MY LITTLE ANGEL
Seharian penuh bekerja hingga terkadang lembur, membuat Ali merasa kurang memiliki waktu banyak bersama Angel. Sepulangnya bekerja, Ali membuka pintu kamar malaikat kecilnya itu. Senyum tertarik dari kedua sudut bibir Ali. Dia melihat Angel sudah tertidur lelap meringkuk di atas kasur dengan sprei dan bed cover bermotif doraemon. Ali mendekati tempat tidurnya dan duduk di tepi ranjang, mengelus rambutnya lembut.
"Maafkan Daddy sayang, Daddy terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantor, sampai pulang kerja, melihatmu sudah tertidur," sesal Ali lantas mencium kening Angel pelan.
Ali membenarkan bed cover Angel hingga menutupi setengah badannya. Sebelum pergi ke kamarnya sendiri, Ali menyempatkan membuka buku pelajaran Angel. Meskipun dia sibuk bekerja, namun tentang perkembangan Angel di sekolah, Ali wajib mengetahuinya. Ali selalu bangga pada gadis kecilnya itu, dia anak yang cerdas dan selalu bisa mengikuti setiap pelajaran yang diajarkan di sekolahannya. Setelah mengecek semua, Ali memasukkan kembali buku-buku Angel ke dalam tas. Lantas dia keluar perlahan menutup pintu kamar Angel.
Sampai di kamarnya sendiri, Ali segera membersihkan diri. Setelah membersihkan diri, Ali segera merangkak ke tempat tidur. Saat sendirian seperti ini, ia merasa kesepian, ia membutuhkan pendamping yang dapat berbagi keluh kesahnya karena seharian bekerja. Memeluknya saat dia merasa lelah dan memberikan bahunya untuk sejenak bersandar mencari kenyamanan.
"Aku merindukanmu Lovia," desis Ali menatap foto yang terbingkai indah di dinding, tepat di depan tempat tidurnya.
Hanya foto itu yang menjadi penenang keresahan hatinya selama 2 tahun belakangan ini. Saat ia akan memejamkan matanya, Ali selalu dapat menatap jelas senyuman terbaik istrinya itu. Ketika ia kembali membuka matanya, lagi-lagi sambutan senyum dari gambar istrinya yang menenangkan jiwa dan raganya. Saat memandangi wajah istrinya lekat di dalam foto itu, Ali teringan akan seseorang yang beberapa hari lalu membuat hatinya semakin dilanda keresahan.
"Angel," lirih Ali mengingat wanita yang sudah menabrak mobilnya malam itu.
Tak ingin terlalu memusingkan wanita itu, Ali pun segera menarik bed cover-nya, lantas ia memejamkan mata, untuk membuka alam mimpi.
***
"Dis, gimana dong ini? Cari duit sebanyak itu dalam waktu dua minggu? Gila tuh om-om!" gerutu Angel berjalan bolak-balik di depan sofa sambil berkacak pinggang.
Saat ini, mereka sedang berada di ruang tengah apartemen Angel. Gladis yang asyik duduk di sofa, hanya menatap teman baiknya itu mondar-mandir tak jelas. Karena merasa pusing, akhirnya Angel pun mengambil sebuah botol wiski yang ia simpan di laci minibarnya, lantas ia membuka tutup botol wiski yang bermerek Jack Daniels. Minuman premium dari Amerika yang terbuat dari corn (51%) dan grain 49% . Diproduksi di negara bagian kentucky, di daerah burbon country.
"Nih!" Angel menyodorkan segelas minuman beralkohol itu kepada Gladis.
Gladis menerimanya dan perlahan ia menenggak sedikit demi sedikit minuman mahal tersebut.
"Emang, dia minta ganti rugi berapa sih? Kenapa lo yang pusing, begok!" Gladis menonyor kepala Angel, yang saat ini dia duduk di sampingnya.
"Seratus juta!" sahut Angel membuat Gladis tertawa renyah.
"Yaelah, cuma 100 juta doang? Gitu aja lo pusingin. Tinggal call bokap lo, pasti deh ditransfer. Hidup kok dibuat susah," ujar Gladis enteng kembali menenggak minumannya.
"Enak bener bacot lo kalau ngomong. Lo kan tahu, kalau gue lagi di hukum bokap, gara-gara ngilangin mobilnya dia. Gue nggak dikasih uang jajan dan lo tahu? Selama ini, gue hidup dengan biaya gaji bulanan gue," sergah Angel menyandarkan tubuhnya kasar, menutup wajahnya dengan lengan dan merengek kesal.
Angel menyandarkan tubuhnya relaks, dan mulai berpikir. Bagaimana dia dapat memiliki uang 100 juta dalam waktu dua minggu? Sedangkan gajinya bekerja di kantor sang papa pun, hanya 50 juta per bulan di luar bonus.
"Lo coba aja minta nego sama om-om yang lo maksud itu. Siapa tahu dia mau nurunin ganti ruginya," saran Gladis.
"Boleh juga saran lo. Besok pagi sebelum berangkat ke kantor, lo antar gue ke rumah om-om itu ya?" pinta Angel mengguncangkan lengan Gladis menatapnya memohon.
"Ya," jawab Gladis datar, "tapi, om-omnya tajir nggak Jel?" seru Gladis menaik turunkan kedua alisnya mengerling penuh arti.
"Tajirlah, rumahnya aja gede, nggak jauh beda sama rumah orangtua gue," jawab Angel meminum wiskinya pelan.
"Waaaaah, boleh juga tuh, jadi incaran. Lumayan, buat mengisi kantong."
Angel hanya tertawa lepas mendengar gurauan Gladis. Tidak mungkin teman baiknya itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Itu sering ia lontarkan, namun pada kenyataannya, Gladis masih menjunjung tinggi harga dirinya sebagai wanita dari keluarga terpandang. Lahir di keluarga kolongmerat, membuat kehidupan Angel dan Gladis glamor. Serba tercukupi dan shopping adalah hobi yang tak terelakkan lagi.
"Terus gimana tuh, kasus pencurian mobil bokap lo? Udah ketemu pencurinya?" tanya Gladis mengingatkan Angel dengan kasus yang juga belum selesai hingga sampai saat ini.
"Sampai sekarang belum ada kabar dari kepolisian. Lama-lama males gue, Dis, udah banyak ngeluarin duit, tapi kayaknya nggak ada perkembangan. Gue jadi merasa bersalah sama bokap. Itu mobil kan, peninggalan kakek gue, Dis," cerita Angel merasa bersalah.
"Sudalah, namanya juga musibah. Relain aja, hitung-hitung lo ngamal sama orang yang nggak mampu," ujar Gladis mencoba menghibur Angel sembari menepuk punggungnya pelan.
"Eh ... buset bacot lo kalau ngomong sekate-kate. Ngamal sampai ratusan juta, tuh ngamal apa krampok?" umpat Angel lantas mereka tertawa terbahak.
Hidup bergelimpangan harta tak membuat mereka menjadi anak yang manja. Meskipun begitu, mereka tetap memanfaatkan ilmu yang sudah didapatkan, saat belajar di perguruan tinggi hingga sampai ke luar negeri. Perusahaan kedua orangtua mereka yang menerapkan sistem marger, membuat keduanya dapat bekerja sama mengawasi perkembangan bisnis yang sedang perusahaan orangtua mereka kembangkan.
"Lo mau tidur sini apa mau balik?" tanya Angel mengembalikkan sisa wiskinya ke laci minibar.
"Gue nginep sini aja deh," kata Gladis meluruskan kakinya di sofa dan membaringkan tubuhnya yang terasa kaku karena seharian tadi sudah bekerja keras.
"Oke, terserah lo." Angel pun membereskan gelas sisa mereka minum. Lantas ia masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri.
***
Sinar mentari yang tak lagi malu-malu menunjukan wajahnya untuk memberikan cahaya di dunia ini, menghidupkan semangat bagi penghuni bumi. Seperti yang sudah mereka bicarakan semalam, kini Angel ditemani Gladis pergi ke rumah Ali.
"Udah sono masuk!" bujuk Gladis mendorong tubuh Angel.
Angel tampak ragu-ragu saat ingin memencet bel rumah yang bak istana tersebut, dengan cat dominan putih dan keemasan, terlihat megah dan mewah. Ia memutar tubuhnya, mengurungkan niatnya saat tangannya sudah menyentuh bel rumah itu.
"Pulang aja yo!" ajak Angel menarik tangan Gladis ingin menjauh dari pintu rumah tersebut.
"Eh ... buset lo. Udah sampai sini coiy! Masak mau pulang?" gerutu Gladis menahan tangan Angel.
"Dis, gue ragu. Soalnya om-omnya ini, itu beda. Males banget gue kalau ngomong sama dia. Dingin dan tak ber-pe-ra-sa-an!" ujar Angel sewot dan ketus menekan kata 'berperasaan.
"Semakin lo ngomong begitu, bikin gue makin penasaran, cuiy! Kayak apa sih om-om yang lo maksud?" Tanpa persetujuan Angel, Gladis kembali mendekati pintu. Dengan penuh percaya diri, ia memencet bel rumah tersebut.
"Gladiiiiiis," geram Angel geregetan, "apa yang lo lakuin, begok!" Angel menonyor kepala Gladis, karena merasa sebal. Tanpa seizinnya, Gladis memencet bel rumah itu.
"Gue pencet bel ini," jawab Gladis polos menunjuk bel yang berada di samping pintu lebar dan tinggi memiliki ukiran yang indah. Angel hanya menepuk keningnya dan menggelengkan kepalanya karena kepolosan Gladis.
"Kadang otak lo sengklek juga ya? Gue kan udah bilang, nggak jadi, kenapa lo malah pencet tuh bel rumah, oon!" Lagi-lagi Angel menonyor kepala Gladis.
Gladis hanya menyengir lebar, menampakan barisan giginya yang rapi. "Kan gue penasaran sama om-om yang lo maksud. Jadi gue pengen lihat om-om itu. Kata lo, dia duda. Siapa tahu duren, kan lumayan coiy!"
Saat mereka sibuk berdebat di depan pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Wanita paruh baya keluar dari balik pintu.
"Maaf, mau cari siapa ya?" tanya wanita itu ramah dan sopan sedikit membungkukkan badan.
Angel membalikkan badannya, dengan cepat wanita itu mengenali Angel. "Ooooh, ini Nona yang waktu malam-malam itu dibawa pulang Tuan Ali kan ya?" tunjuk Bi Inah.
Angel hanya mengangguk sungkan dan merasa malu. Sedangkan Gladis hanya terkekeh melihat wajah culun temannya saat merasa malu seperti itu.
"Iya," sahut Angel singkat.
"Silakan masuk Non, Tuan Ali-nya lagi ngurusin Non Angel. Soalnya, katanya hari ini ada lomba memasak bersama orangtua di sekolahannya Non Angel," jelas Bi Inah membuka pintunya lebar, agar Angel dan Gladis dapat masuk ke dalam rumah.
Sambutan pertama saat kaki menginjakkan di ruang tamu adalah lantai keramik marmer dan berbagai hiasan guci kaca di sana, terdapat bufet yang lebar dan tinggi, tampak gagah di ruang tamu. Ruangan yang bersih dan nyaman, satu set sofa mahal melengkapi ruangan tersebut.
"Kalau jodoh emang nggak ke mana," celetuk Gladis asal saat mereka bersamaan menghempaskan bokongnya di sofa.
"Apa maksud lo?" tanya Angel menoleh tak mengerti dengan ungkapan ambigu temannya itu.
"Lo lihat tuh foto, gue yakin, dia adalah istri om-om itu. Dan itu pasti putrinya. Ya nggak?" tebak Gladis menunjuk sebuah foto yang terbingkai bersebelahan di ruang tamu.
"Ya, terus apa hubungannya sama jodoh? Nggak jelas banget sih lo?" tukas Angel tak acuh dan menyandarkan tubuhnya.
"Yaaaa ... wajah istri omnya kenapa bisa mirip banget sama lo ya Jel? Terus nama anaknya juga sama kayak lo. Bener-bener satu paket lo!" gurau Gladis lantas mereka terkekeh bersama.
"Iya ... ya? Kebetulan banget. Jangan-jangan gue punya kembaran lagi? Terus kembaran gue hilang waktu di rumah sakit," ujar Angel asal.
"Wuuuuuh, dasar! Otak korban sinetron lo! Mana mungkin lo punya kembaran seperti dia, umur lo sama dia aja kelihatan beda. Lihat penampilan lo sekarang? Bandingkan sama tuh cewek, beda jauh coiy! Lo sedikit arogan, sedangkan dia kelihatannya lemah lembut dan anggun. Cewek rumahan banget. Nah lo? Udah liar, susah diatur lagi!" cibir Gladis membandingkan Angel dengan foto Lovia.
"Yaelaaaah, main banding-bandingan nih ceritanya? Walaupun hidup gue bebas dan liar, tapi gue masih tahu batasan-batasannya, coiy. Meskipun gue nakal, tapi gue tetep punya harga diri," bela Angel dengan senyum terbaiknya seraya menaik turunkan kedua alisnya kepada Gladis.
"Sip ... sip ... sip." Gladis mengacungkan kedua ibu jarinya di depan Angel. "Gue percaya, temen gue nggak akan macam-macam. Cukup satu macam aja, udah bikin kepala gue ikut pusing." Mereka tertawa bersama hingga sebuah deheman menghentikan tawa mereka.
Ali datang ke ruang tamu bersama Angel kecil yang menggenggam erat tangan daddynya. Gladis yang baru pertama kali melihat Ali hanya menganga kagum dengan paras tampan duda keren itu. Meski usianya tak lagi muda, namun paras ketampanan Ali masih lestari.
"Ada yang dapat saya bantu?" tanya Ali tanpa basa-basi, setelah dia duduk di sofa depan mereka, memangku Angel.
Angel kecil tak hentinya menatap Angel dewasa. Kerinduannya kepada sang ibunda membuatnya ingin sekali memeluk Angel dewasa. Namun, semua itu tertahan saat dia teringat, jika Angel dewasa tak mengenalinya.
"Mmm ... begini Om, saya datang ke sini mau ... mmm ... mau ...," ucapan Angel terhenti karena merasa sungkan untuk mengatakan, awal niatannya datang menemui Ali.
Angel dewasa menunduk bingung, karena merasa tak sabar, akhirnya Gladis yang menerangkan.
"Begini Om, teman saya ini, datang ke sini mau negosiasi soal ganti rugi itu. Soalnya, kalau dalam jangka waktu yang singkat, dia merasa belum sanggup memenuhinya," jelas Gladis.
Ali hanya diam dan tetap bersikap dingin. Sikapnya yang berwibawa dan stay cool, membuat nyali Angel dewasa ciut dan menunduk malu. Gladis masih saja sibuk menatap wajah tampan di depannya itu. Hidungnya yang mancung, rahangnya yang kokoh, matanya yang tajam dan yang lebih menarik adalah, bulu matanya lentik serta alis tebalnya. Gladis enggan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Terus? Anda minta waktu berapa lama?" tanya Ali datar tanpa ekspresi.
"Mmm ... gimana kalau satu bulan Om?" sahut Angel ragu-ragu meremas tangannya sendiri yang sudah berkeringat.
"Tiga minggu, tidak ada lagi toleransi," putusan Ali tak terbantahkan.
"Tapi Om, saya juga harus membenarkan dan mengecat ulang mobil saya. Apa nggak bisa Anda menurunkan ganti ruginya sedikit saja?" bantah Angel menepiskan rasa gengsinya sementara waktu ini, untuk meminta belas kasihan kepada sang duren tersebut.
"Tidak bisa," tegas Ali kukuh.
"Ya ampun Om, saya ini cuma karyawan biasa, dengan gaji bulanan. Apa Anda tidak merasa iba dengan gadis lajang seperti saya dan kebutuhan yang banyak? Apalagi semua harga sekarang naik, harga beras naik, harga gula naik, bisa-bisa harga permen kaki juga naik. Padahal itu permen kesukaan saya loh Om," rajuk Angel dengan wajah memelas berharap Ali akan memberikannya perpanjangan waktu.
"Sejak kapan lo suka makan permen kaki, Jel?" tanya Gladis polos menatap Angel heran.
Angel menginjak kaki Gladis agar diam, namun Gladis justru memekik kesakitan. Angel kecil terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Bagi Angel kecil, ulah dua wanita yang kini sedang di hadapannya itu sangat lucu.
"Beli minuman mahal saja mampu, masuk ke klub saja bisa, bayar denda segitu minta nego," gerutu Ali tak acuh memalingkan wajahnya, terdengar oleh Angel.
Angel dewasa menatap Ali tajam, ucapan Ali tadi menampar hatinya hingga terasa sakit.
"Ooooh, jadi Anda mau menghina saya?! Telinga saya masih dapat mendengar jelas apa yang Anda bicarakan tadi. Okay, fun! Saya akan bayar ganti rugi itu. Lihat saja, saya akan membawa uang itu di depan Anda dua minggu lagi! Makasih!" sergah Angel marah lantas ia berdiri dan meraih tas selempangannya.
Tanpa berpamitan, Angel keluar begitu saja dari rumah Ali, meninggalkan Gladis yang masih shock melihat perubahan yang sangat cepat pada sikap sahabat baiknya itu. Karena merasa tak enak hati, Gladis mewakili Angel meminta maaf.
"Om, maafkan teman saya ya? Mmm ... mungkin saat ini dia sedang PMS. Jadi hatinya sensitif. Okay, kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamualaikum," pamit Gladis lantas berlari menyusul Angel yang sudah terlebih dulu masuk ke dalam mobil.
"Waalaikumsalam," jawab Ali setelah Gladis meninggalkan ruang tamunya.
Angel kecil tertawa lepas melihat tingkah laku kedua wanita tersebut. Ali hanya menggelengkan kepalanya, merasa prihatin karena orang zaman sekarang, sopan santunnya kepada orang yang lebih tua sudah luntur.
"Angel, tindakan tadi jangan ditiru ya? Itu namanya tidak sopan. Paham?" ujar Ali mengingatkan Angel dan membimbing putrinya agar tak mencontoh tindakan tadi.
"Siap Daddy!" sahut Angel patuh.
Ali pun segera mengajak Angel masuk, untuk melanjutkan kegiatannya pagi ini. Kejadian yang memalukan, kadang justru dapat menjadi awal yang baik untuk menjalin suatu hubungan. Tanpa terduga dan tanpa terencana, semua sudah diatur oleh skenario Tuhan.
#########
Prosesnya bakalan lama nggak ya, kira-kira? Hihihi
Jangan baper, kalau baper, di waferin aja. Hihihihi
Makasih atas vote dan komennya ya? Semoga kelanjutan cerita ini tak mengecewakan. Aamiin.🙏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top