6. Janda dan Dokter Lapuk

Hari ini genap seminggu Irma melahirkan. Rencananya, dia akan pergi ke klinik untuk periksa jahitan. Karena sang suami tidak bisa mengantar, akhirnya dia meminta Nayla untuk menemani.

"Kamu nggak apa-apa nemenin aku ke dokter?" tanya Irma sedikit sungkan.

"Nggak apa-apa Mbak, memang hari ini aku niatnya nggak jualan."

"Bukan karena mau nganterin aku, 'kan?" selidik Irma.

"Enggak Mbak, kemarin tuh banyak banget pesenan, jadi aku rencana hari ini mau istirahat aja. Dan pas banget Mbak minta tolong buat nemenin ke dokter, jadi aku bisa sekalian jalan-jalan."

"Tapi, kamu jadi enggak bisa istirahat," balas Irma sedikit tidak enak.

"Enggak apa-apa, lagian aku bisa gendong Putra seharian," ucap Nayla gemas sambil memegang pipi bayi mungil yang terlelap di gendongannya.

Sebenarnya, Irma akan pergi dengan Wandi, tapi suaminya itu tidak mendapatkan libur dari pabrik tempatnya bekerja. Dan pada akhirnya, lelaki itu mengetuk pintu rumah Nayla untuk menemani sang istri ke dokter.

"Yang sabar ya, Nay," ucap Irma tiba-tiba membuat Nayla heran.

"Sabar kenapa, Mbak?"

"Mbak juga lama banget untuk dapat momongan dan akhirnya setelah 10 tahun penantian, Putra lahir."

Nayla baru paham maksud dari kata 'sabar' yang baru saja diucapkan oleh Irma. Dia selalu sabar dan berusaha, tapi apa mau dikata, orang yang seharusnya ikut berjuang dan berusaha bersamanya malah memilih untuk menyerah dan pergi.

"Mbak lupa, kalau aku sekarang itu janda?"

Irma tersenyum. "Kamu itu masih muda, cantik lagi, pasti banyak yang antre buat jadi suami kamu. Percaya deh, kalau jodoh itu sudah diatur, yang penting kita tetap selalu berusaha dan berdoa. Dan jangan menutup hati."

Nayla hanya diam mendengar nasihat dari Irma.

Irma menepuk paha Nayla. "Jangan takut untuk membuka hati hanya karena pernah gagal. Kamu berhak bahagia."

Nayla mengangguk lalu tersenyum. Dia bukannya takut, hanya belum siap untuk memulai lagi sebuah hubungan apalagi berumah tangga. Dirinya ingin menata hati dulu.

"Eh, udah sampai," celetuk Irma yang melihat mobil sudah memasuki halaman klinik.

Setelah membayar, mereka pun turun.

"Hati-hati, Nay," ucap Irma yang telah turun duluan.

Nayla turun dengan hati-hati sambil menggendong Putra.

Mereka kemudian masuk dan duduk di bangku tunggu seraya menunggu panggilan. 

Nayla menatap sekeliling, dia ingat pernah mengantarkan makanan ke klinik ini. Kemudian dia membaca nama yang tertera di papan yang terpajang di depan sebuah ruangan.

dr. Akmal Jauhari, Spog.

"Dokternya masih muda loh, " celetuk Irma sambil tersenyum.

Nayla hanya menanggapi dengan senyuman yang sedikit dipaksakan. 

"Kabarnya masih lajang," imbuh Irma.

"Mbak udah pernah bilang."

Irma tertawa kecil. "Ya kali aja, kamu lupa."

Setelah hampir satu jam menunggu antrean, akhirnya giliran Irma dan Nayla yang masuk.

"Selamat siang, Dok," ucap Irma setalah menutup pintu.

"Selamat siang, silakan duduk," balas Akmal ramah.

"Bagaimana kondisi Ibu Irma setelah melahirkan," tanya Akmal setelah melihat berkas milik Irma.

"Alhamdulillah baik, Dok, cuma agak kurang nyaman aja di bawah hehehe."

Akmal hanya tersenyum.

Sedangkan Nayla hanya diam saja, sambil terus mengajak interaksi Putra yang sudah bangun.

"Mari saya periksa dulu jahitannya, silakan Ibu berbaring di ranjang."

Irma menurut saja untuk berbaring di ranjang. Akmal secara profesional melakukan tugasnya sebagai dokter. Setelah semuanya selesai, Irma dipersilakan untuk duduk kembali.

"Jahitannya bagus, tiga hari lagi Ibu ke sini untuk melepas benang."

"Baik, Dok."

"Oh, ya, terima kasih untuk makan siangnya beberapa hari yang lalu," ucap Akmal baru ingat.

"Sama-sama, Dok. Bagaimana rasanya, Dok?" tanya Irma spontan.

Akmal tersenyum. "Rasanya enak, sangat enak malah," puji Akmal terdengar sedikit berlebihan.

"Ya jelas enak, orang yang masak di sebelah saya."

Sontak mata Akmal menatap ke arah orang yang duduk di sebelah Irma. Dan dia langsung terdiam untuk beberapa saat. Bukannya, wanita di depannya ini Nayla. Nayla Kumalasari.

Astaga. Kenapa dia baru menyadari kehadiran Nayla sekarang. Kemana saja, dia beberapa waktu yang lalu?  Apa matanya tertutup steteoskop hingga tak melihat Nayla yang duduk tepat di depannya. Apa dirinya terlalu serius hingga mengabaikan Nayla, tapi bukan salahnya juga. Karena penampilan Nayla juga terbilang biasa saja. Wanita itu hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana kain berwarna hitam serta rambut pendeknya yang dikucir. Sampai-sampai Akmal tak menyadari kalau itu adalah Nayla sebelum matanya menatapnya dengan jelas.

"Namanya Nayla, Dok," ujar Irma yang melihat bagaimana Akmal menatap Nayla tanpa berkedip.

"Mbak," protes Nayla.

Akmal berdehem kemudian tersenyum. "Saya sudah tahu."

Irma dan Nayla sama-sama terbengong. Terutama Nayla, bagaimana dokter di depannya sudah tahu.

"Oh, dari nama yang tertera di kotak makan ya, Dok?" tanya Irma.

Akmal menggeleng. "Bukan."

Nayla tambah tercengang. Matanya menatap lelaki berkacamata yang mengenakan setelan dokter di depannya dengan bingung. Bukannya, ini pertemuan pertama mereka?

"Kamu pasti lupa," ucap Akmal melihat kebingungan yang tercetak di wajah Nayla.

Nayla tersenyum kikuk.

"Kita pernah bertemu dan berkenalan di reuni sekolah," jelas Akmal.

Mulut Nayla sukses terbuka, tapi kemudian tersenyum canggung. Salahkan dia yang tidak bisa mengingat orang hanya dengan satu kali bertemu. Ternyata, lelaki di depannya ini adalah orang yang sama ketika reuni beberapa minggu yang lalu.

"Dokter teman sekolahnya Nayla?" tanya Irma penasaran.

"Lebih tepatnya, kami pernah satu sekolah."

Irma bersorak kegirangan seperti habis menang lotre, membuat Nayla dan Akmal heran.

"Nayla ini janda loh, Dok."

Sontak Nayla menoleh. Dia terkejut dengan perkataan yang baru saja keluar dari mulut Irma. Bagaimana wanita yang baru saja melahirkan di sampingnya ini mengungkapkan statusnya di depan seorang lelaki yang bagi Nayla adalah orang asing. Status jandanya bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, bukan?

"Mbak," ucap Nayla lirih, dia malu.

Akmal pun sama terkejutnya dengan Nayla. Namun, rasa terkejutnya berubah menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri dalam hati.

"Nggak apa-apa, Nay, kan Dokter Akmal ini masih lajang."

Astaga. Nayla ingin meminjam pintu ajaib Doraemon agar bisa langsung menghilang dari ruangan ini. Sungguh, dia malu dengan kelakuan ibunya Putra tersebut.

Akmal tersenyum mendengar perkataan Irma. Memang benar dirinya masih lajang dan sering dilabeli dengan sebutan dokter lapuk dan itu kadang membuat dirinya kesal. Namun, mendengar statusnya diungkapkan di depan Nayla membuatnya sedikit bangga. Seperti ada lampu hijau yang menyala.

Tangisan Putra akhirnya bisa mencairkan suasana yang canggung di antara mereka.

Irma dengan cepat mengambil alih Putra dari gendongan Nayla.

"Kami permisi dulu, Dok," pamit Irma buru-buru.

"Iya, silakan," balas Akmal.

Nayla menganguk sebelum mengikuti jejak Irma meninggalkan ruangan tersebut.

Akmal terdiam untuk beberapa saat kemudian tersenyum. Tuhan tidak akan memberikan kebetulan-kebetulan yang lain jika tidak ada maksudnya. Karena tidak ada suatu kebetulan di dunia ini. Sang Pencipta pasti sudah mempunyai skenario tersendiri. Manusia hanya bisa mengikuti skenario yang sudah dibuat tersebut dengan usaha dan doa.

****

"Pertemuan itu hanyalah persimpangan takdir.
Jika waktunya bertemu, pasti bertemu, kalau tidak ya tidak."

****

Hai, apa kabar semuanya?
Akhirnya bisa update lagi

Makin ke sini makin seru loh ceritanya. Jadi, tetap ikuti ya...

Happy reading

Salam sayang

Dokter Akmal

HK, 13032021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top