|S I K U R E U N G|
بسم الله الرحمن
Part 9
---
Al waqiah, surah itu mengalun dengan merdu, walau dengan suara serak. Ananda menyempatkan untuk membaca surah itu, surah yang begitu banyak manfaatnya. Ananda terus melanjutkan bacaannya, suara serak itu kalah dengan bacaan tajwid yang benar. Jika Ananda bertemu dengan mad asli, gadis itu akan memanjangkan bacaannya. Dan jika ada nun mati bertemu dengan salah satu huruf yang lima belas, gadis itu akan mendengungkan bacaannya.
Diakhir-akhir, suaranya kian serak mendominasi. Setelah selesai, Ananda mencium mushafnya lama, mengumamkan sepintas doa pada rabb-Nya. Lalu, gadis itu melepas dan melipat mukenah putihnya.
Hari ini, adalah hari Minggu. Dan nanti pukul delapan pagi, Ananda ada janji dengan calon ibu mertuanya. Untuk fitting baju pengantin.
Ya, pernikahan Ananda tinggal dua Minggu lagi. Dirinya sibuk mengurus ini dan itu sendiri. Bahkan, hampir 70 persen dirinya yang mengurus pernikahannya.
Orang tuanya? Mereka bahkan rela melakukan tour bussines didetik-detik terakhir anaknya bersama mereka. Jika pada umumnya, orang tua yang akan sibuk mengurus pernikahan anaknya. Maka, Ananda pengecualian, gadis itu malah lelah sendiri.
Untung saja, dua sahabatnya membantu. Mereka sangat berguna, mengurangi sedikit beban Ananda. Orang-orang disekitarnya pun memberi semangat penuh pada gadis itu.
Suara klakson terdengar, Ananda segera keluar. Sudah pasti itu calon mertuanya.
"Bunda sampai repot-repot jemput Anan,"
"Enggak, sama sekali. Bunda malah senang, Nak. Ayo! Kita langsung berangkat." Jawab Bunda Lulu ramah dan begitu lembut.
Perihal panggilan, setelah acara lamaran dua bulan yang lalu. Bunda Lulu menyuruh Ananda untuk memanggil dirinya dengan sebutan bunda.
Mereka langsung masuk dalam mobil yang dikendarai sopir pribadi. Satu jam berlalu, mobil itu berhenti di depan bangunan empat lantai. Bangunan itu begitu luas dan indah.
Kesan pertama saat Ananda masuk adalah nyaman. Para pegawainya tersenyum ramah pada Ananda dan Bunda Lulu. Mereka juga semua sopan, dengan pakaian muslim mereka.
"Wah, assalamu'alaikum Ibu Lulu. Selamat datang di butik kami," sapa seorang wanita yang baru saja datang, tak kalah ramah.
"Waalaikum salam, Nadia. Seperti janji kemarin, hari ini saya akan datang bersama calon menantu saya."
"Ini calon menantunya? Masya Allah, cantik banget, namanya siapa sayang?" Wanita yang dipanggil Nadia itu menatap takjub Ananda.
"Ananda, Tante. Panggil aja Anan, biar lebih simple." Jawab Ananda pun dengan ramah.
"Calon laki-lakinya mana? Nggak datang?" Tanya Tante Nadia lagi.
"Eh itu... Dia sebentar lagi akan nyusul. Ada urusan dulu tadi," jawab bunda Lulu sedikit terbata. Wanita itu juga sebenarnya tak pasti, kalau anaknya bakalan datang. Saat di rumah tadi sudah menyuruh, tapi dengan malas Daniel hanya bergumam.
"Oohh... Nggak apa-apa. Sambil nunggu, lebih baik calon pengantin perempuannya saja dulu kita permak." Kekeh Tante Nadia.
Lalu, Ananda dan Bunda Lulu mengikuti wanita uang kira-kira berumur 40 tahun itu.
Ananda memegangi kepalanya, pusing melanda. Bunda Lulu yang melihat Ananda bertanya, "Anan nggak apa-apa? Mukanya kok pucat?"
Ananda menggeleng, wanita itu di mobil juga menanyakan keadaan Ananda. Tapi, Ananda malah menjawab baik-baik saja. Bunda Lulu khawatir dengan gadis itu, tadi suaranya serak, dan sekarang wajahnya sedikit pucat.
"Nggak apa-apa bunda, Anan baik-baik saja."
Ananda menyakinkan Bunda Lulu, sampai akhirnya Bunda Lulu percaya. Saat ingin memasuki ruang ganti, Daniel tiba. Tentu saja, Bunda Lulu sedikit mengomeli anaknya itu. Lantas, keduanya masuk dalam ruang ganti masing-masing.
Tak lama kemudian, Daniel keluar duluan. Laki-laki itu begitu tampan dengan setelan jas putihnya.
"Lama banget sih, Bun. Nggak keluar-keluar," gerutu Daniel.
"Dimana-mana perempuan itu kalau pakai baju memang lama. Kamu tuh ya, nggak sabaran banget jadi lakik." Jawab bundanya dengan tatapan garang.
"Hmmm,"
Setelahnya Daniel duduk di sofa. Dia datang kesini dengan setengah hati, hanya terpaksa.
"Anan sudah siap," Tante Nadia menginterupsi mereka.
Bunda Lulu takjub, wanita itu sangat antusias. Ananda begitu cantik dengan gaun putihnya.
"Subhanallah, calon mantu bunda, cantiknya."
"Belum di make up aja udah cantik maksimal, Bu. Apalagi udah didandani, pasti udah kayak bidadari." Ujar Tante Nadia antusias, wanita itu tidak berbohong. Sungguh terpukau dengan Ananda.
Daniel menatap tanpa minat mereka, Ananda menurutnya biasa-biasa saja. Kedua wanita dengan hadapannya sungguh antusias.
"Daniel sini! Berdiri dampingan sama Ananda." Titah Tante Nadia, wanita itu ingin memastikan kecocokan setelan bajunya.
Dengan setengah hati Daniel mendekat ke arah Ananda, diliriknya sekilas gadis itu yang daritadi diam saja. Terlihat sedang tidak baik-baik saja, pikir Daniel.
"Ya Allah, serasi banget Bu. Mereka cocok banget, satunya ganteng, dan satunya lagi cantik banget," Tante Nadia bahkan hampir bertepuk tangan riuh, wanita itu sungguh excited.
"Jodoh pasti tidak kemana, kalian sungguh serasi." Tambah bunda Lulu.
Daniel melihat pantulan dirinya dan Ananda di kaca besar hadapannya. Hmm... Sedikit bagus untuk dikenakan.
"Ananda!!" Pekik Tante Nadia saat melihat tubuh Ananda oleng, membuat Bunda Lulu terkejut.
Gadis itu tidak sadarkan diri, tubuhnya jatuh begitu saja. Untungnya, jatuh pada titik yang tepat. Dalam pelukan Daniel tentunya, laki-laki itu reflek menahan bobot tubuh mungil Ananda. Ternyata, pusing yang melanda Ananda sudah tak terkendali, gadis itu tidak dapat menahannya lagi.
Menepuk-nepuk pipi Ananda dengan lembut, "Anan bangun Nak, Anan! Bisa dengar suara Bunda?"
Bunda Lulu panik bukan main, berulang kali dia menepuk lembut pipi Ananda. Feeling-nya memang tidak salah, jika Ananda sedang tidak baik-baik saja.
Tante Nadia tergopoh-gopoh kembali dengan minyak kayu putih ditangannya. Lalu, wanita itu memberikan pada Bunda Lulu.
Ananda belum sadar juga, sudah beberapa kali bunda Lulu menggosokkan minyak kayu putih di hidungnya.
"Daniel gendong Anan, kita bawa ke klinik terdekat."
"Apa Bun? Kita bahkan belum menikah." Tolak Daniel.
"Terus kalau bukan kamu yang gendong, siapa lagi? Pak sopir? Ini dalam keadaan darurat, lagian kamu juga calon suaminya." Ujar bunda Lulu tidak mau dibantah.
Dengan berat hati Daniel mengendong gadis itu. Bunda Lulu tau jika mereka belum mahram, tapi ini dalam keadaan darurat kan?
Bunda Lulu pamit pada Tante Nadia, dan meminta maaf atas sedikit kekacauan ini. Dengan ramah dan memaklumi Tante Nadia berkata tidak apa-apa.
Mengikuti Daniel dari belakang, bunda Lulu malah menyuruh Daniel untuk membawa Ananda dengan mobilnya. Tentu saja Daniel mendengus, tanpa sepengetahuan bundanya.
• • •
Menatap tubuh Ananda di atas brankar, gadis itu belum juga sadarkan diri. Padahal sudah setengah jam yang lalu dia dipindahkan ke ruang inap. Gadis itu harus bermalam disini, tubuhnya drop. Ion dalam tubuhnya terkuras habis, ditambah lagi asupan makanan yang tidak ada.
Daniel, laki-laki itu menunggu Ananda. Pastinya paksaan dari nundanya, wanita paruh baya itu tadi pamit untuk membeli makan siang.
Perlahan, mata Ananda bergerak. Sedikit demi sedikit mata itu terbuka. Ananda mengerjab matanya pelan, menyesuaikan cahaya yang masuk pada retinanya. Lalu, gadis itu hendak bangun.
"Jangan bangun!" Tegas Daniel.
"Air."
Daniel terpaksa bangun dari duduknya, diambilnya segelas air di atas nakas. Lalu, membantu Ananda minum. Gelas itu tandas, tak ada sisa, Ananda begitu haus.
"Terima kasih," ucap Ananda setelahnya, lalu matanya terpejam kembali. Tubuhnya begitu lelah.
Bukannya balik ke sofa, Daniel malah duduk di kursi samping Ananda. Lalu berucap pelan.
"Belum apa-apa saja, sudah menyusahkan."
Ananda bisa mendengar, bahkan dengan jelas. Matanya saja yang dia pejamkan, tapi tidak dengan telinga.
"Maaf,"
Ananda berbalik, membelakangi Daniel. Sakit di tubuhnya sirna seketika, digantikan dengan denyutan hebat di hatinya. Air matanya luruh tanpa bisa dibantah, isakannya dia tahan mati-matian.
Kalimat itu padahal cuma kalimat biasa, tapi mampu membuat hati Ananda terluka. Gadis itu nangis dalam diam, disaat-saat seperti ini dia butuh kedua orangtuanya yang perhatian. Dia butuh seseorang untuk mendengar keluh kesahnya.
• • •
"Biar bunda suapin," wanita paruh baya itu dengan sigap mengambil nasi yang sudah disiapkan oleh pihak klinik.
"Nggak apa-apa, Bunda. Anan bisa sendiri," ujar Ananda tak enak.
"Tidak ada penolakan, Anan masih lemas, jangan banyak gerak dulu."
Lalu, Bunda Lulu membantu Ananda untuk duduk bersandar. Dengan telaten Bunda Lulu menyuapi Ananda dengan sayang. Wanita paruh baya itu terlihat begitu tulus.
Ananda sudah lama tidak dimanja oleh maminya, gadis itu bahkan lupa kapan terakhir maminya mengurus dia sakit. Matanya memanas, ingin rasanya menangis melihat sosok keibuan di depannya.
Bunda Lulu yang peka, menoleh kearah Ananda. Dilihatnya gadis itu sudah menitikkan air mata.
"Anan, kenapa Nak?"
"Makasih, bunda, udah mau ngurus Anan." Ucap Ananda tertahan, dadanya sesak.
Meletakkan nasi yang hanya tersisa sedikit lagi di tempat semula. Lantas, Bunda Lulu merengkuh tubuh mungil Ananda. Mengusap lembut punggung gadis itu. Bunda Lulu tau, kalau calon menantunya itu sedang banyak pikiran. Walau tak tau pasti apa yang menjadi puncanya.
Dalam rengkuhan hangat Bunda Lulu, tangis Ananda pecah. Isakan-isakan yang sejam lalu ditahannya, kini keluar juga. Begitu pilu dan prihatin.
Bunda Lulu hanya mengelus lembut punggung Ananda, dia tau kalau Ananda butuh mengeluarkan uneg-unegnya lewat tangisan.
Di lain tempat, tepatnya mushalla klinik. Daniel baru saja menyelesaikan shalat zhuhur. Laki-laki itu lalu menengadahkan tangannya, berdoa pada Tuhannya.
Setelah selesai, Daniel keluar memakai kembali sepatunya. Laki-laki itu berniat kembali lagi ke ruangan Ananda, atas permintaan bundanya.
Sampai didepan pintu ruangan, Daniel mendengar suara tangisan. Begitu pilu, menyanyat hati siapa saja yang mendengar. Sedikit membuka pintu, Daniel memastikan siapa yang menangis. Dan... Benar saja, Ananda yang sedang menangis dalam pelukan bundanya.
Isakan-isakannya begitu dalam, seolah setiap isakan itu ada maksa tersendiri. Daniel mengurungkan niatnya untuk masuk, memberi ruang untuk gadis itu.
Otaknya terlintas, apakah perkataan dirinya beberapa saat yang lalu juga salah satu sebabnya? Jika iya, Daniel merasa bersalah. Laki-laki itu benar-benar merasa bersalah. Jika diingat-ingat dirinya tadi sedikit keterlaluan.
Daniel berdecak berkali-kali, sebenarnya dia tidak tega untuk menyakiti hati perempuan. Tapi, emosinya yang berlebihan membuat dirinya sendiri tidak bisa mengendalikan.
Ditambah lagi, dia butuh pelampiasan akan kekecewaan ini. Jadilah Ananda yang kena imbas, gadis itu menjadi korban dari pelampiasan amarah Daniel.
"Ya Allah, tunjukkan sesuatu. Agar semua ini tidak terjadi."
Lirih Daniel dilema, laki-laki itu belum bisa untuk menerima perjodohan konyol ini.
• • •
"Anan!!"
"Astagfirullahaladzim!"
Suara menggelegar Aisha dan Maisya terdengar. Bisa dilihat dari muka mereka yang paniknya bukan main. Langsung menerobos masuk tanpa salam.
"Eh, ada Tante Lulu." Nyengir Maisya saat menyadari Bunda Lulu. Lalu wanita itu menyalami Bunda Lulu, diikuti Aisha di belakang.
Mereka langsung mendekat pada ranjang Ananda. Tatapan-tatapan membunuh mereka layangkan.
"Bandel sih, udah aku omongin jangan terlalu capek. Jadi drop kan, dasar anak keras kepala! Kemarin-kemarin udah aku bilang, kalau kerja kantor cuti dulu. Fokus dan tenaganya nggak kebagi gini," omel Maisya panjang lebar.
"Contoh yang kagak bener, gini nih. Kita kan udah bilang ambil cuti dini. Lagian, itu kantor punyak bapak lu, mau cuti setahun nggak bakalan dipecat." Imbuh Aisha lagi, wanita itu juga gemes melihat Ananda yang keras kepala.
Bukannya tersinggung, Ananda malam senyum-senyum saat kedua sahabatnya mengomel. Gadis itu merasa senang, perhatian kecil dari mereka mampu membuat tubuhnya pulih kembali.
Satu jam yang lalu, Ananda mengabari kalau dirinya harus diopname. Tentu mereka berdua panik bukan main, calon pengantin mereka yang harus di infus.
Bunda Lulu tersenyum hangat pada mereka, wanita paruh baya itu menonton drama mereka. Hati Bunda Lulu sedikit lega, sahabat calon menantunya itu sangat baik-baik.
Bunda Lulu juga senang, orang-orang disekitar Ananda menyanyangi gadis manis itu.
"Ya ampun, Tante maafin kami ya, nggak bermaksud buat ngomel di depan Tante. Habisnya gemes sama Anan," ujar Aisha kemudian.
"Ah, kalian. Nggak apa-apa, santai aja mah, sama Tante." Kekeh Tante Lulu.
"Iya, Tan. Anan kalau kita bilangin suka keras kepala, sering banget sakit akibat kecapean." Adu Maisya.
"Anan sering sakit?"
"Kalau kecapean gini sering banget Tante, daya tubuh Ananda memang lemah. Apalagi kalau maagnya kambuh, mual-muntah udah kayak orang hamil." Jawab Maisya menggebu.
"Eh, enggak ya. Jangan percaya omongan mereka, bunda. Anan baru ini masuk rumah sakit," bela Anan.
"Iya, baru kali ini. Dalam bulan ini," celetuk Aisha.
"Ya Allah Anan, lain kali nggak baik gitu. Jangan terlalu fokus sama pekerjaan. Kesehatan mahal loh, ingat! Lebih baik mencegah daripada mengobati." Nasihat Bunda Lulu. Dan Ananda hanya mengangguk.
"Oh iya Tan, ini kami ada bawa roti, kebab juga ada." Kata Aisha lagi.
Bunda Lulu mengangguk, lalu mereka menikmati cemilan sore itu bersama. Sesekali melemparkan candaan untuk Ananda, si calon pengantin.
Bunda Lulu sudah sangat akrab dengan sahabat calon menantunya. Wanita paruh baya itu memang wanita yang sangat hangat. Keibuan dalam diri Bunda Lulu begitu nampak dari luar. Ananda beruntung bisa mendapatkan calon ibu mertua sepertinya. Ananda harap semua akan baik-baik saja, untuk kedepannya.
Malam tiba, tepat pukul delapan, Aisha dan Maisya pulang. Kedua sahabatnya Ananda pulang dengan berat hati, sebenarnya mereka tidak tega meninggalkan Ananda. Terutama Aisha, biasanya dia yang akan menginap di rumah sakit apabila Ananda sakit. Tapi, apa boleh buat mereka juga sudah punya kewajiban lain. Suami dan anak mereka menunggu di rumah.
"Bunda pulang aja, Anan nggak apa-apa disini. Lagian, ada perawat sama dokter yang bakalan jaga Anan." Sudah daritadi Ananda membujuk Bunda Lulu untuk pulang. Gadis itu kasihan dengan Bunda Lulu, wanita itu pasti sangat lelah.
"Tapi, bunda nggak mungkin ninggalin Anan sendiri disini."
"Bunda... Anan udah besar loh, kalau ada apa-apa pasti Anan langsung kabari bunda." Ujar Ananda lagi.
Ananda terus membujuk, dia tidak mungkin membiarkan Bunda Lulu menginap disini. Tidak ada tempat tidur, kecuali sofa yang tak seberapa panjang itu.
"Janji, kalau ada apa-apa segera hubungi bunda."
Ananda mengangguk, "janji bunda."
Bunda Lulu mendekat, lalu diciumnya kening Ananda lama. Begitu terasa dan hangat, Ananda tersentuh setiap perlakuan Bunda Lulu.
"Baik-baik, ya sayang. Bunda pulang dulu," ujar Bunda Lulu.
Ananda mengangguk sambil tersenyum. Bunda Lulu masih tak puas, diciumnya sekali lagi kening Ananda.
"Assalamu'alaikum,"
"Waalaikum salam warahmatullahi wabarakatuh."
Sepeninggal Bunda Lulu, Ananda hanyut dalam kesepiannya. Diliriknya jam yang menggantung, sudah pukul sembilan malam. Gadis itu menerawang sejauh yang ia mampu. Memikirkan nasibnya ke depan, akan hal rumah tangannya bersama Daniel.
Padahal, Ananda memiliki sejuta angan dalam pernikahannya kelak. Tapi, apakah semua itu akan ada, disaat dia bersama Daniel nantinya?
Cukup lama pikirannya berkelana, Ananda tertidur. Sangat pulas, dengkuran halusnya memenuhi ruangan itu. Gadis itu tidak selemah tadi siang, wajah pucatnya tidak kentara seperti siang tadi.
Tepat pukul sebelas malam, pintu kamar ruang Ananda terbuka. Menampilkan sosok laki-laki berperawakan tinggi. Laki-laki itu masuk dengan perlahan, mendekati ranjang Ananda. Ditatapnya gadis itu, dengan tatapan yang berbeda-beda.
Laki-laki itu adalah Daniel. Entah ada apa dan kenapa, laki-laki itu kembali lagi kesini. Hatinya menyuruh untuk datang kesini, menemani Ananda? Mungkin saja.
Berjalan lagi ke arah pintu, Daniel sedikit membuka pintu itu agar tidak tertutup rapat. Lalu, laki-laki itu merebahkan badan kekarnya di atas sofa. Mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah. Hatinya pun sama, gelisah tak menentu.
Untuk malam ini biarlah laki-laki itu menuruti keinginan hatinya. Hanya untuk malam ini saja. Menemani Ananda bukan ide yang tercetus oleh logikanya. Semua ini hanya tuntutan hati manusiawinya.
Daniel hanya kasihan pada Ananda. Ingat! Hanya kasihan, dan sedikit merasa bersalah akan perkataannya siang tadi pada gadis cantik itu.
Tanpa disadari, mereka sama-sama tersakiti dengan hati mereka sendiri. Daniel yang terbelenggu dengan kasihnya yang tak kunjung pulang. Dan Ananda yang malang, dengan hidup yang tidak sebahagia orang pikirkan. Ditambah lagi, akan angan ketakutan dalam rumah tangga, yang akan gadis itu hadapi nantinya.
TBC
Maaf kalau part ini nggak nge-feel. Ini aku tulis kedua kalinya, yang pertama aku tulis udah kehapus. Gara-gara ganti sandi, habis itu keluar, masuk lagi, dan imbasnya part ini kehapus🤧🤧
Sampek uring-uringan aku tuh kemarin sore, tapi malamnya langsung aku nulis lagi, mencoba untuk menghayati. Pada dasarnya, tulisan pertama memang lebih nyentuh dikit dari ini.
Hu hu hu...
Gimana pendapat kalian dipart ini???
Oke, makasih udah mau baca curhatanku 😂😂🖤
Aceh, 27 Juli 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top