BAB 31

Playlist: Se O - Somebody
Coba dengerin enak banget, menurut gue hhe

BAB ini gue dedikasikan khusus buaf bendahara kelas gue yg terrr terrr terrrr.... legistari

Dia juga penulis watty lho, ceritanya seru2, cobain baca punya dia juga eaksss...

Bintang di pojok kiri bawah jangan lupa dipencet yah😁😁

***

Satu jam kemudian Ani terbangun dari pingsannya. Angel dan Dave duduk di pinggir ranjangnya. Pandangan Ani langsung tertuju pada leher Angel yang sekarang sudah di tutupi dengan syal kuning. Tempat dimana tadi ia melihat tanda merah di sana. Dan itu pasti perbuatan Dave. Memangnya siapa lagi yang bisa melakukan hal semacam itu? Sungguh, membayangkan Dave melakukannya saja pada Angel membuat Ani merasa mual.

Ani bangun dengan memegangi kepalanya. Bersikap seperti pasien dalam drama, padahal ia sama sekali tidak merasa pusing.

“Brengsek!” umpat Ani membuat Dave langsung berjengit kaget.

“Apa itu yang pantas kamu katakan? Bukankah seharusnya kamu menanyakan ‘aku dimana’, begitu?” Dave mencebik, tidak suka Ani langsung mengatainya beberapa detik setelah dia sadar. Seperti tahu drama yang sedang Ani mainkan.

“Oh, ini bukan sinetron, David!”

“Ya! Bukan sinetron. Tapi dirimu yang selalu pingsan saat melihat aku melakukan sesuatu pada Angel itu sangat sinetron, Anindiya.”

“Jangan salahkan aku, karena aku teramat tidak suka Angel-ku yang suci disentuh laki-laki bajingan sepertimu!”

“Anindiya jangan panggil aku laki-laki, aku masih perawan. Aku belum pernah melakukannya kalaupun aku mau.”
“Perjaka onta!”

“Ya! Memang apa bedanya. Toh artinya sama-sama belum pernah me-la-ku-kannya.” bantah Dave penuh penekanan di ujung katanya.

Angel dibuat bingung sendiri sekarang. Kenapa juga dua orang ini tidak pernah akur saat bertemu? Pasti ada saja bahan untuk mereka bertengkar. Angel merasa sangat merindukan saat-saat dimana dulu ia sering memarahi dave karena hal yang sepele. Dengan statusnya yang sekarang, wajar jika Angel jadi sangat merindukan saat-saat itu.

“Sudahlah.” Angel menarik napasnya dalam-dalam. “Apa kalian akan terus bertengkar sampai aku melahirkan anak dan mempunyai cucu?”

Ani melipat tangannya di depan dada sambil memalingkan wajahnya ke arah lain, tidak mau melihat Dave. Pria itu pun melakukan hal yang sama. Alangkah kekanakannya mereka berdua.

“Dave ini salahmu, kamu selalu menyerangku disaat aku sedang tidak siap.” ujar Angel.

Dave menatap Angel tidak terima. “Kenapa kamu menyalahkanku?”

“Apa ‘kan aku bilang. David si pecundang memang selalu membuat masalah.” timpal Ani dengan nada sarat dengan ejekan.

Pandangan Angel beralih pada Ani yang tengah menatap Dave penuh kemenangan. “Dan Ani aku mengerti kamu sangat menyayangiku. Kamu berharap yang terbaik untukku. Kamu juga selalu berusaha menjagaku. Tapi ini hidupku.”

Kening Ani berkerut samar. “Kamu sedang menyalahkanku?”

“Tidak, bukan seperti itu. Aku justru sangat berterimakasih. Kamu sahabat terbaikku.”

“Aku memang sahabat yang baik. Kenapa kamu baru menyadarinya?” mata Ani berbinar.

“Apakah kamu akan seperti ini terus jika nanti aku menikah dengan Dave?”

Pertanyaan Angel barusan berhasil membuat Ani melotot padanya. Dave pun dibuat melongo karenanya, namun detik berikutnya berubah menjadi senyum bahagia.

“Kamu melamarku?” tanya Dave disertai senyumannya.

“Kenapa kamu harus menjatuhkan diri pada laki-laki brengsek ini Angel? Tidak, aku tidak akan merestui kalian berdua.”

Angel memutar bola matanya. “Aku bilang ‘JIKA’.” katanya penuh penekanan.

“Apa kamu akan terus pingsan saat melihat aku dan Dave keluar dari kamar yang sama di pagi hari nantinya?”

***

“Apa aku terlambat?” tanya Denis yang baru saja sampai di hadapan Ani.

Ani melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya lalu memunculkan senyum tak bersalahnya. “Sebenarnya filmnya di mulai satu jam lagi.”

“Ha!” Denis yang masih mengatur napasnya melongo. “Jadi tadi kamu nyuruh aku buru-buru cuma buat nunggu satu jam lagi? Kamu tahu, aku sibuk.”

Ani bangkit lalu merangkul leher Denis berjalan menuju kerumunan orang-orang. “Yayaya tuan sok sibuk.” ejek Ani.

“Tapi, kamu harus tahu ada sesuatu yang lebih penting dari urusan kamu.” Ani menunjuk spanduk iklan film terbaru di salah satu sudut bioskop, detik berikutnya ia tersenyum miring. “Nonton film itu.”

Ani menarik Denis menerobos kerumunan sampai akhirnya berada di paling depan. Berhadapan langsung dengan pemeran utama film yang akan mereka tonton, Kara Bintang.

Denis membiarkan saja saat Ani menariknya. Ada baiknya jika ia tetap diam daripada nanti mendapat marah dari perempuan pemarah ini. Tidak, ia tidak ingin menjadi korban perempuan ini. Sudah cukup ia melihat Dave selalu dipukuli Ani setiap kali mereka bertengkar.

Hari ini adalah gala premier film terbaru Kara Bintang yang berjudul ‘Kamuflase’. Tak heran banyak sekali orang di sini. Di atas panggung Kara dan Victoria—sang bintang film sedang mengucapkan kata sambutan sementara di bawah panggung fansnya yang datang tak hanya dari Kota Jakarta berteriak-teriak. Siapapun akan terhipnotis dengan ketampanan Kara. Ditambah lagi dengan sikapnya yang selalu menolong orang yang kesuliatan membuatnya semakin digemari di masyarakat.

Setelah sambutan yang diberikan oleh Kara, saatnya game. Victoria dan Kara menunjuk beberapa orang.

“Sebelum kita memulai game, alangkah baiknya kita mengetahui nama satu sama lain.” ujar MC lalu menyerahkan microfon yang lain pada gadis berambut panjang di ujung kanan.

“Nama saya Riyanti Adeya Fatahilla.”

“Boleh saya tahu kenapa kamu sangat antusias untuk menonton film ini?” tanya MC.

Perempuan bernama Riyanti itu menatap Kara yang berdiri tak jauh dari MC. “Karena ada Kara Bintang. Ahhh… aku nge-fans sekali.”

“Kenapa harus mereka yang naik ke atas panggung.” Ani mengguncang Denis yang sejak tadi acuh tak acuh dengan acara ini. Berteriak-teriak histeris seperti sekelilingnya.

Kenapa perempuan selalu seperti ini?
“Ani, setelah acara ini selesai kamu bebas naik ke atas panggung itu.” Denis melepaskan cengkeraman Ani pada ujung jaketnya.

“Nah…nah… Seperti ini. Orang yang hidupnya monoton sepertimu akan seperti ini. Tidak punya idola. Hampa.” cibir Ani, namun Denis sama sekali tidak memperdulikannya.

“Yayaya… Rupanya pesona Kara Bintang tidak meragukan lagi, saya pun kalah darinya.” ucap sang MC anekdot. Microfon  yang sebelumnya pada Riyanti beralih pada pria di sampingnya.

Game tidak berlangsung lama. Setiap orang yang naik ke atas panggung dihadiahi bingkisan dan Thai Tea. Satu persatu peserta yang beruntung itu turun dari panggung.

“Aaa…” semua orang seketika itu berteriak melihat perempuan bernama Riyanti tak sengaja menumpahkan minumannya pada Kara.

Suasana sempat hening beberapa detik menunggu reaksi Kara. Sementara itu Riyanti yang merasa bersalah sekali segera mengambil tisu dari tas selempangnya dan mengelap baju Kara.

Ekspresi Kara masih tidak terbaca. Dia diam dengan ekspresi dingin menatap Riyanti yang sedang mengelap bajunya.

“Sudahlah.” ucap Kara sambil memegangi tangan Riyanti.

Perempuan itu mendongak dengan perasaan takut.

“Aku harusnya berterimakasih padamu.” lanjutnya dengan senyuman khasnya. Riyanti mengernyitkan alisnya tidak mengerti.

“Sebenarnya aku tidak terlalu suka pakaian yang aku pakai hari ini. Tapi, karena stylish menyuruhku memakainya, aku terpaksa harus menurutinya. Sekarang aku mempunyai alasan untuk berganti pakaian.” ujarnya disertai senyum manisnya. “Terimakasih.”

Perempuan bernama Riyanti itu tertawa lega. Ani yang melihat dari bawah panggung meremas pangkal lengan Denis. Iri sekali dirinya pada anak SMA itu. Sudah satu panggung dengan Kara, mendapat senyum pria tampan itu juga.
Sekarang saat yang ditunggu-tunggu. Kapan lagi menonton film bagus bersama dengan bintang filmnya itu sendiri. Tidak sia-sia juga Ani berbohong mengatakan bahwa ia sakit dan tidak bisa pergi ke rumah sakit.

“Kemana?” Denis mencekal pergelangan tangan Ani.

Ani menepis tangan Denis. “Kamu masuk dulu aja, aku harus ke sana.” menunjuk Kara yang baru saja kembali dari toilet bersama dengan manajernya.

“Siapa tahu dia baik hati dan mau foto bareng, minimal tanda tangannya.” ujar Ani setelah itu berlalu dari hadapan Denis.

“Baik, aku sepertinya akan menunggu di luar.”

Ani berbalik menatap tajam Denis. “Yang bayar tiketnya aku, jadi jangan buang-buang uangku dengan kamu mau menunggu di luar.” Ani berkacak pinggang gayanya seperti seorang ibu menyuruh anaknya pulang ke rumah. “Masuk!”

Denis menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir. Kenapa perempuan bisa sefanatik itu saat mengidolakan seseorang?

“Kara,…” ucapan Ani tersendat saat melihat Kara membisikkan sesuatu pada manajernya. Jaraknya untuk sampai pada Kara hanya tinggal beberapa langkah lagi.

Namun, saat melihat manajer Kara melangkah menjauh dari artisnya membuat Ani heran. Kenapa manajer tiba-tiba meninggalkan artisnya. Tunggu, manajernya menghampiri perempuan bernama Riyanti yang tadi. Perempuan itu lagi. Untuk apa manajer Kara menghampiri Riyanti?

Setelah itu Riyanti dan manajer Kara pergi ke arah yang berlawanan dengan teater tempat film ‘Kamuflase’ akan diputar.

“Sedang apa?” pertanyaan itu berhasil membuat Ani mengalihkan pandangannya dari dua orang itu. Jutaan kupu-kupu tiba-tiba saja berterbangan di dalam perutnya. Membuahkan sensasi yang luar biasa. Kagum, berdebar, dan tidak percaya.

Di hadapannya berdiri Kara Bintang, aktor yang sangat ia kagumi. Dari dekat ia bisa melihat lebih jelas wajahnya. Rahangnya yang kokoh, hidungnya yang mancung sempurna, alisnya tebal dan hitam, matanya yang tidak terlalu kecil, dan kumis tipis di atas bibir tipisnya. Kara Bintang lebih tampan dilihat dari dekat seperti ini.

Tunggu, apakah ini mimpi? Ani harus menampar pipinya seperti orang bodoh untuk menyadarkan dirinya sendiri.
“Ada apa?” ulang Kara.

Ani mengerjap, lalu menunjuk ke arah menghilangnya manajer Kara dengan Riyanti. “Manejer kamu,…”

“Oh, aku menyuruhnya untuk memberikan sesuatu kepada perempuan itu.”

“Wah…beruntung sekali dia. Kenapa bukan aku saja? Ani.” gumam Ani.

“Kenapa?”

“Tidak-tidak.” Ani mengibas-ngibaskan tangannya.

“Kenapa belum masuk, Ani?” tanya Kara. Nada suaranya terdengar akrab sekali seolah mereka sudah mengenal sangat lama.

Ani menutupi mulutnya. “Darimana kamu tahu namaku?”

“Kamu menyebutnya barusan.” jawab Kara acuh tak acuh. “Kenapa belum masuk?”

“Aku mau minta foto bareng dulu boleh?” tanya Ani ragu sambil menyurukkan ponselnya.

Ani sempat ragu Kara tidak akan mau, karena setahunya Kara memang aktor yang ramah dan suka menyapa fans-nya seperti sekarang. Tapi, belum ada yang berhasil mendapatkan foto bersama dengannya. Jadi, yang Ani lakukan sekarang ini sangat besar kemungkinannya Kara akan menolak. Kemungkinan buruk lainnnya ia diseret security keluar.

“Boleh.” Tanpa disangka Kara mengambil ponselnya dan membuka aplikasi Camera360.

Sepertinya mulai sekarang Ani harus mempertimbangkan kemungkinan yang sedikit itu.

Mereka mengambil beberapa foto bersama sebelum akhirnya mereka masuk ke gedung teater beriringan. Sepertinya keberuntungan Ani hari ini belum  berakhir juga, karena ternyata Kara menyuruhnya duduk di sampingnya karena manajernya tidak ada.

“Aku tidak suka duduk sendirian. Setidaknya aku bisa mendengar komentar kamu tentang film ini.” ujarnya yang membuat Ani langsung menyetujuinya. “Tentang acting aku juga.”

Memangnya orang gila mana yang akan melewatkan kesempatan emas ini?

***

Bab ini emang ngebosenin, gue nulisnya lagi agak gak fokus waktu itu hhe
Walaupin begitu hha, voment eakkszz

Iis Tazkiati N
27 Desember 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top