- c h a p t e r t w e l v e
“An attack that feels deja vu is karma.”
.
.
.
GELAK tawa yang memecah markas Rising Sun yang berada di Gangseo sekonyong-konyong sepi bagai tonggeret malam yang sengaja diinjak manusia agar berhenti berbunyi tatkala segerombolan gangster dari Jepang menyerang tanpa aba-aba. Tanpa sapaan hangat maupun ketukan pintu, mereka datang langsung mengacaukan tempat itu. Para anggota Rising Sun cukup terkenal kuat, sehingga mereka selalu siap jika tiba-tiba ada penyerangan seperti ini.
Suara pukulan, erangan, dan gedebuk tubuh yang dibanting ke lantai maupun membentur dinding bersatu menjadi ritme suara yang abstrak. Bahkan, mereka tidak hanya menggunakan anggota tubuhnya saja untuk bertarung, tetapi alat pemukul seperti besi maupun kayu menjadi senjata pembantu mereka dalam bertarung. Mereka sebenarnya takkan menggunakan alat-alat seperti itu layaknya pecundang, tetapi orang-orang yang menyerang duluan membawa alat pemukul seperti itu.
Denting pemukul golf dan pemukul bisbol beradu, salah satu alat di antaranya jatuh, yaitu pemukul golf yang jatuh terpelanting entah ke mana di tengah kerumunan pertarungan. Si pemukul bisbol mendapatkan kesempatan untuk itu dan tak menyia-nyiakan untuk menyerang tubuh si pemukul golf hingga babak belur dan tak sadarkan diri. Kemudian di sudut lain, orang yang menggunakan pemukul kayu terpaksa kehilangan senjatanya ketika pemukul kayu itu dipukulkan ke kepala lawan. Entah kepala lawan yang kuat ataukah pemukul kayunya yang tidak kuat, sehingga pemukul kayu itu terbelah menjadi dua. Namun, sepatutnya orang yang berkepala plontos memang punya kekuatan kepala tersendiri, mungkin.
Para penyerang tentu saja menggunakan bahasa Jepang yang tidak dipahami oleh para anggota Rising Sun. Mengingat yang menyerang pun terbilang cukup banyak, sepertinya kelompok gangster dari Jepang ini bukan gangster yang bisa diremehkan. Bahkan, sebagian besar anggota Rising Sun sudah dilumpuhkan oleh para anggota gangster dari Jepang.
Selayaknya sang ketua kelompok yang muncul di saat-saat terakhir, Ahn Seonggeun akhirnya muncul. Bukan tanpa sebab batang hidungnya baru muncul, ia baru saja selesai melakukan bisnis gelapnya di suatu tempat yang tak jauh dari markas Rising Sun. Seolah-olah para anggota kelompok gangster dari Jepang itu tahu sosok wajah Seonggeun, mereka beralih menyerangnya bagai semut mengerubungi makanan manis. Namun, anggota Rising Sun yang masih bertahan tidak akan membiarkan ketuanya disentuh seujung kuku, mereka pun menghadang mereka dengan sisa tenaga.
Namun, tetap saja Seonggeun berkelahi dengan beberapa penyerang yang berhasil menyerangnya. Hingga sampai berakhirlah ia bertarung dengan salah satu ketua dari kelompok penyerangan itu. Seonggeun masih belum kewalahan, begitu pun dengan lawannya yang tidak bisa dianggap remeh. Mereka saling menyerang tanpa menghindar. Barang-barang yang berserakan di sana bahkan terkadang menjadi senjata mereka meski berakhir bertarung dengan anggota tubuhnya lagi.
Seonggeun merasa deja vu dengan penyerangan ini. Bukan ia yang pernah diserang, melainkan ia pernah menyerang markas Grave Moon yang berada di Gangbuk baru-baru ini. Sebelah sudut bibirnya menyeringai, ingat akan penyerang inj mungkin adalah karma. Namun, ia takkan menyalahkan atau merasa menyesal. Toh, memang kejadian seperti ini sudah biasa.
Tanpa tahu-menahu apa yang sebenarnya dipikirkan Seonggeun dengan bibirnya yang menyeringai itu, sang lawan menganggap kalau ia tengah diremehkan. Oleh karena itu, ia tampak beringas dari sebelumnya membuat Seonggeun kewalahan. Saat tenaga Seonggeun sudah melemah, sang lawan mengambil kesempatan untuk menggunakan teknik clinch guna menjatuhkan ritme lawan. Seonggeun berontak, tetapi kunciannya terlalu kuat, ditambah dirinya pun sudah hampir kehabisan tenaga.
“Apa maumu?” tanya Seonggeun berteriak dalam bahasa Jepang tentunya.
“Kau masih bertanya apa mauku? Tentu saja nyawamu. Mata dibalas dengan mata, gigi dibalas dengan gigi, begitu pun nyawa dibalas dengan nyawa, Tuan Ahn.”
Seonggeun masih tidak mengerti, seingatnya ia tidak membunuh siapa pun. Memang benar ia banyak berbisnis dengan kelompok Jepang dalam bisnis jual beli narkoba, tetapi ia tidak sampai membunuh klien jika itu pun mereka tidak berulah lebih dulu. Namun, seingatnya akhir-akhir ini tidak ada yang berulah, sehingga ia pun tidak mengotori tangannya dengan darah. Sampai pada akhirnya ia ingat, salah satu rekan bisnisnya yang merupakan ketua kartel narkoba dari Jepang dibunuh oleh salah satu pembunuh bayaran yang merupakan rival bisnisnya juga.
“Keparat, Dante!” gumamnya mengerang.
“Bukankah kau yang terakhir kali bertemu dengan Ketua Murasaki saat itu untuk bisnis di penginapan hanok. Berarti kau yang membunuhnya, Keparat!”
Benar, rupanya mereka menyangka pihak Gangseo, lebih tepatnya Seonggeun yang membunuh ketua mereka karena diketahui berada di tempat kejadian. Alih-alih mengerang kesakitan sebab kunciannya semakin erat, Seonggeun malah tertawa terbahak-bahak. Tentu saja membuat pria Jepang yang menguncinya marah merasa dipermainkan.
“Kau salah target. Bukan aku yang membunuhnya, sialan!”
“Mana ada pembunuh yang mengaku, pasti kau berbohong.”
Kuncian clinch semakin erat tanpa ampun. Jika Seonggeun tidak bisa melepaskan diri, tulangnya bisa-bisa remuk, bahkan saat ini saja ia sudah sesak bernapas. Lekas ia harus segera mengungkapkan siapa pembunuhnya berhubung ia saksi pada saat itu. “Dante. Ah, tidak, maksudku Park Taehyung, ketua gangster Grave Moon dari Gangbuk yang membunuh Ketua Murasaki. Aku saksi yang berada di sana ketika akan bertransaksi dengan beliau.”
Namun, dikira akan merasa lega telah mengutarakan yang sebenarnya, ternyata tidak. Pria itu tanpa belas kasihan memukul Seonggeun dengan kekuatan penuh sampai tak sadarkan diri.
“Ya, kau tak membunuhnya, tetapi kau mengambil kesempatan mencuri barang kami saat itu, dasar keparat!” cecarnya, lalu meludahi wajah Seonggeun sebelum mereka melarikan diri dan menuju tempat selanjutnya. Grave Moon yang berada di Gangbuk.
***
Sedangkan Jungkook yang berada di ruangan Taehyung, tampak duduk di kursi kerjanya sembari menatap foto berpigura yang dipajang di meja kerja Taehyung. Tampak di sana ada tiga pemuda saling merangkul satu sama lain dengan senyuman lebar berlatar belakang pantai Santa Monica. Dia mengambil pigura foto, lalu mengeluarkan selembar foto dari tempatnya. Di balik foto tersebut tertulis ‘Three fighter brothers, Dante, Daniel, Justin.’ Garis bibirnya membentuk kurva tatkala memandang foto itu dan memorinya membawa pada empat tahun yang lalu.
“I LOVE LOS ANGELES!”
Teriakan antusias mengudara dari ceruk bibir ranum Yeonjun, tak peduli dengan rasa malu diperhatikan penduduk lokal maupun turis yang tengah berlibur di sana. Begitu pun dengan mereka yang berlibur sekaligus menemani Taehyung yang mempunyai urusan bisnis. Judul berliburnya pun istimewa, sebagai perayaan Yeonjun lulus dari sekolah menengah atas. Katanya, di usianya yang legal pun lulus sekolah ia ingin menikmati minuman beralkohol di Los Angeles, begitulah alasannya ia memaksa ikut kakaknya. Padahal tidak ada bedanya, itu hanya akal-akalannya saja yang ingin berlibur.
Usai beristirahat sejenak di hotel sehabis penerbangan yang panjang, seolah-olah gawai berkualitas terbaik yang bisa mengisi daya penuh lebih cepat, Yeonjun menarik kedua kakaknya itu pergi ke Pantai Santa Monica sembari mencari tempat untuk makan malam nanti. Padahal makanan hotel juga cukup lezat, tetapi ada saja alasan Yeonjun yang merengek kalau menyantap makanan di restoran tepi pantai itu lebih nikmat. Mau tak mau Taehyung menuruti adik kesayangannya, kalau Jungkook tentu saja tergiur dengan ide Yeonjun.
Sebentar lagi rona biru langit yang memoles cakrawala akan berganti dengan polesan rona jingga. Itulah pemandangan paling indah yang ditunggu-tunggu setiap orang di tepi pantai. Apalagi menyantap hidangan laut ditemani indahnya sang mentari terbenam akan menjadi momen yang harus benar-benar diabadikan. Masih ada waktu untuk mencari tempat makan malam nanti, mereka melihat pernak-pernik yang dijual di sana, lalu berakhir menyusuri pantai. Layaknya para pemuda penuh semangat, melupakan identitas mereka yang merupakan anggota gangster berstigma menakutkan di mata orang biasa, mereka tetaplah para pemuda biasa yang menginginkan kebebasan bersenang-senang. Tidak lupa juga mereka mengabadikan momen yang ditangkap oleh lensa kamera ponsel.
Tidak terasa waktu yang mereka habiskan untuk bersenang-senang sampai rona jingga sudah memoles di atas kepala mereka. Segera mereka mencari tempat makan yang masih kosong agar bisa menikmati hidangan makan malam seraya menyaksikan matahari terbenam. Sembari menunggu, Yeonjun mengecek hasil tangkapan foto di ponselnya. Dia tampak puas, kentara dari senyuman yang merekah sampai tulang pipinya ikut menonjol. Kemudian, ia berceletuk, “Oh, ya, biasanya orang Korea seperti kita juga bisa punya nama Amerika atau nama barat, apa pun itulah namanya. Kata Ibu kami, nama asingku Daniel, sedangkan Kak Taehyung ingin menamainya Dante. Nah, Kak Jungkook, kau ingin menggunakan nama apa?”
Jungkook tampak berpikir, ia menggaruk dagunya yang tak gatal. “John?”
Taehyung dan Yeonjun saling berpandangan menahan tawa, sedangkan Jungkook hanya menatap kedua Park bersaudara itu kebingungan. Apa ada yang salah? Begitulah kira-kira pikirnya.
“Kau yakin? Kaupikir kau itu John Lennon?” kelakar Yeonjun, lalu diikuti dekah yang tak kuat ia tahan sampai berakhir perutnya sakit. “Maaf, Kak, aku pikir itu lucu. Ah, karena kau ingin tetap namanya dari huruf J, bagaimana kalau Justin?”
Jungkook hanya mengangguk-angguk saja menerima, ia pun memang antusias mendengar rekomendasi namanya dari Yeonjun. Justin, terdengar memang cocok dengannya. “Okay, kupakai Justin saja.”
Sang mentari akhirnya mulai setengah terbenam, hidangan laut pun sudah tersaji di hadapan mereka. Momen indah ini paling cocok dengan pahit manisnya minuman alkohol, begitu menurut mereka, dan wine menjadi pilihan mereka. Lekas wine yang sudah tak sabar ingin mengaliri kerongkong dituangkan ke dalam gelas wine masing-masing. Tentu saja, tidak afdhal jika sebelum menikmati manisnya anggur tidak bersulang. Ketiga gelas itu beradu menghasilkan dentingan, lalu ketiga gelas dijunjung tinggi. Mereka juga berseru, “For three fighter brothers, Dante, Daniel, Justin!”
Momen indah itulah bagaimana mereka mereka mendapatkan nama asing mereka, lebih tepatnya Jungkook yang baru pertama kali mendapatkan nama asingnya. Kembali, Jungkook menaruh foto berpigura itu ke tempat asalnya. Kedua lengannya ia tumpukan di atas meja, beberapa menit kemudian ia terlelap damai di alam mimpi tanpa tahu-menahu apa yang akan terjadi selanjutnya.[]
—110122, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top