4. Pertemuan.
Malam ini udara terasa dingin untuk Axelia. Sejak kejadian tadi siang, reaksi tubuhnya mulai berubah. Axelia seakan menggigil jika ingat semuanya. Lalu bayangan sosok Evard yang membuat Axelia terpaku. Ada rasa aneh yang mulai merambat di hati Axelia. Rasa benci yang tiba-tiba muncul hingga Axelia berkali-kali menepis rasa itu.
Axelia membuka jendela kamarnya lalu berusaha duduk di atas jedela. Menatap langit malam dengan senyum tipis kala mengingat wajah Kay. Hingga sebuah sapaan lembut membuat Axelia merinding ketakutan.
"Selamat malam, Yang Mulia Ratu."
Axelia menoleh pelan. "Ahkkkk...!"
Axelia jatuh dari atas jendela kala menatap mata Arven. Arven dengan sigap menangkap tubuh Axelia dalam gendongan tangannya.
"Yang Mulia, apakah baik-baik saja?" tanya Arven khawatir. Ia menurunkan tubuh Axelia dengan hati-hati.
Axelia berjengkit takut dan mundur kebelakang, menatap Arven takut karena kilat merah di mata Arven. "Ja-jangan mendekat, atau aku akan teriak lalu Nenek akan bangun."
Arven tersenyum geli. "Yang Mulia, hamba bukanlah orang yang perlu Yang Mulia takuti. Hamba adalah penjaga Yang Mulia sejak kecil."
Axelia menaikkan satu alisnya. "It-itu bohong. Aku bahkan tak mengenalmu. "
"Tentu saja tidak, Yang Mulia. Karena hamba hanya bisa mengawasi Yang Mulia dari jauh. Hingga saat Yang Mulia siap dengan segala kekuatan pada diri Yang Mulia." Arven perlahan mencoba mendekati Axelia.
Axelia terus mundur. "Kekuatan? Kekuatan apa? Apa yang Paman bicarakan? Aku manusia biasa."
"Tidak, Yang Mulia. Yang Mulia adalah Ratu iblis. Yang Mulia adalah penguasa Kegelapan. Dan seluruh nyawa makhluk iblis, ada di tangan Yang Mulia."
Axelia menggeleng. "Tidak, itu tidak mungkin. Aku adalah manusia. Pergi, pergi dari sini, atau aku akan berteriak!"
Arven tersenyum. "Hamba hanya mengingatkan, bahwa para Pangeran iblis mulai mencari Yang Mulia. Para musuh kita, mulai mencari keberadaan Yang Mulia."
Axelia menggeleng lagi, karena benar-benar tak paham pada apa yang Arven bicarakan. "Nenek...! Nenek!" teriak Axelia kencang dengan berlari dan menggedor pintu rumahnya.
Arven dengan cepat menghilang dari pandangan Axelia dan mengamati Axelia dari jauh. Deritan pintu terbuka membuat Axelia lega. Seorang wanita tua dengan raut wajah khawatir langsung menatap Axelia. Axelia langsung memeluk tubuh wanita tua di hadapannya.
"Axelia, ada apa? Bukankah kau telah tidur di kamarmu?"
"Nenek aku takut. Aku takut," ucap Axelia semakin lirih.
Wanita itu tersenyum lembut dan membelai punggung Axelia. "Apa yang membuatmu takut? Kita telah terbiasa hidup di pinggir hutan, Axelia."
Axelia diam. Perkataan Arven cukup mengganggu pikirannya. "Nenek, apakah kedua orangtuaku menyayangiku? Apakah Nenek pernah bertemu dengannya?"
Wanita tua itu membeku. Pertanyaan yang sama dan tanggapan yang sama. Ia sama sekali tak tahu harus menjawab apa. Namun wanita tua itu semakin menyadari bahwa umurnya tak lagi muda. Axelia harus tahu semuanya. Dengan pelan wanita itu membimbing Axelia untuk duduk dan menutup pintu. Axelia menurut dan tetap duduk tak jauh dari Neneknya.
Wanita yang Axelia panggil nenek itu menggenggam kedua tangan Axelia. Menatap Axelia lembut dan berujar pelan. "Axelia, dengarkan aku. Mungkin ini terlihat menyakitkan untukmu, Nak. Tapi ini adalah kenyataan. Aku tak pernah bertemu dengan kedua orangtuamu,"
Wajah Axelia memucat. Axelia menggeleng namun masih menatap wajah tua Neneknya.
"... 17 tahun lalu, aku menemukanmu di depan pintu rumahku. Kau bayi kecil yang cantik. Dan karena tak ada yang mencarimu, aku merawatmu hingga kini. Kau seperti Cucuku sendiri. Tidak, kau memang Cucuku. Axelia adalah Cucu Nenek satu-satunya." lanjut wanita tua itu lirih.
Axelia membeku. "Ja-jadi aku hanya anak yang terbuang? Aku-, kedua orangtuaku-"
"Sshhhtttt," jari keriput itu menahan bibir Axelia untuk tak berkata lagi. "Tidak, sayang. Tidak, aku yakin kedua orangtuamu menyayangimu. Pasti ada sesuatu yang membuat mereka melakukan itu semua."
Axelia menggeleng. "Tidak, itu bohong. Itu bohong, Nenek!" Axelia berlari keluar rumah dengan menangis. Terus berlari tanpa menghiraukan panggilan dari neneknya.
Sedangkan Arven yang melihat itu semua hanya menatap miris. "Tidak, Yang Mulia. Raja dan Ratu sangat menyayangi Yang Mulia, hingga menyelamatkan Yang Mulia terlebih dahulu dari semua."
Axelia terus berlari meski malam kian gelap. Melewati hutan yang sepi hingga sampai pada sebuah rumah yang terlihat sunyi. Axelia menatap rumah itu dari jauh. Menatap jendela sebuah ruangan yang telah tertutup rapi.
"Kay, aku harus bagaimana? Aku-" Axelia terisak pelan. "... aku tak pantas berada di dekatmu yang sempurna. Yang memiliki keluarga bahagia dan sempurna."
Axelia menatap sekilas jendela kamar itu lagi. Lalu langkahnya kembali terasa berat dengan menyusuri hutan yang kian sunyi. Pikiran Axelia melayang saat mengingat cerita yang selalu terlontar dari neneknya saat ia masih kecil. Namun malam ini, suatu kenyataan membuat Axelia terpukul dan merasa tak diinginkan.
Langkah Axelia semakin jauh hingga sebuah deritan pohon membuat Axelia menoleh. Kesadaran Axelia seakan kembali karena langkah Axelia terhenti. Sekelebat bayangan dalam gelap membuat Axelia semakin menajamkan penglihatannya di tengah malam. Hingga sentuhan lembut di pundak Axelia membuat Axelia terpaku.
"Hmpp, seorang gadis di tengah hutan dan sendirian."
Detak jantung Axelia seakan meledak saat mata merah itu tiba-tiba dengan cepat beralih ke depan tubuhnya.
Ctak! Bunyi dari pertemuan dua jari tangan membuat Axelia mundur. Sebuah api tiba-tiba hidup layaknya lampu dari tangan orang tersebut. Kini, pandangan Axelia semakin tertuju pada sosok di depannya. Seorang pemuda tampan dengan iris merahnya yang juga tengah menatapnya.
"Wow, kau gadis yang cukup cantik," ucapnya lagi.
Axelia hanya diam dan mundur ke belakang. Dukk! Tubuhnya membentur sesuatu hingga tangan asing lagi-lagi menyentuh pundaknya.
"Hati-hati saat berjalan, kau bisa jatuh." bisik seseorang terdengar lembut di telinga Axelia. Axelia langsung menoleh. Menatap pemuda lainnya yang terlihat asing namun juga tampan. Pemuda itu tersenyum samar lalu berjalan melewati Axelia.
"Axenio, bisa kau buatkan api unggun? Dia kedinginan." ucap Leon lagi sambil memerintah Axenio yang masih menyalakan api di tangannya.
"Baiklah, karena untuk gadis yang cantik, aku akan melakukannya." jawab Axenio dengan senyum manis.
Axelia semakin bingung. Sebuah api unggun tercipta cukup cepat hingga membuat Axelia diam terpaku. "Mereka bukan manusia."
"Kau benar, kami bukan manusia." jawab seseorang yang tiba-tiba muncul dan berada di depan Axelia. "Kami semua adalah ... Iblis!" sambungnya lagi hingga membuat Axelia terpaku. Axelia semakin membeku saat menyadari bahwa pemuda yang baru saja mengatakan itu tahu apa yang ia ucapkan di dalam hati.
"Dexter, kau membuatnya takut!" cela Axenio.
Dexter menatap Axelia dengan senyum sinis. "Lagi pula apa yang para manusia lakukan hingga tengah malam masih berada di hutan." Dexter bergabung bersama Axenio dan Leon.
Axelia masih diam terpaku sambil menatap tiga pemuda tampan di depannya. Mereka semua terlihat sangat tampan namun Axelia masih waras karena mereka jelas-jelas tak terlihat seperti manusia. Perlahan kata-kata Arven terngiang di telinga Axelia. Iblis, bahwa dirinya juga termasuk dari mereka. Pemuda-pemuda yang tak jauh darinya.
"Hei, kau tak ingin duduk bersama kami?" tanya Axenio lagi.
Axelia diam. Hingga tiba-tiba sebuah tangan menarik tangannya paksa.
"Biar aku yang membawanya," ucap Revander yang tiba-tiba muncul dan langsung menarik tangan Axelia paksa.
Grep! Satu tangan lagi tiba-tiba menahan tangan Revander. Axelia langsung menoleh takut saat Revander terlihat tak bersahabat.
"Lepaskan," ucap Evard dingin.
"Ohw, wow. Ada apa ini? Evard, sejak kapan kau berada di dunia manusia?" tanya Dexter mendekat.
Evard menoleh dan menatap dingin. Lalu beralih menatap tangan Revander yang masih memegang tangan Axelia. "Lepaskan tangannya, Revander!" ucap Evard lagi penuh penekanan.
"Jika aku tak mau?" jawab Revander tajam.
"Kau menyakitinya, Revander!" kilah Evard dingin. Evard menatap Axelia yang sudah menangis tanpa suara. Detak jantung Axelia berpacu cepat karena rasa takut yang menyelimutinya.
"Hahaha, ada apa denganmu, Evard? Apa kau mengenalnya? Lalu kenapa jika kita menyakitinya? Atau ... membunuhnya?" ucap Revander lagi. Air mata Axelia kian deras saat menyadari keadaan yang tak berpihak padanya.
"Sejak kapan kau membunuh seorang wanita, Revander?" Evard tersenyum dingin namun menatap mata Revander tajam.
Leon yang melihat itu semua bangun dan menghampiri Revander. "Lepaskan gadis manusia ini, Revander. Kau tak lihat? Evard terlihat akan membunuhmu sebentar lagi."
Dexter yang dari tadi diam kini memperhatikan wajah Axelia lebih teliti. Seketika Dexter bangun dan langsung menghampiri Axelia. "Dia ... terlihat mirip dengan Putri Fransya Laqueta."
Kini semua yang berada di situ menoleh. "Siapa?" tanya Revander ingin tahu.
Axenio yang dari tadi duduk langsung ikut mendekat. Melihat wajah Axelia lebih dekat. "Ya ampun, aku baru menyadarinya. Dia benar-benar mirip. Dia mirip dengan tunangan Evard yang telah-"
"Dia bukan dirinya, Axenio! Dia bukan Fransya!" potong Evard tegas.
Revander melepaskan tangan Axelia pelan. Axelia bernapas lega dan langsung mundur ke belakang. Menjauh dari mereka berlima.
"Tapi dia terlihat miri-"
"Dia bukan Fransya!!!" potong Evard kian tegas saat melihat Dexter ingin mengungkapkan kata-kata yang sama.
"Karena dia bukan Putri Fransya, dan aku adalah orang yang menemukannya pertama kali. Maka aku berhak tahu apa yang aku ingin tahu darinya!" Axenio menunjuk Axelia yang diam ketakutan.
"Kau-" Evard mengertakkan giginya.
"Jangan menyela, Evard! Kami ingin tahu tentangnya." Leon terlihat setuju dengan Axenio.
Axenio mendekati Axelia dan tersenyum lembut. "Siapa namamu?"
"A-axelia," jawab Axelia takut.
"Axelia, nama yang cantik. Lalu apa yang kau lakukan disini? Di tengah hutan pada malam hari?" tanya Axenio lagi.
"A-aku-"
"Axelia...! Axelia...!"
Axelia tak melanjutkan kata-katanya saat sebuah seruan dari suara yang sangat ia kenal meneriaki namanya.
"Kay," ucap Axelia lirih.
"Sial! Manusia lain datang. Kita pergi sekarang!" Leon dengan cepat menghilang diikuti oleh Revander.
"Sayang sekali, aku tak bisa tahu banyak tentang gadis cantik sepertimu. Tapi aku senang bertemu denganmu, Axelia." Axenio mendekati Axelia dan berbisik pelan. "Aku sangat berharap bisa bertemu dengan gadis cantik sepertimu. Selamat tinggal," Axenio berlari di tengah gelapnya hutan bersama Dexter lalu menghilang.
Evard menatap Axelia dingin. "Pulanglah, kekasihmu tengah mencarimu." Evard berlalu dari Axelia dengan wajah dingin.
"Terimakasih," ucap Axelia pelan meski tak yakin Evard mendengar kata-katanya.
"Axelia...!"
"Kay...!"
Axelia berlari dan langsung memeluk tubuh Kay erat.
"Kemana kau akan pergi? Kenapa tak datang padaku? Kau baik-baik saja?" Kay mendekap tubuh Axelia khawatir.
"Aku-" Axelia tak melanjutkan kata-katanya dan mengingat semua kejadian yang baru saja ia alami. "Ya, aku baik-baik saja, Kay." jawab Axelia pelan.
"Nenek menunggumu dirumah dengan khawatir. Kita pulang sekarang. Aku tak tahu apa yang kau alami, tapi Nenek sangat menyayangimu, Axelia. Dan kau juga tahu itu." Kay mengusap kedua pipi Axelia lembut.
Axelia mengangguk. "Maafkan aku."
Kay tersenyum lembut dan mencium puncak kepala Axelia. "Kau tahu? Aku sangat mengkhawatirkanmu."
Ingatan Kay melayang saat tiba-tiba jendela kamarnya terbuka. Tak lama kemudian sosok pria yang tak asing masuk dan menceritakan semuanya. Ya, pria itu adalah Arven. Arven tahu bahwa Ratunya akan luluh dengan Kay. Hal lain yang Arven jaga adalah, tak menampakkan diri pada lima Pangeran iblis sebelum kekuatan Axelia benar-benar sempurna.
"Dia orang yang baik. Meski kita mengenalnya dengan sebutan Paman gila yang mesum," ucap Kay dalam hati.
===================================
Pic para pemain lainnya.
See you in next chapter.
=Ellina Exsli=
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top