19. Interogasi
Ayra melipat kedua tangannya di dada sambil menatap Nayla yang kini sedang duduk di depannya. Beribu pertanyaan sudah siap dia lontarkan demi menjawab rasa penasarannya yang bersarang sejak keberadaan dokter laki-laki itu.
Akmal sudah pulang sejak setengah jam yang lalu, sedangkan Nana sudah tidur pulas di kamar Nayla. Sebelumnya Nana tertidur di pangkuan Akmal kemudian dipindahkan ke kamar Nayla. Setelahnya, laki-laki itu pun meminta izin untuk mengundurkan diri.
Arjuna dan Rama pun kini sibuk dengan mainan mereka masing-masing. Ibu dan anak itu belum mau pergi dari rumah Nayla karena Ayra harus menjemput suaminya di bandara satu jam lagi.
"Cepat katakan, apa hubungan kamu dengan dokter Akmal?" todong Ayra tanpa basa-basi lagi.
Nayla menghela napas panjang. Dirinya sudah tidak bisa mengelak lagi. Baginya Ayra bukan sekadar sahabatnya saja, tapi juga sudah seperti saudara perempuannya. Maklumlah, Nayla hanya anak tunggal.
"Cuma teman," jawab Nayla singkat.
"Teman?" tanya Ayra balik dengan nada sinis, "Aku bukan Nana yang masih bisa dengan mudah dibohongi saat merengek minta es krim."
Sekali lagi Nayla menghela napas panjang. Susah kalau sudah berhadapan dengan Ayra. Sahabatnya ini sudah seperti seorang jaksa yang menuntut tersangka untuk berkata jujur atas semua kesalahannya.
"Sejak kapan kalian mulai berteman?" desak Ayra lagi.
"Entahlah."
"Apanya yang entahlah, jujur aku kaget Nay, kamu enggak pernah cerita apa pun. Dan itu tidak adil. Apa aku bukan teman kamu lagi?" rengek Ayra karena merasa kecolongan dengan hubungan sahabatnya itu.
Nayla menarik napas panjang, "Maaf, bukannya aku enggak mau cerita, tapi aku masih bingung dengan situasi ini."
"Bingung kenapa?" tanya Ayra dengan raut wajah penasaran.
"Dia baik."
"Terus?"
"Status aku."
"Janda?"
Nayla mengangguk.
"Apa masalahnya, memangnya siapa yang mau menjadi janda, hah? Setiap orang yang menikah pasti niatnya satu untuk selamanya. Sakinah mawadah warahmah sampai maut memisahkan, dan kalau Tuhan mengizinkan, sampai menjadi pasangan di surga."
Ayra terdiam untuk sesaat. Dia memuji dirinya sendiri karena sudah bisa berkata sebijak itu.
"Apa dia tahu alasan kenapa kamu bisa sampai bercerai?"
"Sedikit, tapi mungkin belum sepenuhnya tahu dan dia berkata kalau tidak ingin tahu."
"Baguslah."
"Maksudnya?" tanya Nayla bingung.
"Itu artinya, dia tidak masalah dengan masa lalu kamu atau dengan status kamu sekarang. Dia hanya melihat kamu sebagai Nayla bukan yang lainnya."
Nayla terdiam untuk beberapa saat. Benar apa yang baru saja dikatakan Ayra, tapi hatinya masih ragu. Dia masih belum bisa percaya jika ada laki-laki yang tulus mencintai dirinya.
"Masih trauma?"
Nayla masih diam.
"Sampai kapan?"
Hanya helaan napas yang keluar tidak ada jawaban apa pun.
"Kamu masih muda, Nay. Masa depan kamu masih panjang. Sampai kapan kamu akan bersembunyi dalam topeng trauma itu terus-menerus."
Nayla menghela napas panjang. "Aku tidak tahu Ay."
"Makanya dicoba biar tahu."
Ayra menggenggam tangan Nayla dengan tulus. "Bangkit dan coba," ucap Ayra dengan sungguh-sungguh.
Ibu tiga anak itu kemudian melepas genggaman tangannya kemudian menarik napas.
"Kalau dipikir-pikir mana ada dokter yang mau repot-repot beliin beras dan minyak goreng. Apalagi sampai diberikan sama perempuan yang enggak ada rasa sama dia. Mas Hendra aja belum tentu mau aku suruh beliin kebutuhan pokok sendiri kalau enggak barengan belinya," sewot Ayra karena iri dengan perlakuan Akmal yang menurutnya begitu manis.
Ayra berdecak beberapa kali. "Kamu beruntung Nay."
Nayla diam dan mencoba mencerna setiap kalimat yang Ayra ucapkan sejak tadi. Dia kembali memikirkan tentang perlakuan Akmal beberapa bulan terakhir ini.
Meskipun sering dia abaikan, tetapi lelaki itu tetap tidak mau menyerah. Bahkan semakin getol untuk mendapatkan hatinya.
"Pikirkan kembali Nay. Kesempatan tidak akan datang kedua kali. Jangan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata."
"Tapi aku takut Ay," cicit Nayla.
"Takut apa? Ditinggalkan? Atau apa?"
Nayla kembali menghembuskan napas panjang. "Kamu tahu sendiri Akmal itu seorang dokter kandungan."
"Terus?"
"Ya, pastinya dia menginginkan keturunan."
Ayra mengernyit. "Lalu?"
"Kamu tahu penyebab perceraian aku apa kan?"
Ayra mengangguk. "Iya, tahu. Terus?"
"Terus apa lagi?" balas Nayla mulai jengah.
Ayra menarik napas panjang sebelum membuka mulut. "Emang buat anak itu sama kayak kamu buat ayam goreng, bisa langsung jadi gitu? Enggak kan? Semua harus dicoba? Emang kamu udah nyoba sama Akmal?"
Satu tonyoran berhasil mendarat di dahi Ayra. Dan yang empunya langsung mengaduh sambil menggosok dahinya.
"Aku enggak salah dong, Nay? Main tonyor aja. Orang belum dicoba udah pesimis."
"Ya 'kan, aku takut Ay."
"Dengar ya, Nay. Aku tanya sama kamu. Kamu udah sering periksa 'kan?"
Nayla mengangguk.
"Terus hasilnya?"
"Baik."
"Nah itu tahu. Kok masih aja pesimis. Anak itu rejeki dari Allah, jadi manusia tidak berhak menuntut apa pun. Dikasih ya Alhamdulillah, enggak juga jangan mengeluh. Karena itu sudah takdirnya. Kamu ingat kan, lahir, jodoh, rejeki, mati sudah diatur. Maka anak itu adalah rejeki, jika belum rejekinya ya jangan menuntut. Manusia itu hanya mampu berusaha yang terbaik dan berdoa, setelah itu pasrahkan saja pada yang mahakuasa.
Ayra sudah sering memberikan ceramah masalah anak. Dia tidak ingin sahabatnya ini terpuruk dan memikirkan hal yang belum terjadi. Dia mungkin tidak mengalami, tapi sesama perempuan haruslah saling memberikan dukungan dan semangat.
"Kamu sudah pernah bahas ini dengan Akmal?" tanya Ayra penasaran.
Nayla mengangguk.
"Terus jawabannya?"
"Dia tidak permasalahkan."
"Nah.... Terus apa yang kamu risaukan lagi?" tanya Ayra heran.
Mungkin masalah anak sudah selesai, tapi masalah keluarga besar Akmal. Apa mereka bersedia untuk menerima dia sebagai bagian dari keluarga mengingat statusnya sekarang. Laki-laki itu berkata tidak masalah dengan statusnya tersebut, tapi ....
"Masalah apa lagi?" Ayra tahu sahabatnya ini sedang memikirkan sesuatu.
"Apa keluarganya mau nerima status aku?"
Ayra menarik napas panjang. Kali ini dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Karena kapasitasnya belum sampai ke ranah tersebut. Bukan haknya untuk memberikan pernyataan. Karena sejatinya menikah itu bukan hanya sekadar antara dua orang, tetapi menyatukan dua keluarga yang mungkin mempunyai pemikiran tidak sama. Dan itu tidaklah mudah.
"Nay?" panggil Ayra dengan lembut. "Kamu percaya Akmal adalah laki-laki baik?"
Nayla terdiam sejenak tak lama kemudian mengangguk. Terlepas sikapnya yang kadang menyebalkan, tapi Nayla akui jika Akmal adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.
"Kalau kamu percaya Akmal adalah laki-laki yang baik, maka percayalah kalau dia akan berjuang keras untuk hubungan kalian."
"Aku pikir dia bukan tipe laki-laki yang mudah menyerah sebelum yang diperjuangkan menyuruhnya untuk berhenti."
Nayla ingat, Akmal pernah berkata kalau tidak akan menyerah atau mundur kecuali Nayla sudah mempunyai pilihan lain.
"Ah ... Enggak tahu, Ay." Nayla menarik napas. Kepalanya sudah pusing memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak dia pikirkan.
"Kamu nyaman?"
"Hah?"
"Aku tanya, apa kamu nyaman dengan kehadiran Akmal?"
Tidak bisa dipungkiri kalau Nayla nyaman dengan kehadiran laki-laki tersebut.
Ragu-ragu Nayla mengangguk.
"Yaudah kalau gitu, coba aja. Jangan sia-siakan orang yang tulus. Karena yang tulus tidak akan datang kedua kali."
Bolehkah Nayla menyalakan harapan yang selama ini telah padam?
"Ingat, dalam hubungan itu harus sama-sama berjuang. Kalau yang diperjuangkan saja tidak menghargai, pastinya dia akan lelah kemudian menghilang."
Ayra kembali menggenggam tangan Nayla. "Kamu berhak bahagia Nay. Aku selalu dukung apa pun keputusan kamu."
****
"Percayalah pada kuasa Tuhan. Jika Tuhan sudah berkehendak, maka tidak ada yang tidak mungkin termasuk masalah anak."
***
Hallo, apa kabar semuanya? Wah lama juga tidak mampir di sini. Sampai lumutan wkwkkwk.
Happy reading
HK, 14 April 2023
Vea Aprilia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top