1. HUJAN
Langit sepertinya takkan berhenti mencurahkan airnya ke bumi. Dari ayam mulai berkokok hingga burung kembali lagi ke sarangnya. Air masih saja membasahi tanah.
Seorang perempuan berambut sebahu sedang duduk terpekur di salah satu sofa ruang tamu sambil menatap hujan dari balik jendela. Sesekali dia menarik napas. Bukan dia membenci hujan, tapi hujan hari ini membuatnya mengurungkan niat untuk pergi ke pasar. Stok bahan-bahan untuk memasak sudah habis dari kemarin. Rencana, hari ini dia mau pergi belanja, tapi hujan telah merusak segalanya.
Hujan adalah salah satu anugerah dari sang Pencipta. Petani akan senang jika hujan turun, itu pertanda tanaman yang mereka tanam akan tumbuh subur. Apalagi jika musim kemarau datang, air yang dicurahkan ke bumi akan membuat orang-orang senang. Karena mereka tidak akan kekurangan air untuk minum dan kebutuhan lainnya.
Nayla Kumalasari masih duduk sambil menatap tetes demi tetes air yang turun ke bumi. Sekali lagi, dia tidak membenci hujan. Selain hujan yang telah merusak rencananya untuk berbelanja. Ada satu kejadian yang membuatnya tidak begitu bersahabat lagi dengan hujan. Sewaktu kecil, Nayla sangat menyukai hujan. Dia sering berlarian di derasnya air yang turun ke bumi. Namun, sekarang hujan membuatnya enggan beranjak. Perempuan itu masih menganggap hujan akan membasahi lukanya yang telah kering.
Perempuan 32 tahun itu masih ingat dengan betul satu tahun lalu, di saat air turun mambasahi tanah dengan derasnya. Seorang laki-laki berstatus suami menalaknya di depan makam kedua orangtuanya, bersamaan dengan suara petir yang menggelegar.
Hari itu adalah hari peringatan kematian kedua orang tuanya. Nayla datang bersama dengan sang suami untuk ziarah. Namun, hari kelam di hidupnya ternyata harus ditambah lagi dengan perpisahannya dengan sang suami. Dia tidak menginginkan perpisahan itu, tapi laki-laki yang telah dinikahinya selama 8 tahun itu yang meminta.
Di bawah guyuran hujan perempuan itu terduduk di samping pusara kedua orang tuanya sambil menangis. Setelah kehilangan kedua orang tuanya karena kecelakaan lima tahun yang lalu. Di hari yang sama, dia kembali merasakan perpisahan. Sebuah perpisahan yang tidak pernah diinginkannya.
Hari itu, Nayla merasa hidupnya tak berarti lagi. Dia merasa sendirian. Ingin sekali dia ikut kedua orangtuanya saja. Namun, dia ingat petuah dari wanita yang melahirkannya.
"Nay, hiduplah dengan bahagia. Walau tanpa ayah dan ibu nanti. Karena masih ada Tuhan yang akan selalu ada di sisimu."
Ibunya sering mengucapkan kalimat itu, sehingga Nayla punya kekuatan dan tidak merasa takut jika harus kehilangan. Bahkan, ketika kedua orang tuanya meninggal.
Dan ketika sang suami memilih jalan perpisahan, kenapa dia dengan gampang menyerah. Hidupnya bukan hanya seputar laki-laki yang telah mengikatnya dalam hubungan pernikahan. Jika, rumah tangganya kandas, bukankah dia, masih harus menyayangi hidupnya sendiri. Hidupnya terlalu berharga hanya untuk laki-laki yang meninggalkan dia dengan tanpa perasaan.
Sejak saat itu Nayla mempunyai kekuatan untuk lebih menghargai hidupnya. Sia-sia jika dia harus menangis dan berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun, saat hujan turun, mengingatkan selalu dengan kejadian itu meskipun sudah satu tahun berlalu.
Ting
Suara notifikasi dari gawainya membuat Nayla tersadar dari lamunan masa lalu. Dibukanya ikon berwarna telepon hijau. Ada salah satu sahabatnya dari SMA yang mengirimkan pesan. Ayra Saraswati.
"Nay, minggu depan ada reuni SMA. Kamu ikut ya, aku jemput."
Reuni?
Dahi Nayla berkerut. Reuni sekolah memang selalu diadakan setiap tahun. Dimulai sejak 2 tahun yang lalu dan ini adalah reuni tahun ke-tiga. Dan setiap reuni dapat dipastikan Nayla selalu alpha.
"Kayaknya aku nggak ikut."
Terikirim. Centang dua biru.
Ayra mengetik....
"Kamu kenapa sih, tiap reuni nggak pernah ikut. Masih belum move on?"
Nayla tersenyum. Kalau tahun pertama reuni, dia tidak bisa datang karena sang suami tidak memberikan izin. Di tahun kedua, itu karena dia baru saja bercerai. Dan sekarang tahun ketiga Ayra menggodanya dengan mengatakan kalau dirinya belum bisa move on.
"Masih ingat mantan?"
Balasan Ayra membuatnya tersenyum sekali lagi. Sahabatnya yang satu ini selalu bisa membuatnya tersenyum. Nayla tidak mempunyai banyak teman. Hanya saja Ayra adalah teman yang menurutnya paling dekat dengannya semenjak sekolah menengah atas.
"Mantan ke laut saja."
Nayla semakin tersenyum lebar membaca balasan untuk Ayra.
"Makanya, hayuk ikut reuni. Sapa tahu dapat berondong gitu."
Astaga. Ingin sekali Nayla mencubit pipi Ayra yang selalu saja ceplas-ceplos kalau bicara. Tidak hanya di percakapan ponsel, tapi di nyata pun sama.
"Ingat umur.
Ingat suami.
Ingat anak."
Ayra adalah seorang ibu rumah tangga dengan 3 orang putranya. Suaminya sangat menyayangi Ayra. Dia tidak boleh bekerja. Cukup jadi ibu rumah tangga dan menjaga anak-anaknya dengan baik. Kadang Nayla merasa iri dengan kehidupan Ayra, tapi dia sadar jika Tuhan pasti punya rencana lain yang lebih indah. Mungkin hidupnya sendiri sekarang, tapi entah nanti.
"Aku selalu inget anak dan suami tenang aja."
Suara petir membuat Nayla tersentak. Matanya kembali menatap hujan melalui jendela yang terpasang teralis di sekitarnya. Sepertinya, langit akan terus menumpahkan airnya sampai hari esok.
"Nay???"
Suara notifikasi kembali mengalihkan pandangannya dari hujan.
"Musim hujan, Ay."
Balasan singkat, tapi Nayla yakin pasti Ayra akan paham maksudnya.
"Terus sampai kapan, kamu akan takut sama hujan?"
Satu pesan dari Ayra tidak lupa di belakangnya terdapat emoticon menunduk, seperti putus asa dengan Nayla yang selalu ketakutan terhadap hujan.
Nayla menarik napas panjang. Dia tidak takut hujan, hanya saja hujan selalu saja mengingatkannya dengan masa lalu. Dirinya juga tidak membenci hujan, tapi hujan selalu membuatnya membenci jalan hidupnya.
"Aku nggak takut hujan."
"Lalu sampai kapan, kamu akan terus bersembunyi dari hujan?"
Nayla terdiam.
Ayra mengetik...
"Aku nggak mau kamu ada alasan lagi, pokoknya Minggu depan tanggal 7 , aku jemput. Oke!"
Nayla tidak membalas setelah membaca pesan Ayra yang terkesan memaksa. Dia meletakkan ponselnya di meja. Kembali menatap ke luar.
Hujan tidak pernah bisa memilih di mana dan kapan dia akan jatuh ke bumi. Apakah bumi menerimanya atau tidak. Hujan akan tetap turun. Apakah dirinya akan menyebabkan bencana, dia juga tidak tahu. Intinya, dia akan tetap turun jika Tuhan sudah berkehendak.
Ayra benar. Tidak seharusnya dia terus menerus bersembunyi dari hujan. Bulan Januari memang musim penghujan. Tidak bisa dipungkiri jika setiap hari akan turun hujan.
Nayla tidak ingin seperti hujan yang tidak bisa mengubah nasibnya sendiri. Bukankah manusia itu sendiri yang bisa mengubah nasibnya dengan berusaha lebih baik lagi. Nayla harus bisa mengalahkan rasa takutnya pada masa lalu, bukan malah terus-menerus menyalahkan hujan. Bukan salah hujan, jika dia turun di waktu itu. Bukan salah hujan juga, jika hari ini dia tidak bisa pergi berbelanja. Semua sudah takdir. Seperti jalan hidupnya yang harus dia lalui.
"Oke. Aku ikut ke reuni."
Nayla tersenyum kemudian meletakkan gawainya kembali.
****
"Hujan akan turun tanpa bisa memilih kapan di mana. Seperti manusia takkan bisa memilih dilahirkan di mana dan oleh siapa. Karena semuanya sudah takdir."
****
Hai-hai pembaca semua...
Ada cerita baru dari event membatik bersama BukuBatik dalam rangka hari Valentine.
Stay tune ya...
Peluk cium
Nayla 😘
Minggu, 14 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top