DILARANG RINDU

Waktu yang ditentukan telah tiba, hari ini, seharusnya Prilly sudah membayar denda yang ditentukan oleh Ali.

"Gladis!" teriak Prilly saat membuka pintu ruang kerja Gladis.

Gladis yang tadinya sedang menebalkan lipstiknya, terkejut hingga tercoreng sampai ke pipinya. Membuat lipstik merah marun itu belepotan di sekeliling bibirnya.

"Prilly sinting!!! Gila lo! Di sini kantor cuiy, bukan hutan!" omel Gladis mengusap lipstiknya dengan tisu seraya menggerutu tak jelas.

Prilly menghempaskan tubuhnya di kursi, depan meja kerja Gladis, dengan bibir yang mencebik.

"Dis, lo tahu nggak kalau hari ini, harusnya gue udah bayar denda sama om-om itu," ujar Prilly cemberut.

"Hmmm, terus?" sahut Gladis tak acuh, sibuk memoles wajahnya dengan make up.

"Duitnya sampai hari ini belum ada," ujar Prilly dengan wajah tertekuk sambil memainkan tempat tisu yang ada di depannya.

"Lah! Terus?"

"Ya teruuuuus ... gue kudu gimana Gladiiiiis?" tukas Prilly geregetan hingga membanting tempat tisu yang dia mainkan tadi di meja kerja Gladis. "Duit gue di tabungan cuma ada 30 juta," sambung Prilly.

"Terus?!" respon Gladis yang masih asyik memakai maskara.

"Iiiiih lo lama-lama nyebelin ya? Dari tadi tanggapannya cuma 'terus'. Yang lain dong!" sergah Prilly jengkel.

Gladis menutup kaca bedaknya, lantas menatap Prilly sambil berpikir sesuatu.

"Apa?!" tanya Prilly menatap Gladis tajam.

"Gue ada duit, tapi cuma 20 juta. Lumayan kan? Gue pinjemin dulu, sampai akhir bulan, pas kita gajian, lo balikin. Gimana?" saran Gladis.

"Terus yang 50 juta lagi, duit siapa?" tanya Prilly dengan tampang polos.

"Duit nenek moyang lo!" pekik Gladis lalu mengambil handphone-nya dan mentransfer uangnya ke rekening Prilly. "Udah masuk ke rekening lo. Cek aja dulu," kata Gladis meletakkan kembali handphone-nya setelah transaksi sukses.

Prilly segera mengecek saldonya, ternyata Gladis tak main-main. Dia benar-benar meminjamkan uangnya kepada Prilly. "Udah masuk, thanks. Jadi kan sekarang ada duit 50 juta. Terus kurangannya?" Prilly masih saja memusingkan kekurangan uang tersebut.

"Aaaaah, lo bikin gue makin pusing aja deh Pril. Tuh uang tinggal lo bawa dulu ke om-om itu. Terus lo bilang sama dia, 'Om, maaf, saya baru ada uang segini'. Udah ... beres. Urusan berikutnya, tinggal lo ikutin dia. Siapa tahu dia ngasih waktu lagi buat lo lunasi," seru Gladis dengan mudahnya tanpa memikirkan dampak selanjutnya.

"Ya udah deh, gitu juga boleh. Terus, kapan kita mau ngasih uang ini ke om itu?" tanya Prilly.

"Kita?!" sergah Gladis. "Lo aja sendiri, gue mau hang out di cafe Cherry." Gladis beranjak dari duduknya, lantas ia memakai blazer-nya dan menjinjing tas bermerknya. "Good bye, cantik!" pamit Gladis tak acuh mencolok dagu Prilly lalu melenggang begitu saja keluar dari ruangannya.

Prilly masih saja duduk memperhatikan tubuh Gladis yang mulai mendekati pintu. "Pril, salam ya buat duren," goda Gladis mengedipkan mata kanannya genit, lantas menutup pintu.

"Gladiiiiiiiiisssss!!! Sialan lo! Nggak setia kawan lo! Dasar, teman pengkhianat lo!!!" umpat Prilly keras hingga terdengar oleh Gladis yang berjalan ke arah lift. Gladis hanya terkekeh dan terus melanjutkan jalannya, tanpa memperdulikan amarah Prilly.

***

Dengan menaiki taksi, Prilly pergi ke bank untuk mengambil uang kes. Lalu ia melanjutkan perjalanannya ke rumah Ali. Perasaannya ragu saat dia ingin turun dari taksi. Mengingat kejadian malam itu, saat dia mengantar Angel pulang, baru kali ini dia kembali lagi akan menginjakkan kakinya di rumah Ali.

"Mbak, udah sampai di alamat yang di tuju," kata sang sopir taksi.

Prilly tersadar dari lamunannya. "Eh, iya Pak. Makasih," ucap Prilly, lantas ia segera membayar ongkos sesuai argo yang berjalan.

Prilly turun dari taksi, baru melihat pagar putih yang menjulang tinggi di hadapannya, membuat dadanya berdebar kencang.

"Masuk ... nggak ... masuk ... nggak ... masuk ... nggak." Prilly menimbang-nimbang niatannya. "Ah, nggak usah deh. Besok aja ngajak Gladis," seru Prilly.

Saat dia ingin memutar tubuhnya untuk membatalkan niat, sebuah mobil Toyota Alphard OTR mewah mentlakson hingga membuatnya tersentak kaget.

"Woiy!" bentak Prilly menggebrak mobil putih tersebut.

Seorang gadis kecil turun dari mobil, lalu memekik, "Mommyyyyyyyyyy."

Prilly terkejut karena kemunculan Angel yang tiba-tiba dari mobil tersebut. Angel berlari ke arahnya dan memeluk kaki Prilly erat. Seorang pria dewasa menyusul Angel turun dari mobil dan berdiri di samping mobil memperhatikan putri kecilnya.

"Mommy, kenapa perginya lama banget. Urusan Mommy banyak ya? Angel kan kangen sama Mommy," tanya Angel polos menengadahkan wajahnya, menatap Prilly sendu.

Prilly berjongkok, menyamakan tingginya dengan Angel. Entah mengapa beberapa hari tak berjumpa dengan gadis kecil itu, Prilly merasa sangat merindukannya. Prilly mengelus pipi Angel yang kenyal dan mulus. Dia tersenyum sangat manis kepada Angel, lalu memeluknya, menumpahkan kerinduannya.

"Maafkan Mommy sayang, karena urusan Mommy banyak dan nggak cuma satu aja," jawab Prilly mengelus punggung Angel.

"Mommy ke sini mau ngajak Angel jalan-jalan lagi ya? Kita makan di tempat waktu itu lagi ya Mom? Angel juga mau bobo di rumah Mommy." Begitu banyak keinginan Angel agar dapat selalu bersama Prilly.

"Angel!" panggil Ali datar.

Prilly melepaskan pelukan Angel, lalu berdiri membungkukkan tubuhnya untuk menyapa Ali. Angel yang tak ingin lagi kehilangan Prilly, dia menggenggam tangannya sangat erat.

"Mau apa Anda ke sini lagi?" tanya Ali dingin tanpa ekspresi.

"Saya mau bayar denda itu Om," jawab Prilly berusaha tenang agar tak emosi menghadapi Ali yang super dingin itu.

"Angel, masuk ke dalam mobil," titah Ali tegas.

Angel yang merasa segan kepada Ali, dengan perasaan tak rela harus melepaskan genggaman tangannya kepada Prilly. Saat Angel melepaskan tangan kecilnya dari Prilly, hati Prilly menjerit tak ingin terpisahkan lagi dengan malaikat kecilnya itu. Angel berjalan perlahan mendekati Ali, namun kepalanya masih tetap berpaling melihat Prilly sendu.

"Masuk lah, saya tunggu di dalam," seru Ali lalu menggendong Angel masuk ke mobil.

Perasaan Prilly seperti tersayat sembilu, sangat pedih dan sakit. Entah, apa yang membuatnya seperti itu, namun melihat sikap Ali yang sepertinya berusaha memberi jarak anatara dia dan Angel, hal itulah yang membuatnya sedih. Mobil Ali lebih dulu melewati gerbang yang menjulang tinggi itu, barulah Prilly menyusulnya.

"Pak Men, masukkan saja mobilnya ke garasi. Mungkin hari ini saya tidak kembali ke kantor lagi," perintah Ali setelah ia dan Angel turun dari mobil.

Setelah kejadian hilangnya Angel kala itu, kini Ali semakin posesif dan lebih ketat menjaga Angel. Dia mengurangi kegiatannya di luar rumah, sekarang Ali lebih sering menemani Angel dan rela membawa pekerjaannya ke rumah dan mengerjakannya saat Angel sudah terlelap. Ali menggandeng tangan mungil Angel masuk ke rumah. Sedangkan Prilly yang baru sampai di teras rumah, hanya berdiri dan ragu untuk masuk.

"Ah, kenapa gue jadi baperan gini sih? Berasa jadi alay deh gue," gumam Prilly memantapkan hatinya untuk melangkah masuk ke ruang tamu.

Ali sudah duduk menunggu di sofa mewahnya. Duduk ala mafia kakap, dengan balutan jas hitam lengkap dengan dasi dan dandanan necis. Sungguh pria dewasa idaman wanita masa kini. Kaya, tampan meskipun duda beranak satu, namun karismanya masih mampu memikat hati wanita single.

"Duduk," perintah Ali setelah Prilly berdiri di ruang tamunya. "Angel, ganti baju dulu ya sayang. Habis itu, makan siang dan bobo siang," lanjut Ali memerintah Angel yang sedari tadi masih menunggu Prilly berdiri di samping sofa daddynya, hanya diam memperhatikan Prilly.

Prilly dan Angel hanya dapat saling memandang, dan berbicara lewat tatapan bahwa mereka sebenarnya saling menginginkan dan merindukan. Angel tak kunjung melaksanakan perintah Ali.

"Bi Inah," panggil Ali lantang.

"Iya Tuan," sahut Bi Inah, mendekat.

"Tolong ajak Angel ke kamarnya ya?" titah Ali.

"Baik Tuan," jawab Bi Inah patuh. "Ayo Nona cantik, Bibi bantu bersihin badannya." Bi Inah membawakan tas Angel dan menghadangnya masuk ke dalam.

Meskipun kaki mungil Angel melangkah sambil mata masih saling menatap dengan Prilly, namun hati dan perasaan rindunya kepada Prilly masih tertinggal di ruangan itu.

"Ehem!" Ali berdehem menyadarkan Prilly.

"Eh iya Om, maaf," ucap Prilly menundukkan kepalanya, mematahkan tatapannya dengan Angel.

"Bagaimana dengan uang denda yang saya minta? Sudah ada?" tanya Ali tanpa basa-basi.

"Mmm ... ini Om." Prilly mengeluarkan amplop coklat dari tasnya, lalu memberikan kepada Ali. "Tapi itu baru 50 juta," timpal Prilly.

Ali mengurungkan niatnya saat ingin menerima amplop tersebut. "Kenapa bisa begitu?" tanya Ali menatap Prilly dingin.

"Maaf Om, saya baru punya uang segitu. Belum gajian, terus ... itu saja saya belum ambil mobil saya yang masih di bengkel. Setelah gajian nanti, pasti saya akan lunasi," jelas Prilly.

Ali menghela napas jengah lalu menerima amplop yang masih Prilly pegang tadi. "Ya sudah, kapan Anda menerima gaji?"

"Mmm ... hari Rabu besok, saya baru gajian," ujar Prilly yakin.

"Oke, kalau begitu Rabu malam saya tunggu Anda di rumah. Jika hari itu Anda tidak juga melunasi dendanya, apa konsekuensinya?" tanya Ali tegas yang tak mau tertipu oleh wajah cantik Prilly. Apalagi, wajah Prilly sangat mirip dengan istrinya, itu akan lebih mudah menggoyahkan pertahanan Ali selama ini, untuk setia menjaga hati dan janji sucinya kepada Lovia.

"Terserah Om. Saya akan terima konsekuensi apapun yang sudah Om putuskan," tukas Prilly yakin, jika dia akan melunasi hutangnya nanti.

"Baiklah, tunggu sebentar." Ali beranjak dari duduknya, lantas masuk ke dalam meninggalkan Prilly sendiri di ruang tamu.

Tak berapa lama Ali pun kembali membawa selembar kertas yang sudah tertempel materai di sana.

"Baca ini." Ali memberikan surat perjanjian kepada Prilly agar dia membacanya. "Dan isi sendiri nama lengkap Anda di situ," imbuh Ali memberikan pena kepada Prilly.

Karena begitu yakin akan melunasi kekurangannya hari Rabu, akhirnya Prilly menyetujui kesepakatan itu dan membumbuhi tanda tangan di atas materai. Setelah menandatangani, Prilly memberikan kertas itu kembali kepada Ali.

"Tunggu sebentar, saya akan mengkopi surat ini. Dan nanti kopiannya bisa Anda bawa sebagai bukti," ujar Ali.

"Siap Om," sahut Prilly percaya diri.

Prilly tersenyum lega, ternyata masih ada kesempatan untuk dia menutup kekurangannya. Namun, Prilly juga sedih, karena tak dapat melihat Angel lagi.

***

Malam ini, Angel dan Gladis menghabiskan malam dengan minuman bir Pilsner, dengan rasa ringan dan warna airnya yang bening. Mereka duduk di balkon kamar Angel, sambil menikmati musik DJ yang mereka putar dari handphone.

"Dis, kira-kira Angel lagi apa ya?" tanya Prilly sambil memainkan gelasnya dan memperhatikan birnya yang bergoyang-goyang di dalam gelas.

"Nggak tahu lah! Emang gue emaknya?" sahut Gladis jutek dan ketus.

Prilly tersenyum miring. "Gue berasa kayak kehilangan belahan jiwa, saat melihat wajah dia kusut dan lemas, waktu bapaknya nyuruh dia ke kamarnya. Rasanya tuh, kayak nggak rela, jauh sama dia."

Gladis menatap Prilly heran sambil tersenyum simpul. Prilly yang masih sibuk memperhatikan gelas kacanya, seakan di dalam kaca tersebut terlihat senyum manis Angel. Dia membalas senyuman Angel, dan ibu jarinya mengusap gelas tersebut.

"Pril, lo masih waras kan?" tanya Gladis memegangi dahi Prilly karena melihat sahabatnya itu tersenyum sendiri.

Prilly menepis tangan Gladis. "Ya masih lah! Lo pikir gue gila, cuma gara-gara masalah ini? Nggak banget!" sangkal Prilly lantas menenggak habis bir Pilsner yang masih 3/4 gelas.

Prilly kembali menuangkan bir ke dalam gelasnya. Entah kapan, kebiasaan buruknya ini akan berakhir, namun dengan cara inilah, Prilly dan Gladis dapat menghilangkan penat dan rasa lelah karena seharian beraktivitas.

Angel merasa kesepian, sendiri berada di dalam kamar yang luas baginya. Semua apa yang ia perlukan ada di kamar tersebut, namun itu tak dapat mengisi kekosongan hati dan jiwanya. Angel membutuhkan sosok ibu yang akan selalu menjadi teman bermainnya dan mendengarkan keluh kesah, bahkan cerita hari-harinya yang sudah ia lalui.

"Hai, anak Daddy kok belum tidur?" sapa Ali saat masuk ke kamar Angel.

Angel tetap tidur setengah tengkurap, menatap Ali sambil cemberut. Ali duduk di tepi ranjang dan mengelus kepala Angel penuh kasih sayang.

"Daddy, kenapa Mommy tidak tinggal bersama kita, seperti mommy dan daddynya teman-teman, Angel?" tanya Angel lugu.

Ali hanya tersenyum dan berkata, "karena Mommy adalah malaikat Tuhan yang sangat spesial. Jadi, dia di tempatkan yang spesial oleh Tuhan. Mommy diberikan tempat yang indah di rumah Tuhan."

"Jadi, Mommy???" seru Angel bingung dengan maksud perkataan Ali.

"Mommy adalah malaikat yang akan selalu menjaga Angel, dimanapun Angel berada," seru Ali tersenyum sangat manis berharap putri kecilnya itu akan memahami arah pembicaraannya.

"Mommy juga bilang begitu," ujar Angel yang dia maksud 'Mommy' adalah Prilly.

Ali menghela napas dalam, karena ternyata sapaan 'Mommy' sudah melekat di pikiran Angel untuk Prilly. Jadi percuma jika Ali memberi pengertian bahwa 'Mommy' yang dimaksud Ali sebagai malaikat yang akan selalu menjaga dan melindunginya itu adalah Lovia, ibu yang mengandung dan melahirkan Angel.

"Sudah ya? Mulai sekarang Angel jangan pikirkan Mommy itu lagi. Dia nggak pantas kamu panggil 'Mommy', apalagi kamu harapkan."

Bagaikan dihujami api yang menganga, hati Angel panas dan terluka. Apakah dengan ucapan Ali tersebut, dia tak boleh merindukan Prilly? Bahkan, apakah Ali melarangnya untuk tak lagi memanggil Prilly 'Mommy'? Tuhan, apakah setega itu Ali kepada Angel.

########

Jreng-jreng ... aiiiiisssshhhh ... akan ada apakah selanjutnya? Hehehehe

Makasih ya, yg udah setia menunggu dan membaca. Makasih juga untuk vote dan komennya. Maaf jika masih banyak typo. Mungkin karena saya lelah. Hehehehehe
Semoga nggak mengecewakan ya ceritanya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top