Angel

Dia adalah malaikat
Yang dikirim oleh tuhan
Hanya untuk diriku seorang
Dialah yang paling indah
Dan juga paling mematikan.

Bungou Stray Dogs

©Asagiri Kafka

Happy Reading!

Dia sudah gila.

Pria itu benar-benar sudah gila.

Sudah tidak dapat kuhitung lagi berapa lama aku terkurung di dalam kurungan dingin ini. Seminggu? Sebulan? Aku rasa lebih dari itu. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, dan setiap saat aku bertanya kepada diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh, kenapa saat itu aku mudah sekali terbujuk rayu oleh mulutnya yang manis nan berbisa itu. Kenapa saat itu aku percaya bahwa kau adalah malaikat yang dikirim oleh Tuhan. Hei, Fyodor Dostoyevsky sang malaikat berbisa, jawab pertanyaanku.

Dia kembali lagi untuk hari ini.

Tak lupa senyum sinis yang ia pasang di parasnya setiap saat.

"Halo (Name)-san, bagaimana kabarmu?" Kututup rapat-rapat bibirku, kualihkan penglihatanku ke arah sembarang. Apa dia pikir aku masih sudi menatap dan menjawabnya, tentu saja tidak. "Sepertinya kau belum jera, yah," ucapnya dengan tenang. Sebuah tamparan mendarat di pipiku, lagi, lagi, dan lagi, sampai jiwa yang penuh kegilaan miliknya puas. Dapat kulihat sebuah darah jatuh tepat di atas telapak kakiku yang tak tertutup alas, bersamaan dengan jatuhnya setetes air mata dengan cepat. Ah, walau ia sudah sering menyiksaku ... rasa sakit ini masih belum bisa kutahan sepenuhnya.

Sang malaikat-yang tak akan pernah berhenti memberi hukuman kepada sang pendosa-aku.

Tiba-tiba saja ia terhenti, apa iba baru saja memenuhi relung hati miliknya?

Fyodor terhenti kala melihat air mata yang menetes. Dengan kasar ia mengangkat daguku, air wajahnya terlihat lebih lembut-iba­ dapat kubaca jelas dari raut wajahnya yang tampan itu, tapi aku tahu itu hanya kepalsuan belaka. "Ah, maafkan aku (Name)-san. Aku terlalu kasar denganmu," ucapnya dengan nada selembut mungkin-dan lagi itu hanya kepalsuan. Ia memeluk tubuhku dengan begitu lembut, seakan mencoba membujukku untuk memaafkan perlakuan kejinya kepadaku barusan.

Dekapan malaikat itu benar-benar hangat.

Tapi, jauh di dalam sana, di dalam jiwa miliknya, aku merasakan sebuah hawa dingin yang dapat menggetarkan jiwamu.

Ia melepaskan pelukannya, lalu beranjak pergi dari kurungan kumuh ini. Sebelum ia benar-benar menghilang di balik gelapnya lorong, ia kembali menampilkan senyum sinis khas miliknya. "Kuharap kau sudah mengerti apa yang terjadi jika kau mengabaikanku, (Name)-san. Aku akan kembali lagi. Semoga Tuhan mengampuni semua dosa-dosa milikmu," ujarnya. Kutatap punggungnya yang semakin jauh, semakin ditelan oleh kegelapan. Harusnya itu yang aku ucapkan untukmu, Fyodor.

Malaikatku, malaikat yang membingungkan.

Ia tampak begitu putih.

Namun nyatanya ia begitu hitam.

Hari ini, ia datang lagi-seperti yang biasa ia lakukan setiap hari. Kali ini dia membawa cello yang begitu ia sayangi, entah kenapa, aku ingin bertukar peran dengan cello itu. Fyodor menatapku sejenak, sekali lagi ia memamerkan senyum miliknya-yang membuatku semakin ingin merobek bibirnya. Dengan penuh penghayatan serta kelembutan ia menggesek cello itu-menghasilkan melodi-melodi yang memabukkan jiwa. "Bagaimana menurutmu, (Name)-san?" Fyodor melontarkan pertanyaan itu tepat setelah ia selesai memainkan alat musik itu.

Ia bertanya padaku.

Tapi, apa yang telah ia perbuat selama ini.

Berhasil membuatku takut untuk sekedar diam ataupun mengeluarkan suara.

"Pe-permainanmu bagus sekali, Fyodor," jawabku pelan dan takut-takut. Pria ini, berhasil membuatku takut untuk diam maupun mengeluarkan suara hanya dengan perbuatannya selama ini. Senyum puas terpampang jelas di wajahnya, dengan elegan ia membungkukkan tubuhnya. Ia kembali menghilang dalam kegelapan, namun kali ini ia tak mengucapkan salam perpisahan seperti biasanya.

Hei malaikatku, perubahan tingkahmu membuatku bergidik.

Apa yang kau rencanakan kali ini, tuan malaikat.

Hari demi hari terlewati, sama seperti hari-hari biasa. Fyodor datang lalu pergi begitu saja tanpa mengucapkan sesuatu. Kadang ia membawa cello, kadang dia datang hanya untuk menyiksaku hingga puas. Tapi, dia sudah tak pernah mengucapkan kalimat perpustakaan semenjak hari itu. Tak pernah dalam hidupku aku merasa begitu takut. Diamnya pria ini, bisa menjadi ancaman terbesar dalam hidupku. Aku harus pergi dari sini.

Tuan malaikat, maaf.

Tapi aku harus pergi.

Dengan hati-hati aku mencoba membuka gembok sel yang sudah mengurungku begitu lama. Ada rasa yang meluap ketika aku berhasil membuka gembok itu. Aku ingin menangis, berteriak, dan mungkin berlari sejauh mungkin dari tempat terkutuk ini. Tapi, seseorang harus melenyapkan malaikat berbisa itu, dan akulah yang akan melakukannya.

Tuan malaikat, ini sudah saatnya.

Saat untuk dirimu agar segera tertidur.

Dan tak pernah bangkit lagi.

Dengan bekal nekat dan pisau buah yang ia tak sengaja atau mungkin sengaja tinggalkan, aku menyelinap masuk ke ruangan pribadinya. Sangat sulit menemukan kamarnya dengan keadaan tubuh yang seperti ini. Setiap kali melangkah, luka-luka di tubuhku semakin menyiksa. Pasokan oksigen kadang menguap secara mendadak dari paru-paru, dan kadang sakit kepala menyerang secara tiba-tiba. Harus aku akui, ini perjuangan yang sangat berat.

Di balik pintu kayu megah itu, terlindunglah seorang malaikat.

Sinar bulan yang menerpanya secara langsung membuatnya semakin menawan.

Membuatku semakin ingin menusuknya hingga ajal menjemput dirinya.

Kubuka dengan perlahan pintu raksasa di depanku, mataku langsung disuguhi oleh pemandangan yang begitu langka. Lihatlah dia, tenang, damai, dan tampak tak berdosa sama sekali. Rasa bersalah seketika timbul di hati ini, keraguan pun ikut tumbuh. Tapi, jika ia tidak dilenyapkan, banyak orang yang akan lebih menderita, (Name)! Kutarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan perlahan. Apapun yang terjadi, dia harus binasa.

Tuan malaikat, tuan malaikat, lihatlah betapa damainya dirimu ditidurmu.

Betapa polosnya raut wajah yang kau buat.

Betapa tak berdosanya ekspresimu.

Kuangkat tinggi-tinggi senjata yang akan kugunakan untuk membinasakan malaikat berbisa itu. Jantungku berdebar hebat, napasku mulai tak teratur. Tanpa membuang waktu lagi aku langsung menusukkan pisau itu ke dada kirinya, dimana jantungnya terletak.

Namun sayangnya, ia sudah membuka mata terlebih dahulu.

Tangannya meraih wajahku. Dari sela-sela jarinya dapat kulihat betapa seriusnya ekspresi yang terpampang di wajahnya. Darah menetes dari bibirku, perlahan dunia terlihat semakin gelap. Samar-samar dapat kulihat betapa terkejutnya Fyodor, aku yakin bahwa akubaru saja mendengar ia meneriaki namaku. Tubuhku ambruk ke lantai yang dingin. Senyum mengembang secara perlahan di bibirku, beginikah rasanya mati di tangan seorang malaikat.

Dia adalah malaikat.

Yang dikirimkan oleh Tuhan hanya untuk diriku seorang.

Dialah yang paling indah.

Dan juga yang paling mematikan.

Senang berkenalan denganmu, wahai tuan malaikat.

Atau haruskah aku memanggilmu Fyodor, malaikat maut?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top