15. Cerita Kita

Akmal masih setia duduk di ruang tamu rumah Nayla setelah menyelesaikan makan malamnya. Ya, setelah kepulangannya dari Jakarta, makan malam di rumah Nayla adalah hal yang tidak boleh dilewatkan olehnya. Masakan Nayla adalah salah satu hal yang dirindukan selain tukang masaknya tentu saja.

Selama di Jakarta, Akmal makan karena lapar dan kebutuhan bukan karena suka. Sejak lidahnya mulai mengenal makanan yang dimasak Nayla. Maka makanan di luaran sana tidak akan ada yang seenak masakan Nayla. Berlebihan mungkin, tapi Akmal benar-benar telah terhipnotis dengan semua yang ada pada wanita itu.

"Belum mau pulang?" tanya Nayla bukan bermaksud mengusir tentu saja. Tidak biasanya Akmal masih duduk di ruang tamu rumahnya. Biasanya setelah membantu membersihkan meja makan, laki-laki itu akan segera berpamitan, alasannya adalah tidak baik jika dilihat tetangga. Akmal ingin menjaga Nayla dari gosip buruk.

"Belum, kan masih kangen."

Nayla menghela napas dalam-dalam. Salahkan dirinya telah bertanya.

Akmal tersenyum melihat reaksi yang diberikan Nayla.

"Setengah jam."

"Apa?"

"Kasih waktu saya setengah jam, kita ngobrol."

Nayla mengangguk. "Mau kopi?"

"Tidak usah, besok ada operasi. Saya butuh tidur."

Nayla mengerti kemudian duduk di sofa yang sama dengan Akmal, tapi masih ada jarak diantara mereka.

"Kamu risih, saya setiap hari datang?"

Nayla bingung harus menjawab apa. Awalnya dia memang risih, tapi lama-kelamaan kehadiran Akmal malah dirindukannya. Dia suka ada yang menemaninya makan malam. Meskipun Nayla masih berusaha untuk menutupi perasaannya tersebut.

" Jawab."

"Lumayan."

Akhirnya, kata itu yang keluar dari mulutnya. Nayla masih enggan untuk mengakui jika kehadiran Akmal mampu sedikit mengisi kekosongan hidupnya.

"Maaf kalau merepotkan."

Nayla mulai meraba-raba arah pembicaraan Akmal. Apa laki-laki ini mempunyai rencana untuk tidak datang lagi ke rumahnya?

"Tenang saja, saya tidak akan pernah bosan untuk makan di sini," ucapnya sambil mengedipkan mata.

Nayla menghela napas panjang.

"Kok kamu kayak lega gitu? Takut ya kalau saya tidak datang lagi?"

Nayla melengos. Tidak ingin menanggapi perkataan Akmal.

Akmal menatap wanita di dekatnya lekat-lekat. Tidak pernah dia membayangkan akan berada di sini. Di dekat Nayla.

"Kamu tahu, aku sudah suka sama kamu sejak SMA."

Perkataan Akmal langsung membuat Nayla menoleh. Menatap laki-laki yang kini terlihat sedang menerawang ke masa lalu.

"Dulu, saya hanyalah seorang bocah cupu, kutu buku, tapi entah kenapa saya dulu tertarik sama kamu."

"Kamu berbeda."

Akmal beralih menatap Nayla yang tengah menatapnya juga.

"Kita tidak saling kenal, ah bukan, lebih tepatnya kamu yang tidak mengenal saya, tapi saya mengenal kamu. Diam-diam suka menatap kamu dari jauh."

Nayla masih berusaha menyimak cerita Akmal. Seingatnya, sewaktu SMA, dia hanya gadis biasa yang suka tidur di perpustakaan waktu jam kosong atau waktu istirahat.

"Saya suka melihat kamu mengambil buku-buku tebal di perpustakaan kemudian dijadikan bantal," ucap Akmal seraya tertawa kecil.

Pipi Nayla bersemu merah ketika mengingat kelakuannya saat itu.

"Bahkan, ketika ada tugas dari guru, buku yang saya butuhkan sedang dibuat bantal. Mau saya bangunkan, tapi sungkan."

Nayla bertambah malu mendengar cerita Akmal. Pasalnya, dia suka mengambil buku secara acak. Buku apa saja asal tebal dan bisa dibuat bantal.

"Kamu lucu."

Nayla kemudian tersenyum, mengingat hal konyol yang sering dia lakukan dulu.

"Cuma saya penasaran kenapa kamu suka tidur di perpustakaan?" tanya Akmal sambil menopang dagu menatap ke arah Nayla.

Nayla tersenyum kecil. "Ibu saya punya warung makan, buka setiap pagi. Setiap hari saya harus bangun jam 3 pagi untuk ikut membantu menyiapkan makanan."

"Oh, jadi itu alasannya kenapa kamu suka sekali tidur di perpustakaan."

Nayla mengangguk.

"Memalukan ya?"

"Tidak. Kamu imut kalau sedang tidur begitu." Tawa Akmal pecah setelah mengatakan hal tersebut.

Nayla tak sanggup lagi untuk tidak menutup wajahnya. Dia malu.

"Sejak saat itu, saya sering diam-diam memperhatikan kamu sampai lulus sekolah dan hilang kabar."

"Dan ternyata, takdir mempertemukan kita lagi."

Nayla bisa menangkap, jika laki-laki di sampingnya ini begitu bahagia saat ini. Saat bertemu dengannya kembali.

"Tapi, sayangnya pertemuan kita sekarang di waktu yang salah."

"Kenapa?" tanya Akmal bingung.

"Status kita berbeda."

"Ada yang salah dengan status kita?" tanya Akmal lagi.

"Salah. Karena saya...," Nayla menjeda kalimatnya.

"Janda?" sambung Akmal.

Nayla mengangguk. Dia bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti dengan semua perhatian dari Akmal. Hanya saja dia ingin memperjelas jika hubungan mereka tidak mungkin. Nayla tidak ingin membuat Akmal malu dengan statusnya sekarang. Sebelum semua dimulai lebih baik tidak sama sekali. Daripada ada banyak hati yang tersakiti.

"Memang ada yang salah dengan janda?" tanya Akmal meminta penjelasan.

Nayla menghela napas dalam-dalam. Tidak ada yang salah dengan janda, tapi jika statusnya sekarang disandingkan dengan Akmal, maka banyak orang yang tidak akan suka dan mungkin juga tidak setuju.

Akmal seorang dokter sukses dan masih lajang.

"Malu dengan status janda?"

Jujur, Nayla tidak pernah malu dengan statusnya sekarang. Karena ini lebih baik daripada menjadi seorang istri yang tidak pernah dihargai. Seorang istri yang dibuang.

"Tidak."

"Lalu?"

Haruskah Nayla menjelaskan semuanya. Apakah laki-laki di sampingnya ini tidak mengerti bahwa hubungan seperti ini banyak menjadi bahan gosip yang kurang sedap.

"Kamu masih lajang."

Akmal malah tertawa mendengar perkataan Nayla.

"Terus salahnya di mana?"

Nayla terdiam.

"Dengar Nay," ucap Akmal seraya memegang kedua lengan Nayla. Dan baru sekarang, laki-laki itu memanggil namanya.

"Kalau kita mendengarkan ucapan orang lain, kapan kita akan bahagia?"

"Apakah orang-orang yang suka menghujat, menilai orang lain seenaknya sendiri sudah benar hidupnya?"

"Jangan hidup dengan penilaian orang lain, karena mereka hanya bisa berkomentar."

Nayla merasa tertohok dengan ucapan Akmal. Laki-laki ini benar. Orang yang suka menghakimi hidup orang lain belum tentu hidupnya bahagia.

"Saya suka sama kamu, apa pun keadaan kamu, status kamu dan lainnya saya tidak peduli. Saya akan berusaha memperjuangkan perasaan saya ke kamu. Kecuali...."

"Kecuali?"

"Kecuali jika kamu sudah punya orang lain kamu sukai. Saya akan mundur."

"Aku mundur alon-alon...."

Akmal malah menyanyikan lagu yang sangat populer untuk orang yang sedang patah hati membuat Nayla tertawa mendengarnya.

"Jelek ya suaranya?"

Nayla malah semakin tertawa.

"Kamu cantik."

Ucapan Akmal membuat Nayla berhenti tertawa.

"Saya serius dengan ucapan saya beberapa hari yang lalu."

"Ucapan yang mana?" tanya Nayla mulai mengingat ucapan yang mana.

Akmal tidak menjawab, tapi malah melihat alroji di pergelangan tangannya.

"Sudah setengah jam, waktunya saya pamit. Tidak enak sama tetangga."

Laki-laki itu pun beranjak dari duduknya diikuti oleh Nayla. Akmal tidak akan pernah lupa dengan janjinya untuk pulang setelah setengah jam. Dia ingin menghormati Nayla. Menjaga nama baik wanita yang telah mencuri hatinya tersebut.

"Jadi pengen cepet-cepet sah."

"Hah?"

Akmal mengedipkan mata kemudian melambaikan tangannya. Setelah itu, Nayla hanya bisa menatap punggung laki-laki itu yang berjalan menjauh dari rumahnya.

***
~Jangan pernah memikirkan bagaimana orang lain menilai, karena mereka tidak menyumbang apa pun kecuali pikiran dan ucapan buruk.~

~ Vea Aprilia

****

Hallo saya hadir kembali dengan dokter bucin tentu saja. Masih dengan kebucinan yang semakin meresahkan.

Doakan idenya lancar terus supaya bisa cepat update ya....

See you all ....

Happy Reading

Vea Aprilia

HK, 15 Januari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top