin keras, sementara Hinata sudah tidak bersuara. "Aku membencimu! Sampai mati aku membencimu! Hiks.... Jahat!"
"Saki! Saki, hentikan!!" Manik biru Naruto melirik tajam, mencoba memberi tahu Sakura bahwa Hiashi akan semakin marah jika pertengkaran terus berlanjut.
Mengikuti arah lirikan Naruto, Sakura keketika menjatuhkan sepatu ditangnnya. Kini Hiashi memasang wajah mengerikan yang sudah lama tidak Sakura lihat. Suasana yang tadinya gaduh seketika berubah hening mencekam. Hiashi memang seorang ayah yang baik dan penyayang, tapi dia sangat tegas dalam mengajarkan tata krama. Dia tidak akan segan memberi hukuman berat saat anggota keluarganya melakukan hal-hal tidak terpuji.
Hiashi melihat dua gadis didepannya secara bergantian. "Kalian berdua, ikut aku." Sakura justru berjalan mundur, takut pada suara dingin Hiashi. Sedangkan Hinata sudah berjalan mengikuti perintah Hiashi. "Sakura, kau ingin membantah ayah?!"
Dengan berat hati, Sakura berjalan kearah Hiashi. Mereka bertiga pergi menuju ruang judo, diikuti Naruto yang mengekor dibelakang.
.
.
.
.
.
.
.
Sakura dan Naruto langsung berkeringat dingin, melihat Hiashi mengambil sebuah tongkat rotan berdiameter sekitar tujuh puluh centi dari sudut ruang judo. Hiashi biasa mengeluarkan tongkat itu untuk mendisiplinkan anggota keluarga atau murid judonya yang berbuat salah.
"Pa-paman... Kurasa tidak perlu sampai memakai rotan.." Naruto pernah mencicipi sabetan rotan Hiashi karena berkelahi dengan Gaara ketika latihan judo. Rasanya sangat sakit meski Hiashi hanya memukul sekali, dan langsung memaafkan Naruto begitu dia menyadari kesalahannya. Menurut Naruto, hukuman itu terlalu keras untuk seorang gadis. Bahkan saat terakhir kali Sakura dihukum dengan rotan, gadis itu sampai terkena deman keesokan harinya.
"Ini urusan keluarga kami. Kau seharusnya tidak ikut campur saat seorang ayah ingin mendidik putri-putrinya." Hiashi mengisyaratkan agar Naruto keluar dari ruangan judo.
Dengan berat hati, Naruto keluar demi menghormati Hiashi. Harap-harap cemas, dia menunggu di depan pintu tatami yang kini sudah tertutup rapat. Naruto percaya guru judonya itu tidak akan kelewat batas. Asalkan Sakura dan Hinata mau mengakui kesalahan, mereka tidak akan dipukul. Yang menjadi masalah, Naruto ragu gadis keras kepala seperti Hinata mau mengaku salah agar tidak dipukul.
"Aku tidak peduli apa masalah kalian berdua." Pria paruh baya itu duduk bersila menghadap kearah putri-putrinya yang berdiri kaku. Suara Hiashi memang lembut, namun berhasil membuat Sakura menangis takut. "Dua putriku saling membenci dan menyerang satu sama lain. Kalian benar-benar melukai hatiku."
"A-ayah maaf hiks... Ini salah Hinata! Dia merebut Naru dariku."
Naruto yang menguping diluar terperanjat, mengetahui segala keributan ternyata dipicu oleh dirinya.
"Cukup! Aku ingin kau menyadari kesalahanmu, bukannya mencari-cari kesalahan saudaramu." Hiashi mengangkat tongkat rotan ditangannya. "Sakura, kemari!"
"A-ayah..." Sakura mendekat pasrah, disaat seperti ini bujuk rayunya tidak akan mempan pada Hiashi.
CTAK!
"Kyaaa!" Sebuah sabetan mendarat di betis mulus Sakura, menciptakan bekas merah memanjang yang terasa panas dan perih secara bersamaan.
"Kau sadar apa kesalahanmu, Sakura?"
Sakura langsung duduk menyamakan posisinya dengan Hiashi. "Aku salah hiks, aku salah sudah memukul saudaraku, ayah. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi. Maafkan aku."
"Baiklah, hukumanmu selesai. Mulai sekarang apapun masalahnya, jangan selesaikan dengan perkelahian." Hiashi mengusap pelan surai merah muda Sakura. Ada rasa bersalah terbesit dihatinya setelah memukul sang putri. Hiashi sama sekali tidak berniat menyakiti anaknya, dia hanya ingin memberi efek jera agar kejadian serupa tidak terulang. Dari dulu memang seperti itulah cara klan Hyuuga mendidik generasinya. "Hinata, kemarilah."
Sakura mundur perlahan, digantikan oleh Hinata yang masih enggan bicara. Hiashi merasa sedikit ragu hendak memukul Hinata, dia yang baru saja masuk dalam kediamam Hyuuga jelas belum mengenal tradisi dan aturan dalam Hyuuga. Tapi, bagaimanapun Hiashi harus berprilaku adil dalam mendidik anak-anaknya. Lagi pula dia yakin, Hinata akan segera menyadari kesalahannya seperti Sakura setelah dipukul sekali.
"Aku tidak tahu kenapa Sakura tiba-tiba menyerangku, aku hanya membela di-"
"Bukan itu yang ingin kudengar dari mulutmu!" Kata-kata Hinata kembali tertelan begitu Hiashi menyelanya dengan bentakan.
CTAK!
Berbeda dengan Sakura, Hinata masih berdiri kokoh tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Padahal, Hiashi memukul mereka dengan kekuatan yang sama. "Hinata, kau menyadari apa kesalahanmu?"
Yang ditanya semakin diam membisu. Tanpa seorang pun tahu, pikiran Hinata sudah melayang jauh ke masa lalu. Pukulan Hiashi barusan telah merobek semua bekas luka yang pernah Kizashi torehkan. Mereka sama, selalu memfonis bahwa Hinata 'bersalah' dan menghukumnya tanpa memberi kesempatan membela diri. Keputusannya masuk dalam keluarga Hyuuga adalah kesalahan.
CTAK!
Tidak mendapat respon, Hashi terpaksa memukul Hinata lagi. "Kau sudah sadar apa kesalahanmu?"
Telinga Hinata seolah tuli, pertanyaan Hiashi tidak menjangkaunya. Kini yang terdengar di telinganya justru suara Kizashi yang sedang memakinya. Anak haram, pembawa sial, tidak berguna, mati, kalimat-kalimat itu terus berputar seperti kaset rusak, membuat kepala Hinata serasa akan pecah. "Di-diam...jangan bicara lagi!"
"Apa? Kau menyuruh ayahmu diam gadis nakal?!"
CTAK!
CTAK!
CTAK!
CTAK!
Bibir yang biasa dihiasi warna peach itu memudar pucat. Keringat dingin menetes deras menyapu wajah datar Hinata, bagaikan kristal salju yang mulai mencair. Dia tak bersuara, menahan perih dalam diam. Hinata sudah lupa caranya memohon ampun. Ayah yang selama ini dia kenal- Kizashi akan semakin memukulnya saat dia bersuara atau berontak, karena itu Hinata terbiasa diam saat dipukul, menunggu sampai sang ayah puas meredakan emosi. Di mata Hinata, Hiashi adalah sosok ayah yang tak jauh berbeda dari Kizashi. Pembelaan Hinata tidak akan berguna, maka dia memilih diam. Setidaknya dengan diam, Hinata tidak harus mengakui kesalahan yang tidak dia perbuat.
CTAK!
CTAK!
CTAK!
CTAK!
Tongkat rotan ditangan Hiashi patah menjadi dua. Betis putih Hinata sudah penuh oleh luka baret yang mulai mengeluarkan darah. Dahi Hiashi berkerut tidak percaya, sebenarnya separah apa cara keluarga Haruno mendidik Hinata? Sampai gadis itu tumbuh dengan hati yang begitu keras. Tangan Hiashi tampak bergetar mengambil tongkat rotan yang lain, hatinya seperti teriris-iris melihat kondisi Hinata. Tapi hukuman tetaplah hukuman.
"Cukup paman, Hinata pasti sudah menyesali perbuatannya." Naruto yang sudah tidak tahan menerobos masuk. Merampas tongkat rotan ditangan Hiashi, lantas melemparnya keluar. Melihat kondisi Hinata, membuat Naruto lupa dengan segala tata krama dan sopan santun. "Bukannya aku ingin ikut campur masalah keluarga Hyuuga. Tapi mereka bertengkar karena aku. Hinata tidak salah, Sakura hanya salah paham."
"Tidak salah?" Tangan Sakura mengepal kuat, urat-uratnya sampai menengang saking emosinya. "Kau membatalkan perjodohan kita, karena Hinata menggodamu 'kan?!"
Naruto dan Hiashi tampak terkejut mendengar bahwa Sakura sudah mengetahui tentang pembatalan perjodohan. Sementara Hinata yang sejak awal tidak tahu apa-apa hanya bisa membuang muka, menahan diri agar tidak mengamuk- rasanya dia ingin meludahi semua orang.
"Bukankah kau yang tergoda pada pria lain? Kau pikir aku tidak menyadarinya?" Sungguh, Naruto tidak ingin mengungkit masalah Sasuke lagi. Dia tidak ingin merusak nama baik Sakura didepan Hiashi. Tapi saat Hinata disalahkan, Naruto merasa tidak terima. Jika saja bukan Sakura yang sedang memojokkan Hinata sekarang, Naruto pasti sudah memukulnya. "Jangan menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas perbuatanmu. Hinata bahkan tidak tahu apapun tentang keputusanku."
Sakura tertegun, mungkinkah Naruto sudah tahu tentang hubungannya dan Sasuke? "Naru... Kau salah mengartikan.. Aku dan Sasuke memang dekat, ta-tapi kami bersahabat. Kita bertiga memang sangat dekat sejak dulu bukan?"
"Sudahlah Sakura. Setelah sekian lama berada disampingmu, kau pikir aku tidak tahu kepada siapa matamu tertuju?" Naruto menarik napas panjang, membulatkan tekat untuk menyampaikan segala hal yang tertahan dihati selama ini. "Kita sudahi saja... Meski kita tidak bisa berakhir sebagai kekasih, tapi kita masih bisa menjadi teman atau saudara. Tidak akan ada yang berubah Sakura, hanya hubungan kita saja yang sudah berbeda."
"Naru, tidak aku tidak mau!"
"Sakura, cukup!" Hiashi memijit pelan pelipisnya yang terasa pening. Dia sudah sedikit menangkap akar masalah dari semua keributan tadi. Yang Hiashi khawatirkan benar-benar menjadi kenyataan, Sakura tidak bisa menerima keputusan Naruto. Dan yang membuatnya makin kehabisan kata-kata, ternyata Naruto membatalkan perjodohan itu karena Sakura dekat dengan laki-laki lain. Walaupun belum terbukti apakah tuduhan Naruto benar, yang jelas perjodohan mereka sudah terlanjur ditolak. "Aku tidak tahu perkataan siapa yang benar diantara kalian. Aku juga tidak mau tahu siapa yang berhianat duluan. Yang jelas, karena pihak Naruto sudah membatalkannya, kau tidak bisa memaksakan kehendakmu, Sakura. Ayah tidak bisa membiarkanmu menikah dengan pria yang sudah tidak menginginkanmu sebagai calon istrinya."
Sakura menunduk pasrah, dia kalah telak. Jika Hiashi sudah membuat keputusan, dia tidak mungkin bisa membantah. Perjodohan akan tetap dibatalkan kecuali dia bisa merebut Naruto kembali. Tapi apakah itu mungkin? Sekali lihat saja Sakura tahu, bahwa Hinata telah membawa Naruto-nya pergi begitu jauh.
Meski belum mengetahui semua fakta yang sebenarnya, keputusan Hiashi saat ini adalah yang paling tepat. Naruto menundukan badan di depan Hiashi, sebagai permohonan maaf sekaligus rasa terimakasih pada pengertian Hiashi. "Maaf sudah mengecewakanmu paman. Aku berjanji akan tetap menjaga hubungan Namikaze dan Hyuuga setelah ini."
Setelah Hiashi mengangguk, perhatian Naruto sepenuhnya teralihkan pada Hinata yang tampak kacau. Dia menarik tangan kurus Hinata, hendak membawanya pergi. "Ayo pergi, Hinata."
Luka di kakinya membuat tubuh Hinata tidak seimbang, tarikan pelan Naruto membuatnya terhuyung kesamping. Dia nyaris terjatuh jika Naruto dan Hiashi tidak segera menangkap tubuhnya.
Hinata sontak menampik tangan dua pria itu, memilih untuk berjalan sendiri. Pergi tanpa bantuan siapapun. "Jangan sentuh aku!"
Dia tidak butuh perhatian palsu dari siapapun, yang akan semakin menyeretnya dalam penderitaan.
❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Menahan perih, Hinata berhasil berjalan sendiri sampai ke jembatan yang tak jauh dari ruang judo. Keadaan kaki itu semakin parah, darah segar mengalir dari luka yang melebar akibat diabaikan. Hinata sudah tidak peduli apa yang akan terjadi pada tubuhnya, yang jelas dia ingin segera pergi jauh. Dia tidak mau lagi berurusan dengan Namikaze atau Hyuuga.
"Hinata, tunggu! Biar ku periksa kakimu." Hinata justru berusaha mempercepat langkah begitu tahu Naruto mengikutinya. "Bodoh, lihatlah kakimu sampai berdarah! Apa kau tidak merasakan sakit?!"
"Tentu saja sakit! Sangat sakit! Lalu aku harus bagaimana? Menangis dengan keras agar seluruh dunia tahu dan kasihan padaku?!" Hinata benci dikasihani. Dia takut hatinya yang haus akan salah mengartikan rasa kasian sebagai kasih sayang.
Bukan hal sulit bagi Naruto, mengejar Hinata yang berjalan tertatih-tatih. Tanpa aba-aba, dia mengangkat tubuh kecil Hinata dengan tangan kekarnya. Membawa gadis itu dalam gendongan layaknya tuan putri. "Kita ke rumah sakit."
"LEPAS!" Tangan kecil itu mengepal kuat, berusaha memukul-mukul dada bidang Naruto agar di lepaskan. Kebaikan seorang Naruto malah semakin menyiksanya. Karena kehadiran Naruto, Hinata yang sudah terbiasa hidup sendirian mulai mengharapkan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Tapi apa yang Hinata dapat? Semakin dia berharap, rasanya semakin kecewa saat orang-orang justru memberinya kebencian. "Turunkan! Apa kau tidak sadar, semua yang kualami ini karena salahmu? Jangan ganggu aku lagi! Cepat lepaskan!"
"Aku tahu! Aku salah, jadi biarkan aku bertangung jawab." Pemuda berkulit serupa madu itu terus berjalan menuju ke tempat mobilnya terparkir, tidak mau menurunkan gadis dalam gendongannya. Semua yang dikatakan pemilik surai indigo itu benar. Jika Naruto tidak mendekatinya, Hinata tidak mungkin terseret dalam masalah dan terluka seperti sekarang. Harusnya Naruto menjauh dari hidup Hinata mulai detik ini. Namun, dia tidak bisa tinggal diam melihat Hinata yang berjalan dengan kaki berdarah-darah. Percaya atau tidak, Naruto ikut frustasi merasakan perihnya. "Kalau kau terus melawan aku bersumpah tidak akan melepasmu untuk selamanya! Jadi diamlah sebentar dan menurut."
.
.
.
.
.
.
Dokter muda bersurai kemerahan itu tampak telaten membersihkan luka di kaki Hinata menggunakan cairan antiseptik. Beruntung yang terluka hanya kulit bagian luar, sehingga pendarahan bisa dihentikan cukup dengan obat, tanpa perlu dijahit.
Naruto meringis ketika perban mulai dibalutkan pada kaki Hinata. Dia sampai heran, bagaimana bisa wajah gadis itu tetap datar? "Gaara, apa ada masalah pada syarafnya? Jangan-jangan dia tidak bisa merasakan sakit?"
Dokter Gaara tetap fokus mengobati sang pasien, malas menanggapi pertanyaan dari adik kelasnya semasa sekolah dasar dulu. "Jangan berisik, rubah liar! Harusnya kau menunggu diluar." Kalau saja Naruto bukan temannya sejak kecil, Gaara pasti sudah mengusir si kuning berisik itu dari ruangannya.
"Aku cuma bertanya dasar panda merah galak!"
Netra jade Gaara mendelik tajam kearah Naruto. Memang benar dia memiliki kantung mata karena sering tidak tidur, tapi dipanggil panda oleh seorang rubah kurang ajar sama aja dengan penghinaan. "Bocah, siapa yang kau sebut panda?" Lelaki yang lebih tua empat tahun dari Naruto itu selalu gagal mempertahankan image dewasanya, jika sudah berurusan dengan si biang onar dari klan Namikaze. "Padahal aku seusia dengan Neji, harusnya kau juga memanggilku senpai, bukan memberi julukan aneh begitu!"
"Senpai itu panggilan sayangku khusus untuk Neji." Jawaban polos Naruto yang terkesan bodoh itu sukses membuat Gaara merinding.
"Sudah selesai. Jangan khawatir, ini cuma luka kecil yang akan sembuh dalam dua sampai tiga hari." Tanpa sadar Gaara mendesah pelan, dia tahu betul dari mana luka itu berasal. Meski sudah lama dia tidak ikut latihan judo, ternyata Hiashi tidak banyak berubah. "Dasar pak tua, dia masih saja kolot soal kedisiplinan."
"Hei, jangan bicara begitu soal paman. Ini salahku, karena aku Hinata dan Sakura sampai berkelahi dan di hukum."
"Bagus kalau kau sadar. Belajarlah lebih dewasa agar hal seperti ini tidak terulang." Setelah selesai melakukan perawatan, jade Gaara menangkap atensi amethys yang tertutup oleh helai poni indigo. Tangannya refleks menyibakan poni yang menghalangi wajah manis itu keatas. Sejak pertama kali Neji membawa Hinata ke rumah sakitnya dalam keadaan terluka parah, Gaara terus terganggu oleh sorot mata Hinata. Manik khas klan Hyuuga memang seindah bulan purnama, tapi milik Hinata berbeda. Ketimbang bulan yang bersinar, amethys itu lebih mirip bulan samar yang tertutup kabut. Seolah tidak ada hasrat hidup didalamnya.
Sedikit banyak, Gaara sudah tahu apa yang Hinata hadapi karena pernah merawatnya. Jika diibaratkan, Hinata adalah berlian yang keras namun mudah hancur. Dia pernah berpesan pada Neji untuk lebih berhati-hati menghadapi sang adik sepupu, tapi sepertinya peringatan itu tidak dilakukan dengan benar oleh Hyuuga. "Kukira kau sudah sedikit berubah setelah keluar dari siksaan Haruno, ternyata tetap sama. Kau masih ketakutan dan tidak bisa melangkah karena bayang-bayang masa lalu."
Gaara terhenyak saat seseorang menampik kasar tangannya. "Kau membuat Hinata tidak nyaman!"
Baru kali ini Gaara melihat safir Naruto berkilat marah karena hal sepele. Ekspresi yang sama pernah Naruto tunjukan saat Gaara berusaha mengambil sesuatu yang berharga darinya. "Oh begitu..." Mungkin tebakannya salah, tapi semua masuk akal bila dikaitkan. "Kau sudah bisa membawanya pulang. Aku pergi dulu, ada pasien lain yang menunggu."
Suasana hening begitu Gaara keluar. Sejak tadi Hinata tidak mau bicara sepatah kata pun, hingga Naruto tidak tenang karena khawatir.
"Jangan sampai dipukul lagi oleh siapapun." Sekian lama berpikir, hanya kalimat itu yang mampu Naruto ucapkan untuk mewakili semuai isi hatinya. Yang jelas, dia tidak suka melihat Hinata dilukai oleh siapapun. "Kalau suaramu tidak didengar, setidaknya kau bisa berlari. Jangan cuma diam begitu, bodoh! Sekuat apapun kau menahan sakit, tolong lebih hargai tubuhmu. Jangan membuat orang lain gila karena khawatir."
Senyum pahit terukir sekilas dibibir Hinata. Apa ada jaminan dia akan selamat dari rantai penderitaan jika berlari? Dia sudah pernah melawan Kizashi dan berlari begitu jauh, tapi akhirnya dia kembali terperangkap dalam penderitaan baru bernama Hyuuga. Lagi pula siapa peduli jika tubuhnya terluka? Itu hal biasa. "Tidak ada yang mengkhawatirkanku."
"Aku khawatir! Rasanya sampai mau mati!" Kata-kata Naruto mungkin terdengar seperti bualan, tapi memang begitu adanya. Dia merasa tidak berguna saat melihat Hinata terluka untuk kesekian kali. Berbagai macam emosi memenuhi dada Naruto, sampai rasanya akan meledak.
Mengabaikan Naruto yang menatapnya dengan safir yang sedikit memerah basah, Hinata berusaha berdiri dan berlalu pergi. Naruto adalah seseorang yang sampai kapanpun harus ia jauhi. Karena berani berdiri disisi pria itu, hari ini dia mendapat luka baru. "Kumohon, jangan bersikap baik padaku. Kau bukam siapa-siapa, jangan mencampuri hidupku lagi."
"Aku tidak bisa!" Naruto sudah kehabisan cara, semakin dia berusaha mendekat, Hinata malah berlari menjauh. Naruto pernah berpikir, Hinata akan datang padanya jika dia menunggu. Tapi, gadis itu malah makin bersembunyi dalam kesendirian.
Cukup, Naruto sudah tidak tahan melihat Hinata terus bersembunyi dari dunia. Dia tidak tahu kenapa, tapi benaknya tersiksa. Sekali saja, dia juga ingin melihat Hinata tertawa lepas seperti orang lain.
Genggaman hangat pada lengannya menghentikan langkah Hinata. Dia menoleh, mendapati wajah lembut Naruto yang tampak terluka. Hinata sampai tidak percaya, ketika setetes air jatuh dengan bebas dari manik samudra Naruto. Seolah ada badai menerjang lautan yang selalu cerah itu.
"Apa yang harus kulakukan agar kau mau menjadi temanku, hm?" Hangat, air mata Naruto yang jatuh ke punggung tangannya terasa hangat. Hinata terheran-heran, bukankah air mata itu dingin dan menyakitkan? Kenapa sekarang berbeda? Apa karena, baru kali ini ada seseorang yang menangis untuknya? "Gadis jahat, Hinata.. Bertemanlah denganku."
Hinata biasa dibuang, tapi dia tidak tahu harus bagaimana saat seseorang ingin berada disisinya. Dia tidak butuh teman, yang suatu saat akan pergi meninggalkannya. Dia hanya menginginkan ketenangan, yang akan terenggut jika dia bersama Naruto.
"Hinata.. Berapa lama lagi aku harus menunggu?"
Kilatan pada safir itu membuat Hinata sadar akan satu hal, yang membuatnya merasa sakit bukanlah luka-luka dari pukulan Hiashi. Tapi keberadaan Namikaze Naruto disisinya, dan kenyataan bahwa hatinya menolak untuk menjauhi pemuda itu.
"Maaf membuatmu tidak nyaman...Ayo kuantar pulang." Naruto melepas lengan Hinata canggung. Dia hendak menggendong Hinata lagi, karena kaki gadis itu baru saja diobati. Tapi megingat Hinata merasa tidak nyaman digendong ala tuan putri tadi, Naruto mengurungkan niat. Lagi pula sekarang, rasanya sulit bertatap muka dengan Hinata. Maka Naruto memilih berjongkok, lantas mengadahka tangannya kebelakang. "Kalau tidak keberatan, naiklah kepunggungku."
Bukan jawaban yang Naruto dengar, melainkan suara perut Hinata yang berteriak lapar. Karena keributan tadi pagi, dia pasti belum sempat makan. Naruto yakin, selera makan Hinata pasti hilang dirumah. "Hinata..aku agak lapar, kau mau makan sesuatu sebelum pulang?"
Hening beberapa saat, sampai Naruto merasakan dua lengan kecil melingkar perlahan di lehernya. Sebuah kurva tercipta begitu Hinata naik keatas punggungnya. "Aku mau eskrim."
Naruto sontak berdiri, menggendong tubuh seringan bulu dipunggungnya. Meski Hinata belum setuju untuk berteman, akhirnya dia mau bicara padanya. "Oke, kapten! Makan sebanyak yang kau mau sampai suasana hatimu membaik. Ku traktir."
Diam-diam gadis itu tersenyum, memejamkan mata menikmati rasa nyaman yang jarang ia dapatkan. Kali ini saja, dia ingin melupakan semua masalah.
Apa jatuh hati pada satu-satunya orang yang pernah memperlakukannyanya dengan begitu hangat adalah sebuah dosa? Disaat semua orang bebas mencintai siapapun yang dipilih hati mereka, mengapa Hinata harus berusaha mengabaikan rasa di hatinya? Apakah seorang Hinata, benar-benar tidak boleh jatuh pada Naruto?
Mencintai seseorang, bukanlah kejahatan. Tidak ada alasan untuk menyembunyikannya dari dunia. Sekalipun itu kejahatan, sayangnya Hinata sudah terlanjur jatuh.
❄❄❄❄❄❄❄❄❄
Maaf panjang, kalo dipotong gaenak 😭
Pengen bikin adegan sweet tapi kok cringe 😭
Btw aku bikin fanart naruhina, tapi belum kuwarnai :")
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top