Berjuang Bersama

Otakku kacau. Pandawa dan Kurawa sedang bertengkar tentang salah dan benar. Gila!

Aku terus merutuki diri sendiri. Gimana bisa aku membalas semua perlakuannya tadi? Gimana bisa kepalaku mengangguk otomatis saat dia nanya soal belajar saling menerima?

Rasa bersalah menyergapku, tiap kali aku memejamkan mata maka bayangan wajah Zeid yang tertawa lebar dan wajah Agil yang tenang membuat otakku hilang dan datang bergantian. Sudah seperti penjahat yang ketauan selingkuh rasanya. Memalukan, Ghea!

Aku menyerah! Enam puluh menit kemudian, aku nyatanya meringkuk di sofa bed kamar Resty yang kuteror untuk menjemputku.

Resty membiarkanku tanpa bertanya apa pun dan hanya isakanku yang sesekali lolos dari mulutku. Menunggu, karena dia tahu, setelahnya aku akan bercerita semuanya!

"Jadi, di bagian mana yang gue ketinggalan?" Resty mengulurkan air mineral yang diambilnya dari kulkas kecil di kamarnya.

"Banyak," sahutku sebelum menenggak air yang diberikannya.

"Kenapa bisa banyak?"

"Karena sebelumnya gue gak mikir ini termasuk hal yang layak buat gue ceritain," sahutku masih bergelung nyaman di sofa.

"Sebenarnya dalam imajinasi gue, pengen deh sekali-sekali lo lepas kendali dan ngajakin gue mabuk-mabukkan kalo lagi baper gini," lanjutnya sambil melemparkan handuk dan babydoll baru tanpa lengan ke pangkuanku. "Mandi, dan setelahnya lo bisa teriak atau nangis sepuasnya di atas kasur gue," tambahnya melihatku yang berdiri dan ingin berjalan menuju kasurnya.

Aku manyun seketika. Bagi Resty, kasurnya terlarang untuk orang yang belum mandi. "Hayook...minum-minum sampai mabuk," ajakku sambil melangkah ke kamar mandi.

"Dan gue harus nyeret lo keluar di detik pertama lo nenggak itu minuman? Ogah!" katanya mendengus sambil melemparkan badannya ke atas kasur.

Dalam sepersekian detik, aku merasa ringan walaupun belum menceritakan apa pun yang mengganggu pikiranku saat ini. Karena aku tahu, aku selalu dapat memperhitungkan semua masukannya.

Aku membersihkan tubuhku secepat yang aku bisa, rasa sesak di dada sudah menuntut untuk dikeluarkan. "So?" tanyanya begitu aku keluar dari kamar mandi dan melesakkan badanku di sebelahnya.

"Ini semua bermula saat live music di kafe waktu itu, Res," kataku saat kami berdua telentang mengatur napas setelah sebelumnya berjumpalitan sebentar di kasurnya.

"Semua ini tentang Papa Pestisida yang ternyata masih single itu kan?"

Aku mengangguk gak kentara.

"Gue ke kost lo sejam setelahnya dan lo lagi tidur dengan damai," sahutnya. "Belum pernah gue masuk ke kost lo dan lo gak terbangun sedikit pun."

Aku mengangguk. Resty pasti bisa menebak kejadiannya. Dia gak nyari aku saat itu bukan karena dia gak peduli, tapi dia ngerti kalo aku perlu waktu sendiri.

"Yep, saat itu gue ngerasa ancur banget. Dan gue melepaskan semua perasaan sesak gue di samping motornya dan dia nemuin gue waktu itu," lanjutku. "Gue nangis, Res."

Resty diam, tapi aku tahu dia mendengarkan.

"Cerita berlanjut saat gue dikerjain dosen tua galak yang gue pikir ngehukum gue dengan magang ulang karena gue gak lulus-lulus. Tapi, ternyata beliau malah bikin gue bisa kerja di salah satu hotel terkenal, Res. Berkat rekomendasi beliau gue bisa masuk dengan mulus di situ. Dan lo tau apa yang terjadi?"

"Lo ketemu sama Agil?"

"Bukan cuma ketemu. Parahnya, gue ngacungin jari ke dia karena gue ngerasa dikuntit. Dobel parahnya, dia itu anak sang pemilik hotel tempat gue kerja," lirihku.

"Hmm..."

"Terus dengan 'kepintaran' gue, pada suatu waktu gue ikut dia ke tempat kerjanya yang sebenarnya, di rumah sakit, dan malah ngerjain pasiennya yang ngeselinnya ga ketulungan." Aku melanjutkan detail cerita tentang kejadian di IGD dan Resty ngakak setelahnya. Dia bahkan berguling-guling sampai sakit perut menertawakan 'kepintaran' dalam versiku.

"Terus...terus...?"

"Gue akhirnya ketemu keluarga besarnya yang...eh...luar biasa. Friendly, hangat, dan memperlakukan gue bukan kayak orang yang baru dikenal. Dan gue...gue merasa nyaman untuk satu hal itu."

Resty mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti.

"Gue ngerasa mereka benar-benar keluarga yang terbuka, ramah, hangat, dan bikin ngiri dalam satu waktu yang sama. Kasih sayang, dukungan, dan perhatian bisa terlihat meskipun mereka menyamarkannya dalam becandaan yang kadang kelewatan atau pun sindiran yang pedas. Intinya, gue bukan cuma ngeliat perlakuan anggun dan tertata di keluarga besarnya yang berkelas, tapi gue...apa yah..."

"Ngeliat persahabatan yang erat yang biasanya mustahil ada di keluarga besar kayak mereka...," tebak Resty. "Biasanya keluarga besar begitu akan bergesekan berebut tahta dan kerajaan bisnis."

"Yep... Itu dia, itu yang bikin gue ngerasa nyaman dan betah meskipun gue baru kenal mereka," kataku sambil tersenyum kecil dengan pandangan menerawang.

"Gue belum ngeliat seseknya di mana," lanjut Resty ikutan menerawang.

"Dia minta gue...ralat, merintah gue jadi pacarnya!"

"Iya, dia bilang ke gue kalo lo pacarnya. Dan lo sendiri sedang dalam tahap menuju situ."

"Entahlah apa yang dia pikirin, yang jelas dia memproklamasikan diri jadi pacar gue, dan setiap alasan gue buat nolak selalu dimentahkan sampai gue speechless."

"Hahaha..., gak nyangka gue, ada yang bisa bikin lo speechless."

"Res!" tegurku. "Dan tadi dia nganter gue siaran, maksa pula!"

"And then?"

"Gue dicium," lirihku. "Bukan, kita berdua ciuman." Ralatku, menekankan kata 'kita'.

"Ow?"

"Gue ngebales ciuman dia, Res!!" kataku sambil berteriak kesal dan mulai terisak.

Resty diam tak berkomentar mengenai kelakuanku, membiarkanku larut dalam isakanku.

"Udah?"

Aku mengangguk dan dia menepuk-nepuk punggungku. Membuatku agak sedikit lega. Tahu pasti bahwa Resty tidak akan menyalahkan sikapku.

"Gue...kebawa suasana dan...begitulah," lanjutku enggan mendetail bagaimana kejadiannya. "Dan gue ngangguk pas dia bilang apa gitu tentang berusaha saling menerima."

"Pajak jadian!" gurau Resty.

"Ngeek banget deh lo!"

"He's a good kisser, isn't He?" tanya Resty sambil menaik-turunkan alisnya.

"Stop it, Res!" keluhku sambil menggaplokkan bantal besar ke mukanya yang ceria. Pintar sekali dia mengalihkan perasaanku dari mellow tak keruan menjadi ringan. Inilah yang membuat persahabatanku dengannya kekal.

"Is He?" ulangnya mengabaikanku.

"Yes," jawabku sambil menutup mukanya dengan bantal yang lain.

"Jadi pengen ngerasain," celetuknya dengan ringan.

"No!" semburku refleks yang malah membuat Resty tertawa membahana.

"Lo suka sama dia, Neng," katanya santai.

"Gak!"

"Gak salah!"

"Gak bakal!"

"Everything is possible, you know?"

"Don't you dare..."

"Yes, I am. What's the problem?"

"Gue...gue ngerasa khianatin Zeid," lirihku lagi. Saat aku selesai mengucapkan kata-kata ini Resty langsung memelukku dari samping. Menenangkan bahuku yang mulai terguncang lagi.

"Ghea...Ghea, dengerin gue," katanya pelan. "Lo percaya kan kalo gue sahabat lo dan sedikit pun gak pengen hal buruk terjadi sama lo?"

Aku mengangguk dan balas memeluknya erat.

"Gak ada seorang pun yang bakal bilang kalo lo ngekhianatin Zeid dengan membuka hati lagi, Ghea!" lanjutnya sambil tetap dalam posisi memelukku. "Dan kalo-kalo lo perlu diingetin sama kenyataan yang sebenarnya gak perlu, bahwa Zeid gak bakal kembali lagi."

"Res!"

"Ghea! Bagian mananya dari lo yang lo pikir ngekhianatin Zeid, eh? Selama dua tahun lebih kepergiannya lo bahkan setia kepada hal yang tak kasat mata. Hal yang lo sadari sebenarnya sia-sia, Ghea!"

"Res!"

"Tapi gue ngebiarin lo karena gue tau lo perlu waktu. Dan gue gak pernah ngomong kek gini karena gue yakin suatu saat lo bakal move on. Tapi dalam kasus lo, lo harus ditubruk dulu baru bisa. Ngerti gak maksud gue?"

Aku malah terisak makin kencang. Resty bisa mengutarakan sesuatu yang aku ingkari sekian lama tanpa menyinggung perasaanku, hanya melukai ujung hati yang mulai sembuh.

"Lo harus berdamai dengan kenyataan, Ghe! Dan itu bukan berarti lo gak setia," lanjutnya sambil menghela napas.

"Sekarang gue tanya, seandainya lo mengalami suatu hal buruk. Dan itu bikin lo gak bisa kembali ke Zeid. Gak usah pake meninggal deh, gue ngeri. Lo cacat dan itu bikin lo ngerasa gak berhak tetap di sisi Zeid! Apa lo bakal ngebiarin dia tetap di sisi lo dan menderita seumur idup karena ngurusin lo. Sementara di waktu yang sama, Zeid punya kesempatan buat ngeraih kebahagiaannya sendiri. Rela lo?" tanyanya tajam.

Aku menggeleng keras. Kalau sesuatu yang malah bikin Zeid menderita, meskipun aku harus mengorbankan hatiku, harus mengiris hatiku dan menyatukannya lagi, lalu mengirisnya lagi dan lagi, kupikir aku rela. Ketimbang melihatnya menderita.

"Nah gitu juga Zeid, Ghe! Lo pikir sekarang dia bahagia liat lo kek gini? Liat lo nungguin sesuatu yang gak pasti? Eh bukan, sesuatu yang pasti gak bisa ditunggu," tambah Resty hati-hati.

Meskipun berat, tapi mau tak mau aku harus ngakuin kalo yang Resty sampaikan meskipun menyakitkan, tapi seratus persen benar. Sesaat aku teringat pertemuan terakhirku dengan Zeid setelah adegan pingsan di bandara waktu itu. Zeid mau aku bahagia, persis seperti yang Resty utarakan sekarang.

"Dan udah saatnya lo nata kehidupan lo lagi. Nata hati lo terutama," katanya sambil merebahkan diri di sampingku dan bertepuk pelan. Lampu kamar langsung berganti redup menjadi lampu tidur.

"Menangislah, lepaskan semuanya Ghea. Dan saat lo besok pagi membuka mata, gue harap lo udah bisa berdamai dengan masa lalu sekaligus berdamai dengan keinginan hati lo yang mulai menunjukkan jalan barunya," katanya sambil berbalik memunggungiku. Bisa kudengar suaranya yang ikut terisak di sebelahku.

Aku berbalik telentang, menghapus air mata yang mengalir dari sudut mataku. "Tapi, kalo ini gak berakhir baik gimana?"

"Kalo semua orang udah tau hasil akhirnya, lalu bagian mana dari proses itu yang bikin kita tetep berusaha buat memperjuangkannya? Kalo lo udah tau bakal gagal, lo gak bakal mau usaha, Ghea!"

Resty tahu meskipun aku membisu, tapi aku mendengarkan ucapannya.

"Hati selalu punya cara dan jalannya sendiri, Ghea. Itu yang dulu lo bilang ke gue waktu gue putus sama pacar gue," katanya menarik napas dalam. "Dan kalo pun hubungan lo gak berhasil seperti sebagaimana mestinya...You can count on me, Ghe! Always beside you, Ghea. Gue bakal terus di sisi lo apa pun yang terjadi."

"Thanks, Res."

"Lo pernah tau rasanya kehilangan Zeid, dan gue gak yakin lo bisa bertahan kalo kehilangan Agil. Secara hati lo udah lo titipin sebagian ke dia."

Nitipin hati ke Agil? Move on?

"Gue yakin kalian berdua bakal berjuang sama-sama dalam hubungan apa pun yang lo sebut ini," tambahnya pelan dengan nada mengantuk. "Karena lo berdua layak ngedapetin bahagia, Ghe." Suara napas teratur sudah mulai terdengar saat aku mencerna kata-kata terakhirnya. Berjuang sama-sama? Berdamai dan melangkah maju?

-oo0oo-

"Jelaskan!" perintahku dingin. Sebuah mobil sport yang kukenal dengan baik milik siapa sudah terparkir di luar pagar.

Resty malah cengengesan, "Gue sms Fal buat minta nomor ponsel Agil dan...begitulah."

"Inisiatif yang bagus," sindirku.

"Gue gitu loh!" balasnya sambil mengedipkan mata ke arah Agil yang masuk ke halaman sambil menggandeng Si Princess cantik.

"Mamaaaaa Gheaaaa...," teriaknya heboh sambil berlari ke arahku.

"Wow, Mama eh?" tanya Resty. Aku menyikutnya kencang saat Agil sudah mendekat ke arah kami.

"Pagi, Princess," sapaku sambil berjongkok. Mengabaikan Agil yang berdiri siaga di belakangnya.

"Pagi, Mama Ghea," katanya lagi sambil mengalungkan lengannya yang mungil di leherku. Aku mengangkatnya ke dalam gendonganku.

"Selamat pagi diriku sendiri," kata Agil dengan nada datarnya. Menyindirku.

Resty terbahak kencang dan menyodorkan tas besar, entah apa isinya.

"Thanks, Res!" kata Agil sambil berbalik dan berjalan menuju mobilnya.

"Apaan tuh?" tuntutku.

"Udah...ikut aja, tar juga lo tau! Hayo buruan sana...," dorongnya.

"Resty!"

"Apa, Ghea?"

"Lo gak ngejual gue kan?" tanyaku ngeri, berlagak ala adegan shitnetron.

Resty terkekeh, "Bisa jadi. Kita liat laku berapa lo ama Om Agil yang sedang senang," bisiknya jenaka. Semoga anak di gendonganku ini gak ngerti omongan kami.

"Kampret!" bisikku.

"Udah...sana!" dorongnya lagi.

Aku berbalik pasrah dan mulai melangkah setelah menurunkan Princess Aluna yang ternyata lumayan berat. Yah...lumayanlah taksi gratisan ada di sini. Mari kita numpang!

"Ghe!" panggil Resty.

Aku berbalik dan Resty berjalan ke arahku. Kemudian menyergapku dalam pelukannya dan berbisik, "Lo tau kan kalo gue ngelakuin ini karena lo layak diperjuangkan, Ghe!"

Aku terdiam, sebutir air mata lolos dari sudut mataku. Aku mengangguk pelan dan diakhiri dengan cengengesan kami berdua. Si Princess Aluna menatap kami bergantian dengan ekspresi bingungnya yang imut.

"Dah sana!" kata Resty sambil mundur dan melambai padaku.

"Res?"

"Ya?"

"Ngomong-ngomong Res, udah saatnya lo ngeliat Fal layaknya seorang lelaki," tambahku sambil berbalik dan berjalan ke luar pagar tanpa menunggu sahutannya.

Oke Res? Kamu nyuruh aku berjuang? Dan bagaimana kalau kita semua berjuang demi masa depan kita? Meninggalkan sesuatu yang pasti tak bisa ditunggu seperti katamu? Skor kita satu sama, Res!!

-oo0oo-

"Depan!" katanya saat aku membuka pintu penumpang belakang.

Aku mengernyit sambil membawa Aluna ke pintu depan.

"Kalo Aluna yang di depan, nanti pas dia jingkrak-jingkrak spion bakal ketutupan."

"Oh," sahutku sambil kembali ke kursi penumpang dan mendudukkan Aluna terlebih dulu baru aku bermaksud duduk di sampingnya.

"Aku bukan supir! Pindah depan, Ghea!"

"Lalu Aluna?"

"Biarkan dia di belakang, nanti kalo dia ketiduran bisa ngebentur dashboard depan. Kamu sayang gak sih sama ponakan?" tanyanya masih dengan nada yang sama datarnya.

Aku turun untuk duduk di depan, sementara Princess Aluna tampak memeluk sandaran kursiku dari belakang.

"Awas kalo Bapak ngerem mendadak!" sungutku. "Nanti pala ponakan kesayangan kebentur." Bukannya kalau Aluna duduk di depan bisa lebih aku jaga biar ga kepentok kepalanya ya? Meski bakal terasa sempit nanti duduknya.

"Bisakah kita ngomong tanpa formal, Ghea? Ini bukan jam kantor!"

"Gak."

"Alasannya?"

"Lidah saya maunya gitu!"

"Itu lidah mau disadarin kayak semalem biar bisa berubah?" tanyanya dengan santai.

Aku sampai tersedak ludah. Kampret emang ni orang.

"Yeah...anggep aja panggilan kesayangan saya, gitu!" sahutku iseng. Mingkem gak?

"Tau gak Ghea, dosen yang pacaran ama mahasiswinya aja manggil Abang atau Kakak!"

"Gak tau! Dan untungnya kita bukan dosen dan mahasiswi sialan itu," sahutku. "Kita bos dan anak buah tauk."

Agil mengurut pelipisnya. Pasrah? Yeay...

Agil mulai menyalakan mesin dan mobil meluncur dengan cepat. Sementara aku memutuskan memejamkan mataku daripada meladeni pembicaraan Papa Pestisida di sampingku ini. Terdengar suara Aluna yang bernyanyi ditingkahi siulan Agil membuat aku makin menikmati pejaman mataku.

Mengapa bintang bersinal..

Mengapa air mengaliy..

Mengapa dunia berputal..

Lihat segalanya lebih dekat..

Dan 'kuakan mengeyti..

(Lihatlah Lebih Dekat- Sherina) versi Princess Aluna

"Jadi, kita mau ke mana?" tanyaku akhirnya setelah setengah jam lamanya aku baru membuka mata. Tidak ada tanda-tanda kami akan menuju kost-ku ternyata. Selama setengah jam tidur pura-puraku tadi terdengar interaksi lucu di antara om dan ponakannya ini yang kalau orang tak tau pasti menganggap mereka ayah dan anak.

"Aku pikir kamu gak berniat nanyain," katanya datar.

"Oh, anggap yang tadi gak bertanya," sahutku.

"Bandung."

"What?" jeritku. "Tapi..."

"Baju kamu udah di-packing sama Resty," sahutnya datar sambil mengedikkan bahu ke arah belakang. Tempat Agil meletakkan tas yang tadi dikasih Resty. "Kamu gak mikir itu peralatan mandinya Aluna kan?"

Aku mendengus kesal, "Lalu ada alasan apa ke Bandung?" tanyaku masam.

"Bertemu wanitaku. Wanita paling penting selama hidupku."

Aku langsung tersedak ludahku sendiri dan memilih kembali memejamkan mata. Mencoba bertanya mengapa tiba-tiba ada nyeri di sudut hatiku.

"Pa, kenapa anak kodok itu suka loncat-loncat?"

"Karena dia masih anak-anak. Princess juga suka loncat-loncat kan?"

"Hehehe...Iya, Aluna anak-anak ya, Pa?"

"Heeh."

"Kalo Mama Ghea anak-anak juga?"

"Iya, anak besar yang keras kepala gitu. Aluna jangan ikutan ya," sahut Agil.

Hampir saja aku membuka mata dan meninju pengemudi sok tau ini.

"Kenapa bulung bisa telbang, Pa?"

"Karena burung hebat punya sayap."

"Pesawat juga bisa, kenapa bulung hebat?"

"Karena yang nyiptain burung lebih hebat daripada yang bikin pesawat."

Dalam tidur ayamku masih kudengar pertanyaan-pertanyan lucu Aluna yang dijawab Agil dengan sama anehnya. Tapi, rasa kesal dan ngantuk lebih menguasaiku dibandingkan sesi tanya jawab antara om dan ponakan yang sebenarnya terdengar menyenangkan ini. Maklumlah, tadi malam aku baru bisa tidur jam tiga subuh.

-oo0oo-

"Ghea...Ghea," panggil sosok yang suaranya terdengar begitu dekat dengan wajahku.

Aku mengumpulkan nyawa, rasanya baru sesaat aku tertidur. Aku membuka mata dan hal pertama yang kulihat adalah bola mata coklat kehitaman milik Si Papa Pestisida yang keliatan... hangat.

"Ugh...di mana kita?" tanyaku sambil memandang sekeliling dan kemudian terlonjak kaget. Pemakaman besar? Apa-apaan ini? Jangan bilang aku dijadikan bahan ritual Agil yang aneh dengan menguburku setengah badan di sini. Aku bergidik ngeri.

"Bertemu wanitaku, Ghea. Kan tadi sudah kubilang. Ayo turun," katanya membuka pintu dan kemudian membuka pintu belakang. Menggendong Aluna dalam dekapannya.

"Iya, saya inget Pak. Ya masa kita ke sini mau ketemu Hantu Jeruk Purut?" kataku sambil menguap dan menegakkan diri keluar dari mobil.

Agil malah menoyor kepalaku yang masih dalam keadaan trance. Antara sadar dan enggak.

"Agil, Ghea...," panggil seseorang. Aku memicingkan mata. Kalila!

"Mbak," sapaku saat dia mendekat bersama suaminya. Alina dan Revan mengekori keduanya. Wow, lengkap sekali.

"Ayaaah...," kata Aluna dan berpindah gendongan. Agil mengulurkan Aluna ke Al.

"Baru nyampe?" tanya Alina. "Kalian gak ngamar dulu kan?"

"Pengennya," sahut Agil cuek. Alina dan Revan tertawa.

"Ya udah, kita duluan aja balik ke rumah, Gil. Aluna keliatan ngantuk," kata Kalila. "Kita udah nyampe di sini dari setengah jam yang lalu."

"Tadi jadi ngawasin Papa Agil, Teh?" tanya Al kepada Aluna.

"Iya, Papa Agil cium Mama Ghea pas ketidulan," sahut Aluna sambil terkekeh.

"Di mana, Teh?" Al terdengar penasaran.

Bukannya jawaban, Aluna memilih mengecup pelan bibir Al.

"Ayah, kamu ajarin apa Aluna," jerit Kalila yang masih bisa kudengar.

Semburat merah tercipta instan di pipiku begitu mendengar pengakuan Aluna. Seriusan itu aku tadi disosor, kok ga kerasa. Kyaa... Ghea, fixed otakku sudah hilang entah ke mana.

"Dan Agil, kamu kok ngasi anak kecil live show 18+ sih?" teriak Kalila. Astaga ini di pemakaman, nanti kesambet loh.

Yang kesambet mah otakmu, Ghea. Malah bilang gak kerasa, ckckckck...

Aku melangkah dan mengekori Agil yang tak peduli dengan teriakan Kalila. Malah terus melangkah ke komplek pemakaman dan menyisiri sisi sebelah kiri. Akhirnya dia berjongkok di samping sebuah makam yang bersih terawat dan dinaungi pohon besar yang rindang.

Kubaca nisan yang tertulis di atasnya. Kania Prameswari. Siapa dia? Tanggal meninggalnya tertulis 2 Februari 1991. Sudah dua puluh empat tahun berlalu.

Mantannya Agil, eh? Pacarannya pas umur berapa gitu? Aku aja belum lahir.

Aku menempatkan diri, memilih berjongkok di samping Agil yang kelihatan begitu khusyuk dalam berdoa. Memejamkan mata dan sesekali bibirnya komat-kamit membacakan doa-doa. Suasana berubah sangat pribadi. Kuperhatikan raut muka Agil yang biasanya datar berubah menjadi sedih. Sakit? Galau? Gundah? Dan Merana!

Aku berdiam diri di sisinya, tak ingin mengganggu apa pun yang sedang dia lakukan. Siapa pun wanita ini, tampaknya mereka berdua memiliki ikatan khusus satu sama lain.

Akhirnya Agil membuka matanya setelah setengah jam lamanya. Dan yang membuatku terkejut, matanya basah. Tapi, dia malah tersenyum ke arahku.

"Ayo!" katanya meraih tanganku dan menunjuk bangku di bawah pohon besar. Pohon ini tidak terasa seram, tapi malah menciptakan kesan sejuk di bawahnya. Tubuhku hampir oleng saking lamanya berjongkok di depan makam.

"Maaf, aku terbawa suasana," kata Agil saat kami duduk dan dia melepaskan sepatu flat-ku. Dia menarik pelan kakiku dan menumpangkan di atas pahanya. Mulai memijit perlahan di bagian yang terasa kaku akibat posisi jongkok tadi.

Aku jengah, tapi tak urung membiarkannya juga. Karena mau tak mau kuakui pijatannya terasa nyaman.

"Namanya Kania Prameswari," kata Agil dengan mata tetap lurus ke arah nisan. "Dan dia Bundaku. Ibu kandungku."

"Eh?"

"Bu Destyana yang selama ini kamu kenal itu Ibu Tiriku. Tapi, tak pernah sedikit pun kami menganggap hubungan yang tercipta di antara kami dalam definisi kata 'tiri' yang banyak bikin orang bergidik ngeri, Ghea!"

"Kalian...mengagumkan," kataku menanggapi. "Tidak ada yang menyangka kalau sebenarnya kalian adalah pasangan ibu dan anak tiri."

"Ya. Wanita inilah yang kubilang wanitaku. Wanita yang memberikan nama tengahnya untuk dijadikan namaku dan kamu tahu, sekarang nama tengah itu menjadi identitas hotel paling ternama di seantero negeri ini. The Raikan's berasal dari Raikan, gabungan dari Rehan dan Kania yang dimodifikasi agar tidak terdengar menjadi Rekan," jelasnya sambil memandangi nisan itu dan tersenyum hangat. Aku membiarkannya larut dalam suasana, baru kali ini aku melihatnya bicara begitu banyak, dan entah kenapa aku tak ingin merusak mood-nya.

"Bunda meninggal dunia saat aku berumur delapan tahun, Ghea. Osteosarkoma yang menyerang salah satu tulang di bagian paha membuatnya amat sangat menderita," kali ini nadanya terdengar sedih.

"Wanita pendiam yang selalu tampak tegar di depanku, tapi rupanya menjerit kesakitan saat tengah malam, berusaha menutupinya dariku. Tanpa dia tahu, setiap jeritannya selalu membuatku terbangun dan kemudian bermimpi buruk jika bisa tidur setelahnya. Itulah yang memotivasiku keluar dari lingkaran jaringan bisnis perhotelan Ayahku dan memilih menjadi dokter. Dokter anestesi. Bukan tanpa alasan, karena aku ingin menghilangkan rasa nyerinya, nyeri setiap orang yang membutuhkan pertolongan. Agar tidak ada lagi yang harus menjerit kesakitan seperti Bunda," tuturnya pelan.

"Ayahku sempat drop. Bisnis hotelnya tak terurus. Semua semangat hidupnya hilang setelah kepergian Bunda. Membuatnya memilih hobi lain yang selama ini terabaikan. Memancing ikan ke seluruh pelosok negeri hanya untuk diam, sendiri, dan melamun mengingat Bunda. Aku pun harus diungsikan ke Bandung karena tak lagi terurus."

Speechless...Benar kata Resty, hanya Agil yang mampu membuatku speechless.

"Akhirnya, pada suatu saat Ayahku memancing ke pedalaman Kalimantan. Dalam keadaan terpuruk, beliau bertemu seorang wanita riang gembira, yang tak pernah sedikit pun merasa sedih padahal penderitaannya jauh lebih besar dibandingkan kami berdua. Mami Destyana, berdiri tegar dengan berdagang kue untuk memenuhi kehidupannya yang sebatang kara, tanpa tahu siapa kedua orangtua yang membuangnya. Saat itulah Ayahku tersadar, bahwa hidup tetap terus berjalan dan kita diberi pilihan untuk menyerah atau terus berjuang."

Aku terdiam mencermati setiap perkataannya, sedikit merasa tertohok.

"Singkatnya, Ayahku jatuh cinta pada sosok tegar dan jenaka itu. Mami Destyana menerima status Ayahku yang duda beranak satu tanpa tahu bahwa Ayahkulah pemilik hotel yang saat itu sempat meredup pamornya akibat tidak terurus. BLAM...dalam waktu sepuluh tahun The Raikan's menjelma dari sebuah hotel tak terurus di Bandung hingga sekarang cabangnya tersebar di seluruh pulau Jawa. Bahkan, hingga ke Papua seperti yang kamu tahu. Berkat tangan dingin Mami dan otak bisnis Ayahku."

"Lalu?" aku mulai terhanyut dalam ceritanya.

"Setelah lima tahun menikah, untuk pertama kalinya aku melihat Mami Destyana terpuruk. Dokter memvonisnya dengan penyakit kanker rahim dan rahimnya harus diangkat sebelum menjalar ke bagian lain. Pupuslah harapan Mami untuk mendapatkan keturunan. Aku ditarik pulang ke Pontianak."

Agil menghela napas, "Di sinilah, hebatnya Ayahku, beliau tidak terpuruk. Malah menyadarkan Mami bahwa ada aku yang merupakan titipan paling berharga yang walaupun berasal dari rahim wanita lain namun tetaplah anaknya. Kesakitan yang terulang pada dua wanita paling berharga di duniaku membuatku semakin bertekad untuk menjadi dokter."

"Dan kamu tahu, Ghea," katanya sambil mengulurkan tangan ke arahku yang kali ini kusambut dengan perasaan berbeda. "Mami selalu bilang, kehadiran beliau tidak untuk menggantikan Bunda, tapi melengkapi peran Bunda untuk mendampingi aku dan Ayahku," katanya sambil menggandengku menuju makam ibunya.

"Meskipun terdengar chessy, itu hal terbaik yang pernah kudengar," kataku. "So sweet," olokku. Agil hanya tersenyum.

"Nda, look at this beautiful girl! She's mine," katanya dengan percaya diri di depan nisan Kania Prameswari saat kami beranjak pulang sambil mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum lebar. "Ayo, kamu pasti lapar. Aki dan Enin pasti sudah nyiapin makanan."

Tadi itu maksudnya apa ya? Ngenalin aku sama Bundanya?

Pipiku memerah. Dan aku cuma bisa diam dan nurut saat Agil dengan semangatnya membawa langkah kami menjauhi makam. Bahkan, aku sampai tak sadar kalau kami sedang bergerak di dalam mobil menuju entah ke mana lagi.

"Yang lain udah nunggu kita di situ," kata Agil sesaat setelah mobilnya berhenti. "Kita makan dulu dan kemudian balik ke Jakarta."

-oo0oo-

Kejutan yang kuterima di Senin pagi saat aku mendengar informasi dari Ian bahwa aku mendapatkan fasilitas mess karyawan dekat dengan hotel tidak sebanding dengan kejutan di sore harinya.

Kertas dengan tulisan tangan yang terlihat rapi menempel di pintu yang kusangka mess karyawan−namun anehnya terlihat begitu mewah−seolah menyambut kedatanganku. Berbunyi 'passwordnya tanggal ulang tahunmu :D', lengkap disertai icon smiley. Rasa penasaran membuatku tak sabar untuk memasukkan kombinasi angkanya.

Begitu aku masuk dan menginjakkan kaki di ruangan pertama, sebuah suara menyambutku, "Selamat datang di apartemen barumu, Ghea," kata seseorang yang kuyakin si penulis ucapan selamat datang di depan pintu tadi. Tapi, bukannya tulisan tangan orang sepertinya biasanya tak terbaca? Seperti tulisan cakar ayam di resep-resep?

Sosok yang akhir-akhir ini telah menempati keseluruhan isi otakku sedang berdiri menempel di dinding di salah satu sudut ruang. Memamerkan cengiran kemenangan, lengkap dengan kedua tangan di saku yang sialnya membuatku terpesona dan kaget pada saat yang bersamaan.

"What are youdoing here?"tanyaku tanpa suara.:

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top