12

Matthew menarik nafas dalam menahan emosi. Setelah mengirim pesan yang cukup panjang tersebut, segera ia menghubungi nomor Nina. Empat kali tidak diangkat. Berusaha untuk tidak putus asa, kembali ia mencoba. Sampai akhirnya gadis itu menyerah. Segera Matt berkata,

"Nin, aku minta maaf. Sebelumnya aku memang sudah mengosongkan jadwal sehari kemarin. Tapi karena kondisi papa. Aku harus menggantikan beliau. Pertemuan itu sangat penting. Kami membahas tentang bantuan untuk pembangunan sebuah jembatan di Flores. Dan ini rapat terakhir."

"Aku ngerti, makanya aku nggak bilang apa apa kan mas?" Jawab Nina ketus.

"Tapi kamu dari tadi mendiamkan aku."

"Karena aku malas mendengar alasan. Seluruh keluarga dan teman temanku hadir mmas adalah orang yang paling aku harapkan. Dan cuma mas yang nggak ada disana, tahu nggak!"

Matthew memejamkan matanya. Ia benar benar harus mengontrol emosi ditengah malam seperti ini.

"Jadi, menurut kamu mas harus gimana?"

Nina terdiam. "Nggak harus gimana gimana.  Lagian udah lewat juga."

"Nin, besok pagi aku harus ke Balikpapan. Aku biasa nggak tidur semalaman. Tapi yang nggak biasa, membiarkan masalah kita tidak selesai. Beri aku jalan keluar."

Seketika Nina merasa bersalah. Ia juga menyesal dengan sikapnya yang terlihat kekanakan. Jelas ia tidak akan tega membiarkan kekasihnya berada didepan kompleks perumahan mereka menunggu sampai pagi.

"Ya sudah, aku nggak marah lagi. Mas pulang aja. Istirahat dan jangan lupa telfon aku sebelum take off besok ya. Aku juga minta maaf, sudah membuat mas kesal."

"Mas nggak janji waktunya. Tapi sepulang dari sana kita akan ada waktu untuk berdua."

***

Nina melangkah memasuki toko roti langganannya. Saat tak sengaja menemukan sosok perempuan tua nan cantik yang dikenalnya. Eyang Celia.

"Eyang?" Sapanya.

Perempuan itu menoleh.

"Nina? Beli roti juga?"

"Iya eyang, buat cemilan. Eyang?"

"Sama, eyang kangen sama roti moccanya."

"Aku juga suka eyang."

"Tapi, bukannya Glory pintar buat roti?"

"Dia suka buat cake, tapi nggak suka buat roti. Habis ini mau kemana?"

"Pulang eyang. Kebetulan semua pekerjaan saya sudah selesai."

"Ke rumah eyang yuk. Sekalian ngobrol." Ajak Celia dengan wajah penuh harap. Membuat Nina tidak tega. Akhirnya gadis itu mengangguk.

Kedua perempuan berbeda generasi itu segera keluar dari toko roti sambil bergandengan tangan.
.
.
.
Kembali memasuki rumah megah dan besar itu. Nina merasa gamang. Ia seolah berada ditengah kejayaan keluarga Wiratama. Namun genggaman erat eyang membuatnya merasa nyaman.

"Ayo, kita duduk diteras belakang." Ajak Celia sambil menarik tangannya.

Nina menurut.

"Rumah ini terasa besar sekali sekarang. Dulu, saat anak anak eyang masih kecil. Rumah ini  sangat ramai. Kemudian Matthew dan sepupunya lahir satu persatu. Semua kembali seperti semula. Sampai akhirnya eyang kembali sendirian."

"Anak eyang ada berapa?"

"Empat, yang paling besar charlotte, sekarang tinggal di Belgia ikut suaminya. Kemudian sikembar tiga, Bryan, Bragy dan Brandon. Kamu sudah kenal mereka kan?"

"Sudah eyang, kemarin waktu pesta ulang tahun eyang."

Akhirnya mereka tiba dihalaman belakang. Sebuah taman luas segera menyambut Nina. Matanya terlihat berbinar saat melihat sebuah kebun berisi banyak sayuran.

"Eyang tanam sayur?"

"Dulu milik ayah mertua eyang. Lalu kemudian turun ke eyang. Diantara anak anak tidak ada yang suka bercocok tanam. Sampai kemudian hadir Matt dan Glory."

"Mereka sepertinya sangat dekat ya yang?"

"Ya, Glory tidak punya kakak laki laki. Sementara Matthew sangat memanjakan adik adik perempuannya. Apalagi semenjak bermasalah dengan Kay. Oh ya, Nina mau minum apa?"

"Air putih saja eyang. Terima kasih."

Celia mengangguk. Kemudian memerintahkan seorang asisten yang sedari tadi berdiri di dekatnya. Kemudian eyang meraih tangannya.

"Eyang suka melihat Matthew saat ini. Dia banyak berubah setelah bertemu denganmu. Menjadi lebih humanis. Dulu hidupnya hanya terpaku pada pekerjaan. Tapi kamu mampu membuatnya kembali"

"Maksud eyang?"

"Apa dia menceritakan sesuatu tentang hidupnya padamu?"

Nina menggeleng. Lama Celia menatap gadis itu, seolah tengah mempertimbangkan sesuatu.

"Maaf, eyang tidak tahu sejauh mana hubungan kalian. Eyang hanya takut ia terluka kembali kalau kelak kamu meninggalkannya. Karena masa lalunya."

"Kami tidak pernah bercerita sejauh itu eyang."

Lama Celia menatap kekasih Matthew. Sampai kemudian ia berkata.

"Kisah hidup Matthew tidak semulus apa yang terlihat saat ini."

Nina menatap Celia dengan seksama. Menanti kalimat lanjutan dari bibir perempuan tertua dikeluarga kekasihnya.

"Ia anak hasil dari perselingkuhan Bragy dengan seseorang."

Nina terdiam, kemudian menarik nafas dalam. Ia kaget dengan fakta ini.

"Lahir dari sebuah kesalahan. Pada awalnya Sidney tidak bisa menerimanya. Menolak mati matian. Bahkan sampai meminta cerai dari Bragy. Perceraian itu tidak terjadi karena Bragy keukeuh tidak mau berpisah. Mengingat janjinya pada ayah Sidney. Yang merupakan sahabat suami eyang.

Eyang sendiri tidak bisa ikut campur terlalu dalam. Setelah lahir, Matthew berada dalam asuhan bundanya. Pernah eyang memfasilitasi pertemuan Bragy dan Matthew. Tapi Sidney malah menganggap eyang membela ibunya Matthew. Sampai akhirnya eyang menyerah. Meski sebenarnya tidak tega melihat cucu eyang.

Matthew kemudian hidup bersama eyang dari pihak ibunya. Sampai kemudian eyangnya itu meninggal dan ibunya mengalami depresi. Sidney tetap tidak mau menerima. Akhirnya Bragy mengirimkan Matthew ke panti asuhan karena tidak ada yang mengurus. Dan itu yang membuat eyang menyesal sampai sekarang. Karena saat itu eyang kakungmu melarang eyang untuk ikut campur. Karena bisa menghancurkan rumah tangga yang baru mereka bina kembali."

Nina menatap mata Celia yang  mulai berkaca.

"Cukup lama Matthew disana. Entah apa yang terjadi, sampai kemudian Sidney mengalah dan menjemputnya untuk tinggal bersama mereka. Semua berjalan dengan baik sampai kemudian Kay begitu memaksakan hubungan Matthew dengan Jessi.

Padahal saat itu, Matthew tengah memiliki hubungan dengan Desti. Adik dari sahabatnya. Dengan campur tangan Kay, Jessi kemudian hamil. Dan lahirlah Sam."

Nina menarik nafas dalam. Ia sama sekali tidak menyangka kalau masa lalu kekasihnya sangat kelam.

"Karena mereka tidak cocok, keduanya sepakat bercerai. Matthew sebenarnya sangat pemaaf, tapi kelak kalau ia terlalu disakiti. Maka ia akan menjadi orang yang paling tega. Seperti yang ia lakukan pada Kay. Sampai sekarang Matthew tidak pernah mau menyapa adiknya. Eyang tahu, Sidney sangat sedih melihat ini. Tapi kembali, kami tidak bisa berbuat apa apa. Karena Matthew tidak pernah menunjukkan hal yang tidak baik terhadap adiknya.

Seluruh, hak Kay di Sudargo tetap didapatkannya. Hanya ia kehilangan hak sebagai adik. Eyang sudah berusaha menasehati. Tapi dia cuma diam."

Nina juga terdiam.

"Maaf, seharusnya eyang tidak menceritakan ini padamu."

"Nggak apa apa eyang. Aku justru senang, karena jadi lebih memahami mas Matthew."

"Kamu sangat cantik dan baik. Pantas kalau cucu eyang jatuh cinta padamu."

"Terima kasih. Tapi eyang juga sangat cantik."

"Oh ya, kamu masih kuliah?"

"Lagi ambil S2 eyang.."

"Kamu hebat, seorang perempuan memang harus berpendidikan tinggi. Supaya wawasan kalian lebih luas."

Mereka berbicang sampai sore. Kemudian Nina pamit pulang. Celia melepaskan gadis itu dengan berat. Ia suka pada pilihan Matthew kali ini.

***

"Apa nggak ada perempuan lain sih, selain anak kecil begitu?" Rutuk Kay saat tengah sarapan bersama kedua orang tuanya.

"Kay, stop it." Bragy mengingatkan.

"Papa selalu belain kakak."

"Dia berani naksir perempuan saja papa sudah senang. Nggak usah terlalu dicampuri."

"Tapi pa, apa nggak lebih baik kalau kakak cari yang seumuran? Lebih pantas tahu nggak!"

"Yang akan menjalani itu kakakmu. Kalau dia nggak merasa nyaman ya kan nanti putus. Dan papa ingatkan. Jangan melakukan kesalaham yang sama. Kamu pernah menghancurkan hidupnya."

Kay terdiam. Ia meletakkan pisau dan garpu dipiring dengan kasar. Papanya selalu mengingatkan kesalahannya. Sementara mamanya memilih melanjutkan sarapan. Ia juga sebenarnya berpendapat sama. Nina terlalu muda untuk Matt. Meski ia mengenal keluarga gadis itu. Siapa yang tidak mengenal Andhara Athalla. Tapi apa bisa Nina menghadapi Matthew yang notabene adalah seorang yang posesif dan pekerja keras?

Sidney berpikir, Nina pasti menginginkan laki laki yang romantis dan setiap saat berada disampingnya. Selalu mengutamakan dirinya kapanpun itu. Sanggupkah Matt berubah? Ataukah putranya itu akan gagal lagi?

***

Matthew turun dari pesawat pribadi  milik keluarga Wiratama. Ia tidak sendiri namun bersama Bryan omnya. Yang juga memiliki beberapa perusahaan kelapa sawit di Kalimantan.

"Langsung pulang Matt?" Tanya Bryan

"Iya om, ada janji sama teman."

"Teman atau pacar?" Goda omnya lagi.

"Kali ini pacar om." Jawab Matt sambil tertawa.

"Tapi kamu keren ya cari pacarnya sekali ini. Masih muda banget."

"Biasa aja om. Kebetulan yang ini cocok."

"Om rasa dia baik. Terlihat dari sikapnya waktu kita ketemu kemarin. Luwes dan bisa bergabung dengan semua. Sudah lama kenal?"

"Setahun lebih sih."

"Dan nggak ada yang tahu ya?. Pintar kamu menyembunyikan."

"Memang kita jalannya santai om."

"Tapi perempuan seperti dia pasti banyak fans. Kamu akan susah menjaganya."

"Biasa saja. Aku percaya  sama dia kok."

"Hati hati ya, dia berasal dari keluarga Athalla lho. Jaga nama baik keluarga."

"Pasti lah om."

Mereka segera berpisah dan memasuki mobil masing masing. Matthew menyetir sendiri menuju kampus Nina. Keduanya sudah berjanji untuk makan siang bersama. Meski sedikit letih, namun ia tetap memaksakan diri. Tak lama menunggu akhirnya sang kekasih muncul juga.

"Siang sayang." Sapa Matt sambil mengecup kening Nina.

"Siang mas. Sampai jam berapa tadi?"

"Jam sebelas. Langsung kesini."

"Kok nggak sama supir?"

"Tadi aku suruh pulang aja. Mana enak pacaran bawa bawa supir."

"Maksudku  mas kan capek. Masih mending kalau mas mau akubyang nyetir."

"Nggak lah nggak capek kok." Jawab Matt sambil tersenyum.

Tak sengaja Nina menyentuh jemari kekasihnya yang tengah memegang kemudi.

"Kok tangannya anget?"

"Sedikit capek aja. Kerja marathon dari tiga hari yang lalu. Mereka kalau tidak dipush. Kerjanya santai banget."

"Kita ke apartemen mas aja deh. Pesan makanan lewat  online."

"Nggak usah, aku udah reservasi. Kan mau bayar hutang ulang tahun kamu."

"Udah lain kali aja. Pokoknya sekarang kita pulang ke apartemen. Ada obat demam nggak di rumah?"

"Ada sih. Selalu disediain sama mama. Tapi kita kan.."

"JANGAN MEMBANTAH!" Mata Nina terlihat melotot.

Matthew akhirnya menurut. Lagi pula lebih asyik pacaran di apartemen kan daripada di restoran! Pikirnya.


***

Selamat sore....

Happy reading

Maaf untuk typo

Penghujung oktober 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top