11. Aku Lapar
Jangan salahkan perut Akmal yang berbunyi ketika mengantarkan Nayla pulang. Dan bunyi di perutnya semakin lama semakin keras saja.
Nayla yang mendengar itu hanya bisa tersenyum dalam hati.
Akmal merasa sedikit malu. Kenapa di situasi seperti ini, harus ada demo dalam perutnya.
Akhirnya, setelah menembus hujan yang begitu lebat. Mobil yang mereka tumpangi sampai di dekat rumah Nayla. Namun, sepertinya hujan masih saja belum mau berhenti. Nayla bingung ketika dia harus turun di dekat lapangan dan harus berjalan untuk sampai rumahnya.
Suara petir pun semakin keras saja terdengar.
Melihat sikap Nayla yang sedikit aneh dengan raut wajah kebingungan membuat Akmal memiliki sifat inisiatif.
"Saya antarkan sampai rumah," ucap Akmal.
Belum sempat Nayla mengucapkan kalimat penolakan, lelaki itu sudah turun lebih dulu sambil membawa sebuah payung berwarna hitam dengan ukuran yang cukup besar.
"Ayo, saya antar sampai rumah," ajak Akmal setelah membuka pintu mobil.
Melihat tidak ada reaksi dari Nayla membuat Akmal mempunyai pikiran untuk mengerjai wanita itu. Dengan gerakan lembut, dia berjongkok dan susah payah sambil membawa payung, memasukkan tangannya yang kosong ke bagian bawah kedua kaki Nayla.
Nayla yang belum siap dengan perlakuan Akmal membuat dia spontan berteriak. "Apa yang kamu lakukan?"
Akmal yang masih berjongkok dengan santai menjawab, "Gendong kamu."
Astaga. Kenapa ulah lelaki ini semakin absurd saja.
"Saya bisa jalan sendiri," ucap Nayla sedikit risih.
"Saya pikir, waktu saya ajak keluar kamu tidak mau, kamu minta digendong," celetuk Akmal seraya berdiri kembali. Lagipula jika harus menggendong Nayla, dia pasti kerepotan karena harus membawa payung.
Nayla sedikit malu dengan ucapan terakhir Akmal. Dia tadi benar-benar tidak mendengar ajakan Akmal, dirinya masih fokus pada hujan.
"Ayo," ajak Akmal yang melihat Nayla melamun. "Apa perlu saya gendong lagi?"
Nayla mendengkus. Dia kemudian bangun, keluar dari mobil dengan dipayungi oleh Akmal.
Baru saja sekali melangkah, membuat kaki Nayla kaku.
Melihat bagaimana sikap aneh yang sejak tadi ditampilkan oleh Nayla membuat Akmal tanpa basa-basi dan minta izin, langsung membawa tubuh wanita itu dalam pelukannya. Kemudian berjalan perlahan menerjang air hujan yang seolah tidak ada habisnya turun ke bumi.
Nayla pun hanya bisa pasrah ketika tubuhnya didekap oleh tubuh kekar Akmal. Dia merasa sedikit aman ketika berada dalam pelukan dokter berkacamata itu.
Setelah kurang lebih lima menit berjalan, sambil melewati beberapa genangan air, sampailah mereka di sebuah rumah sederhana berpagar besi. Nayla dengan cepat mengambil kunci dari dalam tasnya untuk membuka pagar. Sedangkan Akmal masih dengan setia memayungi tubuh Nayla, meskipun dia harus merelakan sebagian tubuhnya sendiri terkena air hujan.
"Mari masuk," ajak Nayla yang tidak tega mengusir Akmal begitu saja. Apalagi melihat baju lelaki yang sudah basah karena terkena air hujan. Meskipun sikap Akmal sedikit menyebalkan -ralat- sangat menyebalkan, tapi Nayla tidak sekejam itu menyuruh dokter kurang waras itu pulang.
Akmal tersenyum ketika dirinya diajak untuk masuk. Memang tidak tahu malu, tanpa basa-basi penolakan, dia langsung masuk saja. Dan itu langsung membuat Nayla ternganga. Sepertinya, dia sudah mulai terbiasa dengan sikap aneh sang dokter.
"Silakan duduk," ucap Nayla kemudian berlalu ke dalam. Tak berapa lama dia kembali sambil membawa sebuah handuk berwarna merah muda.
"Ini," ucap Nayla seraya menyodorkan handuk tersebut.
Akmal tersenyum seraya menerima handuk dari Nayla. Diperhatikan oleh wanita yang dia cintai membuat Akmal serasa di atas awan.
"Saya buatkan teh dulu."
Nayla berlalu tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu. Sedangkan Akmal masih fokus dengan hati dan pikirannya yang masih berbunga-bunga.
Bibirnya tak lelah tersenyum sambil mengelap tubuh dan bajunya yang basah. Tak apalah, dia rela hujan-hujanan setiap hari kalau bisa mendapatkan perhatian dari Nayla.
Ketika Akmal masih sibuk senyum-senyum sendiri, Nayla sudah datang dengan membawa nampan berisi segelas teh yang masih mengepul.
"Diminum dulu," ucapnya sambil meletakkan teh tersebut di meja.
"Terima kasih," balas Akmal tak lupa tersenyum manis sekali. Bahkan senyumannya bisa membuat siapa saja langsung menderita diabetes.
Nayla mengangguk kemudian berbalik, berniat untuk mengganti pakaiannya, tapi baru selangkah dia mendengar bunyi yang sedikit aneh. Dia berbalik kembali menatap Akmal, dan bunyi tersebut semakin riuh terdengar.
Akmal yang duduk, tersenyum canggung saat kepergok Nayla yang mendengar cacing di dalam perutnya sedang berdemo. Jangan salahkan dia, karena belum makan siang dan parahnya lagi tadi pagi hanya meneguk secangkir kopi hitam. Dan sekarang sudah hampir pukul lima sore. Pantas saja cacing dalam perutnya minta dikasih makan.
Nayla mengembuskan napas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya. Tanpa berkata-kata apa-apa, dia melanjutkan langkahnya menuju kamar untuk ganti baju karena tubuhnya sudah mulai kedinginan.
Akmal mengembuskan napas kasar. Dirinya tak berharap lebih, sudah baik wanita itu mau mempersilakan dirinya masuk dan memberikan dia handuk juga teh panas. Jangan berpikir jika Nayla akan memberikan makan juga setelah mendengar bunyi-bunyian aneh dari perutnya. Dia bisa mencari makan setelah pulang dari rumah Nayla, tapi rasanya dirinya enggan beranjak untuk pulang. Menginap juga boleh.
Ah, segera dia tepuk keningnya sendiri. Pikirannya mulai ngawur ke mana-mana.
Kira-kira sepuluh menit Akmal ditinggalkan sendirian di ruang tamu. Lelaki berkacamata itu mulai bosan. Matanya mulai bergerilya memindai sekeliling ruangan yang tidak begitu luas itu. Tidak ada yang menarik perhatiannya. Hanya sebuah ruang tamu sederhana dengan tembok bercat putih. Ada juga sofa berwarna kuning keemasan dengan corak bunga-bunga yang Akmal taksir sudah sedikit lama melihat warnanya yang mulai memudar. Dindingnya bersih tidak ada hiasan apa pun. Di sudut ruangan ada meja kecil yang di atasnya ada sebuah aquarium sedang berbentuk bulat.
Akmal beranjak sambil sesekali mengusap rambutnya yang masih sedikit basah. Dia mendekat pada aquarium tersebut. Ada 2 ekor ikan cupang berwarna biru dan merah. Ternyata, Nayla menyukai ikan cupang.
"Mereka sudah makan."
Mendengar ucapan Nayla membuat Akmal langsung mengurungkan niatnya untuk memberi makan ikan tersebut. Padahal tangannya sudah hampir menaburkan makanan tersebut di aquarium.
"Maaf," ucap Akmal tulus. Dia melihat raut tidak suka ditampilkan oleh Nayla.
Akmal merutuki ketidaksopanannya karena lancang ingin memberi makan ikan.
"Makanlah dulu, saya sudah siapkan," ucap Nayla sambil berlalu.
Akmal terdiam untuk beberapa saat. Apa telinganya tidak salah dengar. Baru saja Nayla menyuruhnya untuk makan?
"Makanannya di sini," teriak Nayla dari arah dapur.
Akmal segera berlari kecil mendengar panggilan tersebut. Matanya hampir saja keluar melihat menu di meja.
"Maaf, hanya seadanya dan ini pun sedikit sisa masakan tadi pagi."
Nayla sedikit canggung. Dia tidak tega ketika mendengar suara nyaring dari perut Akmal. Meskipun lelaki itu begitu menyebalkan, tapi tetap saja dia baru saja diantarkan pulang. Anggap saja sebagai bentuk rasa terima kasih.
"Ini lebih dari cukup," ucap Akmal dengan senyum semringah.
Bagaimana tidak, di meja telah tersedia ayam goreng lengkap dengan sambel terasinya. Irisan timun dan lalapan kubis juga kacang panjang. Sederhana, tapi langsung bisa membuat Akmal ingin meneteskan air liur. Dan bersamaan dengan itu perutnya kembali berbunyi.
Nayla pun tak bisa lagi menyembunyikan senyumnya mendengar lagi dan lagi perut Akmal berbunyi.
Akmal terpaku melihat senyum Nayla.
Cantik.
Hanya satu kata untuk menggambarkan bagaimana Nayla ketika tersenyum.
"Silakan duduk," ucap Nayla, tapi tidak mendapatkan respon hingga dia memukul piringnya dengan sendok.
Akmal yang mendengar suara dentingan piring dan sendok langsung tersadar. Baru saja dia terhipnotis dengan senyuman Nayla.
"Silakan duduk." Nayla mengulangi lagi kalimatnya.
Akmal tersenyum canggung kemudian duduk. Diletakkannya handuk di punggung kursi.
Dengan cekatan Nayla mengambilkan nasi di piring Akmal. Dan lelaki itu hanya bisa terdiam. Dalam hatinya bertanya, apakah ini semua nyata? Nayla sedang melayani dirinya? Dia merasa memiliki seorang istri. Oh, indahnya.
Akmal celingukan mencari wadah air untuk dia mencuci tangan, Nayla yang mengerti itu ingin bangun, tapi dicegah oleh Akmal. Lelaki itu kemudian bangkit, menuju wastafel untuk mencuci tangan. Dia sudah biasa makan pakai tangan. Apalagi dengan menu yang disediakan oleh Nayla, sedikit repot jika harus menggunakan sendok dan garpu, meskipun wanita itu telah menyiapkannya di samping piring Akmal.
Nayla menaruh ayam goreng dan sambal di piring Akmal tak lupa dengan lalapannya ketika lelaki itu kembali duduk di kursi depannya.
Akmal tak lupa mengucapkan terima kasih. Dan tanpa basa-basi lagi dan rasa malu, dia segera mengambil nasi dan ayam dengan tangannya yang sudah bersih lalu memasukkan ke dalam mulut.
"Hemmm... ini enak sekali," pujinya sambil terus mengunyah.
Nayla pun melakukan hal yang sama karena dirinya juga kelaparan. Dia butuh asupan makanan setelah pingsan tadi siang.
Nayla baru saja memasukkan nasi ketiganya ke dalam mulut ketika Akmal meminta tambah. Dia pun sedikit terkejut.
"Saya lapar," ucap Akmal tanpa malu sedikit pun.
Nayla hanya bisa geleng-geleng mendengar kalimat tersebut. Dia lalu mengambil alih piring dari tangan Akmal. Mencuci tangan terlebih dahulu kemudian mengambilkan nasi untuk dokter berkacamata itu, kali ini sedikit lebih banyak.
Melihat nasi di piringnya dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Akmal tersenyum senang, bukannya malah malu. Dia segera mengambil sepotong ayam goreng tak lupa dengan sambal terasinya. Setelah itu hanya bunyi kunyahan yang bisa Nayla dengar.
Sedangkan Nayla hanya bisa terbengong melihat kelakuan lelaki di depannya ini. Apakah dia benar-benar kelaparan? Hingga porsi kuli pun habis.
Terakhir, Nayla mendengar bunyi sendawa yang keluar dari mulut Akmal. Dan dia kembali ternganga, bagaimana bisa ada dokter tidak tahu malu seperti lelaki di depannya saat ini?
"Terima kasih, saya kenyang," ucap Akmal sambil tersenyum.
Lelaki itu kemudian bangkit sambil membawa piring kotor miliknya dan milik Nayla.
"Biar saya saja," cegah Nayla.
"Tidak apa-apa, sekalian cuci tangan," balas Akmal.
Nayla tertegun sejenak. Dia hanya bisa melihat punggung Akmal dari tempat duduknya sekarang. Dia ingat betul delapan tahun pernikahannya, tak sekali pun mantan suaminya mau untuk membantunya membereskan rumah. Apalagi mencuci piring bekas makan. Setelah makan, lelaki itu akan pergi ke teras untuk merokok, begitu setiap hari.
Melihat bagaimana Akmal mau mencuci piring kotor membuat hatinya tersentuh.
"Biar saya saja," cegah Nayla lagi ketika Akmal mulai membereskan meja makan.
"Tidak apa-apa, kamu sudah repot-repot masak untuk saya. Lagipula siang tadi kamu baru saja pingsan. Kamu duduk saja."
Sekali lagi Nayla hanya bisa pasrah melihat begitu manisnya perlakuan Akmal padanya. Meskipun kadang lelaki itu sering membuatnya kesal, tapi dia juga bisa semanis ini.
"Kamu tahu, tugas seorang wanita itu bukan untuk mencuci piring atau membersihkan rumah, tapi hanya menurut pada pasangannya. Jika ada wanita atau istri yang mau untuk membantu suami membereskan rumah, itu bonus untuk sang suami."
Wanita berambut pendek itu seperti terhipnotis dengan penuturan Akmal. Dia memang sering mendengar kalimat tersebut, tapi pada kenyataannya dirinya tidak pernah mengalaminya. Mantan suaminya selalu menuntut untuk menjadi istri yang bisa masak, mencuci, membersihkan rumah dan melayani suami dengan sempurna.
Nayla terkejut tiba-tiba tangannya dipegang oleh Akmal karena asik dengan pikirannya sendiri.
"Cuci dulu tangannya, baru kamu boleh lihat saya sepuasnya."
Entah kenapa, bukannya kesal malah pipi Nayla bersemu merah karena kepergok sedang memperhatikan Akmal.
"Saya bisa sendiri," tolak Nayla.
Namun, Akmal tetap saja tidak mau melepaskan tangannya dari tangan Nayla. Dia dengan lembut menuntun wanita itu menuju wastafel kemudian menyabuninya dengan telaten lalu membilasnya.
Nayla berusaha menolak, tapi pegangan Akmal begitu kuat.
"Dari tangan ini, bisa tercipta makanan yang enak. Terima kasih."
Dan sebuah adegan tidak terduga membuat Nayla tidak bisa bernapas untuk beberapa saat.
Akmal mencium kedua tangannya.
****
"Tugas seorang istri itu hanya menuruti perintah suami. Kalau ada laki-laki yang mencari seorang istri yang bisa masak dan membereskan rumah, itu bukan nyari istri, tapi nyari pembantu."
****
Ya ampun, aku ngos-ngosan nulis part ini. Agak panjang dari bab-bab sebelumnya.
Dan aku juga baper pas lihat kelakuan Akmal yang bisa semanis itu sama Nayla.
Ya Allah, sisain yang kayak Akmal satu saja... Karena Akmal sudah bucin sama Nayla nggak mungkin saya karungin buat dibawa pulang.
Yang baca ini pas malem Minggu, jomblo pula... Selamat berbaper ria sambil gigit jari wkwkkwk....
Bagaimana masih setia lanjut baca cerita ini???
Makin seru kan??
Aduh, bakalan ada yang manis-manis dan bikin baper lagi. Emang kelakuan Dokter satu ini bisa bikin meleleh.
Jangan lupa untuk kasih vote dan komentar yang buaaaaanyakkk!!!
Saya bakalan rajin update...
Terima kasih
Selamat bermalam Minggu 🥰
Peluk Cium
Dokter Bucin nya Nayla 🥰
HK, Sabtu 20 Maret 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top