BAB 36
Soundtrack
Tulus - monokrom
Ini part spesial buat temen gue yang lagi gak ulang tahun hahaha
shandydaa
Pencet dulu bintang di pojok kiri ya, ;)
***
Ini seperti mimpi.
Meskipun rasa takut orang-orang itu akan menemukannya lagi. Bisa keluar dari tempat itu saja sudah membuatnya senang. Setelah satu bulan dia dikurung bersama dengan wanita lainnya akhirnya ia bisa keluar dari sana.
Di tatapnya bangunan kecil yang seperi pondok kayu biasa di tengah hutan dengan senyum mengembang. Dari luar pondok itu memang terlihat seperti sebuah pondok biasa, itu kebohongan. Di dalamnya bahkan lebih luar dari yang di kira. Rasanya ia ingin menangis, karena sampai saat ini ia tidak termasuk dalam jajaran wanita-wanita malang yang mati dengan tragis di tempat terkutuk itu.
Ia bebas.
Rasanya ingin sekali dirinya meneriakkan kalimat itu. Ia terlalu lelah dan kekurangan tenaga.
Ia hampir saja terlena dengan rasa senangnya saat ia melihat beberapa pria berseragam serba hitam yang jumlahnya sekitar 20 orang keluar dari sana, lalu berpencar. Sekarang pertarungan yang sesungguhnya. Ia harus pergi dari tempat ini secepat mungkin. Di robeknya name tag bertuliskan Rosa di dada kanannya dan membuangnya asal.
Ia berlari secepat yang ia bisa. Sekarang ia tidak segila dulu. Kejadian demi kejadian dan kenyataan yang memang harus diterimanya dengan lapang dada, sudah bisa diterimanya. Ia memang memiliki kanker, tapi, itu bukan karena kebiasaan buruk atau kesalahannya.
Rosa terus melajukan langkah kakinya tidak peduli dengan rasa sakit di kepalanya. Ia juga mual, ingin muntah, tapi ia mencoba mengabaikannya. Penyakitnya harus ia lupakan untuk saat ini. Melarikan diri dari sana terlebih dahulu, untuk rasa sakit yang ia rasakan, jika ia memang ditakdirkan untuk mati dalam pelariannya ini, ia akan merasa lebih baik. Daripada harus mati di tempat itu.
Kakinya yang telanjang pada akhirnya menyentuh permukaan aspal yang panas karena terik matahari. Rosa lagi-lagi mengabaikannya. Sebuah mobil terlihat dari kejauhan berjalan menuju ke arahnya. Ia melambai-lambaikan tangannya minta pertolongan.
“Tolong!! Tolong aku!!”
Mobil itu lewat begitu saja mengabaikannya. Mobil kedua, ketiga, keempat sampai tiba pada mobil keenam, tidak ada satupun yang berhenti. Sampai pada mobil ke tujuh, saat tubuhnya pun sudah terasa tidak kuat berlari sementara di belakangnya, sepuluh meter darinya orang-orang serba hitam itu berlari mengejarnya.
Ada sebauh mobil hitam dari kejauhan. Matanya sudah buram, ia sebentar lagi akan pingsan atau mati. Di sisa kekuatannya ia melambaikan tangannya. Dan…gelap.
***
Rosa terbangun saat hari sudah benar-benar gelap. Walaupun pandangannya kabur, ia masih bisa membedakan langit malam dan siang.
Kerongkongannya terasa sangat kering sampai-sampai ia tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun. Seluruh tubuhnya juga terasa ngilu, tidak bisa digerakkan sama sekali, ditambah dengan kepalanya yang berdenyut-denyut hebat.
Itu karena penyakitnya. Mungkin, jika ia bukan penderita kanker, dirinya tidak akan merasakan seluruh tubuhnya sesakit ini.
Seseorang membuka pintu.
Rosa tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya. Tapi, dari posturnya ia tahu itu adalah laki-laki.
Pandangannya masih kabur saat laki-laki itu duduk di tepi ranjang yang ditempatinya lalu membantu agar tubuhnya setengah duduk. Tubuhnya merasa sedikit membaik setelah laki-laki ini memberinya minum, walaupun matanya masih belum bisa melihat dengan jelas.
Untuk saat ini siapapun laki-laki ini. Ia sangat berterimakasih.
“Aku Thomas.”
Mendengar laki-laki itu menyebutkan namanya seketika saja seluruh tubuh Rosa menegang.
Ia ketakutan.
Di sisa umurnya yang paling tidak ingin ia temui selain pemimpin dari kelompok itu adalah pria ini, Thomas. Keduanya membuatnya merasa terancam.
“Bagaimana keadaan Shandy?” tanya Thomas.
Lama bagi Rosa untuk menjawab. Ia kebingungan sendiri. Jika ia mengatakan pada Thomas bahwa Shandy sudah mati, bisa saja Thomas juga membunuhnya sekarang karena ia tidak bisa menjada Shandy, adiknya.
Lalu, apa yang harus ia katakan?
“Jawab Rosa.” Suara Thomas melembut. Tangan besarnya mengelus rambutnya.
“Ma…” Rosa berdehem, ternggorokannya sangat sakit. “Ma,…” Thomas memberikan minuman padanya, tenggorokannya merasa lebih baik walaupun saat mengucapkan kata-kata keramat itu ia masih sesekali tercekat. “Ma…ma…ti.”
Elusan tangan Thomas pada kepalanya mendadak berhenti.
“Maafkan…aku.”
Thomas tidak menjawab. Kenapa juga matanya tidak bisa melihat bagaimana wajah Thomas saat ini.
“Jangan membunuhku.” erang Rosa. Ia ingin meringsut menjauh, tapi tubuhnya tidak bisa bergerak sama sekali. Penyakitnya semakin memperburuk ketakutannya.
Tanpa ia sangka Thomas mendekapnya. “Maaf, aku membuatmu dan Shandy masuk ke sana.”
***
Sehari setelah Kara dinyatakan bebas, berita lain muncul.
Sekarang bukan Kara, melainkan manajer Kara. Dia ditangkap karena membunuh Riyanti. Ternyata ini alasan kenapa Kara dibebaskan.
“Aku tidak menyangka dia melakukan tindakan keji seperti ini.” itu yang Kara ucapkan di televisi setelah tayangan yang menayangkan penangkapan manajer dari aktor papan atas itu.
“Kalung itu aku berikan karena selama ini dia selalu berbuat baik padaku. Dia salah satu orang berpengaruh dalam perjalanan karierku. Aku kira aku selama ini mengenalnya dengan baik, tapi nyatanya tidak.” Kara tampak menyusut air matanya. “Sungguh, seperti mimpi, orang baik yang selama ini selalu bersamaku tiba-tiba berubah menjadi seorang pembunuh. Aku harap, para aparat penegak hukum negara ini bisa menemukan dia secepat mungkin. Dia tidak bisa terus-terusan lari setelah melakukan kesalahan.”
Tiba-tiba saja layar datar di hadapannya mati. Angel dan Ani menatap Thomas yang entah sejak kapan masuk dan langsung mematikan televisi.
“Bukan dia pembunuh sebenarnya.” ujar Thomas tiba-tiba, pandangan lurus.
Dave mengernyit. “Kenapa kamu bisa seyakin itu?”
Thomas tidak mengatakan apa-apa lagi, pergi begitu saja menuju jendela besar yang mengarah langsung ke gemerlap kota Jakarta yang seperti langit penuh dengan bintang di bawah sana.
Dave mengikutinya dan berdiri di belakangnya. Sepertinya temannya ini mengalami sesuatu.
Secara naluriah, sebagai teman, Dave menyentuh pundak Thomas. “Apa terjadi sesuatu?”
Thomas menggeleng, tidak membalik badannya. “Tidak ada.”
“Wajahmu menunjukkan sebaliknya.” Timpal Dave.
Merasa sangat yakin bahwa ada sesuatu yang membuat temannya ini merasa terganggu.
Dave mengenal Thomas. Setidaknya waktu satu tahun, yang mereka lalui cukup untuk membuat ia mengenal Thomas. Dan Thomas yang ia tahu tidak pernah semurung ini. Pasti ada sesuatu yang terjadi padanya.
“Adikku meninggal.”
Dave melihat tubuh Thomas menegang saat dia mengatakan hal itu.
Sekarang Dave tahu kenapa hari ini Thomas terlihat lain dari biasanya.
“Apa dia sudah dimakamkan?”
Thomas menggeleng pelan. “Saat ini aku masih mencari tubuhnya.”
“Lalu, darimana kamu tahu adikmu sudah meninggal.”
“Seseorang memberitahukannya padaku.”
“Seseorang?” Dave tiba-tiba merasa ada sesuatu yang lain.
Melihat Thomas hari ini membuat dia semakin yakin, ada sesuatu yang selalu dia sembunyikan. Tapi apa? Terkadang dia bertingkah menurigakan, sekaligus penuh rahasia.
“Siapa?” pandangan Dave berubah menjadi penuh rahasia.
“Seseorang yang hampir benasib buruk seperti adikku Shandy.”
Thomas berbalik. Tatapannya sangat serius sekali. Dave melihat keterpurukan dan kemarahan dalam satu ekspresi.
“Film action terbaru. Pecahkan dulu teka-teki itu.” ucapnya kemudian.
Yang Dave lakukan hanya diam, tidak mengerti kenapa temannya ini tiba-tiba menyuruhnya melakukan hal itu.
Pandangannya menyipit.
Terkadang Thomas terlihat seperti mengtahui segalanya. Tapi..., entahlah.
***
Hai, gue up lagi
Jangan lupa vote sama komen eakkksss
Flower_flo (mulai sekarang itu jadi nama pena gue haha)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top