2
Pagi itu, suasana disalah satu pantai utara pulau Jawa tampak ramai. Beberapa petinggi Sudargo, KalyanaMitta dan juga pihak pemerintah daerah tampak berkumpul. Mereka semua mengenakan kaos seragam berwarna dasar hijau. Hari ini akan diadakan penyerahan bibit dan juga penanaman bibit manggrove secara simbolis.
Tampak Samudra Wiratama hadir diantara kedua nenek dan kakeknya. Putra sulung Matthew itu ikut mengenakan seragam dengan ukuran kecil. Dengan tekun ia mengikuti acara demi acara. Sesekali bertanya pada eyang putrinya. Dan hal yang paling menggembirakan baginya adalah saat acara penanaman bibit bakau. Sayang tak ada yang mengajaknya. Dengan semangat ia ikut mendekati ratusan bibit yang ada. Kemudian ikut ikutan membawa bibit menuju pantai dengan diawasi sang ayah dari jarak yang cukup jauh. Matthew hanya ingin melihat sejauh mana keberanian putranya. Karena itu ia tidak mendampingi
Nina yang sedari tadi memperhatikannya mulai mendekati. Ia merasa anak laki laki itu sangat lucu. Dengan kulit putih dan wajah memerah terkena sinar matahari.
"Hai adik kecil, namanya siapa?" Tanya Nina sambil mengiringi langkah Sam yang tampak ragu.
"Samudra Wiratama." Jawabnya sambil tersenyum.
"Ngapain bawa bibit?"
"Mau ikut tanam bakau kayak daddy tadi." Jawabnya malu malu.
"Sini sama kak Nina aja mau?" Tanya gadis itu menawarkan diri.
Bola mata hitam milik Sam melebar. Ia segera mengangguk daan tersenyum. Sedari tadi ia memang menunggu ada orang yang bersedia mengajaknya. Nina yang sudah melipat celana jeansnya sampai ke lutut. Kemudian segera menuntun Sam menuju bibir pantai.
"Tante, ini yang aku injak kok nggak seperti pasir ya?" Tanyanya sambil menunjukkan kakinya.
"Ini namanya lumpur."
"Tapi aku suka jalan disini."
Nina hanya tersenyum mendengar jawaban Sam. Meski tampak kepayahan, tapi Sam tidak menyerah. Berjalan lambat sambil membawa bibit miliknya.
"Ayo kamu tanam pohonnya." Bisik Nina setelah mereka tiba ditempat. Gadis itu segera mengeluarkan dari polybag.
Sam mengangguk dan segera menanam bibit manggrovenya. Nina hanya membantu menekan batang pohon tersebut agar tertanam lebih dalam lagi.
"Sudah selesai. Nanti kapan kapan kalau Sam kemari lagi. Semoga dia sudah tumbuh subur."
"Kenapa harus ditanam disini? Bukannya nanam pohon itu harus di hutan?"
Gadis berkulit putih itu kembali tertawa lebar sambil membenahi letak topinya.
"Sam suka crab?" Tanya nya sambil menggandeng jemari mungil Sam menuju daratan.
"Suka sekali."
"Nah, akar pohon yang Sam tanam nanti akan jadi rumahnya crab. Tempat dia bertelur, menyimpan telurnya. Kemudian telurnya menetas dan jadi baby crab. Supaya nggak dibawa ombak juga ke laut. Tidak semua pohon harus tumbuh dihutan. Sama juga dengan hewan, ada sebagian yang hidup dirawa."
"Akan banyak crabby nanti?"
"Ya."
"Aku bisa ambil nanti?"
"Ya, kalau kamu sudah besar. Nanti belajar menangkap crab sama om nelayan yang tinggal disini."
Samudra tertawa senang. Ia suka pada tante cantik yang menemaninya. Nina kembali mengantar Sam ke tenda. Dimana kakek dan neneknya ada disana. Kedua lansia tersebut tertawa menatap kaki Sam yang kotor penuh lumpur.
"Eyang jangan kasih tahu mommy ya nanti." Bisiknya pada Sidney. Segera sang nenek mengacungkan ibu jarinya. Tanda setuju.
Sementara Matthew hanya menatap Nina melalui kacamata hitamnya. Ia suka gadia itu. Terihat enerjik dan tanpa batas. Seandainya para pemuda kampung yang diajak Nina mengobrol tahu, siapa ayahnya. Bisa saja mereka merasa sungkan. Tapi itu tidak terjadi. Nina selalu meneyembunyikan jati dirinya.
Mata nakalnya yang terhalang oleh lensa rayban juga tidak henti hentinya menganggumi betis mulus serta tengkuk putih gadis itu. Anak rambut yang sedikit menghalangi tatapannya membuat pria itu tambah penasaran. Ditengah cuaca panas rasanya aneh kalau harus membayangkan seorang perempuan muda yang mendesah dibawahnya.
Matt segera menggelengkan kepala. Terlalu lama hidup sendiri membuat pikirannya melayang kemana mana. Segera ia bergabung bersama beberapa staffnya untuk mengehentikan pikiran liar yang semakin menyeruak.
.
.
.
Selesai acara mereka semua kembali ke Jakarta. Melalui ponsel, atas perintah Matt. Pak Munthe menghubungi Nina. Meminta agar seluruh peserta dari KalyanaMitta untuk ikut makan malam bersama. Setelah mengiyakan, pilihan jatuh pada sebuah restoran khas Sunda.
Kembali berkumpul setelah lelah seharian, suasana terlihat berbeda. Matt dan Nina duduk disatu meja. Meski tidak hanya berdua suasana meja mereka terlihat sepi. Semua wajah terlihat sama sama letih. Sampai akhirnya pak Munthe membuka pembicaraan.
"Pak Matt habis ini mau kemana?" Tanya Pak Munthe.
"Langsung ke rumah orang tua saya. Besok pagi harus antar Sam ke Singapura. Dia sudah mulai sekolah. Karena ibunya tinggal disana, ya sekolah disana. Tapi siang saya sudah balik ke Jakarta. Jadi sorenya kita bisa langsung ke Lampung pak."
"Apa nggak capek pak Matt. Ini nanti kita sampai Jakarta bisa jam sepuluh malam lho." Pak Munthe tampak sedikit khawatir
"Sudah biasa pak. Makanya kalau lagi nggak ada kerjaan. Saya bisa tidur seharian. Nggak ada yang harus diurus dan mengurus." Jawab Matthew sambil tertawa.
"Nggak kangen diurus pak?" Goda pak Munthe.
Matthew menggeleng sambil tersenyum. "Belum kepikiran, mungkin karena belum ketemu yang cocok pak." Jawab pria itu santai.
"Kira kira tipenya seperti apa sih yang dicari? Siapa tahu saya ketemu" Cecar pak Munthe sambil tertawa kecil. Pria tua itu memang berani bertanya. Karena ia sudah mengenal Matthew sejak kecil.
"Yang gimana ya, nggak ada kriteria sih pak. Nanti kalau saya bilang, yang pinter masak. Eh saya jarang makan di rumah. Jangankan makan, pulang saja jarang! Bisa bisa anak orang ilfil lihat saya. Tapi yang pasti sih bisa mengerti dengan kesibukan saya."
"Sekaligus sayang sama Sam barangkali ya pak?"
"Enggak juga, tapi minimal bisa mengertilah kalau saya punya anak yang harus saya perhatikan juga. Kan Sam punya ibu sendiri, jadi nggak terlalu penting menurut saya."
Pak Munthe menarik nafas panjang. Kemudian melirik Nina.
"Bagaimana bu Nina? Tertarik mendaftar?" Canda pak Munthe.
Perempuan muda yang tengah serius mendengarkan percakapan antar pria dewasa itu tersentak. Ia menatap Matt yang ternyata juga tengah menatapnya.
"Belum tahu pak. Saya masih umur dua puluh. Lagian belum kepikiran untuk menikah." Jawabnya diplomatis.
"Tapi kalau saya perhatikan kalian cocok lho."
"Cocok darimana pak Munthe?" Tanya Nina.
"Ya, kalian tipe orang yang sama. Sama sama nggak ribet dan punya passion terhadap lungkungan."
Wajah Nina memerah. Jelas ia tidak siap dengan kalimat pak Munthe. Meski dari tadi ia mengangumi sosok pria yang duduk.dihadapannya.
"Jangan dipikirin Nin. Pak Munthe biasa becanda. Maklum orang batak kalau ngomong ya langsung." Ujar Matt sambil tertawa kecil. Ia bisa melihat semburat merah diwajah milik Nina. Entah kenapa, sang duda mulai menyukai itu.
***
Suasana di kediaman Athalla tampak lengang. Meski didalamnya dua orang wanita terlihat sibuk memperbaiki penampilan mereka. Saling memberi komentar juga mengkoreksi dandanan mereka. Hari ini adalah pernikahan Alea, mantan putri sambung Andhara. Nina sendiri ikut mengenakan seragam bersama maminya. Yakni gaun dari bahan lace berwarna kuning. Sementara sang mami mengenakan kebaya berbahan sama.
"Apakah ratu dan calon ratu sudah selesai berdandan?" Tanya Athalla dari pintu. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu dibawah..
"Bentar lagi pi, tinggal rambut aja." Jawab Nina.
"Berapa lama lagi papi harus menunggu?"
"Five minutes."
Athalla hanya mengangguk. Kemudian memilih keluar kamar. Istrinya menyusul kemudian.
"Istriku kok cantik sekali sih?" Goda sang suami sambil mencubit bokong Andhara.
"Tangannya ih mas. Nanti anak anak lihat."
"Habis kamu seksi banget pakai kebaya sama kain begini."
"Kayaknya buat kamu aku selalu seksi deh. Biar cuma pakai daster."
Athalla hanya tertawa sambil memeluk pinggang istrinya.
"Papi kalau mau mesra mesraan jangan disini deh. Di kamar gih." Protes Adri yang tiba tiba muncul.
Sontak kalimat sang anak mengagetkan mereka berdua. Namun bukan Athalla namanya kalau tidak punya jawaban.
"Mending mana orang tua kamu mesra, atau kami ribut dihadapan kamu."
"Papi ngeles melulu." Protes Adri lagi.
Beruntung tak lama Nina sudah datang. Sehingga mereka bisa segera berangkat.
***
Matt menatap kehadiran Nina dari jauh. Gadis itu terlihat lebih cantik dari biasa. senyumnya tampak sumringah diantara keluarga Alea sang mempelai wanita. Meski saling mengenal, Matthew enggan mendekati. Ia sungkan pada keluarga Nina. Lagi pula ini tempat umum. Ia tidak bisa sembarangan menyapa dan bersikap seperti biasa. Ada banyak mata. Dan bisa bisa nanti malam mereka sudah ada dikolom gosip
Pria itu akhirnya memilih bergabung bersama sahabatnya Dante dan Bagas. Keduanya tampak duduk disamping pasangan masing masing. Ada sebuah meja yang dikhususkan untuk mereka para groomsmen.
"Matt, dari sekian banyak perempuan disini, apa elo gak tertarik sama salah satunya gitu?" Tanya Bagas.
Matthew hanya menatap wajah sahabatnya sambil menggeleng.
"Belum kepikiran aja." Jawabnya singkat
"Belum move on dari Jessi?" Goda Dante.
"Nggak lah, ngapain juga. Cuma masih males. Kepengen sendiri dulu. Nyari yang bener bener cocok itu kan gak mudah."
"Jangan kelamaan, entar beku tuh yang dibawah. Jangan jangan lo udah lupa lagi gimana cara ngeluarinnya."
"Bangke lo Dan." Jawab Matt kesal. Kemudian ia berdiri.
"Mau kemana lo?"
"Ke toilet sebentar." Jawab Matt.
Dengan santai laki laki itu meninggalkan area pesta. Ia bukan ke toilet melainkan menuju keluar ruangan. Raaanya tempat ini sesak sekali. Ia sebenarnya tidak suka berada di pesta pernikahan. Teringat pada kegagalannya dulu. Kadang saat menatap para pengantin yang terlihat bahagia, ia bertanya dalam hati. Berapa lama senyum itu akan terlihat. Karena pernikahan jelas tidak semudah memberikan senyiman pada semua orang.
Ia sudah pernah mengalaminya. Terpaksa menikah, lalu punya anak. Melewati pertengkaran demi pertengkaran. Saling mempertahankan ego dan akhirnya bercerai. Pesta yang menghabiskan uang milyaran rupiah itupun berakhir dengan sia sia.
Tak lama ia sampai di area parkir. Merasa gerah dengan jas yang dipakainya, Matthew memilih melepaskan. Rencana ia akan merebahkan tubuh sebentar. Karena hari ini terasa sangat melelahkan. Namun, saat hendak menutup pintu, sosok bayangan Nina datang. Ternyata mobil gadis itu terparkir tepat disebelah mobilnya.
"Hai Nin?" Sapa Matt.
***
Happy weekend
Happy reading
Maaf untuk typo
061019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top