kala sore kesempatan datang
"Bodoh! Bodoh! Bodoh!"
"Gagal! Kamu nggak berguna!"
"Minggat dari rumah ini! Aku nggak sudi punya anak seperti kamu!"
"Ertha!"
Panggilan dan ketukan di pintu membuyarkan lamunan tentang masa lalu yang masih menyakitkan. Padahal itu sudah terjadi dua tahun lalu tapi rasanya seperti baru saja aku dimaki-maki seburuk itu.
"Ertha!"
Buru-buru, aku berkaca dan mengelap jejak-jejak air mata yang mengalir di pipi sebelum akhirnya menjawab panggilan itu. "Iya, sebentar!"
Rupanya, melamun bisa sangat membunuh waktu. Tahu-tahu matahari sore sudah menyelinap melalui celah-celah jendela kamar. Ia menyorot kondisi kamarku yang berantakan. Jika langit dapat berbicara kepadaku, ia pasti akan mengomentari diriku yang pemalas dan menyedihkan dengan buku-buku berserakan di antara lautan kertas yang berceceran.
Seharian ini aku hanya duduk di depan laptop tanpa menghasilkan apa-apa. Frustrasi menggerogotiku, layaknya hewan buas yang mengoyak dan melahap kreativitas yang ada di dalam kepala. Hingga akhirnya, tidak ada satu pun ide yang bisa kutumpahkan dalam tulisan dan malah berujung melamunkan memori kelam itu.
Kuhela napas dengan berat. Bergerak secepat mungkin untuk menutup laptop dan mencoba merapikan sedikit kekacauan di kamar sebelum membukakan pintu untuk Ulil, temanku yang paling rajin mampir ke indekosku.
"Lagi apa?" Ini adalah cara Ulil menyapaku. Ia selalu menganggapku sebagai manusia paling sibuk, dan itu membuatnya merasa menjadi manusia paling gabut. Itulah kenapa aku langsung menutup laptop supaya terlihat sama gabutnya.
"Nggak lagi apa-apa," jawabku yakin.
"Bohong," tukasnya sambil menelisik ruang kamarku. Ia bahkan membuka laptopku dan menemukan bukti bahwa aku telah menipunya. "Seorang Ertha seharian nggak ngapa-ngapain?! Nggak mungkin! Minimal laptop pasti selalu nyala."
"Lagi nulis apa lagi sekarang?" Ulil tidak akan pernah puas bertanya sebelum pertanyaannya aku jawab dengan benar.
Aku menggeleng dan mengeluh, "aku belum nulis apa-apa. Buntu banget, nggak ada ide yang muncul."
"Yah, sayang banget. Padahal aku ke sini mau ngasih tahu sesuatu."
"Apa?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, ia malah balik bertanya dengan panik sambil merogoh tas dan kantong jaketnya. "HP-ku di mana, ya, Er?"
"Mana aku tahu?" jawabku dengan keheranan. Tapi tak urung, aku beranjak dari dudukku, berjalan keluar kamar, dan menemukan ponselnya di sana. Aku sudah hafal kebiasaannya yang suka menaruh barang di sembarang tempat.
"Nih, kamu taruh di rak sepatu lagi!" Aku menyerahkan ponselnya.
"Ya ampun, iya lagi," sahutnya sambil menyengir lebar. "Ya maaf, emang pelupa gini orangnya."
"Jadi, mau kasih tahu apa?"
"Bentar, aku kirim link-nya dulu ke kamu."
"Apaan?"
"Cek deh, aku tadi nemu ada kompetisi menulis novel. Mungkin kamu tertarik buat ikut."
"Tumben, kamu update soal dunia kepenulisan gini," celetukku disela-sela menggulir layar ponsel. Ulil itu tidak suka baca buku, apalagi update soal kompetisi menulis, ini sesuatu yang bukan Ulil banget.
"Hehe, ketahuan. Dikasih tahu sama temen."
"Temen yang mana, nih?" godaku.
"Ada, temenku. Besok aku kenalin, ya?"
Aku hanya mengangguk-angguk sambil lalu karena setelahnya aku membaca informasi yang dikirimkan Ulil. Sebuah kompetisi menulis dengan tema Kisah Kasih di Sekolah. "Menarik juga," ungkapku.
"Iya, kan?! Aku tahu kamu pasti tertarik. Apalagi tanganmu selalu gatal kalau nggak nulis apa-apa."
Aku tertawa mendengar kalimat terakhirnya. "Ya nggak gitu juga, sih."
"Iya, lho! Hidup Ertha kalau sehari tanpa nulis tuh rasanya kayak matahari tanpa sinar, redup."
Mulutku ternganga mendengar metafora itu keluar dari bibir seorang Ulil sangat anti dengan buku.
"Oke juga kan rangkaian kalimatku?"
"Bisa, nih, ikut bikin novel juga," selorohku kemudian.
"Ide bagus!" katanya. Lalu, ia buru-buru merevisi ucapannya yang membuatku terbahak karena kejumawaannya. "Jangan, ah, nanti yang ada kamu pensiun nulis kalau aku debut novel pertamaku."
"Langsung registrasi aja, Er. Kamu kapan hari lalu pernah bilang pengen bikin satu karya lagi untuk menutup tahun, kan?" Aku mengangguk. "Nah, ini! Pas nih, kompetisi di akhir tahun."
"Iya, sih," sahutku ragu. "Tapi aku nggak punya draf yang bisa aku ikutin lomba. Aku butuh riset buat tema itu."
"Artinya apa?" tanya Ulil yang kemudian ia jawab sendiri. "Kamu butuh naik kereta!"
Aku tertawa karena dia hafal kebiasaanku yang sering mendapatkan ide-ide untuk karya-karyaku di kereta. Terkadang aku juga heran, kenapa kepalaku selalu lancar untuk menemukan ide kalau sedang berada di dalam gerbong kereta?
Namun, kali ini masalahnya adalah aku tidak ingin naik kereta, karena naik kereta sama dengan pulang ke rumah. Sementara, dua minggu yang lalu, kepulanganku ke rumah berujung buruk. Emosi itu masih terbawa sampai hari ini, dan itu juga yang membuatku melamunkan memori-memori buruk yang lagi-lagi membuatku menangis.
"Aku nggak pengen pulang."
"Lagi nggak baik-baik aja, ya, di rumah?"
Aku hanya bisa tersenyum getir. "Gitu lah. Males pulang, deh, pokoknya."
Kita sama-sama terdiam selama beberapa waktu. Aku bersyukur Ulil tidak pernah menanyakan masalahku, karena untuk sekarang aku tidak ingin bercerita.
"Menurutku ya, Er, kamu ini terlalu anak rumahan. Padahal kamu kalau mau naik kereta nggak mesti mampir ke rumah."
"Terus ke mana? Duduk-duduk di stasiun aja gitu? Terus nanti naik kereta lagi untuk balik ke sini?"
"Boleh juga kalau kamu mau," sahut Ulil. "Ya ke kafe atau kemana gitu lah! Masa iya mau seharian jadi gelandangan di stasiun!"
"Iya juga, ya?" Akhirnya, aku ikut terbahak menertawakan kekonyolanku. "Tapi aku nggak biasa nongkrong di kafe sendirian," keluhku kemudian.
"Oh! Aku tau!" seruku setelah mendapatkan sebuah ide. "Ini kan temanya kisah kasih di sekolah, ya? Aku bisa mampir ke sekolahku aja nggak, sih? Siapa tau aku dapat ide juga dari sana?"
"Nah, itu pinter!"
"Oke, deh. Besok aku pulang," putusku.
Aku meraih ponselku lagi untuk mengirim pesan ke adikku untuk menanyakan kegiatan sekolah akhir pekan ini. Kita berdua sekolah di tempat yang sama, dan biasanya setiap weekend selalu dilakukan clear area karena ada kegiatan ekstrakurikuler.
"Er."
"Ya?" Aku menoleh ke arah Ulil. Ia menaikturunkan alisnya yang membuatku mengernyit. "Pasti ada maunya?" tebakku.
"Hehe." Ia menyengir. "Jangan lupa seperti biasa bawain aku donat."
"Yeee...." sorakku sambil pura-pura melemparkan ponselku ke arahnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top