17. Alasan

Setelah membantu Nayla membereskan meja makan, Akmal duduk di ruang tamu sambil mengecek pesan dari ponselnya. Dia tidak ingin pulang sebelum mendengar alasan kenapa Nayla memeriksakan diri tadi siang. Tentu saja Akmal sangat penasaran.

"Mau kopi?" tawar Nayla.

"Boleh, jangan terlalu manis karena kamu sudah sangat manis."

Nayla membuang napas seraya berjalan ke arah dapur. Sudah kebal kupingnya mendengar semua gombalan dari Akmal.

Tak berapa lama Nayla sudah kembali dengan secangkir kopi hitam yang masih mengeluarkan uap panas.

"Ini, silakan," ucapnya sambil meletakkan cangkir kopi tersebut di meja depan Akmal.

"Terima kasih," balas Akmal kemudian menyimpan ponselnya di meja samping cangkir kopi. Setelah itu, tangannya beralih mengambil cangkir yang mengeluarkan aroma kopi yang membuat Akmal ingin segera menyesapnya.

"Pas, ini enak," ucapnya setelah menyesap kopi tersebut.

"Itu masih panas."

"Selagi panas maka nikmatilah, jika sudah dingin maka rasanya akan hambar."

Nayla hanya bisa menghela napas kembali. Dia kemudian menatap laki-laki yang juga sedang menatapnya.

"Ada apa?" tanya Nayla penasaran karena dia merasa ada sesuatu yang ingin Akmal katakan.

"Seharusnya saya yang bertanya, apa alasan kamu sehingga memeriksakan diri ke rumah sakit tadi siang?"

Nayla sudah menduga pasti akan ada pertanyaan tersebut keluar dari mulut Akmal. Pasti laki-laki sekaligus dokter yang menanganinya ini penasaran.

"Hanya ingin memastikan bahwa saya sehat."

"Hanya itu?" Akmal kurang puas dengan jawaban yang diberikan oleh Nayla.

"Iya."

"Apa kamu pernah...?" Akmal sengaja menggantung pertanyaannya, karena jujur dia tidak sanggup untuk mengatakannya.

Nayla menghela napas. Dia mengerti maksud dari pertanyaan Akmal. "Tidak."

"Maaf, jika saya lancang," ucap Akmal menyesal.

"Tidak apa-apa. Mungkin aneh seorang wanita yang tidak mempunyai suami memeriksakan diri ke dokter kandungan."

Nayla sadar akan hal tersebut. Dan pastinya laki-laki di depannya ini mempunyai banyak pikiran negatif tentang dirinya.

"Tapi saya masih belum puas dengan jawaban kamu."

"Apalagi yang harus saya jawab?"

"Apa ada sesuatu yang menggangu pikiranmu?" tanya Akmal karena dia ingin sekali jika wanita di depannya ini mau sedikit berbagi cerita dengannya.

Nayla mengambil napas seblu mulai cerita. "Dulu setahun sebelum saya bercerai, setiap dua bulan sekali saya rutin memeriksakan diri ke dokter. Dan setiap dokter yang saya temui selalu mengatakan kalau saya sehat. Tapi, masalahnya adalah mantan suami saya yang tidak mau sama sekali untuk memeriksakan dirinya."

"Cukup."

"Hah?" Nayla bingung.

"Saya bilang cukup, saya tidak ingin membuat kamu sedih."

Akmal tidak ingin mendengar kisah masa lalu Nayla. Cukuplah kisah tersebut dikubur dalam-dalam. Dia tidak ingin membuat Nayla bersedih.

"Saya tidak apa-apa. Saya sudah menganggap kalau masa lalu saya sebagai sebuah pembelajaran."

"Sudahlah, saya tidak ingin mendengar semuanya. Biarlah itu menjadi masa lalumu yang sudah terkubur dan jangan coba-coba untuk menggalinya kembali."

Nayla tersenyum. Laki-laki di depannya ternyata sangat bijak.

"Kita bicarakan yang lain saja sambil saya menghabiskan kopi ini."

Nayla diam. Pasalnya dia tidak tahu apa yang harus dibicarakan dengan laki-laki ini. Semuanya masih terasa abu-abu untuknya.

"Kamu memeriksakan diri apa karena saya ajak nikah?".

"Hah?"

Akmal tersenyum jahil.

"Ya mungkin kamu sudah siap untuk menjadi calon ibu untuk anak-anak saya nanti."

"Sinting," gumam Nayla lirih.

"Saya serius."

Nayla menatap Akmal dengan saksama sedangkan laki-laki itu juga balik menatapnya dengan serius.

"Saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya."

Nayla tersenyum. "Kita belum terlalu kenal, menjalani kehidupan pernikahan itu tidak mudah."

"Saya tidak tahu," jawab Akmal asal.

"Saya cuma memberitahu," timpal Nayla tak mau kalah.

"Maka dari itu, ayo kita menikah biar saya tahu bagaimana kehidupan pernikahan itu."

"Jangan ngelantur, saya dan kamu belum terlalu kenal satu sama lain."

"Kalau begitu kita kenalan, katanya kalau tak kenal maka tak sayang. Setelah kenalan menjadi sayang, setalah sayang terus menikah kan enak itu."

Sekali lagi Nayla menghela napas panjang. Dia tidak tahu lagi bagaimana cara menghadapi laki-laki bebal di depannya ini. Sungguh dirinya sudah kehabisan akal.

"Saya masih trauma," gumam Nayla lirih, tapi masih bisa didengar oleh Akmal.

"Apa kamu menganggap jika semua laki-laki di dunia ini sama?"

"Bukan begitu."

"Lalu?"

Nayla diam untuk beberapa saat. Apakah tepat mengatakan alasan sebenarnya mengapa sampai saat ini dirinya masih betah sendiri. Bahkan laki-laki di depannya ini belum mampu untuk merebut hatinya.

Akmal masih setia menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Nayla.

"Saya...," Nayla menghela napas sebelum melanjutkan perkataannya, "takut dituntut untuk memiliki anak."

Nayla merasakan jemarinya digenggam oleh telapak tangan yang lebih besar.

"Anak itu adalah titipan, kita tidak tahu kapan Tuhan akan menitipkan."

"Saya tahu."

"Itu tahu, kenapa masih resah."

"Kamu laki-laki, tidak akan merasakan bagaimana jadi perempuan yang dituntut untuk bisa menghasilkan keturunan oleh keluarga dari pihak suami."

"Saya tidak akan menuntut kamu untuk hal itu."

"Bagaimana dengan keluarga kamu?"

Akmal terdiam.

"Kamu Dokter kandungan, setiap hari menangani ibu-ibu yang sedang mengandung sampai persalinan. Pasti dalam lubuk hati kamu menginginkan adanya keturunan."

Akmal menarik napas dalam-dalam. "Bukankah saya sudah bilang, anak itu adalah hak prerogatif Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa. Jujur siapa yang tidak ingin memiliki anak setelah menikah, mungkin hanya orang yang berpikiran dangkal yang tidak menginginkan anak dalam hidupnya."

"Berbicara memang mudah, tapi dalam realita kehidupan pernikahan, wanitalah yang selalu menjadi korbannya."

Akmal terdiam. Kenapa masalah pemeriksaan tadi siang berbutut panjang seperti ini. Dan lagi, dia bisa melihat bagaimana terlukanya Nayla. Sisa-sisa masa lalunya tidak bisa dihapus begitu saja. Benar yang dikatakan wanita itu, dia masih trauma.

"Kenapa kita jadi memperdebatkan masalah ini?" tanya Akmal karena baginya cukup untuk melihat wanitanya terluka.

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Nayla. Dan tiba-tiba tubuhnya merasakan sebuah kehangatan. Akmal memeluknya sambil memberikan usapan lembut pada punggungnya.

Tubuh Nayla pun seperti membeku. Kaget tentu saja diperlakukan seperti ini.

"Jangan memikirkan sesuatu yang belum terjadi, bukankah, semua sudah diatur oleh Tuhan," bisik Akmal.

Setelah itu Akmal merenggangkan pelukannya. Menatap Nayla penuh arti.

"Saya tahu jika kamu masih trauma, izinkan saya untuk mengobati trauma itu."

Mata Nayla mengerjap beberapa kali. Apakah laki-laki di depannya ini serius?

"Saya tidak pernah main-main dengan ucapan saya," tegas Akmal seolah mengerti dengan apa yang sedang dipikirkan Nayla.

Akmal melepaskan genggamannya pada tangan Nayla. Dia kemudian mengambil cangkir kopi yang masih setengah dan menyesapnya hingga tandas.

"Jangan salahkan dinginnya kopi, karena dia pernah hangat sebelum diabaikan."

"Saya serius dengan ucapan saya, tapi saya juga bisa menjadi kopi yang dingin jika terlalu lama diabaikan."

***

~"Jangan salahkan dinginnya kopi karena dia pernah hangat sebelum diabaikan."~

***

Hallo semua....

Saya hadir kembali, masih dengan kebucinan Akmal yang semakin bertambah.

Asli saya suka dengan karakter Akmal di sini.

Happy Reading

Love you all

Vea Aprilia

HK, 20 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top