Kediri dan Jenggala
Suasana balairung Istana Kerajaan Kediri terlihat meriah, tampak dua raja yang bersaudara jauh, duduk berhadapan, dengan di dampingi permaisuri dan selirnya masing-masing.
Tampak juga para patih, tumenggung dan para petinggi dari kedua kerajaan, duduk rapi bersila di lantai dengan menghadap kedua raja mereka.
"Dhimas Kameswara, senang rasanya bisa bercakap-cakap seperti ini dan mengunjungi Dhimas." Raja Erlangga terlihat bahagia setelah lama tidak bertemu dengan saudaranya itu.
"Benar, Kangmas. Sudah bertahun-tahun karena kesibukan mengatur pemerintahan, kita tidak pernah bertemu dan bertatap muka seperti ini." Raja Kameswara penguasa Kerajaan Kediri itu pun terlihat bahagia.
"Maafkan kakang-mu ini, Dhimas. Bahkan aku tidak menengokmu saat kau sakit."
"Tidak apa-apa. Mengetahui bahwa rakyat dari kedua kerajaan hidup makmur dan damai saja, sudah cukup membuatku mengerti bahwa kita saling menghormati."
"Ya, meski keduanya memiliki adat berbeda, ibarat pepatah 'lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya', namun mereka bisa hidup berdampingan."
Sejenak Raja Kameswara memegangi dadanya dan wajahnya terlihat menahan sakit, "karena hal itu pula aku mengundangmu, kakang-ku. Aku sudah lama mengidap penyakit, dadaku sakit, mungkin sebentar lagi aku akan mangkat."
"Jangan berkata seperti itu."
"Benar, Kangmas. Aku juga tidak mempunyai seorang putera sebagai pewaris tahtaku kelak. Karena itu aku ingin menjodohkan puteriku Dewi Sekartaji dengan puteramu, Panji
Asmarabangun, untuk meneruskan tahta kita dan menyatukan kedua kerajaan." Raja Erlangga kembali memegangi dadanya.
Raja Erlangga mendekat dan memegang dada saudaranya itu, "aku setuju dan menghormati keputusanmu, Dhimas."
"Maafkan, hamba, Kakanda Kameswara dan Yang Mulia Paduka Erlangga," Lokasari, selir Raja Kameswara tiba-tiba angkat bicara.
"Ada apa, Dhiajeng?" jawab Raja Kameswara.
"Bukan maksud hamba lancang, tapi Kakanda memiliki dua orang puteri. Alangkah baiknya jika Lokasari pun memiliki kesempatan yang sama, Kakanda."
Wajah Kameswara seketika terlihat kesal, "Dhiajeng Lokasari, kau..."
"Sebentar, Kakanda," Candrawulan, permaisuri Kameswara mencoba menenangkan suaminya itu, "coba dengarkan dulu kata-kata Adinda Lokasari."
"Maafkan hamba, Kakanda," Lokasari menyatukan kedua telapak tangannya dan menunduk di hadapan Kameswara, "saat ini putera raja dan kedua puteri sedang berada di Taman Kusuma (bunga). Mereka pasti akan mengenal satu dengan yang lain, biarlah kita menunggu siapa yang bisa menarik hati Pangeran Panji Asamarabangun dan menjadi pendampingnya."
Sejenak semuanya terdiam dengan ucapan Lokasari. Raja Kameswara menghela napas dan menatap pada Candrawulan, permaisurinya. Candrawulan tersenyum dan menganggukkan kepala, wanita itu terlihat sangat bijaksana.
Raja Erlangga pun hanya tersenyum, seolah ingin mengatakan bahwa segala keputusan ada di tangan Kameswara.
"Baiklah, biar Panji Asmarabangun yang memilih, dan jika dia sudah memutuskan siapa yang akan dipilihnya, tidak ada yang boleh menghalanginya."
"Terimakasih, Kakanda. Jika pun pangeran memilih Sekartaji, hamba pun turut senang." Lokasari menundukan kepalanya lagi lebih dalam, sepintas senyum licik menghiasi wajahnya.
...
Dhimas : panggilan kepada adik laki-laki.
Kangmas : panggilan kepada kakak laki-laki.
Dhiajeng : panggilan untuk perempuan yang lebih muda, atau biasanya panggilan lelaki untuk wanita yang disayangi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top