🌫 Kehilangan Seluruh Jiwa

Bab 05
Kehilangan Seluruh Jiwa

***

"Malaikatku langsung pulang?"

Angel terkekeh kecil, satu-satunya orang yang memanggilnya dengan panggilan malaikat hanyalah Lucas, "Iya. Kak Rara ada di rumah soalnya, Lucas."

"Rara?" ulang ketua kelas XII IPA 1 itu saat mendengar nama asing di telinganya. Mereka mengabaikan beberapa siswa yang melihat interaksi keduanya.

Johan yang dipindahkan duduk dengan Angel langsung menyela, "Saudaranya dia. Gue mau mulangin anak gadis dulu, ntar dicariin." Tanpa mendengar balasan dari bibir pemimpin kelas itu, Johan menarik lengan sahabatnya untuk pulang. Angel yang ditarikpun tidak mengomentari apapun, dibawa masuk ke mobil putih Avanza.

Ntah ada angin apa yang menerpa sosok yang dipanggil Sasa oleh Angel ini sampai rela membawa mobil untuk ke sekolah. Gadis itu pernah meminta Johan membawa mobil saja, tidak butuh pemikiran panjang, dia langsung menolak mentah-mentah.

"Lagi pengen doang. Papa juga nggak ada di rumah, ada perjalanan bisnis pakai pesawat. Jadi, mobil ditinggal, ya kupakai."

Begitu jawaban Johan di pagi hari Angel menanyakan keberadaan mobil di depan pagar rumahnya.

"Langsung pulang apa duduk dulu di cafe kemarin?" tanya pemuda tersebut yang sudah berada di belakang kemudi, menyalakan mesin dan memasangkan seat belt.

"Pulang. Kak Rara kan ada di rumah, ntar aku minta jajan sama dia," jawab Angel yang mulai berubah menjadi pias dan terlihat tidak ingin diganggu.

Johan mengangguk, menyetel lagu pengiring film yang sedang membludak berbahasa internasional. Sempat melirik sejenak ke arah Angel yang tampaknya mengabaikan lagu yang di putar. Perlahan kuda besi itu mulai berjalan keluar dari area sekolah.

"Into the unknown~ Into the unknown~ Into the known oh oh oh~"

Abaikan suara cempreng sang anggota Jurnalistik untuk memecah keheningan tak berujung ini.

***

Angel keluar dari mobil berniat untuk membuka pagar rumahnya, sang supir ingin berkunjung ke rumah katanya. Padahal, dia bisa memarkirkan kendaraan empat roda itu di rumahnya sendiri dan menyebrang ke sini. Setelah itu langsung memasuki kawasan rumahnya dan Johan juga ikut masuk.

"Angie?"

Gadis itu langsung menoleh ke sumber suara dari daun pintu, senyumnya terbingkai, dan langsung menghambur masuk ke pelukan pria jangkung dengan pakaian rumahan--kaus oblong dan boxer--mengabaikan kalau kaum adam itu nyaris terjungkal ke belakang. "Kak Rara!" pekiknya sambil mengencangkan pelukannya.

"Aduh! Sakit!" adunya yang melepaskan pelukan tersebut ketika dahinya tersentil kuat, alis matanya menukik tajam tidak terima dengan perlakuan yang didapatnya.

Berbeda dengan pelaku tersangka yang melipat tangannya di depan dada, "Kenapa harus nama panggilan itu, sih?"

"Yo, Bang!" panggil Johan yang datang menimbrung setelah mobilnya terparkir di depan rumah. Pikirannya menangkap kalau ada yang tidak beres dengan dua bersaudara ini. Namun, memutuskan untuk tetap diam.

"Ya, kan, bagus. Kak Rara. Omong-omong, Kakak juga manggilnya tetap Angie, nama Adek Angel tahu," balas gadis tersebut yang mengomel dengan mata yang tajam. Sayangnya tidak mempan menghadiahkan cubitan gemas di pipinya.

"Ya, sama. Nama Kakak juga Arvin Irawan Prananda. Kenapa manggilnya terus Rara? Jatuhnya nama cewe, Dek."

Johan membulatkan bibirnya tanpa suara dan menganggukkan kepalanya, dia sudah paham situasi yang tengah terjadi tanpa bertanya.

"Terserahku. Adek mau ke kamar dulu. Jangan ganggu sampai jam makan malam."

Angel langsung menyelonong masuk ke dalam rumah, menaiki tangga sampai bersembunyi di balik pintu tersebut. Sedangkan, di pintu rumah, sosok pria yang paling tua diantara mereka melongo tak percaya, "Itu ... Angie kenapa?"

"Dia lagi banyak pikiran, Bang. Kan sudah kelas tiga, bentar lagi juga sudah mau USBN sama UNBK."

Arvin merangkul bahu teman adiknya itu membawanya ke ruang keluarga yang dijadikan sebagai ruang tamu. "Dia masih aktif di PMR, kan?"

Johan mengangguk sekilas.

"Padahal sudah Abang katakan untuk mundur saja dari PMR atau paling tidak jadi anggota, tapi dianya lebih pengen PMR. Ya sudah, Abang mana bisa bilang nggak," balas Arvin lagi yang sedikit menambahkan bumbu kesal di dalamnya. "Kalau saja Aswin di sini, Angie mungkin nggak sibuk sama PMR dan fokus sama ujiannya."

"Bang," panggil yang lebih muda setelah memantapkan keputusannya. Pria sebagai anak sulung keluarga Anandra itu hanya mendengung sebagai balasan. "Kayaknya, Angel sedang ada masalah sama temannya. Tapi, dia nggak ngomongin ini, Abang juga jangan ngangkat masalah ini. Angel itu cewe kuat dan mandiri walaupun di depan Abang sama Bang Aswin suka merengek. Dia yakin dia bisa dapat solusinya."

"Sama siapa? Setahu Abang temannya cuma lo."

Johan menarik ujung bibirnya ke atas jengah, "Ada lah. Cewe, memang sih nggak pernah ke sini. Sekelas sama kami juga. Belum lagi dia dituduh ngehilangin uang kas PMR."

Arvin menghela napas, dia berbalik badan melihat pintu dicat warna kayu yang tertutup rapat itu, "Ya sudah. Nanti malam Abang ajakin dia keluar jajan?"

"Beliin boba sama drivethru. Angel lagi pengen itu sebenarnya," kata Johan yang terkekeh geli melihat statusnya di aplikasi media sosial berlogo kicauan burung.

Private dan cuma username-nya Johan yang bisa melihat seluruh tweets tersebut.

"Gampang itu urusannya. Lo juga balik, bentar lagi ujian tuh." Arvin mengusir sosok laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai adiknya sendiri. "Nggak bisa lulus, mampus dicoret dari KK."

"Iya. Iya. Gue pulang duluan."

***

Arvin mengemil di dalam kamar si bungsu dengan mata yang sibuk menonton dari laptop. Sedangkan, mpu-nya laptop tengah duduk di couch memutar lagu ballad sambil melihat pemandangan sembilan malam dari jendela kamarnya.

How do you heal a broken heart

That feels like it will never beat this much again

Oh no

I just can't let go

How do you heal a broken heart

That feels like it will never love this much again

Oh no

Tonight I'll hold what could be right

Tomorrow I'll pretend to let you go

Bukan sekali dua kali, mahasiswa magister Akuntansi itu melirik ke arah gadis tersebut yang sudah berpakaian comfy untuk tidur. "Dek Angie," katanya sambil merapikan toples kue kering dan menghentikan filmnya sejenak.

Tidak ada balasan dari sosok yang dipanggil.

"Beres-beres sana. Kakak hidupin mobil, lagi laper malam-malam begini. Mau cari makan. Kakak tunggu di bawah," kata Arvin mendadak. Dia tidak pintar berkata manis ataupun menenangkan seperti adiknya satu lagi yang sedang mengais ilmu di negeri orang.

"Nggak mau. Kakak sendiri aja, kan Kakak yang laper. Kok Adek yang repot," sanggah Angel yang mampu menyalakan api hatinya sang kakak.

Arvin langsung berdiri dan berjalan kearah pemilik kamar, memaksanya berdiri dan menyentil dahinya pelan meskipun tetap saja terdengar pekikkan kecil, "Nggak ada alasan, Angie. Kebawah cepat." Dia langsung turun begitu saja tanpa mendengar balasan Angel yang sudah ingin mendumel.

Lima menit kemudian, Angel ikut turun setelah merapikan kamarnya yang bak kapal pecah sebab kelakuan kakak pertamanya. Dia ikut masuk ke dalam mobil, memasang sabuk pengaman serta menyambungkan ponselnya dengan speaker di sana.

I'm so lonely broken angel

I'm so lonely listen to my heart

On n' lonley, broken angel

Come n' save me before I fall apart

Lagu dua belas tahun silam itu memenuhi kekosong mobil tersebut, dalam dua bahasa Angel bersenandung mengikuti iramanya. Sedangkan, Arvin menyetir mobilnya sambil keluar dari komplek perumahan setelah berkeliling sebentar di sana.

"Kak mau makan apa?" tanya Angel akhirnya bersuara.

"Lagi nyari. Sate ayam aja kali, ya," balas laki-laki itu yang masih keliling Jakarta tanpa tujuan. Angel mendengus kiranya dia bakalan cepat pulang setelah mendapatkan makan malam untuk kakaknya. Ternyata, masih keliling tanpa tahu memang itulah tujuan utama pria muda itu.

Lima belas menit berada di mobil dan akhirnya berhenti di sebuah warung yang buka untuk malam, Arvin melepaskan seat belt-nya, "Pengen makan nggak, Dek? Dekat sini ada martabak tadi."

"Telur sama daging ayam, ya, Kak."

"Siap, Angie." Arvin menutup pintu mobil setelah keluar. Membiarkan Angel mendengus mendengar panggilan Kakak pertamanya itu. Penjelasan Arvin enam tahun silam masih membekas.

"Angie itu Kakak modifikasi dari bahasa Prancis, Ange. Sudah anggap saja itu panggilan kecil dari Kakak."

Angel mendengus geli mendengarnya dan setelah itu kontak namanya diubah menjadi Angie. Sedangkan, kakak keduanya juga sama. Namun, dalam bahasa Korea 'Uri Cheonsa' saat dia melihat ponsel Kakaknya itu.

Menunggu setengah jam dan Arvin masuk ke dalam mobil, melajukan kembali mobilnya. Tidak peduli kalau sang adik sudah membuka kemasan dan mencomot martabak telur.

"Oh, Dek. Ntar cek rekening, ya. Keknya baru masuk barusan."

"Hah?" tanya Angel dengan mulut yang masih penuh dengan martabak utuh. Dia tidak bisa memegang ponselnya karena kedua tangannya telah berminyak, sepertinya Arvin juga tidak menyimpan tisu di dalam ini.

Arvin tersenyum diam-diam, memikirkan kalimat yang pas. Tentu dia tidak bisa mengatakan kalau itu adalah biaya untuk kompensasi uang kas, bisa diamuk Angel. Sembari menjalankan kuda besi kesayangannya, dia berucap sebagai penutup acara malam itu.

"Anggap saja uang jajan. Kita pulang."

***

To Be Continue

***

Kenalan lagi, yuk.

Ini dia, si Kak Rara, orang yang paling nyebelin menurut Angel. Tapi, karena selalu dijajanin nyaris setiap hari, nggak jadi musuhin si Kakak. Arvin Irawan Prananda.

***

Sekian dulu perkenalan dari saya. Masih banyak lagi tokoh yang tersembunyi sebenarnya.

See ya ^^

***

25/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top