BAB 51
Annyeong
***
Bukk
Balok kayu seukuran pemukul kasti itu menghantam punggung Dave membuatnnya tersungkur. Dalam sekejap pria tinggi besar mirip postur Ade Rai itu menindih tubuhnya. Bermodalkan kedua tangan Dave menutupi wajahnya dari serangan pukulan membabi buta yang diberikan pria itu. Dave cukup pandai berkelahi, ia dulu pernah masuk organisasi Perisai Diri sejak masih SMP sampai SMA. Akan tetapi kemampuan yang di dapatkannya selama enam tahun lebih itu tidak cukup untuk melawan pria tinggi besar ini. Dari postur saja ia sudah kalah saing.
Rencana mereka berempat untuk masuk ke gubuk itu berhasil setelah mengalahkan tiga pria yang menjaga di luar. Akan tetapi saat masuk mereka langsung di hadapkan penjaga dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Dave berusaha meloloskan diri dari kungkungan pria ini. Selalu gagal. Kekuatan pria ini jauh di atas dirinya. Dave merasa tidak lama lagi dia akan pingsan.
Bukk
"Kamu akan mati jika aku tidak datang, kak." ucap Denis dengan nada sarkas sesaat setelah ia menghantam kepala pria tinggi besar itu menggunakan balok kayu.
Dave tersenyum geli. "Terimakasih adikku." Balasnya dengan nada bicara tak kalah menyebalkannya. "Aishh..." ia meringis melihat tubuh pria yang terkapar pingsan di sampingnya.
Kemudian mereka bergabung bersama Thomas yang sedang melawan empat pria sekaligus sambil melindungi Rosad yang tak memiliki keahlian beladiri sama sekali di belakangnya. Polisi yang sedang bolos bertugas itu tampak sedang kewalahan sendirian. Meskipu keahlian beladirinya lebih di atas Denis dan Dave akan tetapi jumlah yang tak sebanding membuatnya tampak sangat kesusahan.
Lalu Dave datang berlari lalu melayang untuk menendang kaki si alis Angry Bird. Hampir-hampir salah sasaran pada Thomas. Untung saja Thomas cukup cekatan menilai situasi sehingga ia bisa berkelit tepat waktu. Si alis Angry Bird terhuyung-huyung.
Sementara itu Denis langsung menarik kerah bagian belakang si muka datar dan membantingnya ke dinding. Itu tidak cukup untuk melumpuhkannya. Karena sedetik kemudian si muka datar bangun dan menghampiri Denis dengan kecepatan kilat.
Pertempuran pun berlanjut dengan Thomas melawan dua orang, Dave dan Denis masing-masing satu orang. Sementara itu Rosad, si wartawan yang sejak tadi diam tak melawan sama sekali hanya diam ketakutan di sudut ruangan.
"Angel!!" seru Thomas berhenti sejenak di tengah-tengah petarungannya.
Thomas melihat Angel dan Kara baru saja keluar dari pintu rahasia yang ternyata berada di belakang rak kayu tak terpakai.
Seketika Dave, Denis, dan Rosad menolehkan kepalanya. Melihat dua orang yang Thomas maksud.
"Angel..." Dave merasa lidahnya kelu saat mengucapkan nama itu. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Angelnya...Angelnya...baik-baik saja. Akan tetapi dia tidak sepenuhnya aman karena Kara bersamanya.
"Dave!" Angel menyerukan nama kekasihnya. "Jangan khawatirkan apapun. Aku akan baik-baik saja." ujar Angel meyakinkan berusaha mengenyahkan kekhawatiran kekasihnya. Tahu apa yang sekarang berkecamuk dalam pikiran Dave.
Kara sempat tersenyum miring menatap Thomas. Lalu beralih pada Dave dan Denis. Berakhir pada Rosad. "Kamu berhasil menemukanku rupanya." ucapnya dengan nada sarkas. Jelas itu ditujukan pada Rosad karena dia adalah orang yang menemukan tempat ini dan satu-satunya orang yang selama ini mengejar Kara mati-matian.
"Dan akan aku pastikan sebentar lagi kamu akan membusuk di penjara." Rosad balas mengancam.
"Apa? Penjara?" Kara tergelak seolah-olah Rosad baru saja mengucapkan lelucon paling lucu sedunia. "Jangan pikir bahwa aku takut."
Kara tersenyum. "Kalian pikir bisa menangkapku semudah itu?"
"Kara aku mohon hentikan semua ini." bujuk Thomas sambil berjalan menghampiri Kara dan berhenti tepat di hadapannya.
"Kamu pikir mereka akan senang karena kamu melakukan semuanya untuk mereka? Kamu pikir apa yang akan mereka lakukan setelah merasa bahwa kamu tidak lagi diperlukan?" Thomas tertawa. "Ayolah, jangan lagi mau mereka perbudak. Setelah mereka selesai dengan semua ini kamu pikir apa yang akan mereka lakukan? Mereka adalah orang-orang yang bahkan tidak peduli dengan kehidupan banyak orang bahkan mungkin mereka tidak peduli kepada saudara bahkan ibunya sendiri. Menyingkirkan orang yang sudah tidak berguna untuk mereka itu hal yang mudah bagi mereka. Jadi aku mohon hentikan sekarang juga sebelum..."
"Sebelum apa." potong Kara matanya berkilat marah. "Jangan kira aku akan terintimidasi dengan ucapanmu barusan. Mereka membuangku?" laki-laki itu tertawa terbahak-bahak. "Mereka tidak akan berani karena dengan menyingkirkan aku itu berarti bahwa mereka menunjukan identitas mereka."
Thomas meletakan tangannya pada bahu Kara. Menunduk dalam. Ia sudah tidak punya cara apapun lagi untuk membawa sahabatnya ini menuju jalan yang benar. Perkataannya mungkin tidak akan berpengaruh apapun. Mereka sudah sukses mencuci otak Kara.
"Aku tahu apa yang terjadi padamu, pada keluargamu dulu." Thomas mengangkat wajahnya menatap Kara yang sama-sama menatapnya marah. "Uang bukan segalanya Kara, bukan. Tanpa uang kita bisa bahagia. Jangan jadi budak uang. Kara yang aku kenal tidak seperti ini."
"Jika kamu ingin balas dendam pada orang-orang yang menyepelekan keluargamu karena uang, bukan seperti ini caranya." kali ini Rosad yang ikut bicara.
"Masa lalu biarlah menjadi masa lalu. Lupakan semuanya." ucap Thomas.
Rahang Kara mengeras. Menatap Rosad dan Thomas sahabatnya—tidak sekarang mungkin menjadi musuhnya—secara bergantian. "Lupakan?"
Tawa Kara kembali terdengar. "Maksudmu lupakan mereka yang sudah mengabaikan wanita renta bersama anak kecil lima tahun yang hampir mati kelaparan dan malah melempari mereka dengan kotoran anjing. Melupakan mereka yang memperlakukanmu secara tidak adil karena kamu miskin. Lupakan juga mereka yang sudah memenjarakan ayahmu karena kesalahan yang tidak dia perbuat sampai akhirnya dijatuhi hukuman mati. Dan lupakan juga para jalang itu yang membuat anak tujuh tahun menjadi pelampiasan nafsu mereka. Seperti itu yang kamu maksud? Memang orang yang selama hidupnya hidup dengan kesenangan, tanpa masalah, tidak akan mengerti bagaimana rasanya."
"Memang. Aku tidak merasakan apa yang kamu rasakan. Semua orang punya pernderitaannya masing-masing. Kamu dengan penderitaanmu, dan aku dengan penderitaanku sendiri. Tuhan tidak memberikan masalah yang sama kepada semua orang. Kamu tidak harus melupakan semua itu sekaligus. Melupakan kenangan pahit itu memang sulit. Membutuhkan waktu yang lama. Tapi aku yakin kamu akan bisa melakukannya. Balas dendam dengan cara menunjukan kekuasaan dan uang bukan satu-satunya jalan. Memaafkan."
Tanpa disangka perkataan Thomas malah membuat Kara semakin marah. Dia menarik pistol yang berada di saku setelannya dan menodongkan moncongnya tepat ke kepala Thomas. Lalu ia menggeser sehingga berada di samping kepala Angel.
"Singkirkan tangan kotormu itu dari sana!!!" Dave bersungut marah. Maju untuk menjauhkan Kara dari Angel namun Thomas mengisyaratkan supaya Dave tetap berada di tempat. Ia mengepalkan tangannya sampai buku-buku jarinya memutih. Melihat Angel yang ketakutan seperti itu sementara ia tidak bisa melakukan apa-apa membuatnya sangat marah dan merasa tidak berguna.
"Dia tidak akan membunuh Angel." ujar Rosad sambil menarik Dave. "Dia tidak akan berani." lanjutnya sambil memicing ke arah Kara.
"Kamu bisa meninggalkan semua ini sekarang, Kara. Mereka tidak akan membantu."
"Diam!" Kara menembak dinding di samping Rosad membuat wartawan itu gemetaran sambil menatap peluru Kara yang menancap di dinding.
"Siapa bilang aku tidak akan berani membunuh perempuan ini? Bahkan aku berani membunuh kalian semua sekarang."
Dorr
"Aaahhh..." Thomas terjatuh setelah Kara secara tiba-tiba menembak padanya.
Thomas mendongak menatap Kara yang lagi-lagi menodongkan pistolnya di samping kepala Angel.
"Aku tidak akan apa-apa. Percaya padaku." ucap Angel meyakinkan. Namun, suaranya yang gemetaran membuat mereka khawatir.
"Urus mereka semua!" teriak Kara pada penjaga-penjaganya.
"Jalan!"
Angel mau tidak mau haru berjalan saat Kara mendorong kepalanya menggunakan moncong pistolnya.
"Angel!" dari sudut lain Dave berteriak.
Dua detik kemudian penjaga yang jumlahnya puluhan keluar dari persembunyiannya dan mengelilingi mereka. Dave mundur beberapa langkah sama halnya dengan Thomas, Denis, dan Rosad. Sampai akhirnya punggung mereka saling bertubrukan.
"Tidak ada jalan lain." ucap Dave.
"Kita harus melawan mereka." Denis merenggangkan otot-ototnya.
"Apa yang kamu lakukan, Sad?" tanya Thomas melirik Rosad sambil tertawa kecil. "Kamu tidak bisa berkelahi sama sekali. Kamu akan menonton saja seperti sebelumnya?"
Rosad mengambil balok kayu tak jauh dari kakinya. "Aku memang tidak bisa berkelahi. Jangan lupakan aku adalah pemain softball profesional. Aku mungkin akan menganggap kepala mereka sebagai bola dan memukulnya seolah aku sedang bermain softball."
Thomas, Dave, dan Denis dibuat tertawa dengan ucapan Rosad. Detik berikutnya puluhan penjaga itu maju secar bersamaan.
***
Mobil yang hitam mewah keluaran terbaru itu melaju dengan kecepatan sedang. Angel melirik Kara yang sedang menyetir di sampingnya. Ia menggigit bibir bawahnya berusaha untuk menghilangkan gemetar ketakutan yang dirasakannya.
Ternyata seperti ini rasanya menjadi tawanan di bawah todongan pistol. Seperti malaikat maut menunggumu di depan hidungmu, tersenyum horro sambil bersiap untuk mengayunkan kampak yang akan mencabut nyawamu dalam sekali tebasan.
"Jangan coba-coba untuk melompat." ucap Kara memperingatkan menatap Angel baru saja merayapkan tangannya pada handle pintu.
Angel memejamkan matanya lalu meneguk ludah. Tangannya yang sudah berada di handle pintu ia tarik perlahan-lahan.
"Belum saatnya kamu mati." desis Kara.
Sungguh, Kara yang Angel lihat saat ini sangat berbeda dengan Kara yang ia idolakan selama ini. Sekarang ia yakin dengan ungkapan bahwa tidak semua yang terlihat benar-benar nyata. Seperti sifat Kara yang selama ini ditunjukannya di depan semua orang, hanyalah ilusi.
Pria itu hanya menggunakan topeng manis untuk menyembunyikan sifat iblisnya.
Kara membelokkan mobilnya ke area rumah sakit swasta, memasuki basement lalu memarkir mobilnya.
"Keluar." ucap Kara dingin sambil memperbaiki tatanan rambutnya lalu memakai kacamata hitam, topi hitam, tak lupa juga memakai masker hitam untuk menyempurnakan samarannya.
"Aku tidak suka mengulang." desisnya, menatap tajam Angel yang belum juga membuka sabuk pengaman.
Dengan tangan gemetaran Angel melepaskan sabuk pengaman dan membuka pintu mobil dengan perlahan. Ia menelan ludah. Sungguh, ia sangat ketakutan.
Kara keluar satu detik setelah Angel keluar.
"Jalan lebih dulu." Kara mengeluarkan pistol dari balik setelannya, mendorong bahu Angel menggunakan itu. "Jangan menimbulkan kecurigaan apapun."
Angel berjalan menuju lift di ikuti Kara di belakangnya. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu apakah pilihannya untuk mempertemukan Kara dengan Rosa adalah pilihan yang baik atau malah sebaliknya. Hanya saja ia tidak mempunyai pilihan lain selain mempertemukan Kara dengan Rosa. Sialnya ia tidak mempunyai pilihan lain selain ini.
"Kenapa diam?" tanya Kara mengintimidasi membuat Angel yang menyadari bahwa semenjak memasuki lift ia hanya mematung tanpa memencet tombol manapun. Langsung saja ia memencet tombol urutan ke dua dari atas.
Aku minta maaf, aku tidak punya pilihan lain.
Tak butuh waktu lama lift terbuka di lantai yang dituju.
Sama seperti sebelumnya Kara mendorong punggung Angel menggunakan moncong pistolnya. Di tengah rasa takutnya Angel berusaha berjalan seperti biasanya. Tersenyum kepada beberapa orang yang berpapasan dengannya. Bedanya Angel tidak merespon banyak saat orang lain bertanya padanya. Hal itu membuat Fahmi yang baru saja bertanya padanya mengernyitkan alisnya heran.
"Kenapa dia seperti itu." heran Fahmi. Namun, dia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.
"Kita harus berganti pakaian dulu." ucap Angel yang baru saja berhenti di depan ruang ganti. "Dia ditempatkan di ruang steril. Tidak boleh sembarangan masuk kesana."
Dengan angkuh Kara masuk ke ruang ganti setelah sebelumnya menabrak bahu Angel.
Perempuan itu menatap punggung Kara yang sudah menghilang di balik pintu. Dengan cepat ia berlari menuju meja perawat.
"Tolong..."
Perawat itu tampak heran dengan Angel. Lalu menjerit histeris seketika saat seorang pria berdiri di samping Angel.
"Kara." Perawat itu menutup mulutnya sendiri. Sebelah tangannya merogoh ponsel di saku seragamnya. "Boleh minta foto?"
Angel memutar bola matanya. Apakah dia tidak bisa menilai situasi genting saat ini. Meminta foto? Yang benar saja.
"Maaf. Aku harus buru-buru." Tolak Kara terdengar halus. Lalu menarik Angel untuk menjauh.
"Kamu pikir aku akan membiarkanmu?" nada sarkas itu membuat Angel bergidik ngeri.
***
"Pergilah!" teriak Denis sambil menghindari pukulan si wajah Arab pada Dave yang tengah kebingungan di ambang pintu.
"Ayo. Kita tidak ada waktu." teriak Rosad yang sudah berada di luar gubuk.
Dave kebingungan. Menatap Rosad, Denis, dan Thomas secara bergantian. Thomas dan Denis sedang kewalahan melawan mereka semua. Akan tetapi ia harus pergi untuk mengejar Kara yang membawa Angel.
"Jangan khawatirkan kami." teriak Thomas lalu mengaduh kesakitan karena si kaki pincang memukul rahangnya. "Aku dan Denis bisa mengurus mereka semua. Kamu harus menyelamatkan Angel."
Setelah mendengar itu Dave pun mantap pergi bersama Rosad yang sudah menunggunya di luar.
Namun, baru beberapa langkah Dave dan Rosad berbalik saat mendengar suara tembakan. Thomas tertembak setelah sebelumnya Kara menembaknya pada bagian pahanya.
"Pergi!" teriak Thomas sambil menahan aliran darah dari dadanya.
Dengan berat hati ia pun pergi bersama Rosad. Meninggalkan,...tidak ini bukan seperti ia sengaja meninggalkan. Temannya itu yang menyuruhnya pergi.
Ah sudahlah.
***
Flower flo
160918
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top