- c h a p t e r s e v e n t e e n
"Don't laugh too much, it seems the sadness will come after that."
.
.
.
BANGSAL bernomor 136 hanya terisi oleh seorang pasien saja yang terletak di paling ujung dekat jendela. Aroma zat kimia khas obat-obatan menusuk penghidu, bagaimana bisa orang-orang betah di sini? Jawabannya tidak satu pun orang yang betah di rumah sakit. Hanya orang berpura-pura sakitlah yang mungkin saja betah di tempat penuh lara.
Selang infus menyambung ke dalam tubuh hasai Dalmi melalui jarum infus. Jika bergerak sedikit saja, bukan cairan infus yang masuk ke tubuh, tetapi darah yang akan berbalik keluar menyendat selang. Makanya tidak pelak Taehyung menunggunya, jaga-jaga selang tersendat atau cairan infus habis.
Waktu berjalan begitu lambat selayaknya tetes demi tetes cairan infus. Kelopak mata Taehyung sudah tutup-buka tidak kuat menahan kantuk karena berjaga semalaman, paling tidur hanya beberapa menit saja diselang dengan berjaga. Ia memaksa Kai dan Paman Jung pulang, lebih baik beristirahat di rumah untuk kualitas tidur yang baik jika ingin bergiliran berjaga nanti siang.
Tubuhnya beranjak dari kursi tunggu di samping ranjang pasien, tungkainya pun melangkah mendekati jendela. Demi menyegarkan diri di pagi hari, ia membuka jendela untuk mendapatkan udara pagi yang segar. Namun nyatanya, malah angin dingin yang menyapa paginya. Pantas saja suhu udara di pagi hari dingin menusuk kulit, sebab awan kelabu saja menyelimuti langit dan tak membiarkan sang mentari menampakkan diri.
Kelopak mata Taehyung menyipit berusaha memperjelas penglihatannya. Ia tersenyum kecut ketika mendapati pemandangan biru laut yang masih bisa terlihat dari rumah sakit ia berpijak meski jaraknya agak jauh. Sudah pada sepatutnya memang Busan berada dekat dengan laut. Terlebih lagi, kota kecil yang ia tetapi sekarang lebih dekat lagi dengan laut. Tidak heran ke mana pun ia pergi, selama tempatnya masih berada di sekitar kota kecil ini, tidak mungkin tidak mendapati eloknya pemandangan hamparan biru zamrud yang nyalar memanjakan mata.
Belum ia sadari akibat tindakannya membuka jendela dan membiarkan angin dingin masuk, kelopak mata Dalmi sekonyong-konyong menyingkap pelan. Ia terbangun dengan belaian dingin sang bayu. Obsidian kembar sang jelita menangkap punggung lebar dan tegap milik Taehyung, pun secara impulsif bibirnya mengukir senyum lemah.
Seakan-akan manusia memiliki sensor sensitif dalam tubuhnya, lekas Taehyung berbalik merasa dirinya diperhatikan dari belakang. Dan, benar saja, gadis berkulit pucat yang selama ia tunggui kesadarannya semalaman suntuk akhirnya bangun. Senyumnya pun tidak pudar menyapa Taehyung, buatnya mengusap tengkuknya rikuh. Ia lekas mendekat bertanya apa yang ia butuhkan. Namun, kalimat pertama yang ia
ucapkan alih-alih memberitahukan apa kebutuhannya, malah mencecar dengan berbagai pertanyaan, “Kenapa malaikat mautku yang menungguku di sini? Kenapa kau yang menolongku? Kenapa tak biarkan aku mati? Bukankah itu keinginanmu?”
Air mukanya kini terpasang datar tanpa ekspresi. Justru itu lebih mengintimidasi. Ia tidak kuasa membalas cecaran pertanyaan Dalmi. Ia hanya ingin mendengar keluhan selanjutnya atau asumsi lain yang jika salah satu oknum tidak bertanggung jawab, maka rahasia akan tersebar begitu saja.
Dunia yang mengerikan.
Manik mata Dalmi mengerling nakal, agaknya ia suka sekali mengusili Taehyung. Disangka gadis itu pendiam dan lebih suka memasang muka tanpa ekspresi, ternyata kepribadian aslinya sama menyebalkannya dengan Ahn Seonggeun, kakaknya, menjadi seorang provokator. Tidak jauh berbeda ternyata, bagai pinang dibelah dua. “Oh, atau kau ingin membunuhku di sini? Baguslah, jangan biarkan Paman Jung dan Kai tahu.”
Taehyung terkekeh kecut. “Untuk seukuran orang yang baru saja tidak sadarkan diri, kau terlalu cerewet, Annie,” sarkasnya, “dan aku baru tahu kau itu tidak jauh berbeda dengan si Om Tua itu.”
“Siapa si Om Tua?”
“Kakakmu, Ahn Seonggeun.”
Kernyitan di dahi Dalmi hilang ketika suara tawanya terlepas mengisi setiap sudut bangsal yang ia tempati. Terbilang luar biasa untuk seukuran pasien yang baru sadarkan diri langsung berceloteh banyak hal dan tertawa lepas, padahal dua kegiatan itu perlu energi juga. Bahkan, ini untuk pertama kalinya bagi Taehyung mendengar tawa renyah gadis di hadapannya ini.
“Kau memanggilnya Om Tua? Cocok sekali! Padahal usianya tidak jauh berbeda dengan kita, tapi kau hahaha … aduh, ini lucu sekali. Aku tidak bisa berhenti tertawa,” ujar Dalmi berusaha menghentikan tawa yang sudah terlalu berlebihan seraya mengusap ekor matanya yang sedikit berair.
Sementara itu, Taehyung hanya menatap dalam Dalmi. Secara impulsif, garis bibirnya pun naik kendati tidak lebar. Ada perasaan lain tatkala mendapati gadis itu tertawa. Awalnya Taehyung memberi warna hitam untuknya, mengindikasi jika ia adalah gadis misterius yang tidak suka berekspresi. Kini sekarang ia akan menggantinya dengan warna putih, kebaikan hatinya juga terpancar dari hati. Dunia ini memang tidak hitam putih, justru beragam warna. Bahkan, Kai saja mengindikasi warna-warna cerah. Setiap warna di dunia ini pun kapabel mengindikasi kepribadian dan aura seseorang. Namun, Taehyung tidak pandai mencocokkan warna yang spesifik kepada setiap orang, yang ia tahu hanya hitam dan putih. Lantas, warna apa yang ia miliki? Hitam, mengindikasi jika ia adalah insan berlumur dosa, pikirnya.
Sekonyong-konyong getaran di saku celananya mengagetkannya sekaligus menyadarkannya karena lama-lama menatap Dalmi. Ia merogoh ke dalam saku dan menatap layar ponsel. Di sana tertampil nama orang kepercayaannya yang berada di Seoul, lekas ia mengangkatnya dan tidak menjauh dari Dalmi. Sebab, merasa sudah tidak ada rahasia lagi di antaranya, Dalmi pasti selalu saja tahu.
“Ada apa? Apa semua baik-baik saja di sana?”
Suara napas tersengal-sengal membikin Taehyung panik dan curiga jika jawaban dari pertanyaannya adalah tidak. Memang menggeluti bidang seperti ini tidak akan pernah jauh dari kata bahaya, kekacauan, dan masalah. Jarang sekali tenang.
“Kau di mana? Ada apa sebenarnya?”
“Ahn Seonggeun tahu semuanya. Dia tahu kau ada di mana dan tujuanmu apa. Bahkan, ia sekarang bersekutu dengan gangster dari Jepang yang ingin membunuhmu karena mereka juga tahu jika pembunuh ketua mereka adalah kau, Kak. Sekarang mereka tengah memburumu ke sana. Segera pergi dari sana!”
Sambungan terputus tiba-tiba, bahkan Taehyung saja belum menanggapi apa-apa, termasuk bertanya lebih jauh sudah main tutup saja. Terdengar gemeletuk giginya tengah menahan amarah, begitu pun tangannya yang mengepal. “Sialan!” gumamnya, tetapi Dalmi bisa mendengarnya. Bahkan, percakapan di telepon saja dapat ia tangkap dengan jelas. Bukan salahnya ia menguping, Taehyung saja yang tidak menjauh saat menerima telepon.
Namun, bukan nyawanya yang ia khawatirkan, justru Kai dan
Paman Jung di rumah. Sebab, bisa saja mereka tahu di mana tempat tinggalnya selama di Busan. Dia pun tahu jika gangster Jepang itu bengis, tiada ampun dan tiada mengenal siapa pun orangnya. Bahkan, orang tidak bersalah pun kena getahnya.
“Tunggu, di sini. Hanya ini tempat paling aman.”
“Kalau begitu, sekarang kau mau ke mana? Jika memang ini tempat paling aman, bukankah kau bersembunyi saja di sini?”
Kedua air muka mereka terpancar sama-sama mencemaskan satu sama lain. Taehyung memegang bahu Dalmi, sedangkan Dalmi memegang pergelangan tangan Taehyung seolah-olah ia tidak boleh pergi ke mana pun.
Giginya menggigit bibir bawah, Taehyung ragu jika mengatakan kebenaran apa yang ia cemaskan, maka tidak menutup kemungkinan Dalmi pun ikut melakukan hal ekstrem. “Aku tidak peduli dengan nyawaku, aku harus menyelesaikan apa yang terjadi karena ulahku. Jadi, tunggulah di sini, kumohon.”
Akhirnya Dalmi sadar, ia tidak bisa dibohongi, pun ia memang gadis cerdas yang tampak memang sudah berpengalaman dalam ranah yang sama seperti Taehyung. Ia memikirkan segala kemungkinan, dan jawaban yang ia temukan membuat dirinya pun panik. Lekas, ia mencabut paksa jarum yang tertancap di kulitnya guna dipasangi selang infus. Taehyung membelalakkan matanya. Hal inilah yang ia khawatirkan jika Dalmi akan bertindak ekstrem.
“Kau gila? Diam di sini! Di luar sana lebih berbahaya, terlebih lagi kau baru saja sadar, Ahn Dalmi!”
“Aku tahu nyawa Paman Jung dan Kai juga terancam saat ini, bukan hanya nyawamu juga. Aku tak bisa kehilangan orang yang kusayang lagi, Park Taehyung.” Dalmi membalas tidak kalah cadasnya. “Ini semua salah kita. Kau dan aku. Aku yang dengan bodohnya menempatkan Paman Jung dan Kai dalam bahaya karena menampungku, ditambah pula oleh kedatanganmu kemari.”
Mulut Taehyung hendak menyingkap guna membalas argumennya, tetapi semua itu hanya akan memakan waktu sia-sia. Tidak peduli dengan tindakan ekstrem Dalmi, toh, meski dilarang pun gadis keras kepala itu akan tetap memaksa diri. Ia lekas keluar dari bangsal dan melangkahkan kaki dari rumah sakit menuju mobil SUV hitam metalik yang terparkir. Keduanya sudah berada di dalam mobil dan langsung menancap gas. Tidak ada yang bersuara lagi di dalam, mereka sibuk bergelut dengan pikirannya masing-masing bercampur dengan rasa panik dan cemas.[]
—130122, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top