membentuk jejak seiring jalan
Aku duduk di kursi dekat jendela, memandangi pemandangan malam yang buram saat dunia seolah melesat menjauh dariku. Suara gemuruh roda kereta yang melaju di atas rel bergema seperti lagu pengantar tidur yang melankolis, menyusup ke sudut terdalam hatiku, membentuk kabut tebal yang menyelimuti hati. Perasaan ini kian terasa berat saat kereta melaju menuju kota perantauaku, diiringi oleh setiap lampu jalan yang berkedip-kedip, mengingatkanku pada kenangan-kenangan menyedihkan di masa lalu.
Kuhela napas panjang, saat kata-kata dari pria paruh baya yang aku temui tadi kembali berputar di kepala. "Ketika ada cinta untuk seseorang, itu harus diungkapkan."
Semakin aku renungkan dan aku selami kalimat itu, semakin kuat juga ia membongkar memori dan perasaan yang kusembunyikan rapat-rapat. Terutama, kalimat terakhir yang pria itu sampaikan sebelum kami berpisah. Ia kembali berkata:
"Sebab cinta bagai bunga yang mekar di taman hati. Biarkan ia terbuka, biarkan ia tumbuh, dan biarkan dunia mengetahui keindahannya."
Mengungkapkan perasaan? Sebuah pertanyaan yang tidak pernah terlintas di kepalaku. Apalagi membiarkan cinta tumbuh dan terbuka dengan indah terasa seperti mimpi yang jauh, sesuatu yang tidak pernah berani aku wujudkan.
Tapi mengapa sekarang, setelah bertahun-tahun berlalu, kata-kata yang tidak pernah terucap itu terasa seperti kesempatan yang terlewat? Dan mengapa kata-kata pria paruh baya itu membuatku memikirkan dia?
Kenangan akan masa-masa di SMA dulu datang membanjiri pikiranku, tanpa aku minta. Dulu aku bergabung dengan klub itu—bukan karena ketertarikan murni, tapi karena dia ada di sana. Sebuah ketertarikan singkat? Kekaguman? Atau sesuatu yang lebih dalam yang tidak pernah berani aku namai?
Perasaan itu hilang timbul seperti bulan yang kulihat dari balik kaca jendela kereta, bersembunyi dan menampakkan diri seiring pergeseran awan. Dulu, aku terlalu pemalu, terlalu takut akan apa yang mungkin terjadi jika aku menunjukkan perasaanku—sedikit saja.
Jemariku secara naluriah menemukan profil media sosialnya, menggulirkan postingan-postingan yang sudah begitu familiar. Unggahan story terakhirnya, foto seekor kucing berwarna oranye yang tidur di atas lantai putih bersih.
Unggahan itu sudah aku lihat kemarin, satu menit setelah ia mengunggahnya. Bukan. Bukan karena aku menyalakan notifikasi yang membuatku langsung bergerak cepat untuk melihat unggahan terbarunya. Tidak sama sekali. Aku tidak melakukan itu. Hanya saja..., terkadang sebuah gelisah hadir dengan sendirinya ke dalam hatiku. Lalu, jemariku dengan lincah akan membuka aplikasi media sosial. Dan, tara.... Dia baru saja mengunggah sebuah cerita baru. Anehnya, gelisahku lenyap seketika.
Aku menepuk dahiku pelan. Jangan-jangan, aku memang belum melupakannya sama sekali?
Aku kembali memalingkan kepala ke jendela kereta. Memandang pantulan wajahku yang terlihat putus asa di balik kaca. Sepanjang perjalanan ini, hanya dia yang terus terngiang dalam pikiranku, seolah waktu berhenti di sekitar bayangannya.
Apa yang akan terjadi jika dulu aku tidak gegabah gabung ke klub ekstrakurikuler itu? Jika aku tetap gegabah, bisakah aku punya keberanian yang lebih besar, sedikit lebih nekat? Apakah semuanya akan berbeda sekarang? Apakah dia akan melihat si gadis pendiam yang diam-diam mengaguminya ini?
Ataukah semua ini memang seharusnya tetap seperti itu—menjadi sebuah bab yang tak pernah terucap dalam kisah hidupku, yang hanya muncul di saat-saat seperti ini, ketika masa lalu menolak untuk tetap terkubur?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top