2. REUNI
Hari ini cuaca cukup cerah, setelah kemarin seharian dilanda hujan yang cukup deras. Panas yang cukup menyengat seolah bisa membakar kulit. Padahal ini baru pukul 10 pagi. Maklum, ini adalah Surabaya yang terkenal dengan panasnya.
Ayra menepati janjinya untuk menjemput Nayla. Meskipun perjalanan dari Sidoarjo ke rumah Nayla tidaklah sebentar. Maklum setelah menikah Ayra ikut suaminya ke Sidoarjo. Nayla harus menunggu di dekat lapangan sepak bola, karena mobil Ayra pasti tidak akan bisa masuk gang rumahnya. Sekali lagi, Nayla mengecek jam tangannya, sudah pukul 11 siang.
"Maaf, nunggu lama ya?" tanya Ayra setelah Nayla berhasil memasang sabuk pengaman.
"Enggak apa-apa."
"Tadi tuh, si kecil rewel jadi kudu aku urusin dulu. Kalau nunggu Mas Hendra nggak bakalan sanggup dia. Jadi, agak telat berangkat."
Nayla tersenyum. "Kenapa nggak diajak sekalian si kecil?" tanya Nayla penasaran. Pasalnya, umur si kecil baru 15 bulan.
"Ribet."
Nayla terkekeh.
"Bukannya nggak mau, tapi kalau aku ajak si bontot pasti semuanya pengin ikut. Alhasil, aku nggak akan jemput kamu." Ayra menarik napas panjang. "Sebenarnya, nggak tega juga ninggalin si kecil, tapi nggak apa-apa, ada Mas Hendra, pasti bisa handle. Lagian, kapan lagi aku punya waktu buat me time."
Nayla mengangguk lalu terseyum. Ayra adalah tipe orang yang sedikit cerewet seperti kebanyakan wanita. Berbeda dengan dirinya yang lebih banyak diam dan berbicara seperlunya saja.
"Aduh, kita dah telat satu jam nih," ucap Ayra dengan nada gusar.
"Nggak apa-apa pasti banyak juga yang telat, kayak nggak tahu orang Indonesia saja."
Nayla dan Ayra tertawa bersama.
***
Acara reuni digelar di Ballroom ICBC lantai 3. Nayla tidak menyangka jika acara reuni digelar di gedung yang terbilang cukup mewah. Dan salahnya, dia tidak bertanya di mana acara akan digelar.
"Nggak usah kaget gitu. Ini kali kedua acara digelar di sini. Tahun kemarin di sini, kalau yang pertama di Isyana Ballroom," jelas Ayra. Tentu saja dia tahu karena selalu tidak pernah alpha ikut reuni.
Nayla pikir acara reuni hanya digelar di tempat biasa seperti kafe atau restoran. Ternyata salah besar. Pantas saja Ayra mengenakan dress yang bisa dibilang cukup elegan. Dress broklat berwarna pastel dengan panjang selutut.Untung saja, kemarin Ayra menyarankan untuk mengenakan baju atau dress yang pantas untuk reuni. Dan Nayla hanya mempunyai beberapa dress saja itu pun yang dulu dia kenakan di acara keluarga mantan suaminya.
Hari ini Nayla mengenakan dress terusan batik putih dengan panjang selutut. Lengan pendek yang terbelah di antara pundak dan lengan atas. Batik putih dengan rok terbelah di bagian bawah kiri. Rambut sebahu Nayla yang dibiarkan tergerai membuat kesan sederhana, tapi tetap cantik. Jadi, Nayla tidak salah kostum.
"Kamu kenapa?" tanya Ayra ketika mereka memasuki area Ballroom tepat pukul 01 siang.
Sudah banyak tamu undangan para alumni teman sekolahnya dulu yang datang. Dan benar saja, pakaian yang mereka kenakan terlihat sangat berkelas.
"Aku nggak salah kostum, kan?" tanya Nayla yang tiba-tiba merasa insecure.
Ayra tertawa kecil. "Yaelah, aku kira apa. Kamu cantik kok, tetap cantik sama kayak pas sekolah dulu," puji Ayra.
Nayla berdecak kurang suka dengan pujian yang dilontarkan Ayra. Namun, memang benar jika Nayla masih tetap cantik seperti waktu sekolah dulu. Walupun bukan primadona sekolah.
"Kita duduk di sini aja, deket sama pintu keluar. Kalau mau kabur gampang," ujar Ayra setelah mendaratkan bokongnya di salah satu kursi yang sudah ditutup dengan kain berwarna putih.
"Maksud kamu?" tanya Nayla yang sudah ikut duduk di samping Ayra.
Ayra tertawa kecil. "Maksud aku, kalau ada panggilan darurat dari Mas Hendra, kita bisa langsung cabut."
Nayla terseyum kemudian mengangguk.
"Apa kita nggak salam-salaman sama mereka dulu. Sekedar say hy mungkin?" tanya Nayla yang meihat banyak orang melakukan hal tersebut, tapi dia dan Ayra malah duduk-duduk saja.
Ayra menarik napas panjang. "Bukannya aku nggak mau, tapi kakiku masih pegel. Udah lama nggak pernah pakai hig heels, rasanya mau patah nih tulang."
Nayla terseyum. Dirinya juga memakai hig heels, tapi tidak setinggi punya Ayra. Pantas saja ibu 3 anak itu mengeluh.
Nayla melihat sekeliling ruangan Ballroom yang lumayan luas dan mewah. Banyak kursi yang terbungkus cantik ditata mengelilingi meja. Di bagian pinggir ruangan ada meja panjang yang di atasnya berisi nampan-nampan aluminium yang tertutup, dan gelas-gelas yang berisi berbagai macam minuman.
"Boleh duduk di sini?"
Nayla dan Ayra mendongak bersamaan setelah mendengar suara bariton yang meminta izin duduk di salah satu kursi kosong tak jauh dari mereka. Tentu saja karena di bagian meja mereka hanya terisi Ayra dan Nayla saja.
Ayra mengangguk. "Boleh-boleh, silakan."
Laki-laki itu kemudian duduk setelah mengucapkan terima kasih.
Laki-laki itu memakai kemeja batik berwarna cokelat berlengan pendek dengan celana kain hitam. Di wajahnya bertengger sebuah kacamata. Sepertinya kacamata minus. Hidungnya sedikit mancung. Dilihat dari lengannya, laki-laki itu cukup putih untuk seukuran lelaki pada umumnya. Rambutnya lurus, dipotong pendek dan disisir rapi. Lumayan tampan. Ayra memberikan nilai 8 dalam hatinya. Namun, dirinya masih sadar jika sudah mempunyai suami dan 3 anak yang menunggunya di rumah.
Ayra melirik penampilan laki-laki itu kemudian menyenggol tangan Nayla. Nayla yang diberi kode untuk bertanya hanya menggeleng pelan sebagai balasan.
"Kamu?" Ayra berinisiatif bertanya karena merasa asing dengan wajah laki-laki itu.
"Saya Akmal, dulu jurusan IPA," jawab lelaki itu tanpa basa-basi.
Ayra hanya ber-oh ria karena dia dan Nayla bukan berasal dari jurusan IPA.
"Kalau boleh tahu kalian dari jurusan apa?" tanya laki-laki yang baru memperkenalkan dirinya dengan nama Akmal tersebut.
"Kami dulu IPS," jawab Ayra.
Dari dulu anak jurusan IPA memang terkenal rapi dan berkelas, selain pintar tentu saja.
"Kalau boleh tahu siapa nama ibu-ibu cantik ini?"
Ayra melotot ketika dipanggil ibu-ibu. Memang benar dia adalah seorang ibu dengan 3 orang anak, tapi dengan tidak ada anak di sampingnya maka panggilan ibu terasa agak aneh.
"Maaf Bapak, saya memang ibu-ibu, tapi di sebelah saya ini belum jadi ibu," jawabnya sedikit jutek.
Nayla tersenyum kecil. Dia tahu betul sifat Ayra. Sahabatnya itu paling tidak suka dipanggil ibu. Ketiga anaknya memanggil Ayra dengan sebutan mommy.
"Oh maaf, saya tidak tahu."
Ayra mencebik. Sudah dipastikan mood-nya berubah buruk.
"Saya Nayla," ujar Nayla sambil tersenyum. Rasanya tidak sopan jika tidak menjawab pertanyaan orang lain. Dan lagi mereka bukan lagi anak SMA yang sok jual mahal.
"Dan ini Ayra," imbuh Nayla.
"Mommy Ayra, bukan ibu, oke?" tambah Ayra dengan nada tegas.
Nayla tertawa kecil dan Akmal mengangguk lalu tersenyum.
"Eh, kita ambil makan dulu aja yuk, sambil nyapa yang lain," ajak Ayra.
"Boleh," balas Nayla.
"Kita pergi dulu ya, Bapak Akmal," pamit Ayra dengan menekankan kata 'Bapak'.
"Kami permisi dulu," imbuh Nayla dengan sopan sambil mengangguk.
Akmal mempersilakan mereka sambil mengangguk.
Setelah kepergian dua orang wanita itu hanya tinggal Akmal sendiri. Namun, matanya tidak lepas dari wanita yang telah menaut hatinya empat belas tahun yang lalu. Wanita berambut sebahu dan mengenakan batik putih.
"Nayla Kumalasari."
*****
"Melihatmu kembali seperti melihat pelangi setelah hujan."
~**~
****
Yeeeeeeyyy... Tarekkkk sesssss... Semongko...
Pertemuan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda...
Terima kasih atas diterimanya cerita ini.... Semoga respon pembaca lebih antusias lagi.
Salam sayang
Nayla 😘
Minggu, 21 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top