22 : Hitam Putih Kelabu
Kedua kekuatan itu akan segera bertubrukan. Bola kekuatan itu mendekat satu sama lain dan,
Duar!
Ledakan besar terjadi, pepohonan disekitar pertarungan roboh. Namun, baik malaikat maupun iblis masih berdiri kokoh di tempat masing-masing. Mereka melempar tatapan dengki.
"Heh! Dasar mahluk astral bodoh!" Suara itu memecah keheningan sesaat.
Keduanya menoleh ke sumber suara. Seosok mahluk berperawakan cukup tinggi, berjubah biru yang dihiasi titik-titik putih bercahaya menampakan diri. Wajahnya hampir tak terlihat karena tudung jubah menutupi wajahnya sampai batas mata.
"Kenapa bertarung di sini? Banyak mahluk hidup tau! Dasar bodoh!" keluhnya.
Ia melayang, mendekati keduanya. Kemudian kedua tangannya terangkat. Deruan angin segera terdengar, dan malaikat serta iblis itu terhempas jauh.
"Ah sialan! Kau siapa coba?! Menganggu saja!" Orias melemparkan batu di depannya.
Dar!
Batu itu hancur berkeping-keping saat menabrak pelindung Axel.
"Iblis bodoh!" Alsera berseru. "Kau tak pernah mendengarkan orang tuamu berbicara ya?"
"Apa maksudmu?!" Orias merangsek maju. Melemparkan duri-duri tajam beracun pada Alsera yang lagi-lagi berhasil di tangkisnya.
"Kita memperebutkan suatu kekuatan bukan? Malaikat. Manusia dan iblis." Alsera melemparkan tali yang menangkap leher Orias dan mehempasnya.
Orias menabrak batu besar. Ia meringis. Darah menetes dari tangan kanan yang terjepit. "Sialan."
Orias merangsek maju. Tubuhnya melesat layaknya cahaya. Melepas pukulan hebat pada kedua lawannya.
"Cih." Axel terdorong mundur.
Alsera memutar-mutar jemarinya. Bola-bola cahaya miliknya segera terlempar ke segala arah.
Axel menggertakan giginya. Kedua tangannya terangkat. Ia melepas ribuan titik-titik cahaya yang menyilaukan.
Sesaat kedua lawannya mematung. Kekuatan Axel membekukan mereka.
Axel mengangkat kepalanya. Purnama diatas sana tertutupi kegelapan dengan cepat. Perlahan, seberkas cahaya muncul dihadapan mereka bertiga.
Membentuk sebuah ruang kubus yang menyebar, memenjarakan mereka bertiga dalam ruang hampa berhias bintang-bintang angkasa.
Wahai para petarung yang berada di garis takdir.
Silakan mulai pertarungan hebat kalian. Tujuan kalian penting. Namun, jangan lupakan jati diri.
Di tengah mereka sebuah persegi panjang muncul dari alas. Bergerak membentuk sebuah tempat yang berlapiskan semua warna, yang dipuncaknya terdapat sebuah pertama berwarna biru, sisi-sisinya dihias kegelapan. Namun, mengeluarkan cahaya putih terang.
Orias melebarkan sayapnya. Mulutnya berucap serangkaian mantra. Seharusnya tubuhnya pulih, tapi tidak.
"Kenapa tidak pulih sialan?!"
Tawa Alsera menggelegar. Tubuhnya berputar pelan membentuk rangkaian serangan yang membuat tubuh Orias terpental.
"Makanya jangan bodoh, Iblis. Sepertinya kau yang akan lenyap duluan." Alsera meletakan kedua kakinya. Kedua sudut bibirnya tertarik keatas.
"Ayo mati. Mahluk sombong."
Alsera mengembangkan sayapnya. Membiarkan bola-bola cahaya kembali terbentuk dan melesat cepat menuju Orias.
Orias terpental lagi. Napasnya sesak. Ia kelelahan.
Axel melayang rendah jauh dari mereka berdua yang berada di tengah. Ia merasa aneh, rasanya baru kemarin ia berjalan-jalan normal bersama teman-temannya.
Sekarang? Dia ada di mana coba?
Axel tak paham dengan perasaannya.
"Biarkanlah mereka saling membunuh, aku nanti saja." Ia mengalihkan pandangan. Menatap kubus tak terujung yang mengurung mereka.
Axel tertengun. "Bagaimana caranya keluar dari sini?"
Menang. Kau harus menang dan keluar.
"Siapa yang berbicara?!" Axel menyisir keadaan sekitar. Tak ada apapun kecuali hentakan kekuatan Alsera bertubrukan dengan Orias. Itu saja yang terdengar.
"Krrrrh." Kali ini Alsera jatuh tersungkur. Ia lengah. Duri-duri beracun Orias menembus kulitnya.
Selang beberapa detik, luka Alsera tak pulih sebagaimana semestinya. Begitupula luka Orias. Sakit. Racun itu berebut masuk menguasai kelima indranya.
Orias tersenyum licik. Ia merapalkan mantra seraya tertawa. Perlahan tampak bayangan timbul dihadapannya yang membentuk serdadu prajurit pemanah yang melemparkan bola-bola api.
Alsera berdecak menyaksikan itu. Ia berteriak kesal membuat lapisan pelindung berlapis. Sedang Axel melayang tinggi agak jauh dari mereka.
Benaknya berkutat pada rangkaian teori bagaimana cara ia menang dengan sedikit mungkin pertarungan. Karena Axel mustahil menang melawan dua orang yang dipersiapkan untuk ini sedari dulu.
Alsera memutar pergelangannya. Menciptakan kaki tangan yang siap melawan kaki tangan musuhnya.
Hitam dan putih memang memiliki kekuatan yang hampir sama karena mereka tak terpisahkan. Berada bersisihan tanpa pernah bersatu. Namun, bagaimanakah kelabu yang membatasi keduanya?
Suara pedang beradu--bukan itu bukan pedang. Melainkan bola cahaya hitam dan putih bersinggungan di udara. Kebaikan dan kejahatan bertarung. Memperebutkan sebuah kekuatan besar yang menjajikan perwujudan dari keinginan egois masing-masing kaum.
Axel tertengun. Ia menghilangkan dirinya. Membuatnya tak kasat mata bagi mereka yang tak lazim dimata manusia. Berbaur dengan warna-warni disekitarnya.
"Menyerahlah mahluk bodoh! Manusia tidak akan berpaling padamu! Dunia akan jatuh ketangan kegelapan karena manusia itu sendiri!"
Orias menyilangkan tangannya di depan dada. Berdiri kokoh memantapkan kesombongannya. Benaknya melayang pada Fira yang merupakan cerminan terbaik putri kegelapan.
Alsera terkekeh. "Tidak hanya kegelapan bodoh! Kebaikan juga bisa berkuasa! Manusia itu netral! Tidak terikat salah satupun dari kita. Ia bisa memilih baik dan buruk. Itulah istimewanya manusia."
Alsera terpikir Vania. Manusia yang takut menghadapi kejahatan, namun pada akhirnya berani membela yang kebenaran. Semua itu hanya berdasarkan pilihannya, entah rasional atau emosional memilih tiap langkah hidupnya.
"Istimewanya membuat iri saja! Sialan!" Tangan Orias mengepal. Dadanya naik nurun secara cepat. "Padahal mereka hanya mahluk bodoh yang lemah."
Orias menyisir keadaan sekitar. Menyadari keberadaan sesosok mahluk menyebalkan.
"Mana mahluk itu sialan?!" Orias melempar pukulan kesegala arah.
Axel terhempas. Ia masih menghilang. Sebisa mungkin ia mengigit bibirnya agar mulutnya tak berucap apa-apa. Kaki-kakinya dengan cepat serta hati-hati berlari ketengah, ke permata itu.
Alsera mengepakan sayapnya. Matanya menyisir sekitar. Berusaha memaksimalkanya kepekaan indranya yang telah diracuni kekuatan Orias.
Axel meraih permata itu, desingan suara keras segera berbunyi. Membuat telinga menjerit. Bahkan kekuatan berhenti. Kedua serdadu hitam dan putih lenyap hancur ditengah pertarungan sengit mereka.
Alsera melompat menerjang Axel secara cepat. Ia melepaskan tali putihnya untuk menjerat leher Axel.
"Kau?!" Alsera menatap Axel bingung harus bereaksi seperti apa.
Nafas Axel tertahan. Tubuhnya bergerak kasar, berusaha melepaskan diri. Lima detik ia berkonsentrasi ditengah kepanikan sebuah gunting raksasa muncul.
"Hah ... hah ...." Napas Axel tersenggal. Lehernya berhasil terlepas. Benar-benar takdir yang menyusahkan.
"Bedebah sialan!" Ribuan duri beracun segera menerjang Axel dari atas.
Ia menunduk dan tanpa sadar mengaktifkan pelindung. Axel gemetar. Takut. Sehebat apapun kekuatan miliknya dan Ann, ia tetap manusia.
Sama seperti manusia lainnya ia ingin bahagia. Sama seperi manusia lainnya, ia merutuki takdir yang merenggut kedua orang tuanya. Sama seperti manusia lainnya, ia takut menghadapi takdirnya sendiri.
"Maafkan aku, Ann. Aku tuan yang buruk."
Axel tak mau mati hari ini. Andai kata takdirnya bisa berubah. Ia bisa menghadapi hari esok yang normal seperti Dion dan Vania.
Ah, apa Dion mengingatnya jika dia mati secara tak lazim begini? Sepertinya tidak ya 'kan?
.
.
.
To be continue
7 Juli 2017.
A/N: Hitam putih kelabu, kuasa itu menunggu~~ /heh/ Axel lucu yah! Udah sok-sok berani eh takut juga. Hahahaha anak siapa sih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top