- c h a p t e r n i n e
“Sea breeze, please kiss my skin. Let all the confusion go from me.”
.
.
.
GAUN putih indah membalut tubuh seorang wanita yang piawai menarikan jemari lentiknya di atas tuts piano. Alunan musik merdu yang membuat Taehyung rindu dan merasa hangat tercipta dari sana. Ulasan senyum terpatri di paras jelitanya meski sudah sedikit berumur. Beliau tampak belum menyadari presensi putra sulungnya. Sementara itu, Taehyung hanya bisa berdiam diri dari kejauhan memandang sang ibunda. Memandangi apa yang sudah lama tak ia lihat. Ya, ia rindu. Sangat rindu. Lengannya berusaha ingin sekali mendekap sang ibunda atau bahkan tubuhnya pun rindu didekap hangat ibunda.
Barulah musik berhenti ketika wanita itu mengakhiri permainan pianonya. Kemudian, ia menoleh. Bilah bibir merahnya mengulas lengkungan manis sampai mata sipitnya nyaris memejam. Beliau mirip sekali dengan Yeonjun yang mana adiknya itu memang mewarisi kemiripan wajah dari ibunya yang mendominasi, sedangkan Taehyung sendiri lebih didominasi kemiripan sang ayah. Dari situlah ia paham mengapa di suatu hari nanti ia akan bertemu kembali dengan ayahnya, sedangkan Yeonjun sudah bertemu dengan ibu mereka.
“Kemarilah, anakku!” Suara merdu nan lembut yang terlontar dari ceruk bibir wanita itu menuntun langkah Taehyung. Tungkainya berderap di atas rerumputan hijau dan langit biru cerah berada di atasnya. Tempat yang indah, tetapi mencurigakan. Pasalnya, memangnya di dunia ini ada tempat seindah dan seluas ini? Terlebih lagi, di tengah padang rumput hijau berdiri kokoh piano milik Ibu. Taehyung tersenyum sinis ketika menyadari kalau ia berada di alam mimpi. Ya, semua ini hanyalah bunga tidur yang indah.
Namun, anggapan bunga tidur indah itu segera lenyap tatkala langit berubah kelabu, angin kencang yang dingin menusuk tulangnya, dan guntur memekakkan rungu. Begitu pun ekspektasi akan dekapan hangat sang ibunda tergantikan dengan cekikan yang membuatnya sesak. Obsidian hitam indah yang tadi menatapnya lembut penuh kasih sayang, kini menjelma bagai jelaga hitam setajam mata elang. Kebencian menyorot dari dupleks yang menatapnya nyalang. Semua ini mengingatkannya pada malam-malam sebelumnya ketika Yeonjun pun datang ke dalam mimpinya.
“Nak, aku kecewa padamu. Kau tak bisa menjaga adikmu, tak becus menjadi seorang kakak. Betapa malangnya Yeonjun-ku.”
Cekikan ibunya semakin erat di leher Taehyung. Dia sudah sesak, tetapi ia tak melawan seolah-olah sudah pasrah dengan apa yang seharusnya ia terima.
“Kau sama halnya dengan ayahmu. Jika Yeonjun mati, kau pun harus mati sekarang agar segera bertemu dengan ayahmu, Park Taehyung!” teriak sang ibunda simultan Taehyung pun terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya menyingkap sekaligus sinkron dengan napasnya yang tersengal-sengal.
Kini bukanlah bumantara biru yang kian menjadi abu kelabu, tetapi hanya plafon putih yang ada di atasnya. Syukurlah, ia kembali di kamar tidurnya yang berada di rumah Paman Jung. Tubuhnya bangkit dari ranjang dan tungkainya berderap di lantai kayu yang dingin akibat angin laut dini hari yang bertiup ke daratan. Itulah alasannya mengapa nelayan selalu pulang berlayar usai menangkap hasil tangkapan laut ketika dini hari, sedangkan berangkat di malam harinya di mana angin bertiup menuju lautan.
Dari kamarnya, Taehyung bisa mendapati pemandangan lautan indah dari pintu kaca geser kamarnya tanpa gorden. Keindahan hamparan zamrud biru indah itu hanya berlaku ketika siang hari, lain halnya di malam hari malah terlihat gelap dan menyeramkan jika tanpa sorot cahaya rembulan. Pintu kaca itu digesernya, ia keluar dari kamar tidur guna mencari udara segar. Yah, kendati sebenarnya malah angin dingin menusuk tulang yang ia dapatkan alih-alih udara segar.
Entah tindakan berani atau bodoh, Taehyung keluar hanya mengenakan kaos oblong hitam dan celana panjang training senada, seolah-olah ia tahan dingin tanpa jaket yang membungkus tubuhnya. Dia begitu baik membiarkan angin dingin membelai kulitnya yang sebenarnya sudah meremang kedinginan.
Di tengah dinginnya pagi buta, lagi-lagi ia mendengar alunan musik dari piano yang berasal dari salah satu bangunan terpisah seberang rumah Paman Jung. Tempat itu adalah tempat di mana ia bertemu dengan Kai di pagi buta sebelumnya ketika pemuda itu memainkan piano yang sengaja disimpan di sana.
“Pasti itu Kai. Apa insomnianya kambuh lagi?” gumamnya seraya melangkah menuju sumber suara. Setiap kali melangkah di atas rerumputan pun terasa dingin dengan alas kaki yang hanya berupa sendal jepit.
Suara alunan merdu dari permainan piano semakin terdengar. Kondisi di dalam pun tampak terang oleh cahaya lampu yang artinya memang ada seseorang di dalam. Tatkala daun pintu terbuka simultan dengan berhentinya musik piano mengalun. Taehyung terdiam mematung di ambang pintu saat mengetahui bahwa yang memainkan piano bukanlah Kai, tetapi seorang gadis yang menjadi salah satu alasan ia datang ke Busan. Begitu pun dengan Dalmi, air mukanya tampak terkejut seperti seekor kucing tertangkap basah mencuri ikan hasil tangkapan nelayan. Kendati memang Dalmi tak melakukan kesalahan apa pun.
***
Di tengah dinginnya angin di pagi buta, dua insan sudah keluar dari selimut hangatnya. Mereka membiarkan dinginnya sang bayu menerpa kulit. Dari pinggir atas tebing, tampak jelas luasnya lautan meski tidak seluruhnya. Terlihat gelap di bawah sana, tetapi masih terlihat gerakan ombak kecil dari remang-remang cahaya lampu mercusuar yang letaknya agak jauh dari kediaman Paman Jung.
Keduanya memandang sang bahar ditemani sekaleng bir yang berada di tangan mereka masing-masing. Lumayan guna sedikit menghangatkan badan dari dinginnya sang bayu yang betah membelai selerang.
Helaan napas mengudara yang berasal dari mulut Taehyung, sehingga Dalmi pun menoleh. Namun, gadis itu tidak banyak tanya sebab masih belum begitu akrab untuk ingin tahu lebih. Oleh karena itu, hanya kalimat inilah yang keluar dari ceruk bibir merah mudanya, “Kau terbangun?”
Taehyung diam-diam ingin tertawa ketika mendengar pertama kalinya gadis angkuh itu berbasa-basi. Biasanya tak ada sepatah kata pun yang keluar dari labium tipisnya selain suruhan Paman Jung, bahkan bingkai senyum saja tak pernah ia dapatkan darinya. Tidak, bukannya Taehyung ingin disapa atau sekadar diberi senyuman Dalmi, tetapi itu mengartikan bahwa betapa angkuhnya seorang gadis Ahn itu padanya. Seolah-olah memang ia tak menyukai kehadiran Taehyung. Meski boleh jujur, senyumannya memang manis ketika ia tak sengaja mendapatinya.
“Yah, begitulah. Lagi-lagi terbangun karena … mimpi yang sama. Mimpi yang konstan menghantui karena kesalahanku,” tuturnya. Entah dorongan dari mana Taehyung mengungkapkan apa yang barusan ia lalui tadi kepada Dalmi, yang tak lain sebenarnya adalah target korban selanjutnya. Mungkin bisa dibilang pendekatan dengan sang target. Kemudian, ia balik bertanya, “Kau sendiri kenapa masih terbangun? Apa kau sama memiliki insomnia seperti Kai? Soalnya, pagi kemarin aku bertemu dia di tempat tadi. Jadi, aku kira yang memainkan piano tadi itu Kai.”
Dalmi terdiam sejemang seperti tengah mencari jawaban yang harus terlontar, lalu ia akhirnya menjawab, “Ingin saja.”
Mulai lagi, decak Taehyung dalam batinnya. Ia kesal sebab Dalmi kembali seperti Dalmi yang selalu ia temui ketika di siang hari. Tak ada kata, tak ada senyuman.
Namun, ia salah besar ketika Dalmi sekonyong-konyong lanjut bicara usai meneguk birnya yang belum ia sentuh lagi sejak tegukan pertama. “Aku juga terbangun. Sama seperti denganmu, karena mimpi. Mimpi indah yang buatku tak ingin bangun dari tidur lelapku, sehingga aku putuskan untuk bangun karena tak mau lama-lama terbuai dalam mimpi,” ujarnya masih menatap lurus ke arah lautan. “Kautahu kalau mimpi indah itu lebih menyeramkan dari mimpi buruk?”
Taehyung hanya terdiam, tak menjawab sebab pertanyaan itu terdengar merupakan pertanyaan retorik yang tak perlu jawaban. Pandangan mereka bersirobok ketika Taehyung sedari tadi memang tengah menatap profil samping sang gadis, lalu gadis itu pun kini menoleh dan akhirnya saling bertatap.
“Karena kita tahu bahwa mimpi indah itu hanyalah sebuah mimpi, bukan kenyataan. Apalagi jika mimpi indah itu tak mungkin terjadi di dunia nyata. Misalnya, bertemu kembali dengan orang yang kita sayangi yang sudah berbeda alam dengan kita, kecuali kita pun menyusul mereka meski pada akhirnya kita tak tahu kita akan bertemu atau tidak dengan mereka. Hakikatnya, setiap orang tidak tahu akan berakhir di mana nanti. Entah itu surga atau neraka, meski semua orang pasti berharap berakhir di tempat yang indah.”
Taehyung terkesiap akan setiap tuturan kata dari Dalmi. Setiap untaian katanya menusuk rongga dada, sebab semua yang dikatakannya benar, tidak bisa disangkal. Kemudian, ia kembali tersadar ketika sang gadis kembali menatap hamparan laut dan beranjak dari duduknya.
Helaan napas mengudara, lalu ia berkata, “Sepertinya aku sudah banyak bicara untuk pertama kalinya padamu. Sebelum lebih jauh, lebih baik aku hentikan. Lagi pula, aku mengantuk ingin tidur lagi sebentar.” Dalmi menoleh pada Taehyung yang masih setia bergeming. “Kau masih betah di sini?”
Taehyung mengangguk pelan, Dalmi pun menyalin anggukannya, paham. “Baiklah, aku masuk duluan kalau begitu.”
Baru saja dua langkah, Taehyung menginterupsi, “Permainan pianomu tadi bagus, eumm …”
Dalmi tertawa sarkastik, “Dalmi, tanpa marga. Padahal aku yakin kau sudah tahu dari Paman Jung. Dan, terima kasih untuk pujian dan bir-nya, Park Taehyung.”
Baru setelah itu, Taehyung membiarkan Dalmi kembali ke kamarnya tanpa ia hentikan. Namun, ada satu yang membuatnya janggal ketika gadis itu memperkenalkan dirinya tanpa marga. Mengapa ia tidak menyebutkan marganya? Apakah ia tak mau identitas aslinya terkuak ataukah ternyata hubungannya dengan keluarga Ahn sudah tidak baik? Sebab, bukankah aneh jika ia malah tinggal di rumah orang lain yang jelas-jelas tidak ada ikatan darah dengannya dibandingkan dengan kakaknya? Bahkan, Taehyung saja belum tahu bagaimana pertemuan pertama Dalmi dengan Paman Jung. Dia kembali bertanya-tanya, apakah ia akan membunuh target yang tepat?[]
—070122, ara
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top