6

Tubuh Matthew lemas seketika saat mendengar keterangan dokter bahwa ada cairan dalam paru paru Sam. Namun ia berusaha terlihat tenang. Jauh berbeda dengan Jessi yang bahkan pingsan.  Ditatapnya wajah putra sulungnya yang tertidur pulas.

Beberapa kali putranya panik karena sesak nafas. Bukan hal mudah untuk menenangkan seorang anak kecil seusia putranya. Apalagi menerangkan bagaimana fungsi berbagai peralatan medis yang kembali harus terpasang ditubuhnya. Ingin rasanya Matt menggantikan posisi Sam.

Sementara saat mantan istrinya sudah sadar. Kembali perempuan itu menangis. Menyalahkan dirinya sendiri.

"Aku yang salah, membiarkannya berenang sendirian."

"Berhentilah menyalahkan diri sendiri. Ini saat memberi semangat pada Sam. Dia tidak membutuhkan penyesalan kita." Ujar Matt.

Ia sendiri sangat letih. Dengan beban kerja yang begitu tinggi. Matt merasa kurang istirahat. Lalu sekarang harus menghadapi sakitnya Sam lagi. Dengan sebuah tablet sekaligus ponsel ditangan ia memberikan perintah kepada beberapa staffnya.  Berusaha melakukan pekerjaannya dari rumah sakit.

Sebagian selesai pada waktu hampir tengah malam. Ditatapnya Jessi yang tertidur di ranjang pasien. Perlahan Matt membetulkan letak selimut mereka berdua. Putranya juga pulas dalam pelukan sang bunda. Ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Jessi. Kadang tuntutan pertemanan dijaman sekarang memang seperti ini. Apalagi dalam lingkungan Jessi.

Mantan istrinya itu tidak pernah punya teman dekat selain Kay. Meski akhirnya  mereka harus berseberangan akibat kegagalan pernikahan Matt dan Jessi. Semua tidaklah lagi sama. Masalah dimasa lalu menghancurkan hubungan mereka bertiga.

Ditatapnya wajah Jessi kembali. Ia tahu bahwa perempuan itu  hanya butuh teman. Sayangnya ia salah memilih teman. Sehingga terjerumus dalam kehidupan malam yang tak terbatas. Dari dulu Jessi sangat mudah terpengaruh.

Matt memejamkan mata sejenak. Tiba tiba ia teringat Nina. Sedang apakah gadis itu sekarang? Ada keinginan untuk menghubungi putri sulung politikus terkenal tersebut. Entah kenapa sepertinya ia butuh keceriaan dan sikap apa adanya Nina. Ditengah berbagai kekisruhan dalam hidup yang mendera akhir akhir ini.

Tapi akhirnya ia mengurungkan niatnya.

***

Nina duduk diantara meja yang sebagian besar penuh. Ya, dijam makan siang seperti ini. Adalah wajar kalau kursi sebuah restoran akan penuh. Semua orang butuh makan untuk melanjutkan hidup. Sambil menunggu pesanan datang, pandangannya terarah pada sebuah televisi besar. Yang menayangkan wajah ayahnya tengah diwawancarai.

Nina tersenyum kecil. Papi memang sangat tampan dan cerdas. Oleh karena itu banyak sekali penggemarnya. Ia tahu, berkali kali perempuan dengan sengaja mendatangi kantor papinya. Atau menghubungi ponsel pribadinya. Para perempuan itu jelas jelas cantik. Tapi sayang, papinya tidak bergeming. Mami tetap menjadi nomor satu dihatinya.

Kelak, ia ingin mendapatkan pria seperti itu. Yang sangat mencintai dan setia padanya. Teringat kembali akan Matthew. Entah dimana pria itu sekarang. Selalu seperti ini. Datang dan pergi sesuka hatinya. Kadang menchatnya dengan intens. Tapi kadang juga kabur tanpa jejak seperti sekarang.

Bukannya ia tak pernah mencoba menghubungi. Tapi rasanya pasti sangat memalukan. Bila seorang perempuan berkali kali menghubungi seorang pria namun tidak direspon. Jika pria itu mengetahui perasaanya. Bisa apa Nina kalau nanti ditolak? Dianggap anak kecil? Lamunannya terhenti saat seorang waitress menghampiri mengantarkan pesanannya.

Nasi putih hangat, ayam woku, bakwan jagung, tumis sayur adalah pilihannya siang ini sebelum melanjutkan aktivitas. Hari ini terakhir ia bebas. Mulai besok, ia harus kembali sibuk mendaftarkan S2.  Sesuai harapan papi dan maminya. Kembali ditatapnya wajah sang ayah dilayar televisi. 

Makan yuk pi bisiknya dalam hati. Kadang ia merasa kesepian disaat seperti ini. Entah kenapa akhir akhir ini Nina merasa jiwanya kosong. Entah mungkin karena seseorang yang ia tunggu. Tidak pernah menghubunginya lagi.

***

Pelan Nina menjalankan mobil pulang ke rumah. Tadi ia sudah menyerahkan berkas pendaftaran. Rasanya ia malas pulang ke rumah. Adiknya Adri sudah mulai sekolah di Singapura. Tinggal ia, Rangga dan kedua orang tuanya. Saat hampir melewati Sudargo Building ia menatap gedung itu. Apakah pak Matt disana? Tanyanya dalam hati. Tepat saat itu ponselnya berdering.

Seketika jantung gadis itu berdegup kencang. Apakah ini adalah pertanda Tuhan? Matthew  menghubunginya.

"Ya pak."

"Apa kabar Nin?"

"Baik pak, ada apa ya bapak telfon saya?"

"Lunch bareng yuk."

Ajakan yang tiba tiba itu membuat dada Nina berdebar. Ada apa ini? Kok tiba tiba mengajak lunch bareng? Apa nggak salah dengar?

"Maaf pak? Bapak yakin?"

"Ya yakin dong. Kamu dimana?"

"Lagi bawa mobil di depan kantor bapak."

"Ya sudah, kamu masuk aja sekarang. Mau pakai mobilku atau mobil kamu?"

"Mobil saya aja pak."

"Ok, kamu tunggu saya diparkiran ya. Pakai mobil apa?"

Nina menyebutkan merk dan warna mobilnya. Baru kemudian memasuki parkiran gedung perkantoran berlantai dua puluh tersebut. Kali ini dia berhadapan dnegan pria keturunan Wiratama. Sebuah nama keluarga yang cukup membuat banyak orang tercengang. Mereka memiliki lahan bisnis yang luas. Mulai dari hotel, resort, televisi, wahana permainan bertaraf internasional. Dan banyak lagi.

Meski Nina juga sebenarnya bukan berasal dari keluarga biasa saja. Namun jelas, keluarga papa Nina tidak sekaya mereka. Juga kakeknya dari pihak almarhum ibunya. Mereka semua keluarga pebisnis. Sayang gadis itu sama sekali  tidak tertarik memasuki dunia tersebut.

Memasuki area parkir ia segera dipandu oleh seorang sekuriti. Untuk memarkirkan mobilnya di area petinggi perusahaan. Nina sempat membaca beberapa nama jabatan terpampang disana. Mungkin Matt sudah menghubungi para bawahannya. Pikir gadis itu.

Tak lama,  pria yang ditunggu muncul. Mengenakan kaos polo berwarna hitam. Dan jeans abu abu. Tampilan Matt tidak seperti orang kantoran. Meski  jelas ia keluar dari gedung tersebut. Langkah panjang itu segera menghampiri mobil Nina.

"Maaf Nin, lama nunggu?"

"Enggak kok pak." Jawabnya sambil keluar dari mobil.

"Kita pakai mobil saya saja ya. Maaf saya nggak biasa pakai matic"

Nina hanya tersenyum sambil mengangguk. Matt segera memimpin langkah mereka menuju sebuah sebuah mobil  Lexus NX 300F sport. Dengan gentle pria itu membukakan pintu mobil untuk sang gadis. Baru kemudian menyusul.

Saat mereka memasuki jalan raya, Nina berkata.

"Mobil bapak wangi."

Matt tertawa mendengar pujian itu.

"Kata orang mobil pria lebih wangi daripada kamarnya. Dan mobil perempuan lebih berantakan dibanding kamarnya. Bener nggak sih menurut kamu?"

Nina ikutan tertawa. "Sebagian sih bener pak. Biasanya kan cowok lebih sibuk mandiin mobil. Meski kadang sang empunya mobil malah nggak mandi mandi."

"Iya sih, mungkin karena mobil itu kecil ya. Jadi kami perhatiin banget. Kalau rumah kan luas trus pernak perniknya banyak."

"Ya, dan kami perempuan merasa nyaman diantara barang barang pribadi yang kami sukai. Termasuk tas, baju dan sepatu di dalamnya. Sehingga kemana pun kami pergi benda benda itu selalu ikutan."

"Ya kalian sering repot sendiri kalau harus menghadiri berbagai acara. Sedangkan kami, memakai kemeja yang sama dari pagi sampai malam juga nggak masalah. Kalau perempuan pasti mandi, atau setidaknya ganti pakaian dulu."

Mereka berdua akhirnya tertawa bersama.

"Kita makan dimana pak?"

"The Terrace. Saya sudah reservasi tadi. Kamu suka?"

"Suka kok pak."

Mobil itu akhirnya melaju ke arah Senayan diantara padatnya jalanan ibukota. Matt fokus dengan stirnya sementara Nina sesekali mencuri pandang.

"Kenapa Nin?" Tanya Matt tiba tiba. Membuat pipi gadis itu memerah seketika.

"Apa nggak ada yang marah kalau saya makan siang sama bapak?"

Pria itu menarik nafas dalam. Akhirnya pertanyaan itu muncul juga.

"Saya single sekarang. Pernah menikah, namun akhirnya kami bercerai.  Saya punya anak laki laki berumur empat tahun. Namanya Sam."

"Oh iya, saya ingat. Waktu tanam bakau dia ikutan kan pak?"

"Ya, tapi pulang duluan bersama orang tua saya."

"Kamu?" Tanya Matt balik.

"Saya single pak."

"Sykurlah, karena saya takut juga kalau tiba tiba nanti ada cowok yang menghentikan mobil saya. Dan ngajak berantem karena pacarnya saya ajak makan siang."

Nina tertawa, ia suka pada selera humor pria disampingnya ini.  Tak terasa mereka sampai di The Terrace. Segera keduanya turun dan memasuki area restoran. Setelah duduk dan memesan makanan, Matt kembali berkata.

"Saya sudah ingin mengajak kamu lunch dari dua minggu lalu. Hanya saja karena kesibukan. Dan tiba tiba Sam mengalami sedikit kecelakaan. Sehingga saya harus mengunjungi Sam."

Nina kembali mengangguk. "Bagaimana keadaan Sam sekarang?"

"Sudah lebih baik, terdapat banyak cairan di paru parunya   kemarin. Tapi sudah disedot."

"Sorry."

"Nggak apa apa. Saya merasa bersalah. Seandainya setiap weekend kami bisa bersama."

"Memang awalnya kenapa?"

"Dia tenggelam di kolam renang hotel."

Nina menarik nafas dalam. Rasanya tidak baik jika ia bertanya lebih lanjut.  Meski jujur ia sangat penasaran. Kenapa anak sekecil itu bisa mengalami kejadian buruk di area umum.

"Maaf, saya jadi cerita yang tidak menyenangkan."

"Nggak apa apa pak."

Matt menatap Nina. Gadis ini terlihat berbeda. Jauh lebih dewasa daripada usianya. Mungkinkah karena jalan hidup yang penuh liku seperti yang pernah diceritakannya?

Dan entah kenapa juga, ia merasa nyaman saat bercerita pada Nina. Tanggapan gadis ini sangat dewasa. Tidak seperti gadis seusianya pada umumnya. Tak lama pesanan mereka datang.

"Kamu suka jamur?"

"Iya pak, makanan favorit saya. Karena kurang suka daging."

"Saya juga, lebih suka makan sayur. Meski nggak pernah tertarik menjadi vegetarian."

Mereka saling tersenyum dan melanjutkan makan siang.

"Tadi kamu mau kemana?"

"Muter muter aja pak. Tadi habis antar berkas pendaftaran untuk S2. Habis itu nggak tahu mau kemana.  Rumah sepi. Karena adik saya sudah mulai sekolah di Singapura. Nggak tahu mau kemana."

"Untung saya telfon ya. Jadinya saya punya teman makan siang. Terima kasih ya Nin."

"Sama sama pak. Habis ini bapak kemana?"

"Balik ke kantor. Menyelesaikan beberapa pekerjaan. Membaca laporan menerima tamu. Ya seperti itu lah."

"Pasti menyenangkan ya pak."

"Lebih menyenangkan makan siang sama kamu sih sebenarnya." Jawab Matt dengan serius.

Nina tersipu mendengar jawaban itu.

"Kita pulang sekarang?"

Gadis itu mengangguk.

Mereka segera keluar dari restoran tersebut. Meski beberapa kali langkah keduanya harus terhenti. Karena ada yang menyapa Matt. Saat sudah tiba di area kantor, pria betubuh tinggi itu kembali bertanya dengan nada serius.

"Boleh saya minta sesuatu?"

"Ya pak."

"Jangan panggil saya bapak kalau kita lagi jalan berdua. Rasanya jadi seperti ada jarak."

Nina hanya tertunduk malu, ia tidak menjawab. Namun buru buru keluar dari mobil pria itu. Sementara Matt tersenyum lebar. Ia tahu gadis cantik itu akan mempertimbangkan kalimatnya. Mengingat semburat merah selalu terpancar diwajah putri sulung Athalla. Rasanya siang yang sangat panas ini tiba tiba terasa sejuk.

"""

Selamat pagi...

Awalilah harimu dengan yang manis manis

Seperti Nina dan Matt

Maaf untuk typo

Happy reading

210kt19

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top