4


Saya galak yaa..

Iya sih...😍😍😍😍

🌿🌼🌻🍀

Nina masih diam, Matt menyerahkan sapu tangan miliknya.

"Terima kasih." Ucap putri sulung Athalla tersebut pelan.

"Atau kamu mau cerita ditempat lain? Karena disini mulai ramai?"

Kali ini Nina mengangguk.
.
.
.
Maka disnilah mereka berada. Diantara lautan kendaraan yang memadati jalanan ibukota. Karena bertepatan dengan jam orang pulang kantor. Nina masih menangis, kali ini ia tidak malu malu lagi. Matt masih membiarkannya.

"Kamu kenapa hmm?"

"Hari ini tepat enam belas tahun ibu saya meninggal."

"Maaf, saya turut berduka cita. Lalu?" Matt mengucapkannya dengan nada menyesal.

"Awalnya saya ingin ikut mengunjungi tempat penyimpanan abu mami. Tapi malas, karena selalu ribut dengan tante saya. Beliau tidak suka saya tinggal bersama papi dan ibu sambung saya. Karena menurutnya mami Andhara yang menyebabkan ibu saya meninggal."

Matt hanya mengangguk menunggu Nina bercerita lebih lanjut.

"Padahal saya tahu, kalau itu bohong. Tapi saya tidak mungkin mematahkan argumennya ditengah keluarga ibu saya. Karena berarti saya mengungkit kejadian yang sangat memalukan. Padahal saya sangat merindukan mereka pak."

"Kamu bisa mendoakannya. Dan pergi kesana setelah acara. Kan tidak harus ketemu." Ujar pimpinan tertinggi Sudargo tersebut pelan.

"Tempat penyimpanan abu ibu saya berada dalam blok keluarga pak. Dan saya tidak mungkin kesana tanpa sepengetahuan mereka."

"Ya, kan kamu tetap bisa kesana. Tidak dilarang sama orang tua kan?"

"Tapi males dengerin omongan."

"Kamu nggak cerita ke orang tua kamu?"

Nina menggeleng. "Enggak, takut mereka sedih. Nggak seharusnya saya menambah masalah mereka. Makasih ya pak, udah dengerin saya."

Matthew mengangguk. "Merasa lebih baik?"

Gadis itu menarik nafas panjang, kembali menggeleng. "Saya kangen sama mami." Dan isak itu kembali terdengar.

Akhirnya Matthew menarik Nina kedalam pelukannya. Tangannya mengelus rambut gadis yang dikenalnya sebagai sosok kuat selama ini. Lama kemudian sampai Nina tersadar.

"Maaf kemeja bapak basah."

"Nggak apa apa."

"Bapak enak ya, nggak perlu mengalami hal seperti saya."

Matt tersenyum kecil. "Kita nggak jauh berbeda kok. Saya juga dibesarkan oleh ibu sambung."

Seketika putri pertama Athalla itu melepaskan pelukannya.

"Apa dia baik?"

"Baik sekali malah. Tidak seperti yang ada dalam cerita dongeng. Sama dengan mami kamu."

"Ibu bapak masih ada?"

Kini giliran Matt yang terdiam. Sulit rasanya menceritakan sesuatu yang selama ini ia pendam sendirian. Karena pertanyaan Nina pasti berlanjut.

"Masih."

"Apa dia baik?"

"Ya." Jawab pria itu akhirnya.

"Bapak beruntung, masih bisa melihat mami bapak. Saya sudah kehilangan sejak kecil."

Ada, tapi tak pernah terasa Nin.

"Masih sedih?"

"Sudah lebih baik pak."

"Karena itu kamu duduk sendirian disana tadi? Nyari tempat untuk bengong?"

Nina tertawa sambil mengangguk.

"Ngomong ngomong kamu udah makan?"

"Belum sih." Jawab gadis itu malu malu.

"Makan yuk." Ajak Matt kemudian.

Nina segera mengangguk. Sementara Matthew juga bisa tersenyum. Kadang mendengar cerita kesusahan orang lain, bisa membuatnya merasa lebih baik. Karena tidak ada kehidupan yang benar benar sempurna. Kembali menjalankan mobilnya, dan mencoba mencari tempat makan malam bersama seorang Nina disampingnya. Membuat pria itu memiliki pemikiran lain pada akhirnya.

***

Memasuki rumah, Nina merasa jauh lebih baik. Ia disambut Andhara di depan pintu.

"Diantar siapa kak?" Tanya Andhara heran. Karena putrinya hampir selalu membawa mobil sendiri.

"Temen mi."

"Itu tadi papi kamu nanya, kenapa nggak bawa mobil."

"Oh, tadi aku males nyetir. Trus minta staff di yayasan buat jemput."

"Ya sudah, mandi dulu gih, kamu sudah makan?"

"Sudah, mami?"

"Sudah juga."

"Kok mami belum tidur?"

"Papi belum pulang, sekalian nungguin."

"Setia amat mi." Goda Nina

"Kan mami istrinya, ya harus setia sama suami. Kamu juga nanti harus gitu."

"Ngobrol di kamarku aja yuk mi. Udah lama nggak ngobrol bareng."

Andhara segera memeluk pundak putrinya dan mengiyakan. Ia memang sangat dekat dengan Nina. Entah karena mereka sama sama perempuan. Sering berbagi cerita ataupun kesukaan. Sesampai di kamar, gadis itu langsung mandi. Namun tidak lama kemudian ia selesai dan meletakkan kepala dipangkuan maminya.

"Mi."

"Ya?"

"Dulu mami waktu lihat papi pertama kali. Langsung naksir nggak sih?"

"Naksir sih enggak, cuma suka aja. Kan papi kamu tuh perpaduan antara pintar dan ganteng. Jadi semua perempuan pasti melirik."

"Terus?"

"Ya gitu deh, kami tambah dekat karena sama sama disenat. Dan kemudian papi kamu kasih perhatian lebih."

"Maksudnya?"

"Suka ngantar pulang. Ngajakin makan bareng. Nungguin mami sampai selesai kuliah."

"Papi dulu posesif nggak sih mi?"

"Banget. Sampai sekarang juga kan? Kamu kok nanya gitu? Ada yang ditaksir lagi?"

Nina tertawa kecil. "Belum ketahap itu lah mi. Cuma nyaman aja jalan sama dia. Lagian aku nggak boleh ge er. Kayaknya dia banyak yang naksir."

"Siapapun dia, semoga kamu mendapat yang terbaik. Mami akan bahagia melihat kamu bahagia."

"Mi, kok mami baik sih sama aku?"

"Kok nanyanya gitu?"

"Meski aku bukan anak kandung mami? Dan mamiku pernah menghancurkan rumah tangga mami?"

Andhara menarik nafas dalam.

"Kamu hadir, saat mami ingin sekali punya anak. Kamu sekarang, sama persis dengan kamu yang dulu. Selalu nurut dan sayang sama mami. Nggak ada alasan buat mami harus membenci kamu. Lagian kalau soal mami kandung kamu, itu kan masa lalu. Mami dan papi sudah sepakat untuk menutup semua."

"Mi."

"Ya?"

"Menurut mami, kalau cowok yang kita taksir jauh lebih tua. Akan jadi masalah nggak dalam sebuah hubungan?"

Andhara tersenyum samar mendengar pertanyaan tersebut. Ia mulai mengerti arah pembicaraan putrinya.

"Seharusnya sih enggak, kan cowok yang usia matang itu suka ngemong biasanya. Dan udah nggak labil lagi. Cuma ya siap siap aja. Biasanya mereka nggak seromantis kekasih yang seumuran sama kamu."

"Menurut mami cowok romantis itu gimana sih?"

"Kayak papi kamu."

"Ah, mami mah. Nggak ada cowok lain apa selain papi."

"Ya kan pacar mami cuma papi kamu."

"Kalau om Eru?"

"Hussh, jangan sebut nama dia di depan papi. Habis nanti kamu dipelototin."

"Aku penasaran."

"Eru baik, eh ngomong ngomong siapa sih cowok yang kamu taksir?"

"Ada deh mi. Nanti aja kalau udah jadian. Aku bakal ngomong. Tapi nggak tahu kapan."

"Hati hati ya kak. Jaga diri baik baik. Dengan siapapun nanti kamu pacaran. Jaga nama baik keluarga kita. Jangan aneh aneh. Ingat pekerjaan papi."

"Pasti mi. By the way papi kemana?"

"Ada pertemuan dengan sesama teman di fraksi katanya tadi."

Nina hanya mengangguk. Bukan hal aneh bagi mereka kalau Athalla pulang sangat larut.

****

Matthew memasuki rumah kedua orang tuanya. Tubuhnya letih setelah seharian berada diluar kantor.

"Kamu darimana saja? Tadi nggak ke kantor?" Tanya Bragy saat mereka bertemu di ruang tengah.

"Ke kantor pa, tapi cuma sebentar."

"Habis itu kemana kamu?"

"Muter muter aja. Lagi suntuk."

"Itu yang resort di Lampung bermasalah ya. jangan terlalu dipikirkan. Boleh lah kamu istirahat sebentar. Tahun ini belum ada ambil cuti kan?"

Matt hanya tersenyum. Tidak ada yang tahu masalahnya. Dan itu jauh lebih baik.

"Oh ya Kay besok kesini. Kamu pulang ya. Sudah lama kalian tidak ketemu."

Tanpa menjawab, putra sulung Bragy itu langsung menaiki tangga. Ia paling malas kalau sudah membahas tentang Kay. Hubungan mereka tidak pernah baik lagi. Entahlah, setelah dewasa begitu banyak masalah yang membuat kakak beradik itu berbeda pendapat. Meski semua berawal dari keputusan Matt untuk bercerai dengan Jessi. Suatu hal yang sangat ditentang oleh Kay. Namun akhirnya sang adik tidak bisa berbuat apa apa.

Memasuki kamarnya semasa masih lajang. Matt terpekur. Sudah banyak sekali kejadian dalam hidupnya yang dihabiskan di kamar ini. Bahkan ia tidak pernah pindah sejak tinggal disini. Kamar yang menghadap ke kolam renang belakang rumah. Dinding tempat ini menjadi saksi bagaimana perjalanan hidupnya. Kesedihan, kegagalan dan kekecewaan.

Tahun berganti, namun rasa sakit itu tetap membekas. Rasa diabaikan, dibuang dan banyak lagi. Saat dimana dulu ia masih cengeng. Dan menangis saat Kay bercanda dengan papa dan mamanya. Ia cukup sadar diri, untuk tidak mengganggu kebersamaan mereka dengan alasan belajar.

Pada akhirnya Matt menyesali keputusannya untuk pulang kemari. Jujur, ia rindu ngobrol dengan papanya. Tapi pembicaraan yang menyangkut Kay tadi menghilangkan keinginan tersebut. Sambil melepas seluruh kancing kemejanya Matt menghembuskan nafas kasar. Ia tengah melangkah menuju kamar mandi dengan telanjang dada saat pintu kamar diketuk.

"Matt?" Suara mamanya.

Segera ia membuka pintu.

"Ya ma."

"Papa bilang kamu pulang. Sudah makan?"

"Sudah tadi."

"Bener?"

"Bener ma, makan diluar tadi."

"Kata papa kamu tadi nggak ngantor."

"Ngantor sih, cuma sebentar. Kenapa ma?"

"Kamu ada masalah?" Selidik Sidney

"Enggak, mama nggak usah khawatir. Aku baik baik aja. Cuma agak jenuh."

"Ambil liburan sebentar. Kamu kurusan itu. Muka kamu juga."

Matt tertawa, mamanya adalah orang yang selalu menyadari sedikit saja perubahannya.

"Ok ma. Akan aku pertimbangkan. Makasih."

"Mau mama buatkan jus?"

"Nggak usah, aku masih kenyang."

Tiba tiba ponselnya berbunyi. Matt meminta ijin.

"Sebentar ma, aku angkat telfon dulu."

Sidney mengangguk.

"Ya Nin?"

"...."

"Udah sampai kok baru saja. Kamu sudah baikan kan?"

"...."

"Ok, selamat istirahat ya. Jangan nangis lagi."

Sidney menatap putranya yang tanpa sadar tengah senyum sendiri.

"Matthew Wiratama?" Tanya mamanya dengan nada suara menggoda.

"Ya." Matt tampak salah tingkah.

"Siapa?"

"Teman."

"Kamu yakin? Mama kok nggak percaya ya dengan nada suara kamu tadi"

Matt akhirnya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak tahu harus menjawab apa. Beruntung sang mama tidak mendesaknya. Istri Bragy tersebut malah bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu. Namun sebelum benar benar berlalu ia berkata.

"Kamu berhutang penjelasan sama mama. Dan mama akan terus menunggu jawaban kamu. Apalagi kalau ini menyangkut calon menantu mama."

Matt hanya tersenyum sambil mendekati mamanya.

"Aku janji, kalau nanti semua sudah berjalan dengan baik. Mama adalah orang pertama yang akan aku beritahu. Doain aja ma."

Sidney menatapnya dengan heran.

"Kamu serius? Ini tentang perempuan?"

Matt hanya tersenyum. Ia enggan menjawab. Kemudian menutup pintu. Meninggalkan Sidney yang penuh dengan rasa penasaran.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

111019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top