|T U J O H|
بسم الله الرحمن الرحيم
Part 7
---
"Uwuw, baru beberapa hari nggak liat makin cantek aja nih, ye,"
Ananda tersenyum memberenggut ke arah Aisha yang menggombalinya. Gadis itu lantas duduk di hadapan mereka.
"Mau pesan apa?" Tanya Maisya pada Ananda.
"Nanti aja, aku belum laper. Kalian habiskan dulu makanannya," titah Ananda, Aisha dan Maisya memberi tatapan selidik.
"Okey, tuan putri,"
"Roman-romannya ada yang tidak sedap."
Aisha, wanita itu baru kemarin pulang dari perjalanan manisnya. Dan Maisya juga, baru kemarin ia selesai dengan nilai para mahasiswanya. Semalam, Ananda langsung spam chat di grup Wa mereka, mengajak untuk ketemuan.
Dengan senang hati, kedua sahabatnya itu menerima. Asal Ananda yang mentraktir, ah mereka memang pandai mencari celah.
"Ada apa gerangan, sampai semalam spam chat udah kayak absen anak TK."
Mulai Maisya, jiwa keponya muncul seketika.
"Aku mau ngomong sesuatu,"
"Yaudah, sok atuh ngomong. Biasanya kan kalo ngomong ya ngomong aja, kenapa jadi berbelit gini kayak Ftv." Omel Aisha juga yang sedari tadi melihat Ananda seakan mengantungkan kalimat-kalimatnya.
"Aku mau dijodohkan." Lirih Ananda tertahan.
"Oooh,"
"Hmmm."
Maisya dan Aisha seperti orang bodoh yang telat mencerna ucapan Ananda. Sedangkan Ananda, gadis itu geram mendapat reaksi mereka yang lemot.
"APA!! DIJODOHKAN?"
Ujar mereka bersamaan, jiwa Meraka kembali. Untung saja Agiel tidak ikut, jika bocah itu ikut pasti bakalan mengomel karena ibunya beserta Aisha selalu mode on rusuh.
"Demi apa coba? Anan, jangan bercanda. Hellow, ini jaman millenial ya, nggak ada lagi acara jodoh-menjodohkan."
"Aku serius, nggak lagi bercanda. Makanya aku bilang sama kalian." Ananda merunduk, suaranya lesu tak bersemangat.
Maisya dan Aisha yang melihat Ananda pun ikut merasa kalau Ananda tidak mau.
"Tante Mel sama Om Rahmat, kamu udah ngomongin baik-baik?" Tanya Aisha, wanita itu sepertinya sudah tau setidaknya sedikit alur walau Ananda belum bercerita detailnya.
Ananda mengangguk, "mereka tetap kekeuh. Dan aku, mau tidak mau, siap tidak siap harus menerima perjodohan itu."
"Terus, kamu udah ketemu calonnya?" Maisya pindah duduk ke sebelah Ananda. Diusapnya bahu Ananda dengan lembut, seolah memberi semangat.
Ananda menceritakan semua tentang perjodohan itu. Dari awal, sampai dirinya berdebat dengan kedua orangtuanya. Tanpa menyela, Aisha dan Maisya mendengar dengan seksama.
"Jadi, acara lamarannya besok malam?" Ananda mengangguk pasrah.
"Aku belum siap Mai, Sha. Semuanya begitu berat, aku sepertinya nggak sanggup lagi dengan semua ini."
Nada kesedihan itu begitu terasa bagi Aisha dan Maisya. Kedua wanita itu menguatkan Ananda, mereka juga ikut prihatin dengan keadaan Ananda selama ini. Merekalah tempat curhat Ananda, semua keluh kesah mereka siap menampung dengan sukarela.
Sebagai sahabat yang lebih tua dari Ananda setahun lebih, mereka sebisa mungkin untuk selalu memposisikan diri mereka sebagai sosok seorang kakak. Mereka juga tau, bagaimana hidup Ananda yang berkubang dengan kesepian.
Ketika mereka SMA, merekalah yang selalu menginap untuk menemani Ananda. Rumah Ananda sudah seperti rumah kedua bagi mereka, sudah tak segan lagi. Kuliah pun begitu, mereka saling bersama. Kecuali Maisya, saat kuliah semester 4 wanita itu memilih untuk menikah muda.
"Oke, skip! Sekarang kita bahas tentang bukan madu si pengantin baru."
Ananda mencoba untuk mengalihkan pembicaraan, dan berhasil. Dia tidak mau kedua sahabatnya merasa sedih karenanya.
"Kayaknya Minggu depan langsung dua garis kuning," Aisha tersipu mendengar celetukan Maisya.
"Apaan, sih kalian. Maluuu tau, pokoknya itu rahasia."
"Dan disana sepertinya tidak keluar kamar, barang sedetikpun?"
Aisha melotot, mulut Maisya perlu dilakban. Kalau soal begituan dia yang paling semangat.
"Bakalan punya ponaan baruu... Yuhuy! Request boleh nggak?" Ananda berucap, lalu tertawa.
"Emang adonan bakwan apa! Kalian ih, suka banget julid."
"Julid itu perlu loh, untuk kelangsungan hidup."
"Tau ah,"
"Eh, aku serius loh Sha, aku maunya ponaan cewek. Cowok kan udah ada Agiel, ntar kalo anak kamu cewek, ponaan aku sepasang. Bisa kuajak nyalon tiap weekend," Ananda geli sendiri, setelah mengatakan itu. Bagaimana bisa dirinya sendiri excited itu.
"Doain aja biar cepet dikasih," cicit Aisha malu.
"Cieee... Yang udah kebelet banget. Makanya harus gencar, tiap malam ajakin olahraga goyang."
Maisya!! Wanita itu? Sungguh sangat vulgar. Untungnya suasana cafee sedang ramai dan bising. Sehingga pengunjung lain tidak bisa mendengar.
"Mai, keep the language. Ampun deh, kenapa bisa vulgar begitu. Persis ibu-ibu iklan saus," gerutu Ananda menahan kesal. Dan Maisya malah nyengir tanpa dosa.
"Gini, nih Bu-ibu kurang piknik."
"Sialan, gue dikatain. Bener juga sih, udah sebulan ini nggak kemana-mana. Sibuk sama kerjaan, lagian mas Haris juga nggak ngajak-ngajak." Malah curhat si ibunya Agiel ini.
"Mampus, rasain. Liat nih aku, baru pulang honeymoon," ucap Aisha bangga. "Nggak rugi aku ke Sabang, kalian tau? Disana indahnya Masya Allah banget, lautnyaa uhuy banget. Pengen tinggal disana deh,"
"Bener Sha?" Tanya Maisya antusias, dia juga belum pernah ke pulau yang berada di ujung sumatera itu. Cuma melihat dariedia sosial saja, dan disana pun terlihat sangat indah.
"Mau kesana, Anan ajak aku ke kampung kamu itu." Tambah Maisya.
"Eh, kok aku yang mesti ajak. Sono minta mas Haris liburan, sekalian honeymoon kedua. Kasih Agiel adik baru," jawab Ananda enteng sambil melirik jail Maisya.
"Iyaps, aku setuju usulan Anan.
Ide-able banget, pinter ih Anan. Belajar dari mana good ideanya?"
"Dari istrinya tuan Safir,"
"Ciee... Yang udah jadi nyonya Safir. Aku masih nggak nyangka kalian jodoh," ungkap Maisya.
Pasalnya, Aisha dulu sangat anti dengan makhluk yang bernama Zikran Assafir itu, safir yang beberapa tahun lalu selalu mengejar Aisha, untuk mendapatkan hati gadis pujaannya.
"Jangan ungkit-ungkit lagi, aku malu tau!"
Ananda dan Maisya tertawa, cerita masa lalu itu bisa membuat mood Aisha anjlok. Mengingat dirinya dulu, saat menolak safir berulang kali. Dan sekarang seperti orang yang menjilat ludahnya sendiri, Aisha sudah jadi istri Safir.
"Mai, Sha, aku duluan nih, ya." Kata Ananda untuk pamit,
"Loh, kok malah buru-buru?" Maisya bertanya.
"Aku mau belanja ke supermarket dulu, titipan Bik Rina. Tadinya mau dia beli sendiri, cuman aku tawarin buat beliin, lagi nggak enak badan soalnya."
"Utututu... Non yang able banget, siapa aja betah jadi pembantu si Anan. Kalo majikannya kayak peri baik hati satu ini," ujar Aisha mendramatisir.
"Kalian mendramatisir banget, semua aku yang bayar aja, hitung-hitung buat upah udah dengerin curhatan aku," mereka seneng, kapan lagi di traktir sama ibu menejer.
"Oh ya, besok malam jangan sampai nggak datang ke rumah? Awas aja kalo kalian nggak nongol!" Ancam Ananda, bukannya takut mereka malah tertawa meledek.
"Aw, ngeri"
"Asiap, ibu menejer. Asalkan ada makanan yang banyak,"
"Aku duluan, see you tomorrow.
Assalamu'alaikum." Ucap Ananda melambaikan tangannya, lalu mereka menjawab salam Ananda.
Sepeninggal Ananda, mereka diam. Mencerna pikiran mereka masing-masing.
"Sha, menurut kamu gimana sama perjodohan Anan?"
Aisha menatap Maisya, wanita itu juga sebenarnya tidak tau. Kedua wanita itu sedikit merasa... Ah entahlah, cuman isi hati mereka yang tau.
Ananda sudah pantas untuk berumah tangga, yang mereka takutkan adalah ketakutan Ananda yang selama ini gadis itu curahkan pada mereka.
Dan semoga, ketakutan akan angan-angan yang Ananda ekspektasikan itu tidak terjadi.
"Entahlah, Mai. Tapi satu hal yang perlu kita ingat, setiap orang tua tidak akan menjerumuskan anaknya sendiri pada arah yang salah. Kita harus positive thinking, mungkin Tante Mel, sama Om Rahmat ingin anaknya cepat menikah di umur Anan yang udah 25 tahun." Jawab Aisha.
Maisya mengangguk setuju, "dan semoga jika mereka berjodoh. Laki-laki itu yang terbaik buat Anan."
"Aamiin, Mai, semoga saja."
• • •
Ananda mengambil dua dus susu untuk kesehatan tulang. Seperti yang sudah dikatakannya tadi pada sahabatnya, dia singgah terlebih dahulu di supermarket.
Sebenarnya, tadi maminya menyuruh asisten rumah tangga untuk membelinya. Dan Ananda dengan sukarela menggantikan, dikarenakan asisten rumah tangga yang dipanggil Bik Rina itu sedang tidak enak badan.
Mengambil beberapa cemilan, setelahnya. Ananda lalu hendak membayar ke kasir.
"Mas pasti bohong, kan? Ngaku aja deh, Mas pasti mau niat menipu. Lagaknya nggak bawa dompetlah,"
"Beneran, Mbak. Saya nggak bohong, dompet saya ketinggalan. Dan udah saya cek juga di mobil saya nggak ada,"
Sayup-sayup Ananda mendengar orang berdebat. Dan ternyata, seorang pelanggan dengan kasir yang sedang bekerja. Lebih mendekat lagi, Ananda berdiri tepat di belakang laki-laki itu.
"Nggak, Mas, saya tetap nggak percaya. Sebaiknya mas keluar, dan barang-barang tinggalkan disini." Tegas kasir itu, wajahnya sudah daritadi sangar.
"Bentar, Mbak. Orang suruhan saya sebentar lagi sampai sini, tadi sudah saya hubungi."
"Udah deh, Mas. Awas! Pelanggan lain udah antri, mau bayar." Kasir itu tak mau mendengar kata laki-laki itu lagi.
Ananda melirik laki-laki itu, dan si laki-laki pun tak sengaja menatap mata Ananda. Ananda hanya tersenyum kikuk, lalu memalingkan wajahnya.
Wajah laki-laki itu tentu saja sudah memerah, entah karena malu? Karena dilihat oleh pelanggan.
"265.500.00, totalnya Mbak." Ujar kasir ramah, moodnya kembali lagi sepertinya.
"Ini, Mbak," Ananda menyerahkan sebuah kartu.
"Sekalian sama Masnya juga, Mbak. Gabungkan aja totalnya," kasir itu mengangguk setengah hati, sudah terlanjur dongkol dengan laki-laki tadi.
Dan bahkan laki-laki itu sudah tidak tau kemana. "Mbak kenal sama Masnya?" Tanya si kasir kepo, dan dibalas gelengan oleh Ananda.
Lantas, Ananda mengambil dua kresek putih berlogo supermarket itu. Satu miliknya, dan satu lagi milik si laki-laki barusan, yang udah pergi entah kemana.
Ananda yakin dengan laki-laki itu, dia tidak sedang berbohong. Walau laki-laki itu cuma memakai kaos biasa dan celana pendek dibawah lutut. Ananda sempat melihat jam laki-laki itu, bukan jam sembarangan orang yang pakai, jam branded yang harganya selangit. Dan Ananda sangat yakin itu asli, karena dirinya sering melihat koleksi jam tangan papinya.
Mencari dimana laki-laki itu berada, Ananda terus menenteng dua plastik di tangannya. Ananda melihat laki-laki itu sedang berteleponan, dan terlihat sedikit membentak. Ananda maju, saat laki-laki itu mengakhiri panggilannya.
"Permisi," sapa Ananda ragu.
Laki-laki itu menoleh, dengan malas juga. Sepertinya mood laki-laki itu juga turun drastis, pasti dia malu dituduh berbohong.
"Emm, ini barang belanjaan anda. Sudah saya bayar," cicit Ananda agar laki-laki itu tidak tersinggung.
"Apa? Sudah dibayar?" Ananda mengangguk dengan enggan.
"Sebaiknya, tidak perlu repot-repot. Sopir saya sebentar lagi akan kesini,"
"Emm,, tidak apa-apa. Lagian saya sudah terlanjur bayar. Ini," menyodorkan satu plastik pada laki-laki itu.
"Tunggu sebentar, sepuluh menit lagi sopir saya sampai. Dan saya akan membayar uangnya," kata laki-laki, Ananda tau kalau tingkat kegeraman laki-laki itu bertambah. Dan mungkin egonya sedikit tersentil.
"Tidak usah, jangan dibayar. Saya buru-buru, permisi." Dengan terburu-buru Ananda langsung melenggang pergi, meninggalkan laki-laki itu yang akan hendak mengucapkan kalimatnya.
"Terimakasih," walaupun sudah tak didengar oleh perempuan itu, laki-laki itu mengucapkannya.
Setelah itu kekesalannya akan kejadian memalukan itu teringat kembali. Bagaimana bisa dompetnya itu tertinggal di rumah, ah sialan.
Laki-laki itu merutuki kebodohannya, dan apa? Seorang perempuan yang tidak dikenal malah membayar belanjaannya. Malu? Tentu, muka tampannya itu sudah memerah bercampur marah, dan ah... Hanya laki-laki itu yang tau dengan Allah.
Untungnya, laki-laki itu sungguh pintar mengatur wajahnya di depan perempuan tadi. Wajah datarnya itu sangat berguna.
Dan perlu diketahui satu hal lagi, seumur hidupnya laki-laki itu tidak pernah dibayar apalagi dibelanja oleh perempuan manapun. Walaupun sebutir permen, tidak pernah. Selalunya perempuan-perempuan diluar sana yang berlomba-lomba meminta traktiran darinya. Mereka hanyalah perempuan-perempuan materialistis yang mengejar uangnya, tak ayal itu teman perempuannya, dan bahkan klien-klien perempuannya yang meminta lebih.
Laki-laki itu melirik kantong plastik di tangannya, lalu tersenyum samar.
"First to last, sungguh memalukan. Dan semoga takdir berpihak padaku, untuk tidak mempertemukan lagi dengan gadis itu."
TBC
Haii ganss!!
Gimana sama part-nya? Udah ketebak Anan ketemu sama siapa.
Pertemuan yang ku dambakan kini jadi kenyataannnn....
Weuh,, udah dangdutan itu yah😂
Oke, jangan lupa vote dan komen.
Aceh, 20 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top