10 • Decision
…
Pekan ujian telah usai, waktu yang paling ditunggu para siswa setelah sepekan lamanya bergelut dengan berbagai soal. Kendati memang hanya sekadar ujian tengah semester lalu kegiatan belajar berlanjut seperti biasa, setidaknya beban yang dipikul kembali ringan. Selesai ujian tengah semester saja sesenang ini, apalagi usai ujian akhir semester yang berarti akan menghadapi libur semester yang dinanti. Namun, tak berlaku bagi siswa tingkat akhir yang harus menghadapi segala ujian di semester depan. Ditambah lagi ujian masuk perguruan tinggi.
Memang, gagal ujian masuk perguruan tinggi bukanlah akhir segalanya. Akan tetapi, mayoritas warga negara ginseng tidak berpikir demikian. Sia-sia persiapan dari bangku Sekolah Dasar kalau ujungnya gagal, begitulah persepsi mereka. Masuk perguruan tinggi di tiga universitas ternama pun menjadi tolak ukur kesuksesan. SKY, begitulah orang-orang menyebutnya—Universitas Seoul, Universitas Korea, dan Universitas Yonsei. Mereka rela mati-matian demi mencapai strata tertinggi.
Masuk SKY saja sudah sulit, bagaimana dengan Taehyun yang dituntut masuk perguruan tinggi jajaran Ivy League? Memang akan mendapat pencapaian besar jika berhasil masuk, seperti halnya Kang Heeseung, kakaknya. Namun, kalau tidak berminat sama sekali, apa jadinya?
Tertekan karena tuntutan tersebut bukanlah satu-satunya alasan bagi Taehyun berniat mengakhiri hidupnya—dulu, melainkan salah satu dari sekian alasan. Namun yang pasti, ia lelah dan katakanlah pecundang, begitu ia mengakuinya. Hingga tak sengaja bersua dengan sosok gadis asing yang menariknya dari lubang keputusasaan itu. Semakin berjalannya waktu, ia sadar jika sang jelita secara tak lantas menjadi anestesi kala dirinya sakit. Mengingat namanya saja cukup memberi reaksi pada bibirnya mengukir kurva.
Lengkungan manis langka itu semakin melebar kala notifikasi masuk pada radas pipihnya. Mengetahui dari reaksinya saja cukup menjawab siapa gerangan sang pengirim pesan yang membuatnya direk bangkit dari duduknya lalu hendak melenggang keluar kelas. Baru saja membukakan pintu, ia dikejutkan dengan entitas yang tak lama ini cukup amikal dengannya.
Namun, sosok itu bukan sang pengirim pesan yang ia harapkan, melainkan hanya sebatas kenalan yang sudah mengantongi senyuman langka dan kebaikan Kang Taehyun.
"Oh, Seo Jangmi?"
Gadis itu tersenyum lalu menunduk. Sebelah lengan berada di belakang tubuhnya sedang yang lain menyelipkan surai panjangnya ke daun telinga. Cukup dapat diketahui gerak-geriknya tampak salah tingkah.
"Ada apa?" tanya Taehyun lagi sembari berusaha menyembunyikan perasaan tak sabarnya yang harus buru-buru pergi.
"Kak Taehyun, ini untukmu," ujarnya seraya menyodorkan dua buah cokelat batang dengan pita kecil yang mengikatnya. "Ini hanya hadiah kecil dariku karena Kak Taehyun pernah mengajariku. Terimalah, aku hanya bisa memberimu ini."
Kerutan dahi Taehyun memudar, tergantikan oleh kekehan kecil. Pasti orang yang mengetahui Taehyun si lelaki cuek akan terkejut melihatnya tertawa. Pasalnya, senyum dan tawa Taehyun itu langka. Siapapun tahu itu. Namun selain YoonA, ternyata ada seorang gadis lain yang bisa mengantongi hal langka tersebut.
"Kau tak perlu begini, Jangmi. Aku hanya membantumu beberapa kali saja kalau kita tak sengaja bertemu di ruang belajar," ujar Taehyun sungkan meski ia mau tak mau harus menerima pemberian darinya. "Tapi … terima kasih untuk ini kalau begitu."
Semburat rona merah muda memoles kedua pipi Jangmi. Wajahnya benar-benar memerah layaknya bunga mawar merah sesuai arti namanya. "Oh, ya, Kakak mau ke kantin? Kebetulan aku juga mau ke sana, bagaimana kalau kita pergi bersama?"
Kebiasaan Taehyun kembali ditunjukkan; menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Walau merasa tak nyaman, ia tetap harus menolak. Bahkan, sekarang saja ia sudah cukup lama mengulur waktu. "Maaf, sebenarnya aku harus ke suatu tempat. Teman-temanku menunggu. Tak apa, 'kan, kaupergi sendiri?"
Teman-teman? Ah, baik Jangmi maupun siswa lain tahu kalau sekarang Taehyun tak hanya dekat dengan YoonA, tetapi juga teman-teman YoonA yang lain.
Meski Jangmi tersenyum lebar, nada kecewa terselip kala ia berujar. "Ah, tak apa, Kak. Justru aku minta maaf malah mengganggumu yang sepertinya buru-buru, ya?"
"Kalau begitu, aku duluan, ya, Jangmi? Sampai jumpa dan terima kasih untuk cokelatnya!"
Baru beberapa langkah ia dikejutkan dengan kedatangan Beomgyu yang sekonyong-konyong merangkul bahunya dari belakang. "Sial, kau mengagetkanku saja!" desisnya. Kentara 'kan kalau Taehyun sudah dekat dengan mereka terdengar dari caranya bicara dengan santai.
"Kau mau ke markas, 'kan? Ayo, bareng!"
Tentu saja Beomgyu tak membiarkan sepanjang jalan sunyi. Terlebih lagi, ada suatu hal yang harus disampaikan demi menghapus kuriositasnya semenjak tadi tak sengaja menemukan Taehyun bersama Jangmi dari kejauhan.
"Omong-omong, gadis tadi siapa, Hyun?"
"Oh?! Hanya kenalan," jawab sekenanya.
Lelaki Choi itu takkan membiarkan pembicaraan hanya sampai itu saja dan tak mudah mengiyakan. Beomgyu adalah Beomgyu. "Ey~ masa kenalan memberimu cokelat?" tanyanya bertendensi menggoda sembari dagunya menunjuk ke arah dua buah cokelat yang berada di tangan Taehyun.
Sementara pemuda Kang sudah mengetahui watak teman barunya ini. Jujur saja, ia cukup jengkel dengan tingkah lakunya. Namun, ketika mereka berkumpul dan Beomgyu tak hadir di sana, rasanya ada sesuatu yang hilang. Walau baik Taehyun maupun yang lain benci mengakui hal itu. Eksistensi Beomgyu cukup berpengaruh—ah, tidak—maksudnya jika salah satu di antara mereka tak hadir, nyalar terasa berbeda suasananya.
"Mungkin aku sebagai temanmu yang baik hati, tampan, dan tidak sombong mau memberi nasihat pada temanku ini. Jangan permainkan perasaan perempuan, Kang Taehyun. Jika kau tak suka, tolak saja. Jika kausuka, balaslah perasaannya."
Sebentar, kenapa Beomgyu tiba-tiba berbicara begini? Bukankah yang ia bahas dari tadi adalah Jangmi dan cokelat pemberiannya. Namun, begitu paham apa yang dimaksud, ia menyangkal, "Aku tak bermaksud mempermainkannya. Bukankah orang lain memberi kita harus menerima? Kenapa kau malah bicara ke sana? Jangmi memberiku ini karena katanya sebagai rasa terima kasihnya padaku. Apa itu salah? Daripada aku menolak pemberiannya malah akan menyakiti perasaannya, 'kan?"
Beomgyu membuang napas. Sebenarnya ia berbicara bukan hanya bermaksud ke sana saja, tetapi ada maksud lain yang tak bisa disampaikan secara gamblang untuk saat ini. "Kau yakin tujuan pemberiannya hanya sebatas itu?" Pemuda Choi itu menatap Taehyun dengan tatapan intimidasi. "Aku rasa tak begitu, tuh."
Bola mata Taehyun berotasi. "Terserah kau, Gyu. Kaubicara berbelit-belit," tandasnya.
Justru kau yang bodoh, tak mengetahui apa yang sebenarnya aku ucapkan, Kang. Bukan aku yang berbelit-belit, dasar bodoh! Otak cerdas, tapi soal begini saja dungu.
Begitulah apa yang dipikirkan Beomgyu. Jika saja ia tak ingat akan sebuah janji, mungkin ia sudah bercerocos secara gamblang. Bahkan, ia ingin sekali menoyor kepala Taehyun agar otak cerdas yang berada di balik tempurung itu tak hanya cerdas menyoal akademik saja.
Kedua pemuda itu akhirnya sampai di gudang belakang sekolah—yang disulap oleh mereka menjadi gudang makanan. Tempat itu mereka menyebutnya sebagai markas. Toh, ini salah satu gudang sekolah yang tak terjamah oleh siapapun. Katakanlah terbengkalai, tak ada orang lain yang tahu dan tak mau tahu.
Derit pintu terdengar kala membuka pintu gudang, menandakan sudah dilalap usia. Sesuai ekspektasi, di sana tiga pemuda dan satu pemudi tampak duduk melingkari kompor portabel. Aroma kuah ramyeon menguar langsung terhirup penghidu begitu mereka masuk ke dalam sana.
"Oh, kalian sudah datang?" Itu Soobin yang menyadari presensi kedua pemuda itu. Diikuti Hyuka dan YoonA menoleh ke arah pintu. Sementara Yeonjun sibuk memastikan mi-nya dimasak dengan baik.
"Bukan sudah, tapi baru!" ralat YoonA sembari mendecak kesal. "Dari mana kalian? Jangan bilang kalau kalian makan dulu di kafetaria."
Beomgyu mendesis, "Kau, kan, tahu kalau aku tak bisa makan banyak. Aku tidak seperti babi yang sedang masak di sa—"
"Choi Beomgyu!" Yeonjun yang sedari tadi terdiam, akhirnya ikut dalam lingkar keributan. Tentu saja, keributan di antara mereka ulah si beruang tukang hibernasi, begitula YoonA memanggilnya. "Bagian mana tubuhmu yang paling lezat, hm?"
"Sayang sekali, dagingku sedikit, Tuan Kanibal."
"Ya! Kemari kau!"
Membiarkan dua pemuda Choi tukang ribut layaknya anjing dan kucing itu salah satu tindakan benar. Toh, tak bakalan sampai baku hantam. Paling hanya lengan Yeonjun memiting leher Beomgyu. Daripada menyaksikan tingkah dua pemuda kekanakan yang membuat mereka geleng kepala, atensi Hyuka lebih tertarik pada dua buah cokelat batang yang dibawa Taehyun. Tatapan jahilnya beralih pada YoonA. Oh, jangan lupakan senyum miring yang semakin tercanang di wajahnya.
"Bukankah cokelat itu tanda kasih sayang kalau memberikannya pada orang spesial?" celetuknya. Semua orang di sana menoleh padanya simultan menciptakan kerutan dahi. "Taehyun, kau mau berikan cokelat itu pada siapa?"
Tahu apa maksud Hyuka, lantas ia mengangkat tangan kanannya yang memang dua cokelat itu ada di genggamannya. "Oh, ini? Jika kalian mau, silakan. Toh, aku berniat membawa ke sini barangkali ada yang mau." Namun, jawaban Taehyun tak memuaskan Hyuka. Praduganya meleset.
"Asyik~ kautahu saja aku sedang ngidam cokelat," seru YoonA sembari menyambar cokelat dari tangan Taehyun. Sungguh, padanan kata yang ia pilih justru membuat mereka salah paham. Jangan lupakan bola mata kembar mereka seolah-olah keluar dari tempatnya. Lalu, tatapan tajam kini menyudutkan Taehyun.
"Kang Taehyun, Min YoonA, bisa kalian jelaskan?"
"Kang Taehyun, kau tak berbuat macam-macam pada YoonA kami hingga ia bisa ngidam, 'kan?" sergah Beomgyu paling heboh di sana, mendekati dua muda-mudi itu.
Paham situasi dengan apa yang mereka pikirkan. YoonA lantas menjitak kepala bulat Beomgyu. Semua yang ada padanya itu menyebalkan. Bagaimana bisa ia tahan dan sabar berteman dengan si beruang tukang hibernasi itu sejak mereka kecil? Wah, ia perlu mengapresiasi dirinya sendiri!
"Memangnya kata ngidam karena aku begitu saja? Taehyun dan aku takkan mungkin melakukan hal begitu, bodoh!"
"Padanan kata yang kaupilih itu salah, Min YoonA." Kini Soobin bersuara yang sedari tadi atensinya hanya terpusat pada buku novel yang ia baca.
"Lagi pula, mungkin, kok, kau pasti melakukan itu dengan Taehyun kalau kalian menikah," sambar Yeonjun dengan entengnya berbicara hal seperti itu sembari fokus dengan ramyeon yang sudah matang.
Baik wajah Taehyun maupun YoonA mungkin sudah memerah dan memanas. Ini benar-benar tak bisa dibiarkan, mereka berdua tak mau membuat suasana canggung terus-menerus. Sudah sering mereka membuat atmosfer seperti itu, tetapi beruntung mereka bisa mengatasinya.
"Sudahlah, aku lapar. Bukankah tak enak kalau mi-nya mengembang dan teksturnya lembek?"
Begitu mendengar omongan Taehyun, mereka lekas menyerbu ramyeon yang dimasak oleh mereka—lebih tepatnya hanya Yeonjun—sebelum seperti yang pemuda Kang itu ucapkan.
"Oh, ya, Yoon, sudah makan mi jangan langsung makan cokelat. Kalau kau mati di sini kami tak mau tanggung jawab," celetuk Beomgyu di sela makannya.
"Ya! Omong kosong dari mana itu?"
"Itu tak benar, hanya hoaks. Sejauh ini tidak ada penelitian yang menunjukan efek racun antara pencampuran mi instan dan cokelat, yang jelas mi terbuat dari tepung yang kandungan utamanya adalah karbohidrat yang mana tersusun oleh glukosa dan cokelat pun kandungan utamanya adalah glukosa. Jadi, keduanya tidak akan menimbulkan reaksi yang membahayakan apabila dimakan bersama sama. Beda cerita kalau mi dan cokelat tersebut terkontaminasi oleh kuman atau racun," jelas Taehyun meluruskan. Ya, memang tidak diragukan lagi mengapa ia masuk ke kelas khusus, bahkan termasuk siswa unggulan di sana yang memperebutkan peringkat pertama dengan yang lainnya.
"Wah, calon mahasiswa kedokteran Ivy League memang beda, ya?" tandas YoonA.
Semua orang di sana tak begitu terkejut. Toh, memang rumor Taehyun akan menargetkan untuk masuk perguruan tinggi jajaran Ivy League sudah tersebar. Entah siapa yang menggembor-gemborkan. Taehyun sendiri saja tak pernah memberitahukannya pada siapapun, kecuali YoonA.
"Jadi, benar soal rumor itu Taehyun? Wah, aku ingin masuk SKY saja, entah bagaimana hasilnya."
"Soobin, kau mau menargetkan masuk SKY?"
Soobin menelan kunyahannya terlebih dahulu sebelum menjawab. "Entahlah, hanya ingin saja. Yang pasti aku ingin masuk jurusan seni teater terlepas dari apapun itu kampusnya."
"Oh, ya, Hyuka, apa benar perkataanmu tempo dulu itu kalau sudah lulus nanti kau akan pindah ke Amerika lagi?" sambung Soobin, kini bertanya pada pemuda blasteran di sampingnya.
"Tidak jadi."
"Benarkah?! Kau akan tetap di sini?" tanya Yoona antusias.
Hyuka mengangguk sekali dengan mantap. "Sudah kuputuskan, aku akan tetap di sini dan kuliah jurusan seni musik."
Terlepas dari rasa antusiasnya, terselip lara yang mendera. Lantas YoonA menghela napas berat. "Aku iri sekali kalian punya mimpi yang ingin dicapai. Hyuka dan Beomgyu sama-sama menargetkan masuk jurusan seni musik. Yeonjun sudah jadi trainee, kalau berhasil debut jadi idol. Soobin masuk seni teater. Taehyun menargetkan masuk jurusan kedokteran universitas jajaran Ivy League. Aku? Tak punya mimpi sama sekali."
Semua di sana tampak ikut sendu lalu berusaha menyemangati. Kecuali, Beomgyu. "Kerjaanmu, kan, tidur-makan-main dan terus begitu. Mimpimu sudah tercapai, kok, saat kau tidur."
YoonA menatap tajam seolah-olah ingin memakan Beomgyu bulat-bulat. Beruang hibernasi itu sepertinya tak introspeksi diri terlebih dulu sebelum berbicara. Beruntung saja YoonA sedang tidak bergairah untuk adu mulut dengannya lantas ia hanya bertindak abai.
"Oh, ya, Taehyun, kau sudah putuskan mau jadi musisi atau dokter?" tanya YoonA seakan diingatkan dengan lingkup pembicaraan serius ini meski Beomgyu mengacaukan.
"Sebentar, aku tak paham. Maksudnya apa ini?" Soobin menandas, sebab pertanyaan yang diajukan YoonA pada Taehyun itu tiba-tiba. Bukankah tadi ia sendiri yang bilang jika Taehyun akan masuk jurusan kedokteran dan targetnya kampus jajaran Ivy League? Lantas, apa lagi ini?
"Itu bukan mimpi Tae—"
Taehyun menghentikan ucapan YoonA—ah, tidak—lebih tepatnya sebuah panggilan masuk ke ponselnya menginterupsi. Tatkala ia melihat nomor tak dikenal, ia mengernyit lalu beranjak dari duduknya dan keluar untuk menerima sambungan.
Sementara Taehyun menjauh, mereka menyerbu YoonA dengan serangan pertanyaan tentang apa yang YoonA hendak katakan tadi. "Nanti saja kuberitahu kalau Taehyun sudah memutuskannya dan mengizinkanku memberitahu kalian."
Mereka menyerah, toh, Taehyun pula butuh privasi. Pada waktu yang sama, bisa-bisanya Beomgyu berceletuk, "Yoon, cokelat itu sebenarnya dari gadis bernama Seo Jangmi yang diberikan pada Taehyun. Apa kau tak merasa tersaingi dengan gadis itu?"
"Oh, benarkah? Memang apa salahnya Jangmi memberi cokelat padanya? Jangmi itu adik kelas yang baik, kami pernah belajar bersama beberapa kali dan … Ya! Apa maksudmu saingan?!"
"E-eh? Kau kenal dia? Bagaimana?"
"Ehm. Taehyun pernah menyelamatkannya saat kami … ah, pokoknya ia diselamatkan Taehyun ketika seorang pria bertindak kasar padanya di jalan. Ternyata, itu mantan kekasihnya. Jahat sekali, bukan?" jelasnya. "Awas saja kalau kalian bertindak kasar pada perempuan kalian nanti, ya? Ah, pokoknya kepada semua perempuan tak boleh begitu. Laki-laki yang bertindak kasar pada perempuan itu bukan lelaki, tapi pecundang. Sangat pecundang!"
"Hei, kau, kan, kenal kami. Tentu saja kami takkan begitu."
"Aku percaya. Aku hanya mengingatkan saja."
Begitu konversasi topik random mereka usai, berbarengan dengan kedatangan Taehyun beserta rautnya yang sumringah. Perlu digarisbawahi; raut cerah, senyum, dan tawa Taehyun itu langka. YoonA saja ingin mengabadikannya. Benar-benar menggemaskan seperti bocah lelaki lima tahun. Mungkin Taehyun kecil juga lebih menggemaskan.
"YoonA, sepertinya aku sudah buat keputusan."[]
…
Maaf telat sehari update tak sesuai jadwal huhu /sungkem/
[250421]
—luv, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top