1

Nina memasuki ruang makan yang sudah ramai oleh kedua adiknya. Adri dan Rangga. Sementara Andhara sang ibu sibuk mengatur sarapan. Mereka memang terbiasa memiliki pilihan masing masing dipagi hari. Athalla dengan setup sayuran dan jus. Adri dan Rangga punya kesukaan yang sama. Yakni nasi goreng atau mie. Sementara Nina dan maminya memilih roti. Dan hanya diwaktu pagi inilah mereka bisa berkumpul dengan formasi lengkap.

"Papi hari ini ada rencana kemana?" Tanya Nina.

"Ke kantor. Lalu siang nanti akan ada seminar kebangsaan. Papi akan menjadi salah seorang nara sumber. Kamu?"

"Ke kampus, nyiapin skripsi. Minggu depan udah sidang kan pi."

"Wow, nggak terasa ya kak. Habis itu mau langsung S2?" Tanya maminya.

"Belum tahu sih, lihat nanti aja deh mi. Kalau mami dulu ngapain?"

Pertanyaan putri sulungnya ditanggapi Andhara dengan tarikan nafas.

"Kenapa mi?" Tanya Nina heran.

"Mami dulu langsung menikah dengan papimu." Jawab Andhara.

"What?! Mami nggak kerja dulu? Langsung jadi istri? Nggak salah tuh?"

Komentar Nina mendapat tatapan tajam dari Athalla.

"Setiap orang punya pilihan sendiri Nin. Itu adalah keputusan yang sudah kami bicarakan terlebih dahulu. Karena saat itu sudah kami bicarakan sebelum mamimu lulus."

"Tapi mami kan masih muda banget?"

"Ya, tapi saat itu mami sudah siap menjadi seorang istri."

"Kalau Nina yang mengambil keputusan itu?"

Kedua orangtuanya terdiam, saling bertukar pandangan. Sampai kemudian Adri menyeletuk

"Kakak, gaya banget mau kawin. Buat roti panggang aja gosong. Mau dikasih makan apa suaminya?"

"Gue bukan nggak bisa masak. Tapi karena masakan mami jauh lebih enak. Jadi belum terbiasa aja kedapur" jawab Nina dengan jengkel.

"Ngeles aja lo kak. Moga moga istri gue nggak kayak lo nanti. Gue mau cari yang kayak mami aja." Balas Adri dengan nada sombong.

"Sudah...sudah... Adri kamu masih SMP. Dan Nina, kamu belum lulus kuliah. Tidak ada pernikahan sebelum kalian selesai S2 dan punya penghasilan sendiri." Ujar Athalla dengan tegas. Yang segera disambut anggukan oleh Andhara.

"Lagian kakak aneh, mau kawin, tapi sama siapa nggak tahu. Pacaran aja diselingkuhin melulu. Lagian orang tuh cari cowoknya yang serius, baru mikir kawin." Celetuk Adri dengan cuek.

"Kamu tuh ya, anak kecil  nggak usah ngajarin kakak."

"Kecil kecil gini aku juga tahu bagaimana orang mau kawin kakakku cantik kesayangan mami." Balas Adri tak mau kalah.

"Sudah Adri Stop. Itu uang saku mingguan Nina sudah mami transfer. Ini punya Adri dan Rangga." Ucap Andhara menghentikan perdebatan anak anaknya di pagi hari.

"Tuh kan mami, pilih kasih. Kapan aku akan ditransferin." Protes Rangga

"Kamu masih umur sepuluh tahun. Nanti kalau sudah umur lima belas. Mami transfer." Tegas Andhara.

Akhirnya anak anak semua sudah berangkat. Tinggallah Andhara dan Athalla. Saat mereka hanya berdua, mereka akan kembali menjadi kekasih bagi saru sama lain.

"Mas mau dikirimin makan siang?" Tanya sang istri dengan lembut.

"Nggak usah, mas makan siang di seminar saja. Kamu ada kegiatan sayang?"

"Cuma arisan sambil makan siang."

"Kirimin fotonya ya nanti." Ujar Athalla sambil meminum juicenya.

Mendengar itu Andhara memutar kedua bola matanya.

"Nggak percayaan amat sih sama istri."

Athalla hanya tertawa. Ia memang masih takut kehilangan Andhara.

***

Matt membuka matanya dengan malas. Ini adalah hari sabtu. Dan seperti biasa, ia tidak harus  ke kantor pagi pagi. Begini rasanya hidup sendiri.  Bebas melakukan apa saja. Tidak ada yang memaksanya untuk bangun pagi. Namun kenyamanan itu berakhir saat ponselnya berdering. Incoming call from BW. Papanya!

"Sepedaan yuk Matt, besok pagi" ajak Bragy.

Matthew segera memutar bola matanya. Ini laki laki berumur enam puluh lima tahun apa nggak ada capeknya ya? Baru tadi malam meeting sampai jam dua belas malam di kantor. Ini pagi pagi sudah nelfon.

"Kemana pi?"

"Bogor aja. Nggak usah jauh jauh."

"Nginap disana?"

"Boleh, tapi papa bilang dulu sama mamamu ya. Dia mau ikut apa nggak."

"Ya sudah, nanti kabarin aku kalau nginap."

"Kamu kemana hari ini?"

"Belum ada rencana. Paling mau lunch bareng beberapa rekan kantor. Sekalian ngomongin project yang di Lampung itu."

"Ok, nanti papa hubungi kamu. Jangan lupa ajak Sam ya. Dia juga suka bersepeda. Oh ini mamamu mau ngomong."

Matt kembali memejamkan matanya. Ia sudah sangat hafal apa yang akan ditanyakan Sidney padanya.

"Kamu sudah sarapan?"

"Belum ma, baru bangun." Jawabnya malas.

"Mama kirimin sarapan ya. Biar diantar pakai motor aja sama Rudi." Nama yang terakhir adalah salah seorang satpam dirumah orang tuanya.

"Dilantai bawah juga ada cafe ma. Aku bisa sarapan disana."

"Ah, kamu mah. Entah kapan sarapannya. Nggak baik melewatkan sarapan. Bisa mengganggu lambung dan konsentrasi kamu. Gimana sih, yang begini aja harus mama ingatkan. Kalau nunggu kamu bangun. Bisa bisa jam sepuluh baru kamu sarapan." Omel mamanya.

Matt mengambil bantal dan menutup wajahnya.

"Matt, jangan menutup muka kamu pakai bantal kalau mama lagi ngomong." Teriak Sidney lagi dari ujung telfon.

Ini mama punya cctv apa sih? Sampai selalu tahu sedetail itu?

"Enggak ma, aku cuma masih ngantuk. Ya udah mama kirim aja sarapanku. Dititip sama satpam ya." Jawab Matt akhirnya. Berdebat dengan ibu suri tidak akan pernah menang. Kekuasaan mama jauh diatas segalanya.

***

Siang itu, Matt melangkah memasuki restoran The Tavern. Ia ada janji dengan beberapa petinggi kantornya. Ada beberapa proyek yang tengah mereka kerjakan. Dan ia ingin oembicaraan dilakukan dengan santai. Setelah beberapa hari ini ia sibuk rapat dengan beberapa investor yang tertarik menanamkan modal.

Mengenakan kemeja batik dan celana jeans putra pertama Bragy itu tampak lebih muda. Sebuah kacamata minus bertengger diwajahnya membuatnya semakin terlihat tampan.

"Siang pak." Sapa para staffnya.

"Siang." Jawab Matthew sambil tersenyum. Ia kemudian duduk di kursi paling ujung. Menghadap semua hadirin.

"Sudah pesan?"

"Sudah pak, tadi sambil nunggu bapak."

"Ok, terima kasih sudah datang. Dan maaf saya mengganggu weekend kalian. Karena besok pagi saya akan ke Bogor. Dan senin ke Pontianak. Saya malas ribet dengan tele conferences. "

Para staffnya segera mengangguk. Matthew memang dikenal sebagai atasan yang tidak suka membuang waktu. Apalagi untuk urusan pekerjaan. Mereka semua harus siap  kapanpun dipanggil. Karena nantinya sang atasanlah yang membagi tim untuk proyek proyek berikutnya.

Mereka melakukan pertemuan sampai sore. Tidak terasa waktu bergulir. Rapat itu berakhir pukul empat sore. Setelah pamit, Matthew segera menuju kediaman Jessi. Ia ingin menjemput Samudra untuk menghabiskan waktu diakhir pekan.

Sampai di rumah mantan istrinya itu pukul tujuh malam. Disambut langsung oleh Sam yang berdiri dteras berikut kopernya. Wajahnya cemberut saat melihat sang ayah muncul.

"Kenapa daddy lama sekali?" Protesnya

"Maaf, Daddy tadi ada rapat. Sudah lama menunggu?"

"Dari jam lima sore."

"Kita berangkat sekarang. Mommy mana?"

"Sudah keluar, katanya ada acara."

"Okay, Lets go boy." Ajak Matthew sambil menggendong putranya.  Wajah cemberut Sam segera berganti dengan tawa.

"Kita mau kemana dad?"

"Malam ini kita akan menginap di bogor. Besok main sepeda di kebun raya. Kamu mau ikut kan?"

"Mau.. mau... mau. Aku pakai sepeda sendiri ya."

"Ok, kita mampir ke rumah eyang dulu. Sekalian ambil sepeda kamu."

Segera Sam terlonjak disebelahnya. Inilah yang disukai putra sulungnya. Bermain di alam, sesuatu yang selalu dilarang oleh mommynya. Karena tidak suka anaknya kotor atau terluka. Meski itu bertentangan dengan keinginan Matthew. Ia suka anaknya bersentuhan dengan alam. Dan selalu membuat aturan no gadget saat mereka menghabiskan waktu bersama.

Tak lama mereka sampai di kediaman Bragy. Sam segera melompat keluar menemui sang nenek.

"Eyang putri.." teriaknya

Sidney yang tengah menyiapkan makan malam bergegas menyongsong cucunya. Kemudian memeluk dengan erat.

"Hi Sam, how are you boy?"

"Fine Eyang. I miss you."

"Miss you too." Bisik Sidney sambil mencium kedua belah pipi merah Sam dengan gemas.

"Eyang masak apa?"

"Ada sup makaroni kesukaan kamu."

Sang cucu kembali melompat kegirangan. Ia sangat suka berada ditengah keluarga ayahnya. Mereka lebih membebaskannya. Sehingga ia boleh bermain sepuas hati. Sangat berbeda dengan aturan di rumah mommy. Disana Sam akan dijaga seperti porselen. Digigit nyamuk saja bisa membuat Jessi meradang dan memarahi kakak asuhnya.

Sementara saat bersama ayahnya, Sam tidak pernah didampingi pengasuh. Matt akan membiarkannya melakukan apa yang ia suka. Tidak peduli kalau harus jatuh atau kotor. Bahkan mereka sering mandi hujan bersama. Pernah juga bermain lumpur disawah. Semua permainan anak laki laki selalu diperkenalkan Matthew pada putranya.

"Ayo makan dulu." Ajak Sidney pada mereka semua.

Bergegas semua memasuki ruang makan. Karena memang sebenarnya mereka sudah kelaparan. Terutama Sam.

"Oh ya Matt, mama dikirimin undangan. Pernikahan temen kamu. Anton!"

"Iya ma, kemarin dia nanya alamat. aku udah dihubungin sih. Aku juga diminta jadi groomsmen."

"Oh ya? Kamu bisa?"

"Ya, aku udah janji. Dante sama bagas juga ikutan."

"Menikah sama siapa dia?"

"Namanya Alea. Putrinya Semeru. Yang vokalis band lawas itu."

Sidney hanya mengangguk.

"Sam boleh ikut dad?"

"Nanti daddy coba minta ijin sama mommy kamu ya."

"Bukannya itu hari sabtu?" Tanya Bragy

"Iya sih, tapi papa tahu Jessy kan. Bisa bisa dia sudah punya jadwal sendiri."

"Aku mau sama daddy saja. Kalau sama mommy nanti cuma diajak ke mal sama belanja. Aku malas!" Rajuk Sam.

Matthew menghentikan suapannya. Pembicaraan menyangkut Jessi selalu memperburuk moodnya. Namun ia tidak boleh menunjukkan hal tersebut didepan putranya. Akhirnya Matt memilih menjawab,

"Nanti daddy coba bicarakan lagi ya. Supaya setiap weekend kita bisa sama sama."

"Janji?" Tanya Sam sambil menyodorkan jari kelingkingnya.

Sang ayah tersenyum sambil menautkan kedua jari mereka. Menyelesaikan masalah dengan seorang anak kecil jauh lebih mudah. Dibandingkan dengan seorang dewasa bernama Jessi. Yang secara kebetulan adalah ibu dari seorang Sam. Darah dagingnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top