04 : Rainy Day

Disclamer : Masashi Kishimoto
.
.
Story au by : Aizuhime
.
.
17+
.
.
Mulmed : Rainy Day - Oku Hanako
.
.
Angelic Devil
04 : Rainy Day

Hinata centric / NHL

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Mendiang nyonya Hyuuga, adalah wanita yang dicintai banyak orang. Itulah kesimpulan Hinata ketika melihat banyaknya orang yang berdo'a di hari kematian Hyuuga Hikari. Mulai dari kerabat, sampai rekan bisnis seperti klan Namikaze datang memberi hormat di depan altar Hikari. Banyak dari mereka menitihkan air mata tak bisa menyembunyikan duka, terutama Sakura dan Hiashi.

Sebagai orang yang kini berstatus putri kandung mendiang Hikari, Hinata menyalakan dupa dan memberi persemsembahan didepan foto sang ibu yang berhias bunga chrysant putih. Hinata penasaran orang seperti apakah Hikari itu. Meski Hinata hanya melihat dari foto, Hikari tampak sangat cantik dengan senyum yang mampu menyejukan hati. Mungkin dia sosok ibu ideal seperti yang ada dalam dongeng. Sayang sekali takdir tidak memberi mereka waktu untuk sekedar saling mengenal.

"Ibu meninggal saat usiaku baru lima tahun. Meski begitu, aku masih bisa mengingat jelas kehangatannya. Dia ibu yang sempurna."

Hinata menghela napas singkat, mulai memfokuskan diri pada Sakura disebelahnya. Hanya hari ini, dia akan berbaik hati mendengar keluh kesah Sakura. Gadis itu pasti sedih merindukan ibunya. "Dia sudah bahagia disana, jangan menangis dan membuatnya sedih."

"Aku sudah tidak menangis." Sakura berusaha menyeka air matanya, lantas tersenyum pada Hinata. "Lagipula sekarang kita masih punya ibu yang lain. Bagaimana keadaan ibu Haruno? Apa dia hidup dengan baik dan Sehat?"

Hinata terdiam menghindari emerald Sakura. Dia pasti sangat merindukan kasih sayang seorang ibu. Hinata tidak bisa membayangkan bagaimana bila Sakura sampai tahu kenyataannya, bahwa Mebuki adalah wanita egois yang tidak pantas disebut ibu. "Ya.. Dia bahkan sangat sehat."

"Aku iri padamu, Hinata-chan.."

"Apa?"

"Karena hidup sebagai Haruno kau bisa merasakan kasih sayang seorang ibu, sedangkan aku sudah harus kehilangan ibu sejak kecil."

Kata-kata Sakura mungkin memang benar, karena setidaknya Mebuki masih tinggal bersama Hinata hingga usianya tujuh tahun. Dia memiliki seorang ibu dua tahun lebih lama dari Sakura. Tapi, apakah itu cukup membuatnya disebut lebih beruntung? Sejauh yang Hinata ingat, ia tidak pernah merasakan kehangatan. Yang ada hanyalah rindu, dan haus kasih sayang.

Berusaha mengingat kenangan indah hanya semakin melukai hati Hinata. Karena sekuat apapun dia berusaha mengingat, memang tidak ada peristiwa indah yang bisa dikenang. Mungkin memang sudah nasibnya, tidak bisa merasakan kehangatan seorang ibu kemanapun dia melangkah pergi.

"Maaf Hinata-chan.. Aku jadi berkata yang tidak-tidak karena ingin mengenal ibu Haruno. Jangan salah paham, meski cuma sebentar aku juga sangat bahagia bisa menjadi putri ibuku." Air mata Sakura kembali mengalir. "Aku kedepan dulu menemani ayah.. Kami harus menyambut tamu yang datang untuk berbelasungkawa tiap tahun. Mau ikut?"

"Tidak, pergilah."

Untuk apa dia ikut?

Toh Hinata merasa asing. Dia tahu Hyuuga bukan tempatnya. Hari ini adalah hari kematian ibu Sakura, semua orang ada disini untuk berbelasungkawa dan mendukung Sakura yang tampak hancur. Bukan Hinata yang bahkan tidak menangis sedikit pun. Darah siapapun yang mengalir pada tubuhnya, dunia akan tetap mengenal Hinata sebagai putri keluarga Haruno. Waktu yang sudah berlalu tidak akan bisa diubah meski fakta telah terungkap.

Lalu, dimanakah ia harus berpijak?

.

.

.

.

.

Si pemilik manik sebiru safir tampak sibuk mencari sesuatu, lebih tepatnya seseorang. Sejak dia datang bersama kedua orangtuanya, Naruto belum sempat bicara dengan Hinata dan sekarang dia malah menghilang entah kemana.

"Naru..ada apa?"

"Aku mencari Hinata. Kau tahu dia dimana, Saki?"

Sakura terdiam beberapa saat. Kata-kata Sasuke tempo hari kembali terngiang, membuatnya tidak nyaman. "Hinata didalam tadi, mungkin dia masih didekat altar ibu. Kenapa mencarinya?"

"Aku ingin mengucapkan belasungkawa padanya juga sebelum pulang." Naruto sudah memeriksa altar sebelumnya. Nihil, Hinata tidak disana. "Kalau begitu aku cari dia dulu."

"Naru, tunggu!"

Sakura tidak bisa percaya, Naruto yang selalu melihat kearahnya, yang selalu datang padanya tanpa diminta, yang selalu mengutamakan kebahagiaannya diatas semua, hari ini berlalu pergi begitu saja tanpa menoleh kebelakang. Tak menghiraukan panggilan Sakura yang membutuhkan pundaknya untuk bersandar.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Dalam ruang sempit yang agak gelap itu Hinata duduk terdiam. Mengabaikan dinginnya lantai juga debu yang mengganggu pernapasannya, Hinata memilih tetap di gudang sampai upacara hari kematian Hikari selesai. Dia tidak betah disana, dia ingin sembunyi dimana tak seorang pun dapat menemukannya. Toh, Hinata juga sudah selesai memberi penghormatan bahkan berdo'a. Disana juga ada Sakura yang mengurus para tamu penting.

Sambil melamun, ingatan Hinata melayang jauh menuju masa lalu. Mungkin karena Sakura menyinggung soal Mebuki, emosinya jadi sedikit labil.

.

.

.

.

Gadis kecil itu meringkuk dalam selimut. Jemarinya menggenggam sebuah kalender yang sudah ditandai dengan pena ungu- warna favoritnya. Hari ini, adalah ulang tahun Hinata. Seperti kebanyakan anak usia tujuh tahun lain, di hari kelahirannya Hinata juga mengharapkan sebuah hadiah. Tidak banyak yang dia inginkan, cukup perhatian juga kasih sayang.

Ayah Hinata selalu sibuk bekerja hingga sore, di rumah pun ia masih berkutat dengan tugas dari kantor. Tak ada waktu untuk Hinata. Sedangkan ibunya, wanita itu punya hobi yang lebih penting ketimbang keluarganya. Mengejar kesenangan pribadi dari pagi buta hingga tengah malam, bersama pria-pria muda idamannya.

Hinata selalu sabar, bertahan, sambil terus bermimpi akan tiba hari dimana rumahnya tidak terasa sepi. Tuhan mengabulkannya. Suara bel terdengar, Kizashi dan Mebuki pulang bersama. Sungguh peristiwa yang langka sampai-sampai Hinata kecil meloncat kegirangan dari kasur menuju ruang depan. Menerka-nerka kalimat selamat yang akan diucapkan orangtuanya. Hari ini, pasti hari terbaik dalam hidup Hinata.

"SIAPA PRIA YANG BERSAMAMU TADI!!" Langkah kecil Hinata terhenti. Melihat sang ayah yang mencengkram erat bahu ibunya, ia otomatis bersembunyi dibalik tembok.

"Pacarku."

"Apa? Pacar kau bilang?" Hinata makin meringkuk takut. Baru kali ini dia melihat wajah murka Kizashi. "Kau wanita yang sudah berkeluarga, nyonya Mebuki!! Dimana harga dirimu?!"

"Memang kenapa? Apa yang salah jika aku ingin bahagia?!" Mebuki mendorong tangan Kizashi menjauh dari tubuhnya. "Saat kau sibuk dengan duniamu itu, merekalah yang memberiku cinta. Kau tidak berhak melarangku!"

"Aku suamimu! Kau pikir untuk siapa aku bekerja sampai larut? Untuk putrimu!"

"Putriku kau bilang? Dia juga putrimu, Kizashi. Putri kita!"

Kizashi merasa jengah dengan segala sikap Mebuki. Wanita itu telah mengubah semua rasa cintanya menjadi keraguan hingga dia membenci sampai setengah mati. "Kau pikir aku bisa percaya pada mulut wanita murahan sepertimu? Lihat baik-baik anak itu, dia tidak mirip denganku ataupun denganmu. Dia pasti menuruni semua gen dari ayah biologisnya."

"CUKUP! Aku sudah muak dengan semua kecurigaan dan tuduhanmu." Orang yang telah mengubahnya sampai menjadi wanita kotor seperti ini adalah Kizashi. Mebuki tulus menikahi pria itu karena cinta, tapi setelah putri mereka lahir sikap Kizashi berubah dingin. Selalu mengabaikan Mebuki dan menusuknya dengan berbagai kalimat tuduhan. "Aku akan pergi dari hidupmu. Ceraikan aku."

Melihat ibunya yang melangkah pergi, Hinata keluar dari persembunyiannya tanpa pikir panjang. Mebuki memang sudah sangat sering meninggalkan rumah tanpa pamit. Tapi kali ini berbeda. Meski Hinata tidak terlalu mengerti jelas apa masalahnya, dia merasa sang ibu tidak akan pernah kembali jika tidak dicegah. "Ibu! Ibu tunggu bu.. Hiks..hiks..jangan pergi bu. Aku akan jadi anak baik, jangan meninggalkanku...ya?"

Sambil menggenggam tangan Mebuki dengan jari kecilnya, Hinata terus memohon.

"Lepaskan aku anak sialan. Sampai kapan kau akan terus merusak hidupku? Harusnya aku tidak pernah melahirkanmu."

Tubuh kecil itu terlempar ke lantai, tak mampu menahan tenaga Mebuki saat mendorongnya. Tanpa melihat Hinata yang meringis menahan sakit, wanita itu pergi tanpa menoleh sekalipun. Membuat Hinata sontak menangis histeris. Tangannya terus berusaha menggapai sang ibu. Tapi ketika ia berhasil bangkit untuk mengejar Mebuki, sebuah lengan besar mengangkat tubuhnya keudara.

"A-ayah?"

"Anak haram." Pupil lavender itu sontak membulat. Bukan karena dia mengerti arti ucapan ayahnya, tapi karena melihat ekspresi kelam di wajah Kizashi. "Mati!"

Dalam hitungan detik, tubuh Hinata sudah terlempar sejauh dua meter. Hinata menangis dengan mulut terkunci rapat. Nyeri pada tulang-tulangnya sampai tak terasa, kalah oleh rasa takut yang menggetarkan tubuhnya. "A....a-ampun....ayah..ampun."

Bersama perginya mebuki, rasa kemanusiaan di hati Kizashi telah mati. Tidak peduli pada anak kecil yang merintih memohon pengampunan darinya, tangan Kizashi terus memukul. Seakan-akan dia ingin Hinata meregang nyawa.

Hari ini, pada ulang tahunnya yang ke tujuh, do'a Hinata dikabulkan. Rumahnya tak lagi sepi. Mulai sekarang, tiap malam akan terdengar suaranya yang meraung-raung meminta pengampunan.

Tuhan, sungguh bukan ini yang Hinata harapkan. Apakah 'ingin disayangi', adalah permintaan yang terlalu mustahil dalam hidupnya?

Dia hanya ingin seseorang memeluknya.


.

.

.

.

.

.

"Hinata! Hinata, tenanglah! Kau kenapa? Hinata!" Naruto mengguncang tubuh Hinata panik. Saat dia mencari Hinata, dia tidak sengaja melihat pintu gudang terbuka dan memeriksanya. Dia sangat terkejut saat melihat Hinata yang meringkuk di sudut gudang dengan tubuh bergetar hebat. Bahkan gadis itu tidak menyahut panggilanya.

"Ampun..ayah..aku salah..aku salah..jangan pukul." Naruto semakin khawatir mendengar Hinata terus meracau. Napasnya tampak tak beraturan, seolah tidak ada oksigen yang bisa ia hirup. Hinata terus memeluk lutut, menyembunyikan wajahnya dibalik lengan yang menyilang. "Tolong....jangan pergi.. Jangan tinggalkan aku.. Ibu..tolong aku ibu.."

"Hinata..." Naruto menarik paksa kedua tangan Hinata. Menangkup kedua pipi Hinata, memaksa gadis itu melihat kearahnya. "Lihat aku! Tidak ada yang akan melukaimu."

Napas Hinata masih memburu, keringat terus bercucuran dari keningnya. Tanpa sadar, ia menggenggam erat jemari Naruto yang masih memegang pipinya. "Aku tidak akan pergi Hinata, aku akan melindungimu. Tenanglah..atur napasmu, oke?"

Biru laut yang tampak hangat itu menarik Hinata keluar dari kenangan buruknya. Suara Naruto bagaikan angin sejuk yang menerpanya lembut. Dia bisa bernapas dengan lega sampai kesadarannya kembali.

"Sudah baikan? Apa ada yang sakit?"

Hinata menampik pelan tangan Naruto yang hendak menyentuh keningnya. Sambil mengatur napas, Hinata memalingkan muka. Dia merasa canggung pada sikap khawatir Naruto. Padahal, kejadian seperti ini bukanlah hal serius. Hinata sering mengalaminya tiap merasa tertekan, seperti siklus rutin. Jika dibiarkan, dia akan kembali tenang sendiri setelah beberapa menit.

Pandangan Naruto tak bisa lepas dari Hinata yang masih terus diam. Ini yang kedua, dia melihat gadis sekuat Hinata tampak hancur. Sosok Hinata yang seperti itu...

..membuatnya merasa sakit. Aneh, bahkan lebih menyakitkan dari pukulan Hinata. Meski Naruto tidak tahu, dari mana rasa sakit itu berasal. Kenapa, dia begitu peduli?

"Kenapa kau bisa ada disini?" Naruto berjongkok tepat didepan Hinata. Meski terlihat tak peduli, pasti berat bagi Hinata mendengar fakta ibu kandungnya sudah meninggal. Apalagi, lingkungan Hyuuga masih begitu asing baginya. "Ah...biar kutebak, kau sedang sembunyi?"

Hinata ingin memukuli Naruto seandaikan tubuhnya tidak merasa letih. Pria itu terus saja mengganggunya, seolah-olah Hinata adalah objek penelitian menarik. "Pergi sana, jelek."

"Ho! Mulutmu sudah pedas seperti biasanya, berarti kau baik-baik saja. Baguslah." Naruto bangkit, menjauh dari Hinata. Pemuda itu mulai sibuk di sisi lain gudang, memeriksa barang-barang yang tertutup kain putih besar.

"Seharusnya disimpan disekitar sini..." Begitu kain berdebu dibuka, sebuah sepeda tampak terselip diantara barang-barang lain. Naruto pun tersenyum cerah, seolah menemukan harta karun. "Disini bukan tempat sembunyi yang bagus. Ikut aku, Hinata."

Lagi-lagi dia seperti itu, menarik Hinata sesuka hatinya. Dan yang lebih menyebalkan, Hinata tidak mampu menolak senyum Naruto yang begitu menyilaukan.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Menaiki sepeda merah usang yang Naruto temukan dalam gudang, mereka berdua pergi secara diam-diam tanpa disadari seorang pun tamu yang hadir. Hinata duduk manis, membiarkan Naruto mengayuh sepeda dengan cepat. Tangannya mencengkram pelan ujung kemeja hitam yang dikenakan Naruto, karena pemuda bersurai blonde itu terus memaksa. Agar Hinata tidak jatuh katanya.

Begitu keluar dari gerbang utama, nuansa hijau yang menyejukkan mata menyambut Hinata. Mereka melintasi sebuah jalan kecil yang diapit hutan buatan. Hinata ingat selalu melewatinnya tiap keluar masuk kediaman Hyuuga. Meski jejeran hutannya tidak terlalu panjang dan luas, bagi Hinata tetap saja memiliki hutan pribadi itu sangatlah luar biasa. Dulu, para tetua Hyuuga memang sengaja menyisakan setengah lahan didepan untuk menanam banyak pohon. Dengan tujuan menciptakan udara asri meski tempat tinggal mereka dekat pusat kota. Kekuatan uang memang luar biasa, bahkan hutan saja bisa dibuat.

"Mau membawaku kemana, penculik payah?"

Naruto merasa lega, akhirnya Hinata bicara padanya meski kalimatnya tidak manis sama sekali. "Hei nona, bukannya kau yang membuatku berjanji untuk membantumu kabur?"

"Persiapanku belum selesai." Entah karena udara yang sangat sejuk atau apa, Hinata merasa sangat tenang. "Memangnya bisa pergi sejauh mana dengan sepeda butut? Bodoh."

"Aku tidak bisa membawamu kabur dalam waktu cepat. Karenanya akan kutunjukkan tempat yang bisa kau datangi tiap ingin kabur."

Naruto menghentikan laju sepedanya setelah menyusuri hampir setengah jalan. Ia memarkirkan sepedanya di belakang sebuah pohon. Tak jauh dari situ, terdapat jalan setapak dan anak tangga masuk kearah hutan. Hinata tidak pernah menyadari keberadaan jalan setapak itu tiap kali lewat. Karena jarang memperhatikan sekitar, dia sampai melewatkan tempat sebagus ini.

"Ayo, Hinata." Naruto menggengam erat tangan Hinata, menariknya perlahan. "Jangan protes, aku tidak mau kita terpisah. Bisa repot jika kau tersesat."

Hinata sudah tidak peduli dengan ocehan Naruto. Amethys-nya tengah terpana pada bunga-bunga hortensia yang tumbuh subur ditepi tangga. Diawal musim panas begini memang masanya bunga itu merekah cantik. Ada banyak jenis hortensia dengan warna berbeda-beda yang Hinata tahu. Warna biru keunguan adalah favoritnya, dan kebetulan warna itulah yang ditanam disini.

Semakin masuk kedalam, Hinata makin larut dalam ketenangan. Suara serangga khas musim pana terdengar berpadu lembut dengan suara dedaunan yang saling bergesekan tertiup angin. Tidak buruk. Malahan, Hinata menyukainya.

"Hinata, lihat kedepan."

Sebuah danau buatan kecil menyambut mereka diujung jalan. Air danau itu begitu jernih, sampai dapat merefleksikan bunga wisteria ungu yang tumbuh menggantung diatasnya.

"Cantik."

Wajah Naruto langsung sumringah. Baru kali ini dia mendengar Hinata memuji sesuatu. Belum lagi, Naruto menyadari Hinata tengah tersenyum sekarang. Walaupun samar, setidaknya Naruto bisa melihat senyum yang biasa Hinata sembunyikan dari dunia.

"Tentu saja cantik. Kau tahu kenapa banyak bunga berwarna ungu disini? Itu semua karena bibik Hikari suka warna ungu." Naruto teringat akan sosok Hikari yang begitu hangat. Semasa masih hidup, Hikari pernah mengajaknya dan Sakura bermain ditempat ini. Meski singkat, saat-saat itu sangat menyenangkan. Seandainya saja, Hinata juga bersama mereka saat itu. Naruto ingin, Hinata merasakan kebahagiaan yang sama dengan membawanya kemari. Walau diwaktu berbeda.

"Aku..juga suka, warna ungu. Sangat suka."

"Sungguh?" Naruto terkesima, Hinata benar-benar mirip Hikari dalam banyak hal. Mulai fisik sampai selera. Mungkin bagi beberapa orang, sikap Hinata sangat jauh dari sang ibu. Dia kasar, terkesan jahat dan dingin, malah Sakura yang lebih meniru kebaikan hati Hikari. Tapi menurut Naruto, itu tidak sepenuhnya benar. Jika mereka bisa melihat lebih jauh, Hinata juga sebaik Hikari. Hanya saja dia lebih jujur hingga terkesan kasar. Kebaikan Hinata begitu sederhana, Naruto menyadarinya ketika gadis itu menolong seekor kucing sampai jatuh dari pohon. Hal biasa, yang tidak semua orang mau melakukannya. "Setelah bibik meninggal, paman Hiashi tidak mau lagi menginjakkan kaki kemari. Sakura juga, dia kurang suka alam terbuka karena banyak nyamuk. Tempat ini jadi jarang dikunjungi. Sempurna untuk sembunyi 'kan?"

"Iya."

"Senang melihatmu berwajah datar begitu. Dari tadi aku khawatir akan melihat wajah sedihmu." Setiap ia datang ke upacara peringatan kematian Hikari, Hati Naruto serasa tersayat melihat air mata Sakura. Jika sekarang ada seorang putri lagi yang menangis, ia tidak tahu akan seperti apa hatinya. Syukurlah Hinata tidak menangis, walau terasa janggal bagi Naruto. "Tapi.. Apa kau benar baik-baik saja, Hinata?"

Tatapan mereka bertemu, safir Naruto masih sibuk mencari tahu apa yang tersembunyi dalam amethyst sayu Hinata.

"Ekspresi seperti apa yang harus kubuat?" Tatapan mereka makin dalam, kata-kata Hinata membuat Naruto makin terenyuh. "Hari ini...ibu yang belum pernah kukenal meninggal. Bagaimana...aku harus bagaimana? Kami bahkan tidak pernah bertemu, tapi kenapa aku merasa ada yang hilang?"

"Menangislah jika merasa sesak.. Itu reaksi yang paling wajar dan bisa melegakan hati."

"Aku..tidak bisa." Dulu, semakin Hinata menangis Kizashi akan semakin memukulinya. Karena itu, dia terus berusaha menahan tangis. Hingga entah sejak kapan, menangis menjadi hal yang menakutkan baginya. "Menangis itu menakutkan."

Naruto tak sanggup berucap membayangkan bagaimana gadis itu menjalani hari-harinya selama ini. Dulu, saat pertama Naruto mengetahui fakta bahwa putri keluarga Hyuuga tertukar dengan putri Haruno, hatinya dipenuhi kekhawatiran pada nasib Sakura. Apalagi setelah dia melihat sendiri betapa ganasnya Kizashi. Naruto sampai berharap, fakta itu tak pernah terbongkar dan terkubur selamanya. Tapi sekarang, hatinya dipenuhi oleh rasa sesal. Jika bisa memutar balik waktu, Naruto ingin menjadi orang pertama yang menemukan Hinata dan membawanya keluar dari keluarga Haruno. Gadis itu sangat pantas bahagia, di tempat seharusnya dia berada- Hyuuga.

Suara rintik hujan yang mulai berjatuhan dari langit kelabu memecah keheningan. Naruto segera menarik Hinata untuk berteduh di bawah pohon sebelum gerimis berubah deras.

"Maaf Hinata, kita jadi terjebak hujan." Safir Naruto menatap keatas awan kelam, lalu beralih pada Hinata yang tampak tenang. Jemari gadis itu terulur, memainkan tiap tetes air yang menetes dari dedaunan. "Hei, kau bisa kedinginan."

"Jangan pedulikan aku, rasanya tidak sedingin itu." Dinginnya hujan tak sebanding dengan hari-harinya bersama Kizashi.

Naruto ikut menjulurkan tangannya, menangkap bulir-bulir air seperti yang Hinata lakukan. "Tidak dingin apanya? Ini sangat dingin!" Ia lantas melepas blazer hitam yang dikenakannya. Menudungkannya dikepala Hinata yang agak basah.

"Sudah kubilang tidak dingin."

"Jangan protes, hujannya akan lama. Kau bisa kedinginan nanti." Sesuai kata Naruto, hujannya makin deras. Untunglah ada pohon berdahan lebat sehingga mereka tak sampai basah kuyup. "Sepertinya langit ikut bersedih, dan menangisi kematian bibik."

"Aku ingin menangis.."

Naruto sontak menoleh, apa dia salah dengar?

"Aku juga ingin menangis untuk ibu Hikari."

Sesak rasanya mendengar Hinata bicara seperti itu, dengan raut wajah yang masih tampak datar. Dia pasti kebingungan sekarang, sampai tidak tahu harus berekspresi seperti apa. Saat orang lain bisa menangis karena hal sepele, seorang Hinata memerlukan alasan kuat untuk menangis. Karena baginya, menangis sama seperti melawan rasa takut.

Naruto tidak punya alasan kuat yang bisa melelehkan hati Hinata. Naruto tidak bisa menyuruh Hinata mengingat soal ibu yang mengasuhnya sebagai gambaran Hikari, dia tahu wanita itu tidak membesarkan Hinata dengan benar. Karena itu, yang bisa Naruto lakukan hanya menarik Hinata dalam pelukannya. Merengkuh gadis itu seerat mungkin, berusaha memberinya kehangatan yang tak pernah ia dapatkan selama ini.

Manik Hinata melebar, tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut Naruto. Yang ada hanya suara gemericik hujan, juga aroma tubuh Naruto yang bercampur aroma khas hujan. Seseorang memeluknya dengan begitu erat hari ini, tapi hatinya justru terasa sakit. Karena Hinata tahu, suatu saat nanti kehangatan Naruto akan menjadi milik Sakura. Sejak awal mereka bukan siapa-siapa, dan selamanya akan begitu.

Tepukan pelan Naruto di punggungnya, seolah mengusir segala kegundahan dan rasa takut Hinata. Setetes air tampak jatuh dari mata Hinata yang masih enggan berkedip. Meski tidak ada seorang pun yang menyadari, meski hanya setetes tak berarti. Setelah sekian tahun lamanya, ia kembali menitihkan air mata.

❄❄❄❄❄❄❄❄❄❄

Dulu aku gak upload Angelic Evil karena menurutku gak layak publish 😂. Tapi ternyata setelah kucoba revisi dan up, respon pembaca positif dan aku seneng banget.

Makasih banyak, komenan kalian bikin aku tambah semangat memperbaiki cerita ini.

Semoga narasiku berhasil menyampaikan feel dengan baik, gampang kalian bayangkan, dan kalian terhibur.

Seeya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top