18. Tukang Beras

Nayla membuka pintu rumahnya setelah mendengar suara ketukan dan sesuatu yang berisik dari luar.

"Tanteeeee," teriak tiga bocah secara bersamaan setelah pintu terbuka.

"Arjuna, Rama, Nana," ucap Nayla dengan senyum merekah dari bibirnya dan langsung memeluk ketiganya.

"Hai, aku ganggu?" tanya Ayra yang berdiri di belakang tiga bocah tersebut. Ya, ketiga bocah tersebut adalah anak Ayra.

"Enggak dong, aku lagi nganggur nih, ayo masuk," ajak Nayla sambil membawa Si Kecil Nana dalam gendongannya.

"Tante kita kangen, udah lama nggak diajak Mama main ke sini," ucap si sulung Arjuna.

"Abang kan harus sekolah terus masih les juga latihan taekwondo," timpal Ayra karena tidak mau disalahkan oleh anaknya.

Nayla hanya tersenyum mendengar perdebatan ibu dan anak tersebut karena dia sendiri sedang fokus pada Nana, bocah perempuan imut berumur hampir mendekati 2 tahun yang sedang dia gendong.

"Mas Hendra kemana?"

"Keluar kota, nanti sore baliknya, sekalian aku jemput."

Nayla hanya ber-oh ria menanggapinya.

"Nana udah maem?" tanyanya dengan gemas pada bayi yang mulai cerewet tersebut.

"Aku lapar, Tante." Kali ini Rama anak kedua Ayra yang terkenal doyan makan.

"Kakak, kan tadi sebelum berangkat udah makan nasi goreng buatan mama," protes Ayra pada anak keduanya.

"Tapi beda Ma, aku kangen masakan Tante Nay."

Ayra mendesah, memang anaknya yang nomor dua terkenal doyan makan.

"Enggak apa-apa Ay, masih ada sisa katering tadi siang, juga ada ayam yang sudah aku ungkep, tinggal goreng saja."

"Hore...!" teriak Rama semangat.

"Katanya nganggur?"

"Sekarang nganggur, tadi pagi ya repot masak terus nganterin katering."

"Oh, yaudah aku goreng ayam dulu," ujar Ayra seraya bangkit menuju dapur.

Setengah jam kemudian terdengar teriakan Ayra dari arah dapur. Wanita itu sudah selesai menyiapkan makan siang untuk ketiga anaknya juga dirinya sendiri kecuali Nayla yang katanya sudah makan.

Dengan cekatan Ayra mengambilkan nasi dan lauk untuk ketiga anaknya. Ada ayam goreng, sambel goreng kentang dan hati ayam, urap, lalapan dan tidak ketinggalan sambel terasi.

"Ay, ada telur kalau mau bikin omelet untuk Nana," ujar Nayla yang masih setia mengendong Nana.

"Oke."

Ayra dengan cepat mengambil telur kemudian menggorengnya. Masakan di meja semua rata-rata pedas jadi Nayla menyuruh Ayra untuk menggoreng telur untuk Nana. Sedangkan kedua putra Ayra kebetulan suka makan pedas.

Kedua putra Ayra sudah sibuk dengan makanan di piring masing-masing begitu juga Ayra, sedangkan Nayla dengan senang hati menyuapi Nana.

Di tengah-tengah acara makan tiba-tiba ada suara ketukan. Ayra  mengajukan diri untuk membuka pintu. Setelah pintu terbuka, Ayra membeku untuk beberapa saat.

"Anda...?" Ayra menggantung kalimatnya karena sekarang dia sedang terkejut sekaligus terpana dengan seseorang yang kini sedang berada di depannya. Seorang laki-laki dengan celana training hitam dan kaus merah berkerah yang tidak asing di mata Ayra.

"Saya mau mengantarkan beras," balas laki-laki yang kini masih saja ditatap oleh Ayra.

"Beras?" Pandangan Ayra beralih pada dua plastik beras dan minyak goreng.

"Anda Dokter Akmal 'kan?" tanya Ayra masih dengan ketidakpercayaan.

"Iya, saya Akmal, saya ke sini untuk mengantar beras."

"Tunggu-tunggu...?" pertanyaan Ayra terpotong oleh suara Nayla.

"Siapa Ay?" tanya Nayla yang berjalan menuju ruang tamu dengan menggendong Nana.

Nayla menghela napas panjang setelah tahu siapa tamu yang datang.

"Oh."

Mendengar Nayla hanya ber-oh ria membuat Ayra semakin bertambah bingung.

Sedangkan Akmal, hanya diam saja, seolah tidak peduli dan tidak ingin menjelaskan semuanya kepada Ayra.
Dia pun melenggang masuk setelah melihat yang empunya rumah sudah menampakkan batang hidungnya.

Ayra yang masih tampak bingung makin dibuat sakit kepala. Dia pun mengikuti kedua orang yang kini telah memasuki dapur.

Nayla sudah di duduk kembali sambil menyuapi Nana. Sedangkan Akmal sudah selesai menaruh beras dan minyak goreng di meja dekat lemari es. Beras dan minyak goreng setiap seminggu sekali sengaja Akmal belikan karena dia tidak mau dicap sebagai lelaki tidak bermodal hanya numpang makan di rumah Nayla. Meskipun Nayla sudah sering menolak pemberian Akmal tersebut, tetapi lelaki itu tetap saja membelikannya. Hingga pada akhirnya Nayla sudah tidak mau berdebat lagi dan menerima barang tersebut.

"Duh, lucunya.... Namanya siapa?" tanya Akmal sambil menoel pipi gembil Nana.

"Nana," balas bocah perempuan tersebut dengan suara gemasnya.

"Oh Nana, sini om gendong?"

Akmal melirik Nayla, tanpa diminta dua kali pun, dia telah menyerahkan Nana untuk digendong Akmal.

Sedangkan ibu dari bocah perempuan tersebut semakin dibuat kebingungan. Dia pun melirik Nayla seraya meminta penjelasan, tapi yang dilirik hanya cuek saja.

Setelah menyerahkan Nana pada Akmal, Nayla bergegas mengambil piring dan nasi lalu mengambilkan beberapa lauk untuk Akmal.

"Silakan."

"Terima kasih."

"Makan dulu, Nana biar aku suapin," ujar Nayla sambil mengambil Nana dari pangkuan Akmal.

Ayra yang sedari tadi kebingungan pun semakin bertambah bingung melihat adegan layaknya seorang istri sedang melayani suami. Di otaknya sudah muncul banyak sekali pertanyaan. Apa-apaan, batinnya. Dia hanya terbengong-bengong melihat adegan tersebut.

"Ndak makan Ay?" tanya Nayla yang melihat Ayra malah melamun.

"Iya-iya, aku makan," jawab Ayra setengah terkejut.

"Om siapa?" tanya Arjuna yang sudah selesai dengan makanannya. Putra sulung Ayra memang terkenal dengan rasa ingin tahunya.

"Saya Akmal. Kalau kamu namanya siapa?"

"Saya Arjuna, ini Rama dan itu Nana adek saya."

"Oh," balas Akmal sambil melirik satu persatu nama yang disebut oleh Arjuna.

"Hai Rama," sapa Akmal tapi yang disapa hanya fokus pada makanannya.

"Saya Ayra, ibu mereka."

"Saya tahu, saya masih ingat dengan kamu," balas Akmal santai kemudian melanjutkan makannya.

Ayra sedari tadi melirik Nayla seolah meminta penjelasan. Namun, Nayla bersikap seolah-olah tidak melihat dan lebih fokus pada Nana.

"Om ngapain ke sini?" tanya Arjuna lagi.

"Ngantar beras."

"Oh." Kali ini Arjuna yang ber-oh ria.

"Sekarang tukang beras dikasih makan ya, Ma?"

Akmal yang sedang menelan makanannya mendadak tersedak.

Nayla tersenyum kecil mendengar perkataan Arjuna. Memang anak itu terkenal paling kritis.

"Iya, Bang," jawab Ayra sekenanya.

"Kok waktu ada kakek-kakek nganter beras ke rumah kita nggak dikasih makan?"

Sekali lagi Nayla tersenyum, tapi dalam hatinya tertawa.

Ayra pun gelagapan, bingung bagaimana harus menjawabnya.

"Kan, kasian Ma, kakek itu sudah tua, sedangkan Om ini masih muda," tambah Arjuna sambil menatap Akmal yang menahan tawa karena perkataan bocah laki-laki tersebut.

Ayra pun bingung harus memberikan penjelasan apa. Karena dirinya sendiri juga bingung dengan adegan yang baru saja terjadi di depan matanya.

"Karena om ini spesial," timpal Akmal karena melihat tidak ada seorangpun yang mau membalas perkataan Arjuna.

"Istimewa?" tanya Arjuna bingung.

"Iya, seperti ayam goreng ini yang dimasak oleh tangan wanita istimewa, makanya jadi enak sekali rasanya," ucapnya sambil melirik ke arah Nayla.

"Ayra yang goreng tadi," balas Nayla santai.

Sedangkan Ayra memberikan cengiran ketika Akmal menatapnya sekilas.

"Iya, Nayla memang istimewa dan calon istri idaman," kali ini Ayra yang memberikan balasan, membuat Nayla mendadak salah tingkah.

Mereka semua sudah selesai dengan makan siangnya. Akmal dan ketiga anak Ayra sudah duduk di ruang tamu. Sedangkan Ayra masih di dapur bersama Nayla. Kedua wanita itu baru saja selesai membereskan dapur dan meja makan.

"Kamu hutang penjelasan, Nay."

Nayla seolah tuli, dan masa bodoh dengan perkataan Ayra.

"Sepertinya, dia sudah cocok jadi seorang ayah yang siaga."

Mau tak mau Nayla pun mengikuti arah pandang Ayra. Terlihat Akmal sedang menggendong Nana, mengajak bayi perempuan itu berbicara apa saja. Sedangkan kedua bocah laki-laki itu juga sibuk memberikan pertanyaan kepada Akmal sambil sesekali menggoda adik perempuan mereka.

"Jadi, kapan mau diresmikan?"

Nayla tersedak ketika sedang meminum air putih karena pertanyaan konyol dari mulut Ayra.
Apa yang mau diresmikan, sedangkan hatinya belum bisa terbuka sepenuhnya untuk laki-laki yang kini sedang tertawa bahagia bersama ketiga anak Ayra.

"Kalau ada yang mau berjuang dengan sungguh-sungguh kenapa enggak," imbuh Ayra.

"Ingat Nay, masa lalu biarlah berlalu, kamu masih punya masa depan."

Ayra menggenggam tangan Nayla. Seolah memberi kekuatan dan semangat untuk berani melangkah membuka lembaran baru.

"Kopi yang hangat pun akan dingin jika terlalu lama didiamkan, begitu pula hati, jika terlalu lama diabaikan maka dia akan lelah kemudian menghilang."

Mendengar perkataan Ayra, Nayla ingat dengan ucapan Akmal beberapa hari yang lalu, tentang filosofi kopi.

***
~Kamu boleh trauma dengan masa lalu, tapi kamu masih punya masa depan untuk mengobatinya.~

***

Hallo, maaf-maaf baru bisa update. Dikarenakan saya sibuk kerja kemudian juga ada kejadian yang membuat saya drop.

Terima kasih untuk vote dan komentarnya.

Happy Reading

Vea Aprilia
HK, 21 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top