5. Nayla dan Akmal

"Dok, ada suami Ibu Irma ingin menemui Dokter," ucap seorang perawat yang baru saja masuk ke dalam ruangan Akmal.

"Suami Bu Irma?" tanya Akmal ragu. Dia sedikit lupa.

"Iya, Dok, Bu Irma yang tiga hari yang lalu baru melahirkan."

"Oh," seru Akmal. Dia baru ingat dengan pesien bernama Irma yang tiga hari yang lalu rencana mau melahirkan secara sesar, tapi dengan kehendak dari Tuhan sebelum operasi berlangsung, pasien itu sudah melahirkan secara normal.

"Udah nggak ada pasien, 'kan?" tanya Akmal.

"Barusan pasien terakhir, Dok."

"Yaudah, persilakan masuk saja."

Setelah perawat perempuan itu keluar. Munculah seorang laki-laki yang setengah rambutnya sudah berwarna putih.

Akmal tersenyum ramah kemudian mempersilakan laki-laki tersebut untuk duduk.

"Maaf, kalau saya mengganggu waktu Dokter," ucap lelaki itu ramah dan sopan.

"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah selesai melakukan pemeriksaan. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Akmal sopan.

"Perkenalkan, saya Wandi, suami dari Irma yang tiga hari lalu Dokter bantu untuk melahirkan secara normal."

Akmal mengangguk. "Iya, Pak. Bagaimana keadaan Ibu Irma dan bayinya sekarang?"

"Alhamdulillah, baik dan sehat, Pak Dokter."

"Lalu ada urusan apa Bapak kemari?" tanya Akmal penasaran.

"Ini ada sedikit bingkisan sebagai tanda terima kasih telah membantu istri saya melahirkan normal," ucap Wandi seraya menyodorkan bungkusan kresek putih di meja kerja Akmal.

"Tidak perlu, Pak. Karena itu sudah menjadi tugas dan kewajiban saya sebagai seorang dokter." Akmal menyodorkan kembali bungkusan tersebut.

"Tolong jangan ditolak, Pak Dokter. Karena jujur saja, kami tidak mempunyai biaya jika harus operasi sesar dan alhamdulillah akhirnya bisa melahirkan normal," ucap Wandi dengan penuh rasa syukur.

Akmal tidak bisa berkata-kata lagi. Dia akhirnya menerima bingkisan tersebut.

"Hari ini kami ada syukuran kecil-kecilan sebagai bentuk rasa syukur. Ini sebenarnya hanya makanan, silakan Pak Dokter." Wandi kembali menyodorkan bingkisan tersebut.

"Terima kasih, Pak. Ini saya terima, dan saya ucapkan selamat atas kelahiran putra Bapak."

"Saya dan istri yang seharusnya banyak-banyak terima kasih karena bantuan Dokter istri saya bisa melahirkan secara normal. Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih. Kalau begitu, saya permisi dulu. Maaf menganggu waktu Dokter," pamit Wandi.

"Sama-sama, Pak. Salam buat Bu Irma."

"Iya, Pak Dokter, nanti saya sampaikan. Saya permisi dulu."

Setelak lelaki bernama Wandi tersebut meninggalkan ruangan, Akmal membuka bungkusan tersebut. Sebuah kotak makanan dan sekali lagi ada stiker bergambar kartun wanita memakai topi cheff.

Dapoer Nayla

Lagi.

Tuhan tidak akan memberikan kebetulan kedua jika tidak ada artinya, bukan?

****

Sejak subuh Nayla sudah sibuk memasak. Hari ini ada pesanan dari tetangganya yang baru saja melahirkan. Dia ikut senang karena pasangan suami istri itu sudah cukup lama menantikan hadirnya seorang anak dalam biduk rumah tangga mereka.

Hari ini mereka berencana membuat acara syukuran kecil-kecilan untuk menyambut kehadiran anak pertama yang telah lama diinginkan. Dan Nayla yang kebagian berkat kebahagiaan mereka karena disuruh membuat makanan untuk acara tersebut.

Wanita berambut sebahu itu memasak dengan sepenuh hati, berharap jika masakannya nanti bisa membawa berkah pada setiap orang. Menularkan kebahagiaan seeperti yang dirasakn sepasang suami istri tersebut.

Jam sudah menunjukkan pukul 10, dia harus segera mengantarkan makanan tersebut ke rumah tetangganya, sekalian menengok si kecil yang baru lahir.

"Permisi, Mbak Irma, Pak Wandi," ucap Nayla mengucapkan salam sebelum masuk ke dalam rumah.

Nayla sudah akrab dengan keluarga mereka dan sering saling mengunjungi. Jadi, wajar jika Nayla masuk tanpa menunggu si pemilik rumah mempersilakan.

"Mbak Irma, aku nganterin makanan," ucap Nayla di depan sebuah kamar dengan pintu yang terbuka.

"Oh Nay, taruh aja di ruang makan, ada Mas Wandi kok di belakang," ucap wanita bernama Irma tersebut.

"Oke."

Nayla membawa dua kresek besar tersebut menuju ruangan yang dimaksud. Di sana nampak seorang lelaki yaitu suami Irma dan seorang perempuan yang sudah berusia senja sedang sibuk menata jajanan.

"Pak Wandi, ini makanannya sudah selesai," ucap Nayla sopan.

"Oh iya, Nay," jawab lelaki bernama Wandi tersebut seraya mengambil alih bungkusan dari tangan Nayla. "terima kasih, ya."

Nayla mengangguk. "Maaf, tadi masuk aja karena pintu depan juga nggak ditutup."

"Enggak apa-apa, Nay. Sengaja kalau ada tetangga yang mau berkunjung untuk melihat si kecil."

Nayla kemudian menuju perempuan yang tadi bersama Wandi. Mencium tangan perempaun tersebut. "Ibu apa kabar? Kapan datang dari kampung?" tanya Nayla.

"Sudah dari lusa. Sejak dikabari kalau Irma mau lahiran."

Nayla tersenyum. Perempuan yang dipanggil ibu oleh Nayla tersebut adalah ibu dari Irma. Seringnya perempuan berusia senja itu berkunjung membuat mereka akrab.

"Kamu gimana kabarnya, Nduk?" tanya Bu Wati.

"Alahmdulillah baik, Bu."

"Masih sendiri?"

Pertanyaan Bu wati membuat Nayla bingung harus menjawab apa. Namun, memang benar kenyataannya jika dia masih sendiri hingga saat ini. Jujur, dia masih takut untuk memulai lagi suatu hubungan.

Akhirnya Nayla hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Ndak apa-apa, tapi kalau ada yang cocok jangan ditolak. Jangan terus-menerus menutup hati. Ibu yakin, Allah sudah mempersiapkan jodoh yang tepat buat kamu."

"Iya, Bu."

Setiap bertemu Bu Wati tak segan memberikan nasihat untuk Nayla dan dia sudah menganggap ibu dari Irma seperti ibunya sendiri. Bu Wati juga tahu tentang masalah yang dihadapi oleh Nayla. Perempuan paruh baya itu yang dulu memberikan semangat di saat Nayla terpuruk.

"Saya mau lihat dedek bayi dulu ya, Bu," pamit Nayla karena tidak ingin meneruskan obrolan jka menyangkut tentang jodoh. Mungkin tidak sopan, tapi hatinya belum siap jika harus membahas masalah itu sekarang.

"Iya, gendong aja. Biar cepet ketularan."

Nayla mnarik napas. Bagaimana bisa ketularan, suami saja tidak punya, batin Nayla. Ada-ada saja Bu Wati. Nayla geleng-geleng sendiri.

"Mbak," panggil Nayla di depan pintu.

"Masuk, Nay."

"Dedek tidur, ya?" tanya Nayla melihat bayi laki-laki itu memejamkan mata di pangkuan sang ibu.

"Iya, baru aja nyusu. Kenyang dia, makanya tidur."

"Cakep, mirip banget sama bapaknya, alisnya juga tebel banget," puji Nayla yang sudah tersihir oleh pesona bayi yang baru berusia tiga hari itu.

"Banyak yang bilang mirip bapaknya," Irma menimpali. "Mau nyoba gendong?"

Nayla langsung menggeleng.

"Nggak apa-apa, kan ada bantalnya."

Awlanya Nayla ragu, tapi akhirnya dia mau juga. Perlahan Irma menyerahkan putranya kepada Nayla.

"Nah, nggak apa-apa, kan?"

Nayla mengangguk. Dia tersenyum sambil menatap lekat bayi mungil tersebut.

"Dek, aku anter ini dulu ke klinik, ya," pamit Wandi pada istrinya dari pintu kamar.

"Oh, iya, Mas. Tititp salam untuk Dokter Akmal."

"Dokter Akmal?" gumam Nayla, tapi masih bisa didengar oleh Irma.

"Iya, dokter yang bantu aku lahiran kemarin. Ganteng loh, denger-denger masih bujang lagi," jelas Nayla.

"Mbak Irma melahirkan di klinik Putra Waspada?"

"Iya."

Nayla ingat jika beberapa hari yang lalu, dia pernah mengantarkan makanan ke klinik tersebut dan ada salah satu perawat menyebut nama Dokter Akmal. Apakah itu dokter yang sama?

Ah, kenapa akhir-akhir ini begitu banyak nama Akmal yang sering dia dengar. Apakah nama Akmal sedang viral?

***

~**~
"Jodoh, rejeki, mati sudah diatur oleh Sang Pencipta."
~**~

****
Hallo readers yang budiman...
Terima kasih yang masih setia dengan cerita ini.

Minta dukungan vote dan komentarnya.

Happy Reading

Vea Aprilia

Sabtu,  27 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top