BAB 48


Part ini di dedikasikan buat temen sekelas gue yang namanya muncul di awal cerita ini... temen paling alim yang cukup punya andil besar di kelas  buat bikin sebagian orang hijrah ke jalan yang baik semisalkan gue haha. Dia juga pelawak kelas yang punya andil dalam hal buat perut temen-temen sekelas bergetar. Dia lucu... enggak. Tapi, ya... gitu


Happy reading!!

***

Namanya Rosad. Pria berwajah tampan yang semalam tiba-tiba saja datang saat mereka sedang melihat album foto yang membuat mereka pada akhirnya tidak bisa berkata apa-apa saat melihat foto mereka di halaman terakhir. Rosad adalah ahli waris pemilik rumah ini. Dia seorang wartawan yang selalu mengungkapkan sisi gelap orang-orang yang memang patut untuk dipertunjukan. Dia bilang, "Menyembunyikan diri dibalik topeng itu tidak baik, jika dia tidak bisa menunjukan dirinya secara sukarela. Maka harus ada orang lain yang melepasnya secara paksa dan menunjukkannya pada dunia."

Dia juga bilang saat ini sedang mengejar seseorang yang bersembunyi di balik topengnya dan sangat ingin ia bongkar. Seseorang itu adalah seseorang yang sejak dulu dia kejar-kejar.

Semalam mereka memberondong Rosad dengan banyak pertanyaan tentang kenapa ada foto mereka di album foto itu. Dan dia menjawab. "Karena kalianlah yang akan membantu aku melepaskan topeng orang itu. Aku tahu cepat atau lambat kalian pasti akan datang ke sini."

Mereka juga mengatakan kenapa ada foto Thomas, Rosa, dan Kara di sana. Rosad mengatakan bahwa mereka dulu merupakan sahabat baik saat kuliah. Mereka dulu bekerja di perusahaan farmasi yang sama sampai akhirnya mereka di pecat secara tidak terhormat karena mereka menentang uji coba obat yang masih dalam masa penelitian. Dia bilang tidak menyesal telah di pecat dari sana. Dua bulan kemudian perusahaan itu bangkrut karena harus mengganti rugi pada orang-orang yang mereka uji cobakan obat yang belum siap itu.

Setelah Rosad menceritakan tentang dirinya Dave pun menceritakan tentang Angel yang hilang. Dia mengetahui kemungkinan kemana Angel dibawa meskipun dia tidak yakin. Dave yang semalam masih kalut itu memaksa Rosad mengantarnya ke sana. Tempat yang mungkin saja ada Angel disana. Tetapi karena malam yang sudah sangat larut bahkan mendekati dini hari, Rosad menolaknya. Pria itu bahkan sempat mendapat pukulan mentah dari Dave.

Tapi akhirnya Dave mengalah setelah Denis menenangkannya.

Dan sekarang hari sudah pagi. Dave membangunkan semua orang. Terakhir ia membangunkan Rosad dengan cara menendang tulang keringnya. Sungguh tidak manusiawi. Rosad dibuat seperti tawanan di rumahnya sendiri.

"Dengan di panggil pun aku akan bangun." sindir Rosad yang tidak terima dengan cara membangunkan Dave padanya.

Dave mengabaikan saja apa yang Rosad katakan itu. "Sekarang tunjukan jalannya." ujar Dave penuh ambisi.

Rosad tersenyum. "Sebentar, saya ambil kamera."

"Apa itu penting sekarang?" tanya Dave jengah.

Rosad menatap mengerling seperti mengatakan. "Menurut loe?"

Dave memutar bola mata lalu mengangkat tangan.

Terserah loe.

"Untuk seorang wartawan kamera itu penting." tegas Rosad sesaat setelah dia menyampirkan tali tas berisi kamera dan beberapa alat lainnya yang diperlukan. "Ibarat prajurit, pedang itu alat perangnya. Dan bagi saya kamera dan semua yang ada di dalam tas ini adalah alat perang saya."

"Hm."

"Bisa kita pergi sekarang." Ani menginterupsi.

Rosad tersenyum menatap mereka lalu mengisyaratkan mereka untuk mengikutinya.

Rosad dan Denis berjalan di depan Ani di tengah dan Dave paling akhir.

Mereka membelah hutan, naik-turun bukit, membelah semak belukar, sampai akhirnya Rosad mengisyaratkan bahwa mereka sudah sampai di tujuan. Mereka bersembunyi di balik sebuah batu besar. Rosad sedang sibuk menyiapkan kameranya. Denis dan Dave mengintip sebuah gubuk kayu 2x2 meter yang berdiri di tengah lahan kosong.

"Tempat ini aneh." ujar Dave yang melihat sebuah truk terparkir di depannya. "Disini tidak ada apapun dan seorang pun."

"Kalian tahu," Rosad yang sudah selesai menyiapkan kameranya mengarahkan pandangannya ke arah yang sama. "Sudah satu tahun aku mencari orang-orang yang terkait dengan tempat ini."

Rosad tertawa hambar, seperti sedang mengejak kemampuan dirinya sendiri yang sampai sekarang belum menemukan petunjuk apapun.

"Aku tidak menemukan apapun."

Ani merapatkan bibirnya. "Dari mana kamu awalnya tahu ada tempat ini?"

Rosad lagi-lagi tertawa. "Kara. Aku mengikutinya."

Semuanya semakin penasaran. Tiga orang itu mengatupkan bibirnya menunggu apa yang akan Rosad ceritakan selanjutnya. Semuanya terasa berhubungan. Berawal dari pembunuhan bertanda, Bambang, lalu Rosa, kemudian Thomas yang ternyata selama ini berada di balik semua ini—sesuatu yang sampai sekarang masih menjadi pertanyaan untuk mereka kenapa mereka bisa sampai terlibat sampai sejauh ini, petunjuk-petunjuk yang entah siapa yang memberikannya pada mereka sehingga pada akhirnya mereka sampai di tempat ini dan bertemu dengan Rosad—wartawan yang menurut pengakuannya sudah menyelidiki tempat ini selama satu tahun.

Lalu sedetik yang lalu Rosad yang mengatakan bahwa ia menemukan tempat ini karena mengikuti Kara. Artis terkenal yang ternyata adalah teman masa kuliah dan kerja Rosad dulu.

"Semuanya aku tahu begitu saja, dimulai dari rasa penasaran kenapa tiba-tiba saja Kara bisa masuk ke sebuah agensi terkenal saat semua orang yang lebih berbakat tidak pernah bisa masuk kesana." Rosad tertawa, melihat tatapan Ani yang tidak suka karena dia mengatakan seolah mengetahui kualitas Kara, baik dan buruknya. "Ayolah aku temannya saat kuliah, aku tahu seperti apa dia. Bahkan dulu karena akting-nya yang buruk dia pernah berperan sebagai pohon beringin di teater kampus."

Ani menatap Rosad sinis. Seperti inilah fans girl saat seseorang mengkritik idola yang mereka jaga dan sanjung-sanjung sampai setengah mampus di depan hidung kita sendiri.

"Sudahlah." Rosad memilih mengakhiri membicarakan tentang bakat Kara yang ia tahu sangat buruk dalam dunia akting. Dia kembali bercerita. "Tiba-tiba saja aku mendapati Kara sedang berbicara sangat akrab dengan CEO perusahaan farmasi tempat kami bekerja dulu. Dari situlah aku tahu bahwa Kara sebenarnya orang yang dulu memberi izin untuk melakukan uji coba obat itu. Kami melarang uji coba karena walaupun obat itu bisa menyembuhkan penyakit yang sebelumnya juga menyebabkan rusaknya hati, komplikasi, bahkan membuat sel kanker berkembang dengan pesat. Maaf aku berkata jujur, dia memang munafik. Bersikap seolah pro dengan kami semua padahal dia juga yang menusuk dari belakang. Saat aku dan yang lain menentang mati-matian uji coba obat itu pada manusia dia malah memberikan izin sepihak pada mereka. Kami keluar begitu juga dia. Perusahaan itu bangkrut karena membayar ganti rugi. Dan terakhir aku menemukan fakta bahwa perusahaan itu membangun laboratorium baru. Dan itu..." Rosad menjeda kalimatnya, menunjuk gubuk tua itu. "Di sini."

Dave, Denis, dan Ani melongo tidak percaya. Sebuah pertanyaan tiba-tiba saja terlintas dalam benak Dave saat mengingat seseorang yang saat ini terbaring karena kanker dan komplikasi parah.

Rosa.

"Apa mungkin Rosa..."

Rosad hanya tersenyum tipis. Menjawab pertanyaan itu.

"Jadi intinya Kara mengkhianati kalian kemudian bekerja sama dengan CEO licik itu membangun lab baru dan melakukan percobaan illegal itu?" tanya Dave.

Rosad mengangguk. "Kira-kira seperti itu."

"Apa kamu yang selama ini juga mengirim beberapa petunjuk pada kami?" tanya Ani.

"Ground floor 121A-121B, film action terbaru." Rosad tertawa hambar. "Maaf membuat kalian bermain teka-teki."

"Lalu sisanya?" tanya Ani lagi.

"Aku yakin sisanya Thomas."

"Sekarang yang membuat aku heran, kenapa setelah kalian pergi karena menentang percobaan itu Rosa dan Thomas malah terlibat lagi?" tanya Denis.

"Aku harus mengakui bahwa Kara memiliki pesona lebih dibanding yang lain." Rosad tampak ogah-ogahan saat memuji tampang Kara yang memang menjual dan mampu membuat perempuan yang melihatnya bertekuk lutut. "Thomas terpaksa karena Shandy adiknya berhasil Kara kuasai, dan Rosa...sejak kuliah kami semua tahu bahwa dia sangat mencintai Kara lebih dari apapun."

"Jadi pada akhirnya hati lah yang membuat kalah." gumam Dave.

Rosad tersenyum lalu menepuk pundak Dave. "Jangan jadi budak hati."

"Ada orang yang keluar." Ujar Denis.

Mereka semua menatap ke arah yang sama.

Seorang pria dengan baju serba hitam baru saja keluar dari gubuk itu. Dave memberi isyarat pada Denis, Ani, dan Rosad bahwa ia yang akan menangani pria itu.

Setelah mendapat anggukan persetujuan dari mereka semua Dave mendekat secara perlahan. Pria berpakaian serba hitam yang sedang menerima telepon itu berhasil Dave lumpuhkan dalam waktu kurang dari lima detik. Pria itu pingsan. Mengambil ponsel yang sebelumnya sedang pria ini pakai. Ia melihat tato dengan gambar yang sama seperti yang selalu tercetak pada pembunuhan wartawan, Bambang, Salwa, dan yang lainnya pada belakang telinga pria ini. Dave sempat mematung beberapa detik sebelum melanjutkan penggeledahan sampai akhirnya menemukan sebuah kartu seukuran ATM berwarna hitam berpadu emas dengan foto pria ini di tengahnya.

Sebuah ID card.

Dave mengantongi ID card dan ponsel pria ini kemudian memberi isyarat bahwa Denis, Ani, dan Rosad bisa mendekat padanya.

Saat mereka bertiga sedang menuruni bukit kecil itu tiba-tiba saja sebuah tembakan terdengar. Dave repleks membungkuk setelah peluru yang entah milik siapa itu hampir saja menyerempet telinganya yang berakhir dengan bersarang pada dinding kayu gubuk itu. Dave melirik peluru yang menancap itu dengan perasaan ngeri.

Sepersekian detik kemudian suara tembakan kembali terdengar. Dave tiarap, begitu juga dengan tiga orang yang sedang menuruni bukit itu. Tidak bergerak untuk waktu sepuluh detik sampai baku tembak yang terdengar itu selesai.

"Kalian hampir saja terbunuh kalau tidak ada aku." ternyata yang melakukan adegan baku tembak secara live itu adalah Thomas. Polisi tampan itu sedang menyeret seorang pria yang sudah tidak sadarkan diri menuruni bukit. Kemudian menghempaskannya begitu saja di tanah yang cukup datar. Dave, Denis, dan Rosad mendekat menatap pria yang Thomas tangkap itu.

"Dia penembak jitu." Jelas Thomas sambil membanting senjata yang sepertinya sebelumnya dipakai pria tak sadarkan diri itu untuk membunuh Dave.

Dave tertawa. "Rupanya mereka tahu bahwa kita akan datang ke tempat ini."

Pria itu terbatuk-batuk mengeluarkan darah bekas dari pertarugannya dan Thomas di atas bukit tadi. Setelah baku tembak itu selesai dan Thomas mendekati pria ini, mereka sempat berkelahi dengan tangan kosong sampai akhirnya dia kalah dari Thomas.

Dave berjongkok. "Siapa yang menyuruhmu?"

Pria dengan mulut berdarah itu tersenyum sinis lalu meludah.

"Katakan!" Dave menjambak rambutnya. "Siapa mereka?"

"Mereka?" pria ini malah mengejeknya. "Kenapa aku haru mengatakannya padamu?"

"Katakan!" Dave semakin menekannya berdiri lalu menginjak kaki pria itu yang ternyata berhasil Thomas tembak tadi.

Pria itu merintih kesakitan bahkan berteriak sebelum Dave menendang dada pria itu sangat keras. Pria ini masih tidak mau mengatakan apa-apa. Dave berjongkok lalu memasukan jarinya ke tempat dimana peluru Thomas bersarang.

Dia berteriak kesakitan namun tidak mau mengatakan apapun walaupun Dave tekan.

"Lebih baik aku mati daripada mengatakan tentang Big Boss pada kalian!" tegas pria itu. Keringat di wajahnya sebesar biji jagung. Pasti sakit sekali. Siapapun akan sangat kesakitan saat luka yang menganga lebar di tubuhnya ditekan seperti ini.

"Katakan saja kalau kamu tidak mau terus kesakitan." Dave memasukan jarinya lebih dalam pada lukanya.

Si penembak jitu itu semakin kesakitan. "Aku lebih baik mati daripada mengatakan sesuatu pada kalian."

Tiba-tiba saja sebuah pisau menancap dada pria itu. Mereka lengah tidak menyadari pria ini mengambil pisau dari saku jaketnya diam-diam lalu menikam dirinya sendiri.

Dia sudah tidak bernyawa.

Dave berdiri, frustasi dia mengusap wajah dengan tangannya yang penuh darah.

Sekarang apa lagi? Mereka datang ketempat ini tanpa persiapan apapun dan tanpa tahu tempat ini seperti apa. Ia berharap dengan pria yang beberapa detik lalu menikam dirinya sendiri itu mereka bisa mengetahui setidaknya secuil informasi.

"Ani." Denis celingukan. "Ani!" Denis memanggil Ani lebih keras.

"Kita terkecoh." ucap Dave sambil melirik mayat pria itu.

Pria ini ternyata digunakan untuk mengecoh mereka.

Ani menghilang sama seperti Angel.

***

Flower Flo

140618

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top