MERINDU SETENGAH MATI
"Aaaaah," desah Prilly menghirup udara pagi ini di balkon, apartemennya di London.
Seminggu di London, menikmati kesendiriannya membuat dia merindukan gadis kecilnya. Prilly membuka handphone-nya, lantas membuka galeri berisi koleksi foto Angel. Dia tersenyum sangat manis, sambil mengelus layar datarnya.
"Mommy sangat merindukanmu, Angel," ucap Prilly melihat semua foto-foto Angel yang sangat menggemaskan.
"Bagaimana keadaanmu di sana? Apa kamu baik-baik saja? Apa kamu sehat? Apa Lovely memperlakukanmu dengan baik? Apa? ... apa? ... apa? Ah! Kau gadis kecilku yang paling nakal. Kenapa kau tak membiarkan mommymu ini hidup tenang dan tentram. ANGEL ... MOMMY MERINDUKANMU!!!" pekik Prilly keras berharap Angel datang di depannya dan memeluknya.
Namun mustahil itu terjadi, karena saat ini, dia dan Angel berada di tempat yang terpisah jauh. Sebuah dentingan chat masuk, foto terkirim dari Gladis.
Gue lihat anak lo duduk, cemberut di cafe, semalam. Tapi, dia sama seorang cewek, apa wanita itu yang namanya Lovely?
Hati Prilly semakin dirundung rindu setengah mati, melihat kiriman Gladis barusan sungguh menyesakkan dada.
Kalau ceweknya seksi dan rambutnya panjang, mungkin dia.
Jawab chat Prilly kepada Gladis. Prilly menghela napas dalam. Melihat wajah tak bahagia Angel, membuat batinnya semakin tersiksa.
Kalau yang ini, barusan gue ambil, anak lo jalan sendiri, pesen minuman di restoran dekat kantor Om Ali. Kalau gue tega, rasanya ... mau gue culik dan bawa ke London, buat lo. Biar bapaknya kelimpungan nyari anaknya. Heran gue, kenapa bisa dilepas begitu aja sih?
Membaca chat dan kiriman Gladis, semakin membuat Prilly gundah. Dia masuk ke kamar dan membanting tubuhnya di ranjang. Prilly menggapai bantal dan menutup wajahnya, lantas dia berteriak sekuat tenaganya, agar hatinya terasa lega.
"Kenapa kamu lakukan ini padaku Tuhan?! Kenapa Kau siksa batinku? Apa aku tak pantas bahagia? Aku menginginkan dia! Aku menginginkan Ali dan Angel, Tuhan!!!" teriak Prilly keras memenuhi apartemennya sambil menangis memilukan hati.
Prilly menumpahkan kekesalan hatinya dan membiarkan dirinya menangis sendiri, menanggung rasa yang sangat menyiksa batinnya.
Ali melamun menatap kosong ke depan sambil memutar penanya di atas meja. Percakapannya bersama Lovely semalam, membuat dia pusing dan bimbang. Jika boleh jujur, Ali ingin sekali menarik janji yang sudah ia lontarkan dulu di depan jenazah Lovia. Andaikan waktu dapat berputar, dan dia tahu masa depannya akan bertemu dengan Prilly, yang begitu tulus mencintai dan menyayangi Angel, mungkin dia tak akan berjanji seperti itu. Menyesal? Iya! Ali menyesalinya.
Flashback
Saat makan malam di sebuah cafe, Ali, Lovely dan Angel bercengkrama layaknya keluarga kecil. Namun, hati tak sesuai dengan apa yang tejadi. Jiwa Ali dan Angel memang bersama Lovely, namun hati dan pikiran mereka melayang memikirkan Prilly.
"Lovely, sudah waktunya kamu menjalankan bisnis yang Papa dan Mama kamu tinggalkan. Kamu adalah pewaris tunggal, setelah kakakmu meninggal," kata Ali di sela makan malam mereka.
Lovely memutar bola matanya jengah. Mengurus perusahaan? Memang itu tujuannya menyelesaikan S2. Tapi, saat ini, ia hanya ingin menikmati hasilnya, bukan untuk memeras keringat.
"Aku nggak mau sendiri, aku maunya sama kamu," sahut Lovely begitu manja bergelayut di lengan Ali dan menyandarkan kepalanya.
Angel yang melihat Lovely seperti itu, merasa tak rela daddynya dibelai wanita lain dan dia tak suka, sikap agresif Lovely. Dia menatap Ali tajam, sambil mengerucutkan bibirnya. Ali menghela napas dalam, merasa risih? Pastinya, karena mereka saat ini menjadi pusat perhatian beberapa pengunjung di cafe tersebut. Entahlah, mengapa perasaan Ali berbeda, jika Prilly yang melakukan itu, mungkin Ali justru merasa senang dan akan lebih memanjakannya. Tapi, saat Lovely yang melakukannya, Ali justru merasa risih dan tak nyaman.
"Lovely, lanjutkan makanmu, aku mau ke toilet dulu." Ali melepas tangan Lovely yang melingkar di lengannya. Demi menjaga perasaan Angel dan nama baiknya.
Ali langsung beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan Angel serta Lovely.
"Auntie, boleh aku minta es krim?" pinta Angel polos seperti biasa, saat masih bersama Prilly. Jika setelah makan, dia selalu meminta es krim.
"Tidak Angel, kamu sudah menghabiskan steak, kalau kamu makan es krim nanti bisa ...," ucapan Lovely menggantung karena Angel menunduk sedih.
"Kalau sama Mommy, pasti dibolehin," lirih Angel menunduk sambil memainkan kaus kakinya.
Lovely yang masih dapat mendengar ucapan Angel, mendengus sebal.
"Apa sih hebatnya wanita itu? Angel, wanita itu bukan Mommy kamu. Mommy kamu sudah meninggal dan aku nanti yang akan menggantikan Mommy kamu. Jadi mulai sekarang kamu harus panggil Auntie, MOM-MY," hardik Lovely tepat di depan wajah Angel.
Angel yang merasa takut menahan tangisannya, meski air mata sudah menggantung di pelupuknya.
"Ada apa ini?" tanya Ali yang baru saja datang, melihat Angel dan Lovely bertatapan sangat dekat, namun sorotan mata Lovely tajam, kepada Angel.
"Oh, nggak ada apa-apa. Biasa, Angel memang suka minta yang aneh-aneh," alasan Lovely melirik Angel yang terus menunduk.
Ali kembali duduk di kursinya, lalu mengecek semua email yang masuk di handphone-nya.
"Soal pernikahan kita, apa kamu sudah memikirkannya?"
Deg!!!
Bagaikan terhantam ribuan ton beban, hati Ali seketika gemetar, dia ingin enyah dari tempat itu. Jika Ali, boleh meminta, dia ingin bumi menelannya saat ini juga. Inilah hal yang tak ingin Ali bahas, namun ternyata Lovely lebih dulu membuka pembahasannya. Ali gelagapan, lantas dia mengambil gelas dan meminum habis jus mangganya. Hati Ali berkecamuk, cintanya kepada Prilly, hingga sampai saat ini, belum juga ada kepastian. Namun, mengingat janji itu, memang ini sudah waktunya terjadi.
"Apa tidak lebih baik kamu menjalankan perusahaan peninggalan keluargamu dulu? Setelah keadaan stabil, baru kita bicarakan lagi," ujar Ali yang berniat menunda pernikahannya hingga dia mendapat jawaban pasti dari Prilly tentang cintanya.
Lovely menggeser kursinya, lebih mendekat kepada Ali. Tubuh Ali menegang dan dia tak mungkin seketika menghindar. Lovely menyandarkan kepalanya di bahu Ali, dan menyusupkan tangannya di lengannya.
"Li, perusahaan Papa kan ... udah merger sama perusahaan milik kamu. Untuk apa, aku harus pusing memikirkan itu semua? Jika nanti kita sudah menikah, sama saja kamu yang akan mengelola," rajuk Lovely membuat bibir Ali kelu.
Angel yang mendengar pembahasan itu hanya dapat menunduk, menahan sakit di hatinya.
"Daddy, Angel nggak mau punya mommy, Auntie Lovely. Angel maunya Mommy Prilly." Kata-kata itu hanya dapat Angel ucapkan di dalam hatinya.
Flashback off
"Ya Allah, apa yang harus aku perbuat sekarang? Kabar Prilly pun aku tak tahu," gumam Ali tersadar dari lamunannya dan mengusap wajahnya frustrasi.
Sejak kejadian siang itu, ketika di kantor Prilly, Ali tak lagi pernah bertemu dengannya. Saat Ali mencari ke apartemennya, tempat itu kosong tak berpenghuni. Dia mencoba menemui Gladis, namun nihil, Gladis selalu mengatakan tak ingin menerima tamu siapapun itu.
"Aku harus bisa bicara sama Gladis. Cuma dia yang tahu keberadaan Prilly." Ali meyakinkan dirinya, lantas beranjak dari kursi kebesarannya dan menemui Gladis.
Setelah melalui proses perdebatan dengan sekretaris Gladis, akhirnya kini Ali pun diizinkan masuk ke ruangan Gladis.
"Duduk!" pinta Gladis datar tanpa ekspresi.
Ali duduk di kursi depan meja kerja Gladis. Dengan anggun dan elegan Gladis menghadapi Ali.
"Ada yang dapat saya bantu, Mister Ali? Bukan kah meeting, kita tunda sampai minggu depan?" tanya Gladis melipat tangannya di depan dada sambil bersandar di sandaran kursinya, kaki dia silangkan, agar terlihat berwibawa.
Ali berdehem, menegakkan duduknya, lantas mengutarakan niatnya menemui Gladis. "Maaf sebelumnya, sudah mengganggu waktu Miss Gladis. Tapi kedatangan saya kali ini bukan menyangkut bisnis. Tapi ... saya ingin menanyakan keberadaan Prilly."
Gladis sudah dapat menebak sebelumnya. Dia hanya mengangguk memahami kegundahan hati Ali.
"Maaf Mister, itu privasi atasan kami. Jadi, kami tidak dapat memberitahukan kepada Anda, dimana keberadaan Miss Angel saat ini," ujar Gladis tertawa puas di dalam hati, karena sudah berhasil membuat Ali semakin pusing memikirkan Prilly.
Gladis hanya tak ingin Ali mengusik ketenangan Prilly saat ini, di London. Meskipun ini kejam untuk Ali, namun Gladis ingin melihat berapa besar usaha Ali untuk memperjuangkan sahabat baiknya.
"Please Miss Gladis, Angel butuh dia?" mohon Ali menurunkan harga dirinya demi mendapat informasi tentang Prilly.
Gladis ingin tertawa terbahak melihat wajah mengiba Ali, namun untuk menjaga image, dia bersikap tenang walaupun hati sudah tertawa puas.
"Maaf, jika kedatangan Anda hanya untuk menanyakan itu, kami tidak dapat memberikan informasi apapun. Jadi, sia-sia Anda datang kemari," ucap Gladis tegas dan tega kepada Ali.
Gladis menyeringai, melihat Ali menunduk seperti orang kehilangan arah.
'Rasain lo, dasar om-om blagu! Siapa suruh nyia-nyiain sohib gue. Nikmati saja, kesengsaraan hidup lo tanpa Prilly. Itu baru Prilly, belum Angel,' batin Gladis penuh dendam.
"Baiklah, kalau begitu, saya permisi. Terima kasih atas waktunya," ucap Ali lalu bangkit dari duduknya.
"Sama-sama." Gladis berdiri, menjabat tangan Ali yang terasa dingin, bukan karena AC di ruangan ini, namun Ali merasa putus arah tujuan, saat tak menemukan keberadaan Prilly.
Langkah Ali sangat berat saat keluar dari perkantoran milik orangtua Prilly. Ali pikir dengan cara merger anak perusahaannya dengan perusahaan milik orangtua Prilly, akan mempermudah dia bertemu dengan Prilly setelah dia mengusirnya dari rumah.
"Kamu dimana sih?" desis Ali menjambak rambutnya sendiri, saat merasa pusing memikirkan keberadaan Prilly.
***
Prilly duduk di balkon kamar apartemennya. Suasana malam di London tak pernah Ada kata sepi, namun hatinya? Terasa hampa. Dia selalu menikmati minuman mahalnya , berjalan ke berbagai tempat untuk menghibur diri, namun nyatanya, itu tak mampu mengisi kekosongan hatinya.
"Lo pulang aja deh ke Indonesia. Males lama-lama nemenin mayat hidup," ujar Tengku yang selalu menemani Prilly saat di London.
"Lo ngusir gue?" hardik Prilly melirik Tengku yang duduk di sampingnya.
"Bukan begitu Pril, gue sumpek kalau lihat lo begini. Tiap hari mulut lo manyun, tuh bibir, minta di emut ...."
Pltak!
"Aw, sakit," pekik Tengku setelah menerima jitakan keras di kepalanya dari Prilly.
"Mulut lo kalau ngomong dijaga. Udah punya bini, masih aja doyan bibir mantan!" sergah Prilly diiringi tawa Tengku.
Tengku menuangkan bir budweiser, yang berasal dari Amerika untuk yang kesekian kalinya ke dalam gelasnya. Beberapa hari ini, setelah acara pernikahannya, Tengku selalu menemani Prilly, karena istrinya seorang pebisnis sukses seperti dirinya, hingga jarang memiliki waktu bersama.
"Lo nggak dicari bini lo?" tanya Prilly ikut menuangkan bir ke dalam gelasnya.
"Dia lagi ke Swiss, biasa ...," jawab Tengku lalu menenggak birnya.
Prilly tersenyum miring, bingung dengan arah pemikiran Tengku. Jelas, dia sudah menunggunya dengan setia dan sabar, namun mengapa Tengku justru memilih orang lain?
"Ngku," panggil Prilly pelan, sambil menatap lurus ke depan, melihat hamparan lampu dan gedung-gedung yang menjulang tinggi.
"Hmm," gumam Tengku memainkan gelasnya dan memperhatikan bir yang bergoyang di dalam gelas itu.
"Gue heran sama lo," ucap Prilly menggantung.
"Heran kenapa?" tanya Tengku menatap Prilly yang masih setia menatap lurus ke depan.
"Jelas gue yang sabar menunggu lo di Indonesia, tapi, kenapa lo justru memilih orang lain?" Prilly menoleh melihat Tengku duduk santai di sampingnya.
Tengku tersenyum tipis, lalu menjawab, "gue juga nggak tahu kenapa begitu Pril. Tapi yang jelas, gue nggak bisa membohongi perasaan gue, kalau gue cinta sama Lea. Gue sempat takut pulang ke Indonesia, dan membayangkan amukan lo. Waktu lo hadir di pernikahan gue, gue pikir lo bakalan ngamuk dan ngacak-ngacak acara gue, gara-gara udah bikin lo menunggu lama dan pada akhirnya bukan lo yang gue pilih."
Prilly tertawa kecut sambil memukul lengan Tengku. Mendapat pukulan seperti itu, tak ada apa-apanya, dibandingkan dengan rasa sakit hati Prilly karenanya, pikir Tengku.
"Gue memang sempat mau menghajar lo, dan merusak acara pernikahan lo. Tapi batal!" tukas Prilly disambut tawa keras oleh Tengku.
"Terus kenapa lo nggak lakuin itu?" tanya Tengku sembari terkekeh, menganggapi itu sebuah lelucon.
"Gue pikir, itu bukan salah lo, tapi memang sudah takdir kita seperti ini. Pacaran lama, nggak menjamin hubungan berakhir di pelaminan. Begitupun dengan perasaan, kita nggak akan pernah tahu, bagaimana Tuhan membolak-balikkan perasaan kita, pikiran kita dan hidup kita. Bisa saja lo saat ini bilang cinta ke gue, tapi sedetik kemudia, lo bilang, bahwa lo mencintai orang lain. Apa, itu salah lo? Atau ... salah gue?" ujar Prilly panjang lebar, sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Bukan salah lo dan bukan salah gue, salah ibu mengandung," seloroh Tengku kembali mendapat jitakan kesar dari Prilly.
"Aiiiiissshhhh, sebel gue lama-lama sama lo! Lagi serius juga, malah tanggapannya begitu," gerutu Prilly sebal.
Tengku hanya tertawa melihat raut wajah Prilly yang kesal karena tanggapannya melenceng jauh dari pembicaraan mereka.
"Sorry," ucap Tengku, "terus, sekarang mau lo bagaimana? Apa lo bakalan menghindar terus dari kenyataan? Kalau cinta, ngapain sih ditutup-tutupin? Bikin tersiksa batin aja," imbuhnya yang sudah mengetahui semua, karena Prilly menceritakan apa yang terjadi padanya selama ini.
"Gue bingung Ngku, di sisi lain, dia mengatakan cinta sama gue, tapi dia juga punya cewek. Apa dia cuma mau mempermainkan gue ya, Ngku?" pikir Prilly negatif kepada Ali.
Tengku tampak berpikir sesuatu. "Tapi kalau gue denger dari cerita lo kemarin, nggak mungkin Pril. Pasti ada sesuatu, kenapa dia bisa berubah drastis dan gue pikir, mungkin dia sedang bingung, atau ... bisa jadi menyembunyikan sesuatu dari lo," ujar Tengku menganalisa.
Prilly mengetukkan jari telunjuk di dagunya. Dia mencerna kata-kata Tengku tadi. "Ngku, gue punya ide!" seru Prilly menatap tengku penuh arti.
##########
Hawdeeeeeeh, nggak selamanya mantan pacar itu saling bermusuhan. Tuh, buktinya mereka bisa berteman baik. Enak ya, kalau mantan pacar begini semua, pasti banyak orang yang sudah dapat memahami kita. Hahahahaha
Mustahil, pacaran lama, nggak tahu kebiasaan dan kesukaan pasangannya. Intinya satu, MENERIMA KENYATAAN. hahahaha
Maaf ya, kalau semakin nggak jelas. Tapi, semua butuh proses dan proses itu butuh waktu, waktu itu, entah sampai kapan, saya juga tidak tahu. Hahhahahaha
Sabar, nanti juga sampai di waktunya😊
Makasih untuk vote dan komennya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top