PROLOG

Andante itu adalah sebuah tempo musik. Artinya irama lagu seperti orang berjalan. Nggak cepat, juga nggak lambat. Alon alon asal kelakon kata orang jawa. Slowly but sure kata wong Inggris.

Sama dengan hubungan Nina dan Matt. Pelan dan tanpa sadar. Tahu tahu sudah ada rasa saling membutuhkan. Saling merasa ada yang kurang bila tak bertemu. Saling meminta pendapat bila memutuskan sesuatu.

Seperti biasa, update bisa kalian cek di IG saya, Masdaginting.

Dan rules dilapak saya masih sama. Yakni :

1. Jangan mengomentari Typo.

2. Tidak ada kalimat saling memaki, pembicaraan menyangkut SARA, dan juga kata kata yang tidak pantas.

3. Jangan tanya apa agama tokohnya. Karena agama adalah sebuah privasi. Dan saya tidak mau ada orang ribut dan saling serang dilapak saya hanya karena sebuah cerita khayalan!

Silahkan lakukan tiga hal diatas kalau anda mau saya blok. Saya gak akan ngomong dulu, tapi tiba tiba anda sudah tidak bisa membuka akun saya.

Saya galak? YA! Karena ini adalah lapak saya. Dan saya juga harus membuat pembaca saya yang lain merasa nyaman.

🌷☘🌷☘🌷☘


Ruang meeting  Sudargo Building dipenuhi oleh beberapa orang  anak muda dari Kalyanamitta. Karenina Athalla sang Executive Director ditemani oleh Adinda Senior Technical Advisor, Danielle, General Secretary dan yang terakhir Abindara seorang Treasurer.

Mereka berhadapan dengan Seorang pria berusia tiga puluh lima tahun bernama Matthew Wiratama. Sebagai perwakilan dari pihak Sudargo. Putra pertama Bragy Wiratama. Yang akan mengucurkan sejumlah dana bagi beberapa proyek KalyanaMitta. Yakni penanaman kembali bibit bakau dibeberapa titik pantai utara pulau jawa.

Nina, nama kecil dari Karenina bukan orang baru dibidang ini. Meski usianya masih dua puluh tahun. Namun ia adalah perempuan cerdas yang sudah bergabung dengan beberapa yayasan semenjak berusia enam belas. Kebetulan semua adalah yayasan milik keluarga papinya. Hanya saja ia merasa memiliki passion dibidang pelestarian lingkungan hidup. Daripada pendidikan. Ia adalah putri pertama dari Attalla. Sang politikus ulung.

Setelah memaparkan tentang proyek mereka melalui slide. Ia bertanya pada Perwakilan dari Sudargo sambil tersenyum.

"Apakah masih ada pertanyaan pak?"

Matthew yang sedari tadi diam, akhirnya membuka suara.

"Berapa hektar target kalian untuk tahun ini?"

"Sepuluh  hektar pak. Dipusatkan pada beberapa titik yang memiliki kerusakan  sangat parah." Jawab Nina lugas, meski hatinya sedikit kesal. Karena tadi hal tersebut sudah dijelaskan.

"Berapa lama bisa kita dapat hasilnya? Apa manfaat bagi penduduk sekitar nanti."

"Bakau adalah tanaman yang  membutuhkan waktu cukup lama untuk tumbuh tinggi. Dalam sepuluh tahun, biasanya mereka hanya tumbuh  sekitar satu meter.  Ini jelas bukan hanya proyek untuk kita, tetapi juga untuk anak cucu kita nanti. Merekalah yang akan menerima manfaat kelak. Karena hutan Manggrove  adalah surga bagi ikan  burung, kerang, kepiting dan banyak lagi satwa laut. Selain itu juga untuk mencegah Abrasi akibat dari naiknya permukaan laut."

"Apa kamu menjamin bahwa dalam waktu dekat daerah tersebut aman dari investor dibidang pariwisata atau tambak udang, misal? Jangan sampai nanti saat kita mulai menanam mereka malah membangun resort disana! Dan apa ada jaminan bahwa bibit yang kita tanam nanti tidak dirusak oleh orang yang tidak suka?"

Nina diam sejenak. Lawan bicaranya adalah pria tangguh. Yang harus yakin dengan setiap rupiah yang keluarkan.

"Pihak KalyanaMitta sudah menghubungi camat setempat. Dan mereka mengatakan kalau daerah  tersebut aman pak. Tidak ada rencana pembangunan apapun disana. Termasuk tambak. Juga masyarakat setempat sudah menyatakan dukungan untuk kegiatan ini."

Matt kembali mengangguk. Kemudian berbisik pada pak Munthe director of Corporate Social Responsibility di Sudargo.

"Baik, terima kasih atas kehadiran kalian. Kami bangga bahwa masih ada anak muda seperti kalian yang peduli pada lingkungan hidup. Proposal dan pemaparan kalian akan menjadi pertimbangan kami. Minggu depan,  akan kami kabari mengenai angkanya." Ujar pak Munthe.

Nina tersenyum lebar. Kemudian ia memimpin timnya untuk berdiri. Mereka membungkukan badan sebagai sikap hormat terhadap para petinggi Sudargo tersebut. Matthew ikut berdiri dan menyalami mereka satu persatu.

"Kamu putrinya pak Athalla?" Tanya Matt saat Nina menyalaminya.

"Iya pak."

"Tapi papamu berkonsentrasi dibidang pendidikan. Kenapa kamu malah memilih konservasi alam?"

"Ikut mami pak.  Beliau aktif dibeberapa yayasan pemerhati lingkungan bidup."

"Oh ya, saya tahu. Kebetulan saya juga mengenal ibu Andhara. Nina kita makan siang bareng dulu sama teman teman kamu.  Ini sudah hampir lewat jam makan siang."

"Waduh, saya jadi nggak enak pak." jawab Nina.

"Nggak apa apa. Sama pak Munthe juga kok. Di kantin perusahaan."

Nina menatap teman temannya minta persetujuan. Segera semua mengangguk. Karena mereka juga sudah kelaparan.
.
.
.

Nina menghilang sebentar saat mereka semua sudah sampai di kantin. Ia kembali dengan membawa sebuah wadah makanan tertutup. Saat dibuka, aroma rendang segera menguar. Setelah menawarkan terlebih dahulu pada Matt dan pak Munthe. Ia membagikan makanan tersebut pada rekan rekannya.

"Buatan ibu kamu?" Tanya Matt

"Kok bapak tahu sih, saya memang nggak bisa masak. Iya pak, mami tipikal ibu yang selalu takut anaknya kurang gizi. Kemarin waktu tahu saya akan rapat disini. Langsung dibuatkan bekal. Karena biasanya kami selalu punya nasi di kantor."

Matt tertawa mendengar ucapan Nina.

"Apa ibu kamu tidak bekerja?"

Nina menggeleng. "Ibu rumah tangga sih. Tapi sibuk juga dibeberapa yayasan. Cuma beruntungnya, mami selalu ada di rumah kalau pagi dan sore. Hanya kadang kadang aja keluar malam  saat menemani papi menghadiri acara."

"Mama saya juga suka masak, dan sering mengirim makanan ke kantor." Balas Matt

"Oh ya? Kayaknya semua ibu sama ya pak. Takut anaknya kelaparan. Meski kita sudah bisa nyari makanan sendiri."

Matt kembali tertawa. Untuknya jawaban Nina itu lucu. Polos tapi benar. Meski ia sudah dewasa. Mamanya selalu takut kalau ia kelaparan. Dan tidak jarang mengirim makanan ke apartemennya pada akhir minggu.

***

Nina memasuki rumah sambil melompat senang. Senyumnya bertambah lebar saat melihat sang ayah sudah berada di ruang tengah.

"Papii!" Teriaknya sambil berlari kemudian memeluk Athalla dari belakang.

"Hei, sudah pulang?" Tanya papinya.

"Udah." Jawab Nina sembari duduk disamping pria kesayangannya.

"Gimana rapatnya tadi?"

"Baik, kayaknya mereka akan acc sih. Tadi juga pak Mathew sama Pak Munthe kelihatannya tertarik."

"Papi senang, kalau kamu berhasil meyakinkan mereka. Menjaga kelestarian lingkungan adalah hal yang baik. Banyak orang sebenarnya tertarik. Hanya saja mereka tidak tahu bagaimana caranya."

"Iya sih pi, kalau semua disetujui. Aku sama beberapa teman akan kesana. Ketemu sama pak camat dan kepala desa. Menentukan tanggal mulai kegiatan."

"Papi bangga sama kakak."

"Aku juga bangga jadi anak papi." Balas Nina sambil mencium pipi papinya. "Aku mandi dulu ya pi." Bisiknya kemudian.

"Ok, papi tunggu untuk makan malam ya. Mamimu masak itu."

Nina melangkahkan kaki menuju kamarnya. Kemudian mandi dan tiduran. Ia sangat lelah sepanjang hari ini. Untuk menyiapkan presentasi dengan pihak Sudargo tadi. Saat memejamkan mata kembali terbayang dengan wajah Matthew tadi.

Ya  pria itu sangat terkenal dikalangan teman teman sosialitanya. Duda beranak satu. Bertangan dingin dalam membangun sebuah bisnis. Apapun itu! Entah kenapa Nina merasa tertarik. Matthew berbeda dengan beberapa orang anggota keluarga Wiratama yang dikenalnya. Kulit pria itu terlihat lebih gelap, dengan rambut yang hitam legam. Serta sorot mata tajam dan dingin.

Kalau saja ia tidak bertemu sebanyak dua kali. Maka Nina akan mengiyakan seluruh kalimat teman temannya. Bahwa Matthew adalah pria paling cool dan tak tersentuh. Karena menurutnya, pria itu justru suka ngobrol dan becanda. Bukan rahasia kalau banyak perempuan yang mengejarnya. Entah, apakah sekarang pria itu in relationship atau masih available.

Nina akhirnya menggelengkan kepala. Tidak layak ia memikirkan pria matang tersebut. Laki laki yang lebih pantas menjadi omnya. Entah karena kelamaan menjomblo, kepalanya sedikit Hang!

***

Matthew baru saja memasuki rumah, saat  Sidney baru saja selesai melakukan yoga.

"Kakak sudah pulang? Tumben mampir?"

"Kangen sama mama, papa mana ma?" Jawab Matt sambil mengecup pipi mamanya. Mengabaikan tubuh Sidney yang masih berkeringat.

"Masih di rumah Bryan. Mau ngobrol katanya tadi."

Mereka sekeluarga besar memang tinggal di kompleks yang sama. Jadi tidak sulit untuk saling mengunjungi. Matt akhirnya memilih tiduran di sofa berwarna hijau favorit mamanya.

"Mandi dulu gih kak?" Perintah Sidney.

"Bentar lagi ma, masih capek."

"Rani, tolong buat teh untuk Matt." Terdengar perintah mamanya kepada salah seorang asisten.

"Kata papa besok kamu harus keluar kota ya."

"Iya ma, mau ke arah sumatera."

"Sam bagaimana kabarnya?"

Tubuh Matthew menegang sejenak. "Belum tahu, sudah dua minggu nggak ketemu. Dibawa mommynya liburan ke Eropa katanya."

"Kalian nggak telfonan?" Tanya Sidney dengan nada hati hati.

Matt menarik nafas panjang. "Nggak ma, nomor Jessi nggak aktif. Tapi waktu aku tanya ke Kay katanya sehat."

Mamanya menarik nafas panjang. Mantan menantunya itu memang sangat membatasi akses putranya untuk bertemu. Selalu memiliki banyak alasan untuk memisahkan mereka. Pada awalnya Matt bersikap keras. Bahkan sampai membawa masalah itu ke pengadilan. Namun, setahun terakhir, tampaknya putra sulungnya sudah lebih tenang. Membiarkan saja Jessi melakukan yang diinginkan.  Serta memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan.

Tak lama mata Matt sudah terpejam sempurna. Sidney memilih memasuki area dapur.

"Kita masak apa bu?" Tanya Ratna pembantunya.

"Masak asem asem sapi sama cah sayur aja ya mbak. Jangan lupa tempe sama tahu goreng kesukaan Matt. Dan tempura sayur untuk papanya."

Ratna mengangguk dan segera mempersiapkan bahan masakan. Sementara  Sidney memilih kembali ke kamar. Saat melewati Matthew yang sudah terlelap, ia berhenti sejenak. Kasihan pada garis hidup putranya. Menikah karena terpaksa, akibat ulah Jessi yang mencekokinya dengan obat perangsang. Kemudian harus bercerai dan berpisah dengan putra semata wayangnya.

Beruntung hal tersebut tidak membuat Matt down. Putranya masih bisa terlihat kuat. Namun ia yakin, didalam hati pasti Matt merasa kesal dan marah. Namun ia sudah biasa menahan emosi. Pengendalian dirinya memang sangat baik. Berusaha mengabaikan pikirannya Sidney melangkah ke kamar. Ia mau mandi, agar tubuhnya lebih segar.






Akhir September 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top