05 : Kecewa

Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Koigokoro - Da-ice
.
.
Angelic Devil
05 : Menerima Kenyataan

Hinata centric / NHL

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Jemari lentik seputih porselen itu tampak sibuk menghapus goresan pensil pada selembar kertas gambar ukuran A4. Meski sekarang dia tidak berada di kelas design, melainkan kelas bisnis tambahan, Hinata lebih tertarik menggambar sketsa baju ketimbang membaca buku tentang bisnis.

Akhir-akhir ini kreatifitas Hinata sedang meningkat, banyak ide-ide baru mengalir di kepalanya. Bisa dibilang, semua berkat Naruto yang membawanya ke tepi danau dihari kematian Hikari. Cukup dengan mengingat bunga-bunga cantik nan bermekaran disana, Hinata bisa mendapatkan inspirasi untuk mendesign baju. Padahal banyak tempat lain yang jauh lebih indah, tapi ada suatu rasa aneh yang membuat Hinata sangat menyukai tempat itu. Meski sudah dua hari terlewat, Hinata masih tidak bisa melupakan segala hal yang ada disana. Bahkan tiap kali memejamkan mata, dia masih bisa mendengar suara tetesan air hujan, melihat senyum Naruto yang mekar diantara bunga-bunga, juga merasakan kehangatan singkat yang mendekap tubuhnya.

"Aku ingin melihat bunga ungu itu lagi... Pasti bagus jika aku bisa membuat gaun berdasarkan bunga kesukaan ibu Hikari." Sambil berpikir, Hinata memainkan pensilnya. "Gaun ungu yang terlihat mekar serupa bunga. Dengan kesan anggun, misterius, kuat, tapi lembut...."

Tidak peduli satu persatu siswa lain mulai berdatangan memenuhi kelas yang mulanya sepi, Hinata tetap fokus merancang busana. Dia berniat mengunggah sketsanya ke situs fashion online bernama BLUE akhir minggu ini. Di kalangan anak muda penggila fashion sampai para pengusaha, BLUE terkenal sebagai sarang designer muda berpotensi. Website itu sering melakukan kompetisi design baju tiap musim, yang pemenangnya dipilih langsung oleh para pengguna internet melalui vote. Memang bukan lomba skala besar, dan hadiahnya tak begitu banyak. Namun, design baju yang berhasil menjadi trending disana sering kali dilirik oleh perusahaan fashion ternama.

Kesempatan Hinata untuk menang tidaklah besar, karena tiap tahun pengunjung website BLUE dan peserta kompetisinya selalu bertambah. Meski demikian, dia tidak ambil pusing. Yang terpenting baginya adalah pengalaman, serta review dari orang-orang yang melihat design bajunya nanti.

"Ini bukan kelas design, kau salah tempat." Hinata mendengus kasar saat seseorang menarik buku gambarnya tanpa permisi. Matanya sontak mendelik tajam kearah si pengganggu- Yamanaka Ino. "Kita perlu bicara, Hinata."

Mengganggap seoalah Ino tidak terlihat, Hinata merampas kembali buku gambarnya tanpa memberi tanggapan pada kelakuan Ino. Dia berniat menghindari perdebatan tidak penting, tapi nyatanya Ino justru dibuat meradang karena merasa terabaikan.

Brak!

Tangan mulus Ino mendarat tepat di atas meja Hinata, menimbulkan suara kencang yang menarik perhatian beberapa orang- termasuk Naruto yang tadinya sibuk mengobrol bersama Sasuke dan Sakura.

"Jangan mengabaikanku seolah tidak terjadi apapun! Gadis tidak tahu malu."

Hinata mengangkat kepala, membalas tatapan sengit Ino dengan ketenangan yang menusuk. "Tidak perlu banyak tingkah. Jika ada urusan denganku, katakan saja dengan jelas."

"Ini soal Lee. Apa tempo hari kau mengganggunya sampai menangis, karena kesal padaku dan Tenten yang membela Sakura? Kau balas dendam pada anak kecil? Memalukan." Ino tidak bisa menahan rasa kesalnya tiap melihat Hinata dan teringat adik Tenten. Terlebih lagi gadis itu masih saja tampak dingin, tak ada rasa bersalah atau niat meminta maaf. "Akui kesalahanmu, minta maaflah pada Tenten kalau dia sudah datang. Maka aku juga akan mencoba mentolerir sikap burukmu."

"Tidak mau. Berapa kali aku harus bilang tidak agar kau mengerti?" Apakah salah Hinata jika Tenten punya adik yang penakut dan cengeng? Bukannya Hinata terlalu sombong dan enggan mengatakan maaf. Toh meminta maaf adalah hal mulia yang paling mudah dilakukan. Tapi mengakui kesalahan yang tidak pernah ia lakukan, bukan perkara mudah. Itu melukai harga dirinya.

"Kau!" Ino mencengkram erat lengan Hinata. "Kubilang minta maaf pada temanku!!"

"Nona Yamanaka!" Kini Hinata sudah mencapai batas kesabaran. Padahal dia sudah diam, tapi orang-orang memuakkan selalu saja mengusik hidupnya. Persetan pada niatan Ino yang ingin membela sahabatnya atau apa. Walaupun tujuan Ino baik, tetap saja bukan hal benar terus menyalahkan satu pihak tanpa melihat masalah dari dua sisi. "Meski kau manusia pengangguran yang punya terlalu banyak waktu luang. Bukan berarti kau berhak mengusik hidup orang lain demi hal tidak penting, yang bahkan belum kau ketahui jelas kebenarannya."

Ino mendesah geram, merasakan panas pada tangannya yang ditampik Hinata sampai memerah.

"Siapa kau sampai berani berkata tidak sopan pada Ino?!" Sakura yang tadi hanya melihat kini mendekat kearah Hinata. Merasa temannya diperlakukan kurang baik, dia tidak terima.

"Kenapa aku harus sopan pada orang yang tidak menghargaiku? Memang ada jaminan dia akan mendengarkan ucapanku kalau aku berkata lebih sopan?" Hubungan pertemanan pasti sudah membutakan mata Sakura, sampai dia tidak sadar siapa yang memulai duluan. "Kalian sama-sama memuakan"

"Gadis kasar! Jahat! Menyebalkan! Jauhi aku dan teman-temanku!" Semua orang tampak terkejut sampai tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, saat melihat Sakura membentak dan mendorong-dorong tubuh Hinata. Orang-orang mulai berbisik mengolok Hinata, menyebutnya sebagai iblis kelas atas yang mampu membuat seorang malaikat seperti Sakura marah.

Mulai tidak nyaman dengan tindakan kekanakan Sakura, Hinata lantas menarik tangan gadis itu dan memelintirnya kebelakang. "A-ah..aduh sakit auw.."

Naruto yang melihat itu langsung panik, berusaha melerai keduanya. Bisa-bisa Sakura terluka jika terus dibiarkan, dan Hinata akan semakin dibenci oleh semua orang.

"Hinata cukup, lepaskan tangannya." Naruto terus mencoba melepaskan jemari Hinata yang mencengkram erat tangan Sakura. Dibantu oleh Ino yang menarik tubuh Hinata. Tapi percuma, Hinata sudah terlanjur tenggelam dalam emosinya. Biasa menerima kekerasan sejak kecil, membuat Hinata sering kali lepas kontrol ketika seseorang melakukan serangan fisik padanya. "Hinata...kubilang lepaskan dia...JANGAN SENTUH SAKI!"

Deg.

Amethyst itu membulat lebar. Jemarinya refleks melepaskan Sakura yang langsung jatuh ke pelukan Naruto. Hinata mematung, pria yang selalu bicara dengan nada lembut baru saja membentaknya. Kata-kata Naruto memang tidak sekasar cacian Kizashi, tapi anehnya Hinata terluka ribuan kali lebih parah dibandingkan saat itu. Seolah-olah sesuatu yang dingin mengoyak rongga dadanya sampai hancur.

Saat dia menoleh, belasan pasang mata telah menatapnya penuh kebencian. Ini bukan hal baru, Hinata sudah biasa ditatap hina kemanapun dia melangkah berkat reputasi buruk Kizashi. Tapi ketika safir yang selalu menatapnya hangat itu juga berubah dingin, Hinata merasa perih. Inilah mengapa, dia benci berharap pada orang lain. Karena saat harapan itu tidak terwujud, rasanya jauh lebih menyakitkan dari pada hidup tanpa harapan.

Suasana mendadak hening setelah Naruto berteriak. Selang beberapa detik, kekhawatiran dan rasa bersalah memenuhi pikiran Naruto. Tanpa sadar dia telah membentak Hinata. Padahal Naruto hanya tidak ingin Hinata dihukum karena melukai Sakura, tapi tindakannya tadi malah memperjauh jarak diantara mereka.

.

.

.

.

"Kenapa suasananya aneh begini? Ada apa?" Semua orang serentak menoleh kearah Tenten yang baru saja tiba.

"Akhirnya kau datang juga." Tenten dibuat bingung oleh tatapan serius Naruto. "Ini soal adikmu Lee. Mereka bertiga baru berkelahi, karena Ino masih berpikir bahwa Hinata yang mengganggu adikmu hari itu."

"Eh? Tidak begitu...kalian salah!" Wajah Tenten berubah panik. Dia langsung mendekati Hinata dan membungkukan badan didepannya. "Maafkan aku, Hinata! Aku sudah dengar dari Lee, ternyata kau malah menolongnya hari itu. Maaf sudah berprasangka buruk padamu dan menimbulkan kesalahpahaman."

"Kenapa kau baru bilang?!" Ino menggigit bibir, merasa tidak enak karena sudah memulai pertengkaran dengan Hinata.

"Lee baru bercerita kemarin.. Jadi aku belum sempat memberi tahumu." Tenten sudah menghubungi Ino, namun ponselnya tidak aktif sampai tadi pagi. Kini manik kecoklatannya beralih melirik Sakura sekilas. "Tapi aku sempat membicarakannya dengan Sakura di telfon, kupikir dia sudah menceritakannya padamu juga."

"A-aku.."

"Sudahlah. Mungkin Sakura lupa karena kesal mendengar Hinata bicara kurang sopan pada Ino. Dia pasti juga masih sedih dan banyak pikiran setelah peringatan kematian ibunya, tolong maklumi." Sasuke ikut angkat bicara, jika sudah mengenai Hyuuga Sakura pria itu akan berdiri di barisan paling depan. "Mereka sudah minta maaf pada Hinata. Jadi hentikan perdebatan kalian sampai sini, sebentar lagi pelajaran Kakashi-sensei akan dimulai."

Hinata mendecih pelan. Jika semua kesalahan bisa dilupakan hanya dengan mengucap satu kata 'maaf', tidak heran dunia dipenuhi oleh manusia egois yang sering berbuat dosa tanpa merasa takut. "Bisakah kalian menganggapku tidak ada saja? Aku akan berpura-pura tidak melihat kalian meski kita berpapasan. Aku akan menghindar, jadi jangan usik hidupku."

"Hinata jangan berkata seperti itu...aku-" Hinata berlalu begitu saja melewati Naruto. Dia kembali duduk dibangkunya, mengabaikan semua orang. Melihat sorot mata Hinata yang kembali hampa seperti saat pertama kali mereka bertemu, membuat Naruto tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Kelas berakhir lebih cepat hari ini, dikarenakan Kakashi tidak bisa hadir dan hanya memberi tugas lewat asistennya. Satu persatu siswa meninggalkan ruang kelas, kecuali Hinata yang masih sibuk dengan kertas gambarnya dan dua orang gadis yang terus memperhatikan Hinata sejak tadi.

"Anu.... Hinata." Tenten memberanikan diri mendekati Hinata. Sejak tadi dia terus menunggu waktu yang tepat untuk bicara hingga tanpa sadar kelas sudah sepi.

"Ada perlu apa lagi denganku?!"

Tenten dan Ino sontak membungkuk kompak. "Maafkan kami!!"

Ino meremas ujung bajunya gugup, sadar bahwa selama ini dialah yang selalu mencari gara-gara dengan Hinata. Setelah melihat Sakura menangis karena Hinata saat pertama mereka bertemu dulu, tanpa sadar Ino jadi selalu berpikir buruk soal Hinata. "Maaf... Kali ini aku yang salah. Karena tidak ingin teman-temanku di sakiti, aku malah menyakitimu."

"Sudahlah hentikan, mau sampai berapa kali kau minta maaf?" Hinata bosan mendengarnya. Kata maaf tidak berguna jika kesalahan yang sama terus terulang. Enggan terlibat lebih jauh dengan teman-teman Sakura, Hinata memilih mengemas baragnya dan beranjak pergi. "Asal kalian tidak menggangguku lagi, itu sudah cukup."

"Te-terimakasih!" Tenten buru-buru menghalangi jalan Hinata. Dia harus mengutarakan semua isi hatinya sebelum gadis itu pergi. "Kalau bilang terimakasih boleh 'kan? Terimakasih banyak sudah menolong Lee."

Hinata hanya menolong adik Tenten secara spontan karena kebetulan dia ada di tempat kejadian. Dia tidak berharap akan menerima pujian atau ucapan terimakasih dari siapapun. Tapi, ini yang pertama kalinya seseorang berterimakasih atas tindakan Hinata, bukan menyalahkan atau mencaci. Terimakasih, kata sederhana itu jauh lebih menyentuh hati Hinata ketimbang permohonan maaf. "Lain kali jaga baik-baik anak cengeng itu."

Tenten tertawa kecil mendengar tanggapan Hinata. Tiba-tiba saja dia teringat Naruto yang sering berusaha meyakinkannya, bahwa Hinata tidak seburuk yang dia kira. "Ternyata Naruto benar, kau memang terlihat ketus diluar. Tapi kenyataannya kau hanya sedikit kikuk dan tidak pandai bicara. Mulai sekarang, aku juga akan mencoba memahamimu."

"Dia...bilang begitu padamu?" Lagi-lagi pria tan itu ikut campur. Harusnya Hinata kesal, karena semakin dia terlibat dengan Namikaze Naruto keadaan akan makin rumit. Tapi dilain sisi, dia sedikit senang. Segala hal yang melibatkan hati itu sulit diatasi.

"Bukan cuma Tenten, dia bahkan berusaha meyakinkanku dan yang lain untuk mencoba berteman denganmu." Ino menyahut cepat. Sadar ada orang lain yang menunggu Hinata didepan pintu, ia segera menarik tangan Tenten. "Aku masih ada urusan setelah ini, kita bicara lagi kapan-kapan ya, Hinata? Kalau begitu kami duluan."

"Ah..iya." Masih banyak yang ingin Hinata tanyakan, dia penasaran sejauh mana Naruto ikut campur tanpa sepengetahuannya. Tapi Ino dan Tenten sudah buru-buru pergi.

Hari sudah semakin sore, Hinata juga harus segera pulang sebelum ketinggalan bus. Karena Hinata enggan berangkat bersama Sakura, Hiashi pernah menawarkan mobil dan supir pribadi untuknya. Tapi Hinata menolak, dia tidak ingin terlalu bergantung pada kekayaan keluarga Hyuuga. Lagi pula cepat atau lambat dia akan meninggalkan Hyuuga, berusaha hidup dengan kemampuannya sendiri.

.

.

.

.

.

.

"Hinata!"

"Kau?!" Begitu keluar kelas, suara lembut yang familiar mengagetkannya. Namikaze Naruto, entah sejak kapan dia sudah berdiri di depan pintu menunggu Hinata.

"Ha-hai.." Kelopak mata Naruto berkedip beberapa kali, takut-takut melirik kearah Hinata. Dia memang tidak berbakat menyembunyikan rasa gugup. "Ehm... Mau kutemani menunggu sampai busnya datang?"

"Aku malas melihatmu, pulang sana." Hinata berlalu kesal. Setelah membentaknya tadi, sekarang Naruto malah berusaha menempel padanya seperti tidak terjadi apapun. Bukannya dia berharap Naruto akan selalu memperlakukannya dengan lembut atau istimewa, Hinata sendiri tidak tahu kenapa dia begitu sakit hati ketika Naruto meninggikan nada bicaranya demi membela Sakura.

Mengabaikan jawaban Hinata yang mengusirnya, Naruto terus mengikuti langkah gadis itu. Hinata mungkin sudah terbiasa menunggu sendiri, tapi setidaknya dia tidak akan terkena masalah seperti waktu itu bila Naruto bersamanya. "Aku inginnya juga begitu. Tapi ada kegiatan yang harus kuurus satu jam lagi disini, jadi aku tidak bisa pulang." Seorang Naruto sampai berbohong- membuat alasan demi bisa berada di dekat Hinata sedikit lebih lama. Kalau sampai Kushina tau putra sulungnya berbohong, dia pasti sudah mengamuk.

"Lalu kenapa malah mengikutiku?!"

Langkah Naruto seketika terhenti saat Hinata tiba-tiba berbalik dan memelototinya. Tentu saja Hinata marah, semua salahnya karena telah membentak Hinata di depan umum tadi. Dan sekarang dia malah mengikuti Hinata seperti orang bodoh, bingung merangkai kata yang tepat untuk meminta maaf. "Hinata.. Apa tidak ada yang ingin kau katakan padaku?"

"Sekarang apa maumu?"

"Maaf soal yang tadi, aku bicara terlalu keras." Hinata dibuat terkejut oleh Naruto yang tiba-tiba menjewer kedua telinganya sendiri. "Aku salah. Kalau kau ingin balas membentakku atau mengomel, akan kudengarkan sampai selesai. Kau boleh marah, memukulku juga tidak masalah, tapi jangan membenciku ya? Ya, Hinata?"

Hinata sangat ingin memukuli Naruto, dia ingin berteriak agar Naruto pergi menjauh. Tapi saat menatap manik Naruto yang tampak berkaca-kaca rasa marahnya langsung menguap entah kemana. Rubah! Di kehidupan lalu, pasti Naruto terlahir sebagai rubah ekor sembilan yang pandai merayu manusia untuk dijadikan mangsa. "Aku paling benci orang sepertimu. Asal kau tahu, sebenarnya aku sangat ingin menjauhimu sejak pertama kita bertemu." Safir Naruto yang berkilauan langsung meredup, ekspresinya mirip anak kucing yang baru ditelantarkan majikannya. Membuat Hinata merasa tidak enak dan refleks memukul pelan pipi Naruto. "Jangan memasang wajah jelek begitu. Karena aku butuh bantuanmu saat kabur nanti, jadi kumaafkan. Lain kali kalau kau membentakku, akan kuhajar."

"Lain kali? Jadi, kau tidak akan berusaha menjauhiku lagi?" Hinata mengangguk malas sebagai jawaban. Mimik wajah Naruto langsung kembali ceria seperti biasa, Hinata sampai heran melihat perubahan mood Naruto yang terlalu cepat. "Bagus! Kalau begitu sekarang kita teman."

"Apa? Jangan seenaknya, aku tidak bilang mau jadi temanmu, jelek!"

"Akan kutunggu sampai kau mau, cantik!" Naruto membalas hinaan Hinata dengan kalimat gurauan. Makin ditolak oleh Hinata, anehnya Naruto semakin bersemangat menerobos pertahanan gadis itu. Dia tahu apa yang Hinata ucapkan berbeda dengan isi hatinya. Hari ini lagi-lagi Naruto menemukan sisi lain Hinata saat pipinya merona samar, dia gadis yang pemalu. "Ah! Sebelum busnya tiba, temani aku ke perpustakaan sebentar ya? Aku ingin pinjam buku untuk mengerjakan tugas dari Kakashi-sensei. Apa kita kerjakan bersama saja sekalian?"

Rasanya seperti tersengat listrik ketika lengan besar Naruto merangkul pundaknya. Tubuh Hinata kaku, dia hanya bisa menurut mengikuti langkah cepat Naruto. "Terserahlah."

"Ayo cepat Hinata, kita tidak boleh buang-buang waktu!" Angin berhembus pelan membelai surai indigonya ketika mereka mulai berlari kecil. Menolak seorang Namikaze Naruto itu tidak ada gunanya. Dia akan terus mengusik Hinata meski telah diusir. Karenanya, membiasakan diri dengan keberadaan Naruto mungkin akan lebih mudah.

"Hinata... Barusan kau tersenyum?" Menyadari peristiwa singkat yang sangat langka itu, Naruto tertawa lebar.

"Siapa? Matamu pasti bermasalah. Jangan melihatku atau kucolok."

"Tunggu saja, lain kali kalau kau tertangkap basah akan kufoto!"

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Diantara rak-rak buku yang berjajar rapi, onyx dan emerald itu saling bicara melalui tatapan mata. Sakura diam membeku kala jemari dingin Sasuke mulai menyibakkan surai merah jambunya, menjelajahi tiap inci lehernya yang terekspos.

"Sasu..." Sakura berusaha mendorong dada bidang yang menghadang tubuhnya, tapi dalam satu tarikan Sasuke kembali memonopoli tubuh Sakura.

"Saki, kalau kali ini kau menolakku aku akan pergi dari hidupmu selamanya." Sebuah seringaian terlukis jelas dibibir Sasuke ketika Sakura memeluknya obsesif. Dia tahu gadis itu tidak akan bisa hidup tanpa manisnya cinta yang ia tawarkan. Selangkah lagi, dia akan mendapatkan Sakura- kunci untuk menguasai Hyuuga dan menjatuhkan Namikaze. Perjuangannya selama bertahun-tahun akan segera membuahkan hasil. Sasuke tidak bisa membiarkan siapapun merusak rencana Uchiha.

"Meski belum diumumkan secara resmi, aku sudah dijodohkan dengan Namikaze Naruto.... Sebagai pewaris Hyuuga aku harus mematuhinya."

"Ssssttt..." Sakura menggeliat pelan merasakan angin hangat yang berhembus ditelinganya. "Aku bukan laki-laki serakah, tidak masalah bagiku menjadi yang kedua. Bukankah selama ini kita selalu bertemu dibelakang Naruto? Kenapa kau mau membuangku, padahal sekarang Naruto juga bermain hati dengan gadis lain? Kau juga sadar kan', dia berubah sejak gadis itu datang."

"Aku tahu! Aku juga tidak mau meninggalkanmu! Tapi aku harus bagaimana? Mana mungkin aku bisa-" Kata-kata Sakura terhenti paksa, kini bibirnya terkunci rapat menerima lumatan-lumatan ganas dari bibir panas Sasuke. Dia makin tenggelam dalam dilemanya.

Sakura mencintai Sasuke, dia tidak bisa mengelak dari fakta itu dan terus bermain api selama bertahun-tahun. Tapi disisi lain, dia menyayangi Naruto yang selalu melindunginya sejak masih kecil. Naruto adalah hadiah untuknya karena telah terlahir sebagai putri Hyuuga, karena itu Sakura tidak bisa melepas Naruto sampai kapanpun. Dua pemuda itu bagaikan paru-paru baginya, jika salah satu menghilang, Sakura akan mati secara perlahan.

Kekurangan pasokan oksigen membuat Sakura makin tidak waras. Dia mengalungkan kedua tangannya di pundak Sasuke, balas menghisap bibir hangat yang menggodanya. Baik Sakura maupun Sasuke berpikir, tidak akan ada yang mengganggu mereka di sudut perpustakaan yang sepi ini. Mereka begitu terlena sampai tidak menyadari kehadiran dua pasang mata yang menatap nanar kearah mereka.

Mata Hinata seperti akan meloncat keluar, melihat adegan panas secara langsung begitu memasuki perpustakaan. Antara malu dan terkejut, Hinata hanya berdiri diam selama beberapa saat sampai dia menyadari bahwa pasangan mesum yang dia lihat adalah Sasuke dan Sakura- tunangan, serta sahabat dekat Naruto. Seketika ia menoleh kearah Naruto disampingnya, pemuda itu masih setia menatap dalam diam.

Berbeda dengan Hinata, Naruto sama sekali tidak terkejut. Dia sudah tahu, sejak dulu Sakura menaruh hati pada Sasuke. Hanya saja Naruto memilih berpura-pura tidak tahu, dia enggan menerima kenyataan karena takut terluka. Selama Sakura belum menolaknya secara langsung, Naruto ingin memperjuangkan hubungan pertunangan yang telah diharapkan oleh keluarga mereka. Tapi kenaifannya itu malah membuat keadaan rumit, dan melukai banyak pihak.

Lamunan Naruto buyar ketika dua tangan kecil berusaha menutupi matanya. Hinata berdiri agak berjinjit didepan, mencoba menghalangi pandangan Naruto. "Kau sedang apa? Masih terlihat jelas dari sela jari-jarimu tahu."

"Oh..."

Perlahan Naruto berbalik arah, menutup wajahnya dengan sebelah lengan. Bahkan Hinata sampai mengkhawatirkannya, dia pasti terlihat mengenaskan sekarang. "Disaat seperti ini, seharusnya kau menarikku pergi. Dasar bodoh."

Hinata tidak pernah dekat dengan seseorang selama hidupnya, karena itu dia tidak terlalu mengerti bagaimana perasaan Naruto. Tapi, dihianati oleh dua orang yang paling dia percaya, dan dia cintai, pasti orang seceria Naruto pun akan hancur bukan?

"Ayo pergi." Hinata menggenggam tangan Naruto erat, kali ini dialah yang akan menyembunyikan Naruto dari kejamnya dunia.

.

.

.

.

.

.

Hinata menarik Naruto ke lantai dua perpustakaan. Selama beberapa menit mereka hanya saling diam. Hinata tidak ingin mengungkit soal kejadian tadi, hal buruk akan melukai hati jika terus diingat. Oleh karena itu, Hinata memilih duduk manis sambil membaca buku, membiarkan Naruto menenangkan diri sendiri.

"Kau dingin sekali, dasar tidak peka."

Hinata cepat-cepat menoleh, akhirnya Naruto bicara. Melihat orang yang biasa cerewet jadi pendiam itu menakutkan. "Hm?"

"Aku baru saja mengalami hal luar biasa, apa kau tidak khawatir?" Normalnya orang akan berusaha menghibur, atau minimal menanyakan perasaan Naruto. Tapi Hinata malah tampak tenang membaca buku setelah membawa pergi Naruto. "Dasar kejam. Gadis jahat."

"Bukan aku yang harusnya kau maki." Dari suara Naruto yang terdengar lemas, Hinata tahu sedalam apa luka yang dideritanya. Naruto pasti ingin kembali ke lantai satu, memaki Sakura dan Sasuke yang menusuknya dari belakang. Tapi kini dia memilih diam karena kebaikan hatinya. "Apa kau baik-baik saja?"

Masih melihat kearah Hinata, Naruto meletakkan kepalanya yang terasa berat keatas meja. Ini yang pertama, Hinata menanyakan keadaannya. Jika keadaan hati Naruto sedang baik, mungkin dia akan tersenyum tanpa henti sekarang. "Kau tahu.. Aku sangat kecewa."

Naruto menutup kelopak matanya, dia ingin tidur dan berharap semua yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi. Dia tahu suatu saat Sakura akan pergi bersama pria pilihannya. Naruto sudah mempersiapkan hati dari jauh-jauh hari, dia siap menerima bila akhirnya perjodohan mereka dibatalkan. Naruto hanya mengharapkan satu hal, bahwa Sakura akan menolaknya secara langsung. Dia pasti mundur jika Sakura yang memintanya. Tapi gadis itu malah diam-diam berkencan dengan Sasuke.

Hinata ikut meletakkan kepalanya diatas meja, menghadap ke Naruto yang menutup mata. Naruto benar, dia bukan orang yang pandai merangkai kata. Hinata tidak bisa mengatakan kalimat ajaib yang mampu menenangkan hati seseorang seperti yang biasa Naruto lakukan. Dari semua trik yang pernah Naruto praktekkan padanya saat dia sedih, hanya satu yang bisa Hinata tiru. Trik paling sederhana, yang bisa mengurangi beban dalam hatinya waktu itu- sentuhan di pipi.

"Dasar payah... Jangan sedih hanya karena seorang gadis." Ragu-ragu tangan kanan Hinata mendekat kearah wajah Naruto. Sembari menahan napas, Hinata menangkup pipi tan bertanda lahir tiga goresan unik itu. "Tidak papa.. Kau tidak sendiri, aku akan disini bersamamu."

Kelopak mata itu sontak terbuka, memperlihatkan safir yang membuat amethyst Hinata membulat lebar. Jemari tan Naruto menyentuh pelan tangan Hinata diatas pipinya. Entah karena perasaannya sedang kacau atau karena aroma buku perpustakaan yang membuatnya pusing, Naruto merasa jantungnya berdetak diluar batas normal.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Di Venus, aku udah jadiin Sasu cowok baik-baik yang tulus dan selalu berkorban. Jadi di fic ini, aku mau sasu punya image yang beda. Image seperti tokoh srigala ambisius, yang malah jatuh dalam permainan si tudung merah dan pemburu seiring berjalannya cerita 😂.

Seeya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top