3

Jauh ya antara pembaca dan votenya... ok deh... saya akan lanjut di vote 750...

🌷🍀🌷🍀🌷🍀

Sebelum menyapa, Matthew sempat tertegun dengan penampilan gadis itu. Beberapa kali bertemu, Nina hanya  tampil seadanya, seperti gadis remaja lain.
Mengenakan jeans, sneaker dan kaos. Namun malam ini, terasa berbeda.  Mengenakan dress yang hampir menyapu lantai disertai highheels. Rambutnya ditata rapi. Terlihat jauh lebih dewasa.

"Pak Matt kok disini ? Tadi aku lihat di dalam."  Tanya Nina heran. Saat Matt keluar dari mobilnya.

"Iya, lagi nyari udara segar."

"Bapak jadi groommens kan ya."

"Iya, kebetulan, pengantin pria adalah salah seorang sahabat saya. Kamu?"

"Mbak Alea masih keluarga pak."

"Saya tadi pangling lihat kamu. Beda banget. Biasanya  kamu tampil casual."

"Saya sih sebenarnya malas tampil begini. Meski kadang saya juga bisa lari kok sambil pakai stilleto dua belas senti. Bapak nggak pernah lihat aja."

"Masak sih?" Tanya pria itu seolah tidak yakin.

"Bapak mau bukti?" Tanya Nina dengan nada menggoda.

Matthew tertawa lebar. "Nggak usah dibuktikan. Saya percaya sama kamu. Kamu ngapain kesini?"

"Power bank saya ketinggalan pak. Tadi ponsel habis baterai untuk video sama instastory."

"Habis ini kemana Nin?"

"Belum tahu pak. Tergantung papi. Kadang weekend gini suka tiba tiba ngajak nginap dimana gitu ramai ramai. Bapak mau kemana?"

Matthew menanggapi jawaban gadis itu sambil tersenyum.

"Sepertinya langsung pulang Nin. Tugas saya sudah selesai."

"Nggak ikut after party pak?"

"Kamu mau nemenin?" Goda Matthew  dengan berani. Ia suka dengan semburat merah diwajah gadis itu. Apalagi melihat gesturenya saat salah tingkah seperti sekarang. Imut!

"Sudah malam pak, nanti saya dicari mami." Elak Nina.

"Kalau siang siang berarti boleh?" Tanya pria itu lagi dengan nada santai. Meski sebenarnya ia serius.

Gadis itu tertunduk malu sambil memalingkan wajahnya. Namun seutas senyum lebar tersungging dibibirnya. Matthew mengerti bahasa tubuh  Nina.

"Kabarin saya kalau kamu bersedia." Ujarnya sambil memasuki mobil. Nina mengangguk. Ia tidak ingin terlihat memaksa. Bagaimanapun gadis dihadapannya itu masih terlalu muda!
.
.
.

Sepanjang perjalanan, tak henti Matt merutuki tingkahnya tadi. Seolah ia lupa pada usia. Salahkah ia? Sudah lama ia sendiri. Dan selama ini tidak pernah tertarik menjalani hubungan secara resmi. Meski kadang butuh teman di tempat tidur. Itu hanya sebagai pelampiasan.

Namun entah kenapa, kehadiran Nina merubah pemikirannya. Meski belum untuk yang serius. Cukuplah sebagai teman ngobrol diwaktu senggang. Sosok Nina berbeda dengan perempuan kebanyakan. Mengingatkannya pada  sang mama, Sidney! Mereka punya kepribadian yang mirip. Cuek namun penuh perhatian.

Sibuk mengendarai mobilnya entah kemana, membuat perasaan Matt sedikit lebih lega. Apalagi setelah mematikan ponselnya. Karena malas terganggu dengan panggilan dari para sahabat untuk menghadiri pesta. Ia harus fit besok. Akan ada rapat dengan beberapa orang penting di  kantor gubernur.

Tiba tiba, Matt yang merasa sendirian. Akhirnya memutuskan kembali ke apartemen. Ia merindukan putranya. Sudah seminggu mereka tidak bertemu, karena Jessi membawanya liburan ke Genting. Dan seperti biasa, mantan iatrinya tersebut tidak akan memberi akses komunikasi pada mereka. Entah apa yang ada dalam benak perempuan itu.

Menilik ke belakang, kehidupannya dengan Sam tidak berbeda jauh. Sama sama hadir disaat yang tidak diharapkan. Harus berpisah dengan ayahnya karena keegoisan ibu mereka. Hanya saja, Matthew menjadi lebih bijak. Ia tidak ingin memaksa. Tapi saat sang putra bersamanya. Maka ia akan memberikan seluruh waktu dan perhatian pada Sam.

Malam semakin terasa sunyi, saat pria itu memasuki area parkir. Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Sebentar lagi pagi, bisiknya dalam hati. Memasuki apartemen suasana lengang terasa. Entah kenapa kesunyian itu semakin terasa dalam. Segera diraihnya sebotol minuman beralkohol beserta gelas. Membawanya ke kamar, dan kemudian minum disana. Sendirian!

***

Matthew menatap beberapa berkas dihadapannya saat ponselnya berbunyi. Dari bunda!

"Ya, ada apa bun?" Tanyanya lugas. Meski sudah tahu apa yang diinginkan sang bunda.

"Matt, bisa bantu bunda?"

"Untuk?"

"Ini adikmu Annisa mau bayar uang kuliah. Uang kami belum cukup."

Matt tertunduk, Annisa adalah adik tirinya. Anak bawaan ayah tirinya. Selalu seperti ini. Padahal bukan sekali dua kali Matt membantu keuangan bundanya.

"Pendapatan bunda dari mini market itu bagaimana?"

"Adikmu Irwan, kan baru masuk SMP. Jadi kemarin uangnya untuk itu. Lagi pula beberapa hari  ayahmu harus ke Jakarta. Karena ada pertemuan dengan beberapa petinggi organisasi. Jadi butuh uang juga."

"Bunda butuh berapa?"  Tanya Matt pada akhirnya.

"Dua belas juta. Bisa?"

"Ya sudah nanti aku kirimkan. Suruh Nissa belajar baik baik."

"Oh ya satu lagi. Apa kamu ada lowongan untuk adikmua Amran? Dia sudah lulus kuliah bulan lalu."

Matthew segera memijit pelipisnya. Kepalanya tiba tiba pusing. Bundanya selalu menaruh beban itu dipundaknya.

"Bun, maaf. Tidak ada lowongan untuk jurusan Amran ditempatku."

"Atau ada temanmu misalnya?"

"Tidak ada juga. Suruh dia cari pekerjaan sendiri."

"Kamu kan saudaranya Matt. Meski kalian hanya saudara tiri. Sudah seharusnya saling membantu."

Seketika darah Matt terasa mendidih. Ibunya selalu mengingatkan hal tersebut disaat  meminta bantuan.

"Bun, aku sudah bantu mereka sejak sekolah sampai kuliah. Masak sih bun, yang nyari kerjaan mereka juga aku? Biarkan mereka susah sedikit. Aku juga tidak dimulai dengan posisi seperti ini. Tapi jadi tukang fotokopi! Dan aku tidak bisa asal memasukkan seseorang bekerja tanpa tahu kemampuan mereka. Jangan sampai nanti Amran malah ditertawakan oleh para pekerjaku yang lain!"

"Kamu kan bisa mengajarinya? Masak memasukkan satu orang pekerja saja kamu nggak bisa? Jangan lupa, papamu pemilik semuanya. Jadi otomatis semua yang dia punya adalah milikmu."

Matthew semakin kesal dengan argumen bundanya.

"Bun, apa yang dimiliki papa, dan akan dimiliki oleh siapa, itu bukan urusan kita. Ada mama Sidney dan Kay yang juga berhak. Lagian bunda nggak perlu mikir terlalu jauh. Masalah kita awalnya kan cuma mencari pekerjaan untuk Amran. Dan maaf, kali ini aku tidak bisa membantu."

"Kamu berubah sekarang."

"Bukan berubah bun, aku hanya punya sikap. Aku sudah membantu keuangan bunda. Uang sekolah dan kuliah mereka. Tidak semua bisa aku bantu. Ada saatnya mereka mandiri dan tidak bergantung padaku. Aku menghormati bunda sebagai ibuku. Orang yang melahirkan aku. Jadi tolong jangan usik rasa itu hanya karena hal kecil yang remeh seperti ini.

Sudah dulu ya bun. Aku harus rapat dengan karyawan. Selamat siang."

Setelah mematikan ponselnya Matthew meremas rambutnya. Moodnya hilang entah kemana. Dengan tergesa ia meraih kunci mobil dan beranjak keluar dari ruangannya.
.
.
.
Ditengah jalan yang padat, Matt merasa membutuhkan udara dingin untuk meredam emosinya. Meski AC mobil distel sangat dingin. Hubungannya dengan sang  bunda memang tidak pernah benar benar baik. Bundanya selalu menyangka kalau ia lebih menyayangi mamanya daripada sang bunda.

Tidak pernah berpikir kalau Matt rindu ditanyai tentang kabar, tanpa harus melibatkan kata uang dan bantuan. Katakanlah kalau memang mamanya adalah sosok berbeda. Tanpa papa pun mamanya  bisa hidup mewah. Karena kakeknya Elang Mahameru meninggalkan kekayaan yang cukup besar untuk kedua putrinya. Demikian juga opung  borunya Luna. Yang memang mantan penyanyi papan atas dijamannya.

Berbeda dengan sang bunda yang merupakan anak dari istri simpanan. Meski sebenarnya dulu kakek dan neneknya meninggalkan warisan yang cukup banyak. Namun karena ayah tirinya tidak selalu bekerja, jadi uang warisan itu habis sedikit demi sedikit. Dan setelah semua habis, Matthew sudah mulai bekerja. Jadilah ia yang harus ikut menanggung beban biaya rumah tangga ibunya. Termasuk kedua adik tirinya.

Bukan ia ingin membandingkan keduanya. Tapi itulah sebuah kenyataan. Dulu saat kecil, hidupnya begitu pahit. Namun semakin kemari semua berubah. Terutama sejak penerimaan mamanya. Perlahan, semua menbaik.

Meski perceraiannya dengan Jessi juga membuat luka yang cukup dalam. Karena jujur ia berharap banyak saat menikah. Meski saat itu belum bisa mencintai Jessi. Tidak ingin putranya mengalami nasib yang sama dengannya. Tapi apa mau dikata? Pernikahan tidak mungkin diisinya sendiri.  Harus ada komitmen kedua belah pihak. Dan sayang mantan istrinya tidak menjadikan sebuah pernikahan sebagai komitmen. Melainkan sebuah ajang untuk menyatakan kemenangan.

Akhirnya karena sudah sore ia merasa lapar. Dan segwra memasukkan mobil ke sebuah restoran cepat saji. Jujur ia sangat jarang makan disini. Karena semenjak kecil mamanya selalu melarang. Tapi hari ini adalah pengecualian. Pusing dengan segala masalah, ia memutuskan untuk menikmati hidup.

Memasuki bagian dalam, suasana cukup sepi. Memesan satu buah burger dengan ukuran paling besar, kentang goreng  juga segelas coke. Mulailah ia mencari tempat duduk yang nyaman. Tak sengaja matanya menangkap sosok Nina tengah duduk di salah satu sudut dengan laptop. Tampak gadis itu tengah menopang dagu. Jelas matanya tidak fokus pada benda dihadapannya.

Pelan ia mendekati meja tersebut. Dan meletakkan makanannya diatas meja. Nina kaget dan menatapnya heran.

"Pak Matthew?"

"Kok bengong?"

"Bapak makan disini?" Tanyanya tak percaya.

"Ya. Kenapa?"

"Nggak sih, agak aneh aja. Orang sekelas bapak makan ditempat begini."

"Lalu bagaimana dengan kamu?" Tanya Matt sambil duduk dihadapan gadis itu. Nina segera menutup dan menyingkirkan laptopnya.

"Saya mah udah biasa pak. Apalagi kalau lagi rapat dengan tim. Nggak mungkin kan, orang yayasan rapat di restoran mewah. Mending uang makan makannya dipakai buat yang lebih penting." Jawab Nina sambil tertawa.

"Ayo makan Nin, kamu kayaknya cuma minum itu." Ujar Matt sambil menyodorkan kentang goreng.

"Jadi nggak enak pak."

"Ya dienakin aja." Jawab pria itu sambil mulai memakan burgernya.

Nina mengambil sebuah kentang dan memakannya. Menatap tak percaya pada Matt yang sibuk dengan burger besarnya. Mengerti akan keheranan sang  gadis. Putra sulung Bragy itu berkata.

"Saya belum makan siang. Jadi lapar."

"Ini sudah jam empat lewat lho pak."

"Tadi saya malas makan."

Nina tersenyum mendengar jawaban itu. Tak lama burger tersebut kandas.

"Bapak mau tambah lagi? Saya beliin."

"Nggak usah, udah kenyang banget. Kamu aja, habisin itu kentangnya"

Nina hanya tersenyum sambil menunduk. Matt melihat ada kesedihan dimata gadis itu.

"Ada sesuatu yang menjadi beban kamu?" Tanya Matthew hati hati.

Nina terdiam, tapi matanya menerawang. Dan perlahan ia menggerjapkan mata. Menahan tangis yang akan keluar.

"Kamu bisa cerita ke saya. Anggap saya teman kamu." Ujar Matt dengan lembut.

"Saya malu pak." Jawabnya. Tapi gadis itu mulai terisak.

***

Happy reading

Maaf untuk typo

101019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top