- c h a p t e r t e n
“Three boys under rain.”
.
.
.
“MAAFKAN aku Jimin. Semua ini karenaku. Aku sudah membunuhmu.”
Raungan tangis beserta kata-kata penyesalan yang konstan keluar dari ceruk bibir pemuda tanggung itu terdengar di area pemakaman. Justru karena sepi, semakin terdengar. Bisa saja para penghuni yang sedang beristirahat di dalam tanah itu merasa terganggu karena tangisannya.
Entah sudah berapa lama pemuda bermata bulat itu duduk bersimpuh di depan nisan berukir 'Han Jimin'. Netra bulat cerahnya kini sudah bengkak karena kebanyakan menangis. Begitu pun langit seolah-olah mengerti apa yang dirasakan pemuda itu, sehingga ia menurunkan hujan, menemani tangisannya. Meski hujan semakin deras, ia tetap setia di posisinya, dan membiarkan tubuh yang masih terbalut seragam sekolahnya basah kuyup.
Tak jauh dari tempatnya bersimpuh, seorang pemuda tanggung dengan usia yang tak begitu jauh terpaut dengannya tampak berlari melawan hujan di area pemakaman bersama seorang anak laki-laki sekitar berusia 12 tahun yang merupakan adiknya. Mereka berhenti karena sang adik sekonyong-konyong menghentikan langkah mereka.
“Ada apa, Yeonjun? Cepat, hujannya makin deras! Kita berteduh dulu di bawah pohon itu.”
Yeonjun tak menjawab, ia hanya memandang ke arah pemuda tanggung yang masih menangis di depan makam seseorang. Kakaknya, yang tentu saja ia adalah Taehyung, mengikuti ke mana arah adiknya memandang.
“Kak, bukannya dia yang selalu datang kemari sama seperti kita? Kudengar ia selalu mengucapkan kalimat yang sama: 'Maafkan aku, aku sudah membunuhmu' seperti itu. Tak mungkin bukan jika ia membunuhnya, ia selalu datang kemari? Memangnya ada pembunuh yang menyesali perbuatannya dengan terus mengunjungi makam korban, bukankah ia sama dengan menggali kubur sendiri? Bisa saja ia tertangkap oleh keluarganya dan dilaporkan polisi jika terus berada di sana?” celoteh Yeonjun dengan bibir tebal cerewetnya itu. “Ah, benar, seharusnya ia berada di balik jeruji jika ia telah membunuh seseorang, bukankah begitu, Kak?”
Helaan napas Taehyung mengudara, Yeonjun itu cerewet, tetapi ia berusaha tidak pernah lelah mendengarkan celotehannya itu. “Ya, mungkin saja ia selamat dari hukum karena masih di bawah umur,” ia menanggapi adiknya sembari menarik kembali tangan adiknya untuk melanjutkan langkahnya menuju pohon zelkova besar yang tak jauh dari pijakan mereka.
“Bukannya ada yang namanya penjara anak? Bisa saja ia masuk ke sana, 'kan?” tanya Yeonjun lagi seolah-olah belum ada habisnya rasa keingintahuan dan pengetahuannya juga. Sementara itu, Taehyung belum lekas menjawab meski sudah sampai di bawah pohon untuk berteduh.
Yeonjun masih memandanginya dari jauh, lalu ia berkata lagi, “Tapi kurasa ia tidak terlihat seperti seorang pembunuh. Dia tidak bersalah, Kak.”
“Bagaimana bisa kautahu dia bersalah atau tidak? Manusia itu mengerikan, Yeonjun. Bisa saja dia benar-benar bersalah, tetapi berakting seolah-olah tidak bersalah.”
Yeonjun berdecak sebal mendengar argumen yang berseberangan dengannya. Bukan Park Yeonjun juga jika ia tak melawan perdebatan kakaknya agar ia menang. “Dengar, ya, Kak, tak ada seorang pembunuh yang terus mengakui dirinya pembunuh, kecuali memang kejadiannya tidak disengaja dan ia merasa semua itu terjadi karenanya.”
Masuk akal. Taehyung juga jadi ikut tidak bisa menyangkal argumen adiknya itu. Memang benar, tak ada pembunuh yang mengakui sendiri perbuatannya, kecuali memang tidak disengaja. Ia juga menyadari setiap rasa bersalah yang digaungkan oleh pemuda tanggung di sana layaknya seseorang yang tak sengaja melakukan kesalahan. Terus saja melontarkan kalimat yang sama setiap kali ia dan Yeonjun datang ke makam ibunya, selalu ada pemuda itu di sana.
“Hei, Yeonjun, kau mau ke mana?” teriak Taehyung ketika menyadari adiknya sudah berlari melawan hujan deras menuju pemuda tanggung itu bersimpuh. “Aish, anak itu benar-benar!”
Mau tak mau Taehyung mengejar sang adik, ia harus menjaganya seperti pesan terakhir sang ibunda. Kendati memang mengurus Yeonjun yang kepala batu itu sulit sekali, tetapi lebih batu Taehyung sebenarnya.
Tertangkap sudah pergelangan tangan Yeonjun meski sudah sampai di depan pemuda tanggung bermata bulat itu. Ia terkejut akan presensi kedua Park bersaudara berada tepat di hadapannya, sehingga tubuhnya hampir terhuyung ke belakang jika ia tak menahannya. Lekas pemuda itu mengusap matanya yang basah akibat hujan bercampur air mata. Namun ajaibnya, begitu ia menyeka air mata, hujan pun seketika berhenti. Seolah-olah memang air hujan itu adalah air mata pemuda itu juga. Bahkan, Yeonjun saja terkejut.
“K-kalian siapa?”
Bukannya menjawab sinkron dengan pertanyaan yang diajukan, Yeonjun malah bertanya balik, “Kakak dewa hujan? Kenapa bisa ketika kau berhenti menangis, hujan pun ikut berhenti?”
“Aku tidak menangis. Jangan sok tahu, bocah!” sangkal pemuda itu dengan ketus demi menyembunyikan rasa malu.
Taehyung yang tak terima adiknya itu dibentak, lekas berkata, “Hei, jangan begitu pada adikku. Lagi pula, mau terus menyangkal pun kau tak bisa. Toh, setiap kali kami kemari, pasti ada kau di sini tengah menangis dan meraung. Seolah-olah kau juga memberitahukan pada dunia jika kau itu seorang pembunuh. Kami mendengarnya jelas, bodoh.”
Mulut pemuda itu bungkam bagai kedua bilah bibirnya dilak. Ya, ia tak bisa menyangkal lagi.
Taehyung menarik lengan Yeonjun agar menjauh dari tempat itu. “Jangan terus menyalahkan dirimu, percayalah semua yang terjadi itu takdir,” ucap Taehyung sebelum benar-benar meninggalkan pemakaman. Netranya tak sengaja melihat gantungan kunci berlogo kelab tinju yang menggantung di ransel pemuda tanggung itu, seolah-olah ia paham apa yang terjadi, ia lanjut berkata, “Kau bisa keluar dari bayang-bayang yang terus menghantuimu jika kau keluar dari tempat yang membuatmu teringat akan dirinya, mungkin kaubutuh tempat baru dan melupakan apa yang terjadi.”
“Maksudmu?”
“Kau bisa temui aku lagi jika kau tertarik masuk ke tempatku,” ujar Taehyung disertai sebelah bibirnya terangkat. Ya, kapan lagi ia bisa merekrut anggota baru yang sudah memiliki dasar bela diri dalam dirinya.
Sementara itu, Yeonjun menyambar, “Maksud Kak Taehyung, kau bisa jadi teman kami.”
Kedua mata Taehyung membelalak, lalu berbisik, “Aku tak mengatakan itu. Maksudku bukan itu, Yeonjun.”
Yeonjun adalah Yeonjun, hatinya sebaik hati sang ibu. Memang benar jika Yeonjun lebih mewarisi segala hal yang ada pada ibunya. Dia tak mendengarkan perkataan Taehyung, ia malah melangkah maju dan menarik lengan pemuda itu tanpa permisi. Bahkan, ia tak takut atau merasa sakit hati sekali pun meski tadi pemuda itu berkata dengan nada ketus padanya. Kini pemuda itu pun tak menolak, langkahnya pun seolah-olah memang harus mengikuti bocah lelaki yang menarik lengannya.
“Ayo, kata Kak Taehyung kita akan pergi ke kedai kalguksu untuk menghangatkan tubuh. Kakak bisa ikut juga dengan kami, Kak ....?”
“Jungkook. Kim Jungkook,” jawabnya pelan terkesan malu-malu.
“Oh, Kak Jungkook, ayo!”
Sementara itu, Taehyung sudah tak bisa berkata apa-apa lagi menghadapi segala tindak-tanduk adiknya yang tak terduga. Adiknya itu bahkan banyak membual dan tak menghiraukan pendapat atau perkataannya. Mau tak mau ia mengikuti langkah adiknya di mana Yeonjun berada di tengah-tengah para pemuda tinggi.
Taehyung merangkul adiknya, Yeonjun pun ikut tersenyum antusias. Sedangkan Jungkook yang berada di samping mereka, spontan mengulas senyum kecil ketika memperhatikan interaksi akur kedua Park bersaudara. Entah kapan terakhir kali ia bisa tersenyum.
“Oh, ya, nama kalian siapa?”
“Aku Park Yeonjun. Dia kakakku ….” Yeonjun menyikut kakaknya.
“Taehyung.”
Ketiga pemuda itu beriringan berjalan menyusuri jalanan basah. Aroma petrikor yang khas pun tercium setiap kali mereka melangkah. Begitulah awal mula ketiga pemuda itu berteman meski sebenarnya Yeonjun lah yang mengikat ketiganya berada dalam tali persahabatan.
Kenangan itu sekonyong-konyong berhenti bagai film yang terpaksa dijeda oleh Jungkook ketika pintu masuk kelab olahraga yang berada di Gangbuk itu didobrak. Tampaklah wajah familier di belakang para bawahannya.
Ahn Seonggeun, pria itu datang tanpa sopan santun bersama Rising Sun dari Gangseo. Serangan tanpa aba-aba mengacaukan isi kelab olahraga menjadi sapaan mereka. Jungkook pun tak tinggal diam, ia lekas bertarung terlebih dulu dengan anggota gangster Rising Sun sebelum mencapai sang ketua.
Padahal ia baru saja berolahraga tadi, kini malah diberikan olahraga tambahan dengan membanting tubuh para lawan. Tangannya memukul dengan cekatan sampai sang lawan tersungkur. Semakin ia ingin mencapai Seonggeun, semakin banyak pula yang menghadang agar ketuanya itu tidak bisa disentuh. Namun, bukan Jungkook, tangan kanan Taehyung, jika ia gagal bertarung dengan Seonggeun.
Dia memelintir lengan lawan ke belakang, lalu memukulnya dengan siku pada tengkuk. Kemudian, satu lawan terakhir pun berhasil ia banting tubuhnya.
Di tengah-tengah keributan antara anggota Grave Moon dan Rising Sun, aura yang lebih kuat terpancar dari para ketua yang kini sudah mulai bertarung—lebih tepatnya Jungkook menjadi ketua pengganti. Mereka saling memukul satu sama lain tanpa menghindar. Kentara sekali jika keduanya memiliki aliran bela diri yang sama, yaitu tinju. Benar-benar lawan yang sepadan. Namun, Ahn Seonggeun, yang pernah menduduki juara pertama di kejuaraan nasional, takkan pernah menodai gelar yang pernah diraihnya. Dia tak mungkin membiarkan Jungkook yang pernah menjadi juniornya itu mengalahkannya.
Begitu pun Jungkook yang memiliki tekad kuat untuk menang pun tak mau kalah. Dia semakin beringas melawan Seonggeun dan berusaha mengincar area vital. Namun, Seonggeun takkan membiarkannya semudah itu. Hingga pada akhirnya, pria Ahn berhasil membuat Jungkook jatuh tak berdaya.
Seonggeun naik ke atas tubuh Jungkook guna menguncinya. Sementara itu, Jungkook yang kondisinya sudah babak belur, tak lupa darah yang berasal dari hidung dan sudut bibirnya, juga napasnya sudah tersengal-sengal berusaha agar tetap sadar.
“Di mana Dante?”
Tak ada jawaban dari mulut Jungkook, hanya seringaian yang ia terima. Seonggeun sudah habis kesabarannya, lalu mencengkeram kedua rahang Jungkook dengan keras, tak peduli sang empu sempat meringis.
“Lalu, kenapa kau kemari tiba-tiba menyerang kami?”
“Mengunjungi kalian yang kurang ajar dan ini sapaan dari kami.”
“Konyol—akh.” Seonggeun semakin memperkuat cengkeramannya, sehingga Jungkook merasa kesakitan.
“Tentu saja, aku masih tidak terima dituduh sebagai pembunuh adik sialan kalian, bangsat!” teriak Seonggeun tepat di depan wajah Jungkook. Dia menyeringai. “Apa si Dante itu kabur ke Vladivostok karena cepat atau lambat akan diburu gangster dari Jepang? Karena dia yang membunuh ketua mereka.”
Jungkook menyeringai, lalu tertawa kesetanan. Seonggeun menatapnya bengis merasa dipermainkan. “Tunggulah. Dia akan memberimu hadiah spesial yang takkan bisa dilupakan, Senior Ahn.”[]
—090122, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top