- c h a p t e r s i x

Lacrimosa.”

.
.
.

GELAP. Semuanya gelap gulita. Tungkainya memang terasa berpijak di atas permukaan, penghidunya masih berfungsi untuk bernapas, rungunya pun mendengar alunan musik, tetapi indera penglihatnya gelap. Taehyung rasa kelopak matanya terbuka, apakah ia mendadak buta? Apakah ini balasan atas dosanya?

Musik yang berasal dari alunan piano, terdengar familier. Ya, ia ingat. Yeonjun memainkannya ketika rindu mendiang sang ibunda mereka. Sebuah aransemen musik yang selalu diasosiasikan dengan rasa sedih dan kematian karya sang maestro Wolfgang A Mozart yang berjudul Lacrimosa. Aransemennya yang unik dari seorang maestro jenius ini memiliki tingkat tinggi yang konon katanya menyimpan banyak misteri sebab partiturnya ditulis tepat menjelang kematiannya yang seolah-olah memberikan pesan terakhir.

Sekujur tubuh Taehyung kaku, tak bisa melangkah ke mana pun. Kemudian, di tengah kegelapan akhirnya secercah cahaya dari atas menyorot seorang pemuda dengan balutan tuksedo duduk tegak di atas kursi memainkan musik Lacrimosa dengan jemari tangannya menari indah di atas tuts piano. Sosok itu sangat familier terlihat dari profil sampingnya. Taehyung memicingkan mata yang ternyata tidak buta, lalu membulatkan matanya tatkala wajah pemuda itu kini menatapnya perlahan. Sosok yang ia rindukan, tetapi penuh rasa bersalah jika bertemu dengannya. Park Yeonjun, adiknya itu tengah tersenyum ke arahnya. Ingin sekali Taehyung berlari ke arahnya dan mendekap. Namun, tubuhnya kaku. Yang bisa ia lakukan hanya membalas senyuman sang adik.

Bilah bibirnya menyingkap hendak memanggil, “Yeonjun!”

Park bungsu itu beranjak dari duduknya, ia menjauh dari tuts-tuts piano yang bermain dengan sendiri. Ini aneh, bagaimana bisa begitu? Apakah hantu yang memainkannya? Sebenarnya Taehyung ada di mana? Yeonjun melangkah mendekati sang kakak dengan senyum cerah dan kedua tangan yang terbuka lebar hendak memeluk. Tentu saja Taehyung merasa senang. Ingin menyambutnya, tetapi tubuhnya kaku.

Namun sesuatu terjadi, tatkala Yeonjun berada tepat di hadapannya, senyuman manis memudar dan sorot kasih sayang dari matanya berubah menjadi kebencian. Kedua tangan yang disangka hendak mendekapnya, ternyata malah mencekik lehernya.

“Kak, kenapa kau tidak datang ke acara resital pianoku? Jika kau datang, semua ini takkan terjadi. Yeonjunmu tidak akan berakhir semenyedihkan ini.”

Cekikannya semakin erat, membuat Taehyung sesak napas. Dia ingin melawan, tetapi tubuhnya kaku. Sorot matanya melemah menatap sang adik memohon agar melepaskan cekikan dari lehernya. Sayang, sorot mata yang menyalang sarat akan kebencian membutakannya. Tak peduli di hadapannya adalah kakaknya, memiliki darah yang sama.

“Kutanya sekali lagi, apakah hasrat membunuhmu lebih tinggi sehingga mengingkari janji kalau kau akan datang ke acara resitalku? Asal kau tahu, pada hari itu artinya korbanmu tak hanya satu, tetapi dua. Kau juga membunuhku, Kak,” sambungnya dengan amarah yang melalap jiwa yang diakhiri tangisan. Begitu pun Taehyung, setetes air mata mengalir karena rasa sakit yang ditahannya sekaligus rasa bersalah.

“M-m-kh-ma-af—YEONJUN!”

Taehyung yang terbaring di atas ranjang terbangun secara sekaligus. Netranya menyingkap sempurna dengan lebar, peluh sudah membanjiri wajahnya, dan napasnya terengah-engah. Dia memindai ruangan bercat abu-abu tua, bukan sebuah ruangan gelap gulita yang entah seberapa luasnya dan hanya ada sebuah piano di bawah sorotan cahaya. Tadi hanyalah sebuah mimpi buruk, tetapi sakitnya benar-benar nyata. Lekas ia menjauhkan kedua tangannya dari lehernya yang ternyata rasa sakit dan sesak tadi disebabkan ia mencekik dirinya sendiri.

Jam dinding bundar menunjukkan pukul dua dini hari. Lekas ia beranjak dari ranjang dan masuk ke kamar mandi yang berada di kamarnya. Barangkali mencuci muka akan membuatnya tenang sedikit. Kemudian, ia membiarkan tungkainya melangkah keluar rumah di mana rembulan masih menemani gulita dan mentari belum waktunya menampakkan diri.

Sebuah kamar yang terpisah ini mengarah ke hamparan lautan yang kini tak lagi berwarna biru zamrud. Warnanya tentu saja selalu sama dengan warna langit. Juga ternyata selasar saat sore tadi merupakan selasar dari kamar yang kini ia tempati. Bokongnya ia daratkan di kursi kayu yang sama ia duduki sore tadi. Sepuntung rokok ia keluarkan dan pemantik api sudah menyalakannya agar ia bisa menghisap nikotin yang membuatnya candu. Bersamaan kepulan asap yang keluar, ia berharap segala kekalutan dan keresahannya pun ikut keluar. Terutama kalimat Yeonjun di mimpi tadi yang konstan terngiang-ngiang dan alunan musik Lacrimosa dari piano penuh harap hilang dari inti jemala.

Namun, alunan musik itu malah semakin terdengar nyata. Suaranya terdengar dari sebuah bangunan kecil yang terpisah lima belas langkah dari rumah Paman Jung. Taehyung mendekati sumber suara dengan langkah kecil dan berhati-hati. Bohong kalau bulu kuduknya tak meremang mendengar suara alunan musik pada dini hari yang bersumber dari sebuah bangunan yang tampaknya selalu kosong. Siapa pula yang memainkan piano pada jam tidur?

Dia mengintip dari celah pintu yang tak tertutup rapat, tampak seorang pemuda memainkan piano. Daun pintu semakin terbuka tatkala ia mengira tengah berhalusinasi jika pemuda itu adalah Yeonjun yang kemudian tersenyum ke arahnya. Apakah ia arwah Yeonjun yang tak tenang menagih janjinya? Ia menggeleng secara masif bahwa analoginya benar-benar tak masuk akal.

Pada akhirnya, ternyata itu adalah Kai Jung, putra Paman Jung. Dia memainkan lagu yang sama dengan di mimpinya dan memang lagu yang sama yang selalu Yeonjun mainkan dulu, yaitu Lacrimosa. Musik yang mengartikan kesedihan dan kematian. Terdengar sedih dan merinding secara bersamaan.

Jemari panjang milik Kai berhenti menari di atas tuts-tuts piano simultan alunan musiknya pun berakhir. Tepukan pelan diberikan sebagai apresiasi yang ditanggapi dengan senyuman menawan dari pemuda Jung.

“Maaf, Kak, aku pasti membuatmu terbangun, ya?” tanya Kai sembari meringis merasa bersalah.

Taehyung hanya menggeleng dan melemparkan senyum simpul. “Tidak. Aku terbangun karena ….” ia terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah ia harus jujur mengatakan penyebabnya karena mimpi buruk ataukah tidak. Namun, jawabannya tidak. “… karena tiba-tiba terbangun saja dan tak bisa tidur lagi. Dan kau? Belum tidur atau terbangun?”

Kai menggeleng. “Belum tidur,” jawabnya.

“Insomnia?”

Kind of.

Kedua lelaki itu terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya terdengar deru napas dan desau angin laut yang menyusup lewat celah-celah pintu dan jendela. Suasananya benar-benar terasa suram pun didukung suhu yang dingin, semakin terasa saja Kai tadi habis memainkan musik yang terasosiasi dengan kesedihan dan kematian.

“Lacrimosa,” celetuk Taehyung membuat Kai menoleh cepat, menatapnya ingin penjelasan lebih lanjut mengenai alasan kakak sepupunya itu tahu judul dari musik yang ia mainkan. Setahunya dari dulu Park sulung tak pernah tertarik dengan musik, bertolak belakang dengan adiknya. “Aku tahu judulnya dari yang tertulis di kertas partitur yang selalu tergeletak di atas piano Yeonjun. Dia sering memainkan itu kalau rindu ibu kami.”

Kai mengulas senyum sebagai respons. Benar, sudah ia duga. Pasti Yeonjun.

“Kau … sedang rindu ibumu juga, Kai?” tanyanya. Terdengar lancang memang, tetapi ia tak bisa menahan lebih lama lagi. Kalimat itu terlontar begitu saja meski pada awalnya berhati-hati.

Helaan napas mengudara, pemuda blasteran itu kini menatap lurus ke luar jendela di mana setiap kali memainkan piano selalu menghadap jendela yang menyajikan hamparan laut indah.

“Bohong kalau aku tak rindu Ibu. Sangat, aku sangat merindukannya,” jawabnya tegar, meski masih terselip rasa pilu. “Andai waktu bisa diputar, aku ingin kembali ke masa lalu. Di mana aku masih kecil, walau sangat nakal, tapi aku sayang Ibu. Aku rindu masa-masa itu, masa di mana kita masih berkumpul lengkap dengan keluarga kita. Ibu, Ayah, Paman dan Bibi Park, Kak Taehyung, dan Kak Yeonjun. Oh, bermain dengan teman sekolahku si degil Beomgyu dan si jenius Taehyun juga, aku rindu mereka. Sampai sekarang aku tak tahu kabar mereka bagaimana.”

Celotehan Kai yang merindukan orang-orang terdekatnya lantas buat Taehyung ikut merasakan kerinduan. Benar, ia pun ingin membenarkan perandaiannya. Andai kembali ke masa lalu, ia pun ingin mengubah langkah awal yang ia pilih. Sangat ingin.

“Masa lalu hanya masa lalu, biarlah begitu. Masa depan tengah menunggu kita dan kita tengah melangkah ke sana, bukankah begitu? Meski kita tak tahu yang kita hadapi nanti, bohong kalau tak ada rasa takut untuk menghadapinya,” sambung Kai lagi, “menjadi dewasa itu mengerikan, banyak sekali ketakutannya. Aku merasa menyesal saat kecil ingin cepat-cepat dewasa.”

Taehyung dan Kai terkekeh geli. Keduanya membenarkan ungkapan terakhir Kai. Memang waktu kecil berpikir menjadi dewasa itu menyenangkan, bebas. Nyatanya, terkukung ketakutan. Dunia orang dewasa itu mengerikan, perlu mental yang kuat untuk menghadapinya.

Sepasang netra pemuda Park menyapu ke setiap penjuru ruangan. Bersih dan rapi. Namun, kosong. Hanya ada sebuah piano dan kursi kecil yang diduduki Kai, sebuah sofa panjang, lampu gantung, dan lukisan abstrak yang tergantung di dinding. Tidak seperti luarnya lebar dan ia kira tempat ini adalah gudang. Tungkainya melangkah menuju sofa panjang dan merebahkan diri.

“Kak, apa kau mau kumainkan lagu pengantar tidur?” tawar Kai tiba-tiba. Meski ada jeda sejenak sebelum Taehyung akhirnya mengiyakan. Lagi pula, ia butuh tidur yang cukup juga setelah perjalanan yang melelahkan tadi siang agar energinya terisi penuh.

Namun, Taehyung menghentikan permainan piano Kai. Bukan sebab permainannya buruk, tetapi musik lullaby yang dimainkannya terlalu mengingatkannya pada Yeonjun. Akhirnya, cerita nostalgia pada masa kecil mereka menjadi obat tidur yang manjur untuk keduanya. Taehyung yang terlelap di atas sofa; Kai kembali ke kamar tidurnya untuk tidur karena sudah mengantuk meski harus berjalan agak jauh ke dalam rumah. Pada saat itu pula, kekosongan mereka terasa terisi kembali. Perasaan ingin menjaga satu sama lain tumbuh. Justru ketakutan itulah yang ia harus hadapi, apakah Kai sangat menyayangi kakak angkatnya—Ahn/Jung Dalmi—atau tidak? Bagaimana kalau ternyata ia sangat menyayanginya, bukankah tak lantas jika rencana pembunuhannya berhasil, ia akan menyakiti Kai juga? Ternyata benar, rencana hanyalah sebuah rencana. Takkan berjalan mulus.[]

_____________

Ahn/Jung Dalmi a.k.a Annie (28)

Kai Jung (20)

311221, ara

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top