|S I B L A H|

بسم الله الرحمن الرحيم
Part 11
---

Tidak ada yang berubah. Semuanya masih sama, tanpa ada kemajuan sedikitpun. Hubungan Ananda dan Daniel masih jalan ditempat selama satu bulan ini. Selama tiga puluh hari, cuma Ananda yang selayaknya istri.

Tidak ada bulan madu, atau apapun itu. Daniel menolak saat kedua orangtuanya menghadiahi tiket honeymoon ke luar negeri. Dengan alasan pekerjaannya yang tidak boleh ditunda lama. Tidak sepenuhnya berbohong, Daniel memang sedang menangani tender besar.

Seminggu yang lalu, Daniel dan Ananda pindah ke rumah Daniel. Bukan rumah orangtuanya, tapi rumah yang Daniel beli satu tahun yang lalu dan masih belum ditempati.
Itu kemauan Daniel, laki-laki itu tidak enak terus-menerus tinggal di rumah orangtuanya Ananda. Walau mertuanya itu sering tidak ada di rumah, Daniel tidak leluasa.

Ananda tidak berkomentar apapun saat itu, dia ikut kemanapun dan patuh saat Daniel mengatakan pindah. Satu Minggu tinggal bersama Daniel berdua, tanpa ada seorang pun. Ananda merasa Daniel makin dingin, tak ada perbincangan. Daniel bahkan sedikitpun tidak bersuara.

Mereka bagai orang asing yang hanya berbagi kamar bersama, berbagi ranjang dengan guling sebagai pembatas. Ananda tidak bisa meraih hati Daniel. Terlalu sukar untuk dimengerti. Gadis itu pula tidak bisa melewati batas yang dibangun Daniel, Ananda tau diri akan penolakan keras saat mereka berbicara dua hari setelah akad nikah mereka.

"Kamu harus tahu batasan, jika saya hanya suami sebatas status saja. Jadi, jangan berharap apapun itu dari saya, mengenai hak, saya akan menafkahi kamu. Tapi tidak dengan batin, saya tidak bisa."

Begitulah yang di kata Daniel saat itu.
Ananda sangat mengerti akan maksud kalimat Daniel. Lagi lagi, gadis itu selalu dipermainkan oleh takdirnya sendiri.

Jika dulu Ananda sempat berpikir, kalau dia sudah menikah tidak akan kesepian lagi. Itu salah besar! Gadis itu malah menambah beban lagi dihatinya. Sekuat apapun dia menyembunyikan masalahnya, dengan hatinya sendiri dia tidak kuat.

Ananda menyembunyikan itu semua dibalik sikap cerianya. Senyum dan tawanya saat ini hanyalah kedok, agar semua terlihat baik-baik saja.

Sebenarnya, Ananda sangat ingin menjadi istri yang sesungguhnya. Pada umumnya, istri yang selalu menemani suami makan, menyiapkan semua keperluannya, berbagi cerita, dan apapun itu. Tapi, Ananda tidak bisa.

Setiap dia masak, Daniel enggan memakannya. Begitu pula saat Ananda menyiapkan baju untuk Daniel, laki-laki itu rela mengambil baju lain di dalam lemari. Tak ada cerita apapun, bertegur sapa saja Daniel selalu tidak membalas.

Biarlah, semua seperti air yang mengalir. Rumah tangganya akan berjalan seperti inikah selalu? Ananda tak paham dengan semua ini. Terlalu rumit untuk dipecahkan. Semuanya butuh rumus yang harus dia buat sendiri.

• • •

Ananda tiba di rumah, seperti biasanya sore hari gadis itu akan selalu on time pulang kantor. Sebelum ke kamarnya, Ananda menuju ke dapur untuk melihat apakah sarapan pagi tadi masih ada atau tidak.

Mengembuskan nafas panjang, Ananda tersenyum getir. Sepiring nasi goreng masih utuh. Lagi dan lagi selama satu bulan ini, Daniel tidak pernah memakan masakan yang dibuatnya.

"Sampai kapan akan seperti ini?" Lirih Ananda, air matanya menetes saat sepiring nasi goreng itu dia buang dalam tong sampah.

Sebagai istri, tentu hatinya tersentil. Kecewa buat apa? Ananda terlalu sering mengalami, bahkan seumur hidupnya. Rasanya Ananda ingin marah, tapi buat siapa? Dia tidak pernah bisa marah dihadapan Daniel.

Note yang ditulisnya pagi tadi juga masih ada di atas tudung saji. Mengambilnya, lalu Ananda merobek kertas kecil itu.

Ananda lalu ke kamarnya, tepatnya kamar dirinya dan Daniel. Membersihkan tubuhnya yang lengket, lalu gadis itu turun lagi ke bawah untuk memasak. Di rumah ini tidak ada pembantu, hanya ada orang yang akan kesini setiap dua kali dalam seminggu untuk membersihkan rumah. Itulah sebabnya, Ananda harus memasak sendiri. Walau makanannya tidak pernah dimakan, gadis itu entah kenapa selalu memasak untuk Daniel.

Setelah berkutat dengan dapur, hampir satu jam. Ananda telah selesai membuat tiga menu makanan, udang sambal, tumis bayam, dan telur dadar. Terlihat sangat sederhana.

Untuk malam ini Ananda akan menunggu Daniel makan malam, lagi!
Gadis itu ingin berbincang mengenai hubungan mereka ke depannya.

Setelah menyelesaikan shalat magrib, Ananda memilih untuk duduk menonton tv. Sama sekali saluran acaranya tidak menarik untuk Ananda. Sebenarnya perut Ananda sudah kosong, dari tadi berbunyi. Demi menunggu Daniel, gadis itu rela menahan laparnya.

Waktu isya tiba, Daniel masih belum pulang juga. Ananda bergegas shalat isya terlebih dahulu, berharap setelahnya Daniel pulang. Dan ternyata benar, lima belas menit setelah Ananda shalat isya, suara deru mobil Daniel terdengar. Dengan cepat Ananda menyambut Daniel, gadis itu tersenyum tulus saat Daniel masuk.

"Sudah pulang?"

"Hmm,"

"Mau makan dulu? Aku sudah masak," tak ada jawaban. Ananda mengikuti Daniel dari belakang.

"Daniel." Akhirnya Daniel berhenti juga, saat Ananda memanggil dengan lirih. Laki-laki itu lalu berbalik menatap Ananda.

"Saya sudah makan,"

"Bukan itu sebenarnya, aku... Mau mengatakan sesuatu. Tentang hubungan kita ini," cicit Ananda.

Menaikan alisnya bingung, Daniel lalu mengangguk. Mengikuti Ananda yang berjalan mendahului, ke ruang makan. Daniel bisa melihat, disana ada makanan yang dimaksud Ananda tadi. Terlihat enak memang, tapi laki-laki itu segera membuang pemikiran itu.

"Silahkan, mau ngomong apa?" Tanya Daniel langsung, tanpa basa-basi.

"Mau sampai kapan kita begini?"

Ananda memulainya, walau hatinya berdetak takut, gadis itu memberanikan dirinya. Gadis itu juga tidak menatap Daniel saat berbicara, dia menahan agar air matanya tidak lirih di depan Daniel.

"Hubungan kita tidak sehat, kita suami istri tapi, hanya sebatas status. Aku ingin menjadi istri sesungguhnya buat kamu, tapi kamu memasang batas yang aku sendiri tidak mengerti kenapa. Selama sebulan ini kamu tidak pernah memakan apa yang aku masak, tidak pernah mau jika aku memberi sedikit bantuan."

Daniel diam, membiarkan Ananda mengeluarkan uneg-uneg. Menatap Ananda yang menunduk, Daniel merasa sedikit iba terhadap gadis yang sudah menjadi istrinya itu.

"Jika kamu tidak menginginkan pernikahan ini dulu, kenapa kamu malah menerimanya? Aku tersiksa Daniel, dengan semua ini. Setiap kali aku bertegur sapa, mengajak kamu berbicara tak ada sepatah katapun kamu membalas. Aku bagai orang asing saat bersama suamiku sendiri, aku bahkan tidak lebih dari orang asing yang menumpang disini. Berbagi kamar, berbagi ranjang yang sama, itu semua tidak ada apa-apanya. Aku tetap orang asing Dimata kamu," Ananda mati-matian menahan air matanya. Dia tidak sanggup, lebih baik semua yang dipendamnya selama ini ditumpahkan.

"Jika kamu tidak menganggap aku sebagai istrimu, kamu bisa menganggap aku sebagai teman. Aku bersedia, atau jika kamu tidak mau sebagai teman. Anggap aku apa saja, anggap aku manusia, yang perlu komunikasi. Setidaknya, kamu mau makan masakan aku, menerima baju yang aku siapkan, membalas sapaan aku. Itu lebih cukup dari apapun, aku tidak meminta lebih." Lega rasanya, saat Ananda mengutarakan semua hal ini, serasa beban gadis itu sedikit berkurang.

"Ya, saya bisa," jawab Daniel, membuat Ananda mendongak menatap Daniel dengan binar.

"Bisa?"

"Bisa menjadi teman kamu, seperti yang kamu katakan tadi."

"Beneran?" Antusias Ananda, dan Daniel hanya mengangguk.

Senyum Ananda merekah seketika, binar hidupnya seakan kembali ke permukaan. Gadis itu sangat bersyukur! Seenggaknya, dia tidak seperti orang asing, yang diasingkan di rumah ini.

"Saya pamit, mau ke atas. Mandi," Daniel beranjak, dari kursinya.

"Daniel..."

Terpaksa, Daniel menoleh lagi ke belakang. Menatap Ananda dengan tanya, "emm... Kamu tidak mau untuk makan malam, untuk malam ini, hitung-hitung sebagai awal pertemanan kita. Dan... Tapi kalau kamu tidak mau tidak apa-apa,"

Ananda terbata dengan kalimatnya sendiri, gadis itu bahkan seolah kehilangan pasokan kosakata dalam otaknya. Dia terlalu gugup dengan laki-laki di hadapannya.

"Boleh," lalu Daniel duduk kembali pada kursi semula.

Tidak menyangka, Ananda terpaku sesaat. Ajakannya malam ini diterima! Dengan segera Ananda menaruh nasi pada piring Daniel, lalu disusul dengan udang yang sedari tadi menggoda Daniel. Laki-laki itu terlihat mendamba akan makanan didepannya.

Tanpa suara, mereka makan dalam diam. Menormalkan hatinya sendiri, Ananda sesekali mencuri pandang saat Daniel menyantap masakan dirinya. Gadis itu was-was, akankah masakannya malam ini enak atau malah tidak. Tak lupa pula, wajah Ananda yang berbinar bahagia melihat Daniel menghabiskan sepiring nasi yang ditaruhnya.

Bahkan, udang besar yang disambal itu tinggal dua lagi tersisa ditempatnya. Ananda tersenyum geli, saat mengingat Daniel berkata dia sudah makan. Laki-laki itu pasti tadi membohongi dirinya.

Selesai makan, Daniel pamit untuk segera ke atas, membersihkan dirinya. Sedangkan, Ananda membersihkan sisa makanan yang baru siap mereka santap. Saat mencuci piring, senyum Ananda tidak pernah pudar sedikitpun. Gadis itu terlalu bahagia,

Malam ini semoga awal baginya. Awal hubungan mereka, setidaknya menjadi teman bagi suami sendiri tidak masalah, bukan?

Ananda memasuki kamar, di ranjang sudah ada Daniel yang sibuk dengan ponselnya. Ananda lalu memastikan sesuatu, disana tidak ada lagi dua guling sebagai penengah antara mereka. Daniel benar-benar menjalankan kata-katanya?

Ananda lalu dengan gugup merebahkan dirinya di atas ranjang, sebelumnya gadis itu melepaskan jilbab instan yang dikenakannya. Sehingga, nampaklah rambut sepunggung yang selama ini belum pernah dilihat Daniel. Ananda kira sudah waktunya dia menampakkan rambutnya itu, Daniel suaminya, sah-sah saja auratnya itu nampak. Bahkan, lebih dari itu semua, seluruh aurat Ananda milik Daniel.

Daniel, laki-laki itu masih belum terusik dengan keberadaan Ananda yang sudah merebahkan diri disampingnya. Daniel masih saja sibuk dengan ponselnya, entah apa yang dikerjakan laki-laki itu. Ananda tidak tau, gadis itu hanya mengamati Daniel dari samping.

"Daniel."

Barulah Daniel sadar akan keberadaan Ananda, laki-laki itu menoleh ke sumber suara. Baru saja sedetik, Daniel buru-buru memalingkan wajahnya. Detak jantungnya berpacu saat dia melihat Ananda tanpa jilbab. Ada aura berbeda saat Ananda tanpa menggunakan jilbabnya, sedikit ah... Sudahlah. Biar Daniel saja yang berspekulasi tentang istrinya itu.

"Hmm." Jawab Daniel setelah bergelut dengan hatinya sendiri.

"Selamat malam,"

TBC

Akhirnya... Setelah sekian paripurna lewat, part ini selesai juga.

Jangan lupa vote dan komen ya, sheyeng-sheyengku🖤

Pendapat kalian buat part ini?

Yuk, kenalan sama Ananda!!!

Aceh, 14 Agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top