21. Mau Berkenalan dengan Keluarga Saya?
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sebuah ketukan terdengar dari luar. Nayla yang sedang sibuk menghitung jumlah pesanan untuk besok bangkit menuju ke arah sumber suara. Di balik pintu terlihat seorang laki-laki yang sudah tampak berantakan, tapi masih tetap tampan. Siapa lagi kalau bukan Akmal. Nayla pun tersenyum tipis menyambut laki-laki yang sudah dua hari absen datang ke rumahnya. Meskipun begitu Akmal selalu memberikan kabar.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," balas Nayla sambil menggeser tubuhnya agar Akmal bisa masuk.
Akmal mengembuskan napas panjang sebelum duduk di sofa ruang tamu.
Nayla hanya diam seraya memperhatikan saja. Tidak biasanya Akmal duduk di ruang tamu. Biasanya laki-laki itu langsung menuju dapur mencari makanan.
"Sudah makan malam?" tanya Nayla karena dia sudah menyiapkan lauk untuk Akmal. Sebelumnya memang Akmal sudah memberitahu kalau akan mampir.
"Belum," jawab Akmal singkat.
"Mau makan sekarang?"
"Nanti aja, duduk dulu," ujarnya sambil menepuk sofa kosong di sebelahnya.
Nayla pun mengangguk kemudian menuruti permintaan Akmal untuk duduk di sampingnya.
"Ada apa?" tanya Nayla karena tidak biasanya Akmal seperti ini.
Akmal meraih tangan Nayla kemudian menggenggamnya. Hangat dan nyaman itulah yang dia rasakan saat ini. Dia ingin menggenggam tangan Nayla bukan hanya untuk sesaat, tapi untuk selamanya.
"Kangen sama kamu," ujarnya sambil tersenyum manja kepada Nayla.
Perempuan 31 tahun itu hanya bisa menarik napas. Dia kira ada hal yang penting yang akan Akmal sampaikan, tapi ternyata hanya sebuah kata 'kangen'. Meskipun demikian tak dapat dipungkiri hati Nayla pun menghangat dan muncul semburat merah pada pipinya. Dia tidak ingin percaya, tapi itu nyata. Ada seorang laki-laki yang merindukan dirinya saat ini.
Namun, momen tersebut terusik karena ada sesuatu yang berbunyi. Dan bunyi tersebut dari perut Akmal.
"Lapar?" tanya Nayla sambil menahan tawa.
Akmal pun mengerang. Kenapa pada saat momen romantis, cacing-cacing di perutnya tidak bisa diajak bekerja sama. Iya, dia tahu terakhir jam 1 siang ia memberi makan cacing-cacingnya, tapi bisakah bertahan lima menit saja, karena dia masih ingin menggenggam tangan halus Nayla. Akmal ingin mengisi daya hatinya dulu sebelum perutnya. Ternyata semua gagal.
"Sepertinya cacing dalam perut saya sedang berdemo."
Nayla hanya tertawa kecil kemudian beranjak ke dapur. Mau tak mau Akmal pun mengikuti langkah perempuan yang dicintainya tersebut.
"Saya sudah masak sayur asam, sambel terasi, tempe-tahu goreng dan ini ikan nila bakar."
Akmal yang melihat menu di meja makan pun tak urung menelan ludah dan cacing di perutnya pun semakin memberontak.
"Hari ini menu kateringnya nila bakar?" tanyanya sambil meraih piring yang sudah terisi nasi oleh Nayla.
"Enggak, hari ini enggak ada pesanan," balasnya sambil duduk di kursi kosong di depan Akmal. Nayla sudah makan sejak sejam yang lalu, karena tidak sanggup untuk menunggu Akmal.
"Kamu nggak makan?"
"Saya sudah makan tadi, maaf sudah lapar banget jadi enggak nunggu kamu."
Akmal tersenyum. "Jadi, ikan nila ini khusus untuk saya?"
Nayla mengangguk. Kemudian tidak ada percakapan lagi karena Akmal fokus pada makanannya. Sedangkan Nayla kembali meraih ponselnya untuk memastikan pesanan untuk besok sambil sesekali memperhatikan dokter di depannya yang dengan lahapnya makan. Entah kenapa setiap melihat Akmal makan, hatinya mengahangat. Seperti bahagia dan bangga karena setiap masakan yang dia hidangkan dihargai.
Sesekali hanya kata 'enak' dan 'enak sekali' yang keluar dari mulut Akmal. Pujian tersebut mampu membuat hati Nayla berbunga-bunga.
Setelah Akmal menghabiskan makan malamnya, Nayla pun mencuci piring, sedangkan Akmal menikmati pemandangan indah di hadapannya. Laki-laki itu sedang membayangkan dirinya sebagai suami yang sedang melihat istrinya mencuci piring. Ah, sungguh indahnya.
"Kamu kemarin lusa kemana?" tanya Akmal tiba-tiba setelah Nayla selesai meletakkan piring terakhir di rak.
"Oh, itu saya pergi ke pengajian ibu-ibu kompleks," balasnya setelah mengelap tangannya yang basah. Nayla memang sempat pamit karena takut Akmal akan mampir ke rumahnya. Namun, perempuan itu tidak menyebutkan secara detail kemana. Dia hanya berkata kalau harus memasak untuk suatu pengajian dan balasan Akmal juga diluar dugaan. Laki-laki itu pun mengatakan jika dirinya juga tidak bisa datang karena ada acara keluarga. Nayla pun lega karena sempat ada pikiran akan mengecewakan dokter tersebut.
Tidak dapat dipungkiri kehadiran Akmal sudah seperti candu dalam hidupnya. Meskipun perempuan tersebut belum sepenuhnya jujur akan perasaannya sendiri.
"Masak?"
"Iya masak. Ada satu pelanggan, namanya Mbak Rahma , beliau ini kerja di rumah sakit yang sama seperti rumah sakit kamu. Beliau minta aku untuk bantu ibunya masak."
Akmal tersenyum mendengarkan cerita Nayla. Memang dia pernah berkata jika Nayla boleh menceritakan apa pun padanya dan menganggap dirinya rumah. Sebenarnya itu adalah salah satu cara supaya Nayla tidak merasa sendirian.
"Ibunya baik?"
"Alhamdulillah, Ibu Ratih baik. Bahkan saya disuruh untuk mengikuti pengajian, enggak boleh pulang sebelum pengajian selesai."
"Lalu kenapa kamu pulang?"
"Hah?" Nayla sedikit kaget dengan pertanyaan Akmal.
"Maksudnya kamu ikut enggak?" Akmal menarik napas panjang. Hampir saja keceplosan.
"Enggak, saya pulang duluan. Enggak enak juga duduk diantara ibu-ibu dengan pakaian bau terasi," Nayla berucap sambil tertawa kecil.
Tawa Nayla pun sukses membuat Akmal ikut tersenyum. Ternyata tak sesulit itu membuat wanitanya bahagia.
"Kan bisa pinjam bajunya Mbak Rahma," ujar Akmal enteng.
"Iya, Mbak Rahma memang mau meminjamkan bajunya, tapi sungkan saya, enggak enak."
Setelah mengucapkan kalimat tersebut Nayla terdiam sejenak. Matanya memandang Akmal dengan saksama.
"Kenapa?" tanya Akmal terdiam juga. Dia berpikir apa ada yang salah dengan perkataannya.
"Kok aneh, sepertinya kamu tahu kalau Mbak Rahma mau meminjamkan bajunya untukku?" selidik Nayla.
Raut wajah Akmal sedikit berubah, tapi dengan sigap dia bisa mengendalikan diri.
"Ya kan saya cuma bertanya, ada yang salah?"
Nayla menggeleng pelan.
Akmal pun mengembuskan napas lega. Hampir saja untuk kedua kali.
"Nay," panggil Akmal dengan suara lembut.
"Iya, ada apa?"
"Saya ingin ngomong sesuatu, sedikit penting."
Nayla mengangguk.
"Bisa kita bicara di ruang tamu?" ajaknya.
"Iya, boleh."
Akmal pun berjalan duluan diikuti oleh Nayla di belakangnya.
Akmal duduk terlebih dahulu, kemudian seperti yang tadi, dia menepuk tempat kosong di sampingnya. Mengisyaratkan Nayla untuk duduk di dekatnya. Tidak boleh jauh-jauh darinya. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Nayla pun hanya bisa menurut. Karena percuma juga menolak, pasti Akmal akan memaksanya.
Akmal meraih tangan Nayla, seperti momen tadi yang gagal gara-gara cacing dalam perutnya, tapi sekarang dijamin seratus persen tidak akan ada lagi pengganggu lagi.
"Saya serius sama kamu, sama hubungan ini, meskipun kamu belum memberikan jawaban yang pasti. Tapi itu malah saya anggap kamu tidak menolak saya untuk masuk ke dalam hidup kamu." Akmal menyelesaikan kalimatnya dengan tenang.
Nayla sebenarnya masih bimbang, tapi satu anggukan berhasil membuat mata Akmal berbinar, dan senyum manis terukir di sana.
"Kamu menerima saya?" tanyanya dengan nada masih belum percaya.
"Saya... saya ingin mencobanya, apakah boleh?" tanya Nayla ragu.
"Tentu. Tentu saja boleh, saya malah sangat senang jika kamu mau mencoba membuka hati untuk saya."
Nayla pun tersenyum.
"Kalau begitu, mau berkenalan dengan keluarga saya?"
Senyum yang tadi terbit dari bibir Nayla perlahan memudar.
"Kenapa?" tanya Akmal melihat perubahan raut wajah Nayla.
"Apakah tidak terlalu cepat?"
Akmal tersenyum. "Semakin cepat semakin baik. Bukankah tidak boleh menunda sesuatu yang baik?"
*************
Sumpah nih Dokter emang gercep banget. Gak bisa gitu nunggu-nunggu lagi. Maunya cepet-cepet aja, bikin anak orang keki.
Happy reading semuanya.....
Makasih karena sudah setia menunggu Pak Dokter.
Selasa, 20 Juni 2023
Vea Aprilia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top