10

Matthew baru saja tiba di kantor saat Jessi menghubunginya.

"Halo, ada apa Jess?"

"Mau nanya, kamu punya pacar sekarang?" Tanya mantan istrinya tanpa basa basi.

Pria itu segera memijit kepalanya. Mulai datang lagi satu masalah.

"Lalu hubungannya dengan kamu apa?"

"Aku cuma mau tanya. Karena aku harus tahu siapa yang akan dekat dengan anakku."

"Seandainya pun ada, aku pastikan ini tidak akan ada hubungannya dengan kamu."

"Aku cuma minta satu hal, kalau hubungan kamu serius, perkenalkan aku dengannya."

"Maaf, aku sedang tidak punya waktu untuk membicarakan ini. Kalau sudah sampai di Changi, telfon aku!" Balas Matt sambil memutuskan sambungan. Jelas ia tidak ingin ini menjadi masalah besar.

Hubungannya dengan Nina cukuplah untuk mereka berdua dulu. Tidak perlu diumbar kemana mana. Lagi pula belum terlalu jauh.

***

"Kay?"

"Yoi Jess."

"Lo tahu Matt punya pacar baru?"

Kay mengerenyit dahinya. "Enggak tuh, gak ada yang cerita juga. Kemarin sepupu gue rame di WA grup juga gak ada yang cerita."

"Lo yakin gak ada WA yang kelewat?"

"Yakin banget. Karena cuma itu satu satunya cara gue untuk tahu kabar kakak gue. Lagian emang kenapa sih kalau dia punya pacar?"

Tanpa menjawab Jessi menghentikan pembicaraan mereka.

***

"Ma."

"Ya Kay?"

"Mama tahu, kalau kakak punya pacar baru?"

Sidney menaikan alisnya heran.

"Dapat kabar darimana? Mama malah nggak tahu."

"Dari Jessi. Dia dari Sam. Katanya ada foto perempuan yang dia panggil aunty di kamarnya kak Matt."

"Mama nggak tahu. Lagian ngapain Jessi mau tahu urusan kakakmu?"

"Ma, please. Mama kan sering ke apartemen kakak? Dan kakak sering ke rumah? Masak sih gak pernah cerita?"

"Kay, pertama, mama kesana cuma buat mastiin kalau kulkas kakak kamu ada isinya selain es krim dan air putih.  Kedua, mama kesana bukan untuk mencampuri kehidupan pribadi kakak kamu. Terserah dia mau berhubungan sama siapa. Toh dia sudah dewasa. Mama ingatkan kamu, jangan mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu nggak lupa kan pernah mengacaukan hidup kakakmu.!"

"Ma.."

"Lagian tidak ada hubungannya Jessi sama calon Matt. Mama ingatkan juga, jangan pernah mencampuri masalah ini."

***

Jam dipergelangan tangan Matt menunjukkan pukul lima sore. Beberapa pekerjaannya sudah selesai. Ini akhir minggu, dan ianmemutuskan untuk menghabiskan waktu di kantor. Nina tengah ke Solo jadi mereka tidak mungkin jalan bareng. Akhirnya diraihnya laporan hasil rapat terakhir dengan konsultan pemasaran diujung meja. Sudah tiga hari benda itu teronggok disana. Belum sempat tersentuh.

Meski mereka sudah punya nama besar, namun mengingat persaingan bisnis akhir akhir ini jelas tidak bisa main main dalam melancarkan strategi. Dengan teliti putra sulung Bragy itu mulai membaca hasil survey dan analisa yang ada. Sesekalintampak ia menandai sesuatu. Sayang, keasyikannya membaca diganggu oleh bunyi ponsel. Bukannya kesal, namun kali ini Matt tersenyum.

"Ya Nin?"

"Mas lagi dimana?"

"Masih di kantor. Kamu?"

"Lagi di rumah batik Danar Hadi Solo mas."

"Sama siapa?"

"Temen, rame rame. Mas mau titip?"

Ia berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata.

"Carikan kemeja lengan panjang sama pendek dong Nin. Motif, terserah kamu."

"Ukurannya mas?"

Matt menyebutkan ukuran pakaiannya. Kemudian mereka mematikan sambungan telepon. Sampai kemudian ponsel Matt kembali bergetar dan menampilkan beberapa kemeja pria yang telah dipilihkan oleh Nina. Setelah menandai beberapa, pria itu segera bertanya.

"Nomor rekening kamu Nin?"

"Nanti ajalah mas, aku duluan yang bayar. Sampai Jakarta baru mas ganti."

"Itu jumlahnya banyak lho. "

"Mas meragukan isi rekeningku?" Goda Nina.

Segera lawan bicaranya tertawa. "Nyerah deh sama anaknya pak Athalla."

Gadis itu segera tertawa, "Kan supaya ada alasan aku ketemu mas buat nagih hutang."

"Kamu udah mulai berani godain aku ya Nin."

"Memangnya cuma mas yang  bisa?"

"Ya sudah, kapan balik ke Jakarta?"

"Malam ini mas rencananya."

"Naik?"

"Kereta api, nyampenya subuh mas. Jam empat gitu."

"Aku jemput ya."

"Ngga usah ah. Itu masih pagi banget. Yang ada nanti malahan mas nggak tidur."

"Ya nggak apa apa. Kabarin aja kalau sudah mau sampai. Pagi pagi gitu kan nggak macet juga. Lagian ada beberapa laporan yang harus kubaca dan teliti lagi. Supaya minggu depan agak kosong. Kan ulang tahun Eyang."

"Oh iya, kasih apa ya mas sama eyang kamu?"

"Apa saja boleh."

"Sekalian aku disini. Shawl batik gitu cocok nggak ya?"

"Aku rasa boleh juga. Eyang kan udah nggak butuh tas branded lagi." Jawab Matt sambil tertawa.

"Ya sudah mas. Aku bayar dulu ya. Habis ini langsung ke stasiun."

"Hati hati dijalan ya. Mas sayang kamu."

"Ok mas."

Duuuhh... boleh nggak sih, kalau jantungku debarannya melambat aja.  Bisik Nina dalam hati.

***

Maka disinilah Matthew berada diminggu pagi yang masih buta itu. Dengan segelas kopi ditangan hasil beli disalah satu gerai kopi dua puluh empat jam. Dan juga beberapa laporan yang masih harus dibaca. Menunggu kedatangan Nina di Gambir. Rasanya cukup aneh, kalau saat ini ia berada disini. Karena tempat ini sangat jarang ia kunjungi. Biasanya pilihannya jatuh pada pesawat atau mobil. Tapi sosok Nina yang berbeda, membuat dunianya kadang jadi terbalik.

Gadis itu berbeda, dan Matt tahu bahwa itulah hasil didikan seorang Athalla. Nina tumbuh menjadi gadis yang mandiri dan down to earth. Buktinya ia tidak canggung saat harus melakukan perjalanan dengan kereta api. Alasannya, di Eropa juga mereka sekeluarga sering melakukan itu saat liburan.

Dan hal tersebut membuat Matt merasa nyaman. Tidak ada yang merengek minta dijemput atau dibelikan makanan. Meski kadang manja, tapi tidak pernah sampai merepotkannya. Ia sosok yang mengerti bahwa Matt juga punya pekerjaan yang harus diurus. Lagi pula Nina juga sibuk. Dengan beberapa proyek di KalyanaMitta juga kain tradisional.

Pukul empat, Nina mengabarkan. Kalau ia akan tiba setengah jam lagi. Matt memutuskan turun dari mobil. Dan menunggu di area dalam. Hujan cukup deras disini. Tak lama, serombongan pemuda turun bersama, dan ia bisa melihat Nina dengan jaket putihnya. Sengaja tidak menyapa, karena takut gadisnya terganggu.

Setelah semua temannya pamit dan yakin kalau hanya tinggal ia sendiri, barulah Nina menghampirinya.

"Sudah lama mas?" Tanyanya.

"Setengah jam. Capek?" Tanyanya sambil menyeret koper gadis itu, Nina mengangguk  menuju mobil. Sementara sebelah tangan Matt memayungi mereka.

"Ngantuk sama lapar juga mas."

"Ngapain kemarin ke Solo?"

"Aku memang ada kerjaan sedikit di museum Danar Hadi. Ada proyek kecil dengan teman teman."

Matthew membuka pintu mobil dan meletakkan koper milik Nina di bagasi. Saat keduanya sudah sampai di dalam mobil barulah Matthew memeluk gadisnya serta mencium kening milik Nina.

"Mas kangen, berapa hari ini nggak ketemu kamu karena sibuk."

"Aku juga." Jawab Nina sambil tersenyum.

"Jadi kamu mau diantar kemana?"

"Ke rumah aja mas."

"Sudah ditunggu pak Athalla nih ceritanya."

"Enggak, mereka semua lagi ke Singapura. Kangen sama Adri katanya.

"Mampir ke apartemenku yuk. Nanti aku buatkan sarapan dulu."

"Memangnya mas bisa masak?"

"Waktu kuliah di NY dulu, aku harus mandiri. Jadi kalau yang gampang, ya pasti bisa."

"Aku percaya"  jawab Nina sambil menyenderkan tubuhnya di jok.
.
.
.

Maka disinilah mereka berada. Di apartemen laki laki itu. Selesai sarapan Nina mandi. Dan sekarang ia tengah bergelung dengan kepala pangkuan Matt, tubuhnya  berselimut diatas sofa ruang tamu. Sementara Matt memilih mengelus rambutnya.

"I love you." Bisik Matt pelan.

"Mas, nada suaranya kayak nggak butuh jawaban. Padahal aku belum tentu menerima."

"Tidak semua pertanyaan memerlukan jawaban. Kadang apa yang kita rasa, tubuh jauh lebih mampu untuk  mengungkapkan."

"Mas."

"Ya sayang?"

"Apa kita sudah pacaran?"

"Menurut kamu?"

Nina tertawa kecil. Ia meraih jemari pria itu. Kemudian mengecupnya lembut.

"Hampir satu tahun ya mas kita dekat."

"Ya, dan nggak kerasa. Kamu tidur yuk, biar nanti lebih segar." Ujar Matt pelan saat melihat kekasihnya menguap. Nina hanya mengangguk, kemudian memejamkan mata.

Sepasang kekasih itu akhirnya sama sama tertidur di sofa karena sama sama lelah dan butuh istirahat.. Nina merasa nyaman dengan posisinya Sementara sang pria memilih bersandar di kursi. Belum terlalu lama tertidur ponsel Matthew kembali berbunyi. Dari mama. Minggu pagi seperti ini, memang mamanya biasa menyambangi apartemen sepulang gereja.

"Matt, kamu dimana?"

"Ada di apartemen ma."

"Mama mau mampir,  antar sarapan dan bahan makanan mingguan kamu."

"Ok ma." Jawabnya cepat.

Sedikit panik, ia mengangkat tubuh Nina dari sofa. Dan membawanya ke kamar. Kemudian menyimpan sepatu serta koper gadis itu ke sebuah lemari dibalik pintu. Beruntung, mama tak lama. Melihat putranya masih mengantuk, akhirnya Sidney pamit.

Saat terbangun, Nina kaget karena ia berada di kamar pria itu. Namun tak ada Matt disampingnya. Bergegas bangun dan keluar dari kamar. Dilihatnya sang pria tengah sibuk berkutat di dapur.

"Siang Nin, baru bangun?"

Nina mengangguk. "Siang juga mas, kok aku bisa di kamar?" Tanya gadis itu mencomot sebuah tempe goreng.

"Tadi ada mama. Jadi aku pindahin kamu. Takut disangka macam macam."

"Tadi mama mas lihat aku?"

"Enggak, kamu aman kok. Lagian mama nggak lama. Begitu isi kulkas langsung pulang."

"Tempe gorengnya enak. Mas kasih apa?"

"Bawang putih, garam sama ketumbar. Makan lagi aja. Banyak kok. Aku suka jadiin cemilan."

Nina hanya tersenyum kemudian melangkah semakin mendekati kompor.

"Aku bantu apa?"

"Bantu ngelihatin aku aja. Kamu biasa di dapur?"

"Jarang sih, itu daerah kekuasaan mami. Lagian papi lidahnya sensitif. Tahu banget yang masak siapa. Kalau papinya mas?"

"Nggak terlalu pemilih. Mami sudah cukup sibuk jadi dokter. Lagian lidah papi cukup internasional. Karena lama di luar negeri kan."

"Kalau mas?"

"Aku suka makanan rumah. Dan tidak terbiasa dengan penyedap rasa. Meski sebenarnya makan apa aja bisa. Ketularan mamaku kayaknya."

"Berarti, yang waktu di Mac D itu pengecualian ya."

Matt tertawa, "Itu kalau lagi suntuk aja. Nggak tahu mau kemana dan ngapain."

"Oh ya, kamu bisa kosongkan waktu tanggal dua lima minggu depan? Kita ke acara ulang tahun Eyang."

Nina terdiam sejenak. "Tapi itu juga ulang tahunku mas?"

"Iya ya, acara keluarga kamu jam berapa?"

"Biasanya sih cuma makan malam sama keluarga besar."

"Acara Eyang makan siang sih. Tapi biasanya kami sudah ngumpul dari pagi."

"Ya sudah mas. Nanti aku datang pagi."

"Aku jemput kamu ke rumah. Kadonya kamu yang bungkus aja ya."

"Baru ingat, kemeja mas belum aku keluarin."

"Habis makan siang aja."

Masakan sudah selesai. Setelah melepaskan apronnya, Matt mendekati Nina. Memeluk pinggang gadis itu dengan erat. Membiarkan ujung hidung mereka. Kemudian jemarinya menyentuh rahang dan bibir Nina. Lalu bertanya dengan suara berbisik.

"May i kiss you?"

***

Happy sunday

Happy reading

Maaf untuk typo

27 okt 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top